🍁 1 🍁
"Aksa...aku nabrak orang. Iya, cepetan kamu ke sini. Aku di rumah sakit Cipta Buana."
Suri memijat kepala yang tiba-tiba pusing, akibat benturan yang cukup keras mengenai aspal jalanan.
Salahnya sendiri ia meleng ketika akan menyebrang tadi, ia terlalu fokus untuk segera sampai ke rumahnya. Terlalu fokus pada jam tangannya hingga ia tak menyadari jika masih ada mobil yang melaju, seingat Suri lampu sudah berubah hijau saat ia akan melangkah.
"Maaf ya, Mbak. Gara-gara aku, Mbak jadi seperti ini." Wanita itu berucap lirih sembari menundukan kepala.
"Panggil Suri aja, Mbak. Aku nggak apa-apa kok. Memang tadi aku jalannya sedikit meleng, jadi nggak liat kalo mobil mbak...."
"Kanigara. Panggil aja, Rara."
"Mbak Rara nggak salah, akunya aja yang nggak liat mobil mbak tadi." Suri tampak sungkan. Terlihat Wanita itu—Ara—akan menangis. Untuk pertama kalinya ia menabrak orang, karena teledorannya saat akan menerima telepon dari saudaranya tadi.
"Aku bener-bener minta maaf, mbak-"
"Suri, Mbak. Panggil aja Suri," sela Suri yang merasa tak nyaman terus-terusan dipanggil 'mbak'.
"Oke, Suri. Ini pertama kalinya aku nyetir sampe nabrak orang." Suri hanya tersenyum sumir, mendengar permintamaafan yang diucapkan Rara hampir berkali-kali dalam beberapa menit kebersamaan mereka.
Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara obrolan dari pasien lainnya, juga dentingan alat-alat kedokteran saat seorang suster tengah menangani pasien dengan luka robek di lengannya.
"Nanti aku antar pulang, ya?" pinta Rara yang mengalihkan pandangannya pada sosok Suri yang tengah terbaring di brankar rumah sakit.
"Aku bisa pulang sendiri, Mbak. Lukaku nggak begitu parah, kok. Cuma kegores aja."
Rara menggeleng keras. "Aku yang udah nabrak kamu, jadi nganterin kamu pulang juga termasuk tanggung jawabku."
"Tapi-"
"Nggak ada tapi-tapian. Setelah suamiku dateng, aku akan ngurus administrasi trus nganterin kamu pulang." Putus Rara tanpa bisa dibantah Suri.
Suri hanya menghela napas pelan, rasa-rasanya ia tak kan bisa menolak lagi keinginan wanita berambut panjang di sampingnya ini.
Melirik sebentar, Suri mencoba memindai penampilan Rara yang terlihat begitu cantik dan elegan secara bersamaan. Ditunjang dengan make up natural juga dress selutut yang ia tafsir seharga fantastis, benar-benar membuat wanita lainnya kagum sekaligus iri.
Dulu ia bisa berpenampilan seperti itu. Head to toe, semua serba bermerk dan berharga jutaan. Sebelum kegoisan mengerogotinya. Apa yang ia inginkan harus ia dapat, termasuk cinta.
Suri muda begitu naif. Mengartikan cinta yang ia rasakan berarti memilikinya, termasuk memisahkan dua orang yang saling mencintai dalam ikatan suci.
Ah, mengingat itu membuat sisi mellow-nya menjerit perih, karena tak ingin membangkitkan memori menyakitkan itu lagi.
Suri berganti posisi menjadi duduk, selama sejam ia hanya berbaring nyatanya membuat punggung Suri kebas.
"Pelan-pelan," ujar Rara membantu Suri untuk duduk menghadap dirinya.
"Maaf, gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Rara hanya bisa memandangi kondisi Suri dengan tatapan kasihan. "Kamu ada sodara, Suri?"
Suri menggeleng. "Aku sebatang kara di sini." Pertanyaan Rara jelas mengingatkan dirinya akan keluarga yang sudah ia kecewakan, juga ia tinggalkan paska Pijar menceraikannya dulu.
"Maaf," ucap Rara dengan nada tak enak.
"Tak usah diambil hati, aku udah biasa aja kok." Senyum sumir hadir lagi di wajah Rara.
Ia sudah tak ada muka untuk kembali ke rumah orang tuanya, walau ia juga tak yakin bahwa rasa kecewa mereka akan hilang begitu saja meski seribu maaf terucap.
Setelah peristiwa yang begitu mengoyak hatinya, Suri memilih pergi menghilang dan mengasingkan diri ke tempat dimana tak ada satupun orang yang mengetahui siapa dia juga masa lalunya.
Ia berusaha menebus segala kesalahan yang sudah ia lakukan dulu, menikmati karma yang diberikan Tuhan padanya sebagai balasan apa yang sudah ia perbuat.
Meski berat ia harus bisa bertahan dan menjalani hidup, ia berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Telihat sulit tapi Suri yakin bisa melewati semuanya.
"Aksa!" pekik Rara langsung berdiri begitu mendapati seorang lelaki memasuki ruangan UGD.
"Kamu nggak apa-apa kan? Ada yang luka?"
Reaksi tubuh Suri tak pernah setegang ini, kala mendengar suara berat khas pria. Namun yang menjadi permasalahannya adalah siapa pemilik suara tersebut.
Bertahun-tahun ia menjadikan pria itu obesesi cinta butanya, dan setahun tinggal serumah membuat Suri hapal betul pemilik suara itu.
Tak sekalipun lelaki itu memberikan nada lembut seperti yang barusan ia dengar, hanya bentakan dan geraman menahan marah yang selalu Suri dapat kala menjadi istrinya.
Mendengar nada selembut itu, tapi tak ditujukan padanya sungguh membuat luka hati Suri kembali menganga lebar. Sekali saja ia ingin diperlakukan lembut seperti saat dia memperlakukan Rara. Namun nyatanya ia tak pernah mendapatkan hati dan kelembutan seorang Aksadaru Pijar Mahameru.
Tak perlu menoleh, semua tercermin melalui kaca jendela yang ada di depan Suri. Bagaimana pria itu terlihat menyayangi Rara, tak sekalipun dia berikan padanya dulu.
"Suri." Panggilan Rara membuat mata Suri terpejam sepenuhnya.
Ya Tuhan, ia belum siap bertemu kembali dengan pria itu.
Mau tak mau Suri membalikan tubuhnya meski berat, tapi ia harus. Pemandangan yang sama tersaji di depannya. Seperti deja vu, Suri selalu mendapati reaksi pria itu setiap mereka bertatap muka. Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, pria itu tak pernah berubah.
Tak perlu menjabarkan, Suri tahu mantan suaminya itu kini tengah menahan amarah yang siap dimuntahkannya kapan saja.
Sorot tajam penuh kebencian selalu membuat tubuh Suri mengigil ketakutan, bayangan ketika lelaki berpenampilan parlente itu menyiksanya tersaji seperti kaset rusak di dalam otaknya.
"Kamu tunggu di sini, aku mau lunasin administrasinya. Setelah itu kita antar Suri pulang ke rumah." Pinta Rara yang tanpa persetujuan siapapun sudah melesat keluar ruangan UGD, menyisakan dua orang tersebut dengan aura yang sangat tak mengenakkan.
Andai ini bukan berada di rumah sakit, sudah pasti Suri akan habis ditangan pria yang lagi-lagi menggertakkan giginya.
"Bukannya aku pernah bilang buat enyah dari hidupku, tapi kenapa kamu masih hidup dan ada di depanku sekarang?"
Suri ketakutan.
Pria itu, benar-benar menunjukan kebenciannya dia terhadap Suri. Bahkan kalimat yang diucapkannya sungguh menohok Suri. Secara tak langsung dia menginginkan dirinya mati.
Sebenci itukah dia padanya?
Suri bahkan tak mampu membalas ucapan lelaki yang kini berjalan mendekatinya. Tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya mengigil. Bohong jika Suri tak ketakutan jika berdekatan dengan pria yang masih bertahta di hatinya ini.
Suri meringis pelan, mendapati dagunya dicengkeram oleh tangan kaku tersebut hingga manik mereka bertabrakan.
"Kamu lupa apa yang udah aku bilang? Jangan sekali-kali menampakan diri di depanku, apalagi di hidupku. Rupanya kamu udah bosan hidup, hah?" Suri menggeleng keras mendengar bisikan yang tepat di depan wajahnya.
"Aku-"
"Sekali kamu ngusik hidup ku, tamat riwayatmu." Wajah Suri terhempas kala pria itu melepaskan cengkeramannya.
Ingin rasanya Suri menangis kencang, mendapati lelaki dengan tatapan tajam itu hadir kembali dalam hidupnya.
Ah, ternyata karma tak pernah berhenti sampai detik ini aku bernapas.
🍂🍂🍂🍂🍂
Bab 1 done. Hihihihi
Ini tuh biar mood aku balik lagi ... sumvah ya, mood swing yg bikin keki sendiri. Semoga bisa istiqomah ngerjain naskah satu-satu.
Betewe, aku masih ada beberapa work yg udah menjamur di draft. Kira-kira kalo aku keluarin kalian bakaln ngamuk kagak. Wkwkwwkwkwkwkwkwk
Tauh, ah. Selamat menikmati ya gaes.
Sidoarjo, 15 Oktober 2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro