Chapter 31 (End)
Chapter 31
Setelah Albern mengajakku ke rumahnya, kini giliranku mengajak Albern ke rumahku. Memperkenalkannya pada kedua orangtuaku.
Kami tiba di Bandung pada pukul tiga sore. Mama dan Papa menyambut kami dengan hangat.
“Nggak nyangka, kita bisa bertemu lagi,” ujar Mama saat berjabat tangan dengan Albern.
“Dalam suasana yang jauh lebih menyenangkan,” sahut Albern sambil tersenyum.
Aku menatap mereka berdua secara bergantian. “Apa ada sesuatu yang aku lewatkan?”
“Mama bertemu Nak Albern saat kamu dirawat di rumah sakit,” ungkap Mama. “Nak Albern sering datang jengukin kamu.”
“Sering? Seingatku, Albern cuma satu kali datang bareng Prisca.”
“Kamu lagi tidur setiap Nak Albern datang.”
Aku melirik Albern. “Kok kamu nggak pernah cerita?”
“Untuk apa?” Albern mengangkat bahu.
Albern dan kedua orangtuaku duduk mengobrol di ruang tengah sementara aku mandi. Mengetahui fakta kecil tentang kedatangan Albern ke rumah sakit yang lebih dari satu kali membuatku terus berpikir. Selama ini, Albern melakukan banyak hal untukku yang tidak kuketahui dan tidak juga ia ceritakan kepadaku. Semua itu baru terungkap dari penjelasan orang-orang di sekitarku, atau lewat interogasi langsungku terhadapnya.
Aku lantas teringat pada pembicaraanku dengan Vania beberapa minggu lalu. Ia bilang, Albern kalang kabut sebelum mendapat kabar bahwa aku berada di Bandung—dalam rangka melarikan diri darinya kala itu. Setelah memastikan diriku benar-benar berada di Bandung, barulah ia bisa kembali bekerja dengan tenang. Dan omong-omong, seseorang yang mengirimkan buket plus kartu tahun baru atas nama Albern itu ternyata Vania, bukan Prisca.
Hal lain yang sama mengejutkan pun diungkapkan Tante Diah. “Sejak kejadian pulang bawa buah alpukat itu, si Albern banyak berubah. Dia jadi lebih ceria, rajin ibadah, dan sering ngobrol sama Tante soal relationship. Tante sempat berpikir, apa mungkin si Albern kesambet jin penunggu pohon alpukat?
“Awalnya, dia cerita soal temannya yang lagi naksir seorang perempuan dan curhat sama dia, terus dia ceritain lagi sama Tante, minta pendapat Tante. Tante bilang, ya tinggal terus terang aja, apa susahnya. Tapi si Albern bilang, temannya itu naksir perempuan yang sudah menikah. Waduh, itu masalah serius. Bahaya kalau diteruskan. Tante menyarankan supaya temannya cari perempuan lain yang masih single.
“Setelah itu, si Albern nggak lagi cerita soal temannya. Sampai suatu hari, dia cerita lagi. Perempuan yang ditaksir temannya itu mengalami kehidupan rumah tangga yang sulit, suami dan mertuanya nggak mendukung kariernya dan selalu menyudutkannya. Lalu, Tante menyarankan supaya temannya nggak ikut campur urusan rumah tangga mereka. Tapi si Albern bilang, temannya itu ingin membantu si perempuan karena nggak tega melihat kariernya terhambat dan hidupnya nggak bahagia.
“Tante jadi ikutan bingung. Akhirnya, Tante bilang, temannya itu cukup membantu si perempuan dengan cara memberikan dukungan moral dan mendoakan yang terbaik untuknya. Serahkan segalanya pada Tuhan. Karena bagaimanapun, Tuhan yang lebih tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya.
“Lalu, si Albern datang lagi dengan membawa kabar bahwa ternyata suami perempuan itu berselingkuh dengan teman lama si perempuan, lalu si perempuan mengalami kecelakaan. Waduh, tragis benar ya, nasib perempuan itu. Kali ini, si Albern nggak minta saran apa-apa lagi soal apa yang harus dilakukan temannya, tapi meminta Tante ikut mendoakan yang terbaik untuk perempuan itu.
“Dari situ, Tante mulai curiga. Jangan-jangan, teman yang dimaksud si Albern selama ini bukan orang lain, tapi dirinya sendiri. Tante pun menginterogasinya, dan akhirnya dia mengakui semuanya.”
Penjelasan panjang lebar dari Tante Diah membuatku tak bisa berkata apa-apa pada saat itu.
“Tante tahu benar karakter anak-anak Tante,” lanjutnya. “Si Albern bukan tipe laki-laki yang sering gonta-ganti pacar. Dia bahkan baru pacaran saat kuliah, setelah kakaknya punya pacar yang baik dan bisa dipercaya. Sayangnya, perempuan itu minta putus saat mereka berhubungan jarak jauh. Perempuan itu melanjutkan S2 di Amerika.
“Si Albern punya pacar lagi saat mulai bekerja. Merasa yakin dengan perempuan itu, dia pun melamarnya. Sayangnya, perempuan itu mengkhianatinya. Tante yakin, dia merasa sangat terpukul dan mungkin agak trauma. Dia jadi pemurung, sering marah-marah, bahkan jarang pulang ke rumah. Sampai akhirnya, dia bertemu dengan seseorang yang bisa mengembalikan dirinya menjadi seperti sebelumnya. Albern yang baik, hangat, manis, dan ceria.
“Tante yakin, meskipun seandainya saat ini Dita masih bersama suami Dita, si Albern akan tetap menjadi sahabat yang baik dan tulus. Karena persahabatan kalian secara perlahan telah berhasil menyembuhkan luka hatinya. Seiring waktu, si Albern tumbuh menjadi sosok yang semakin dewasa, yang ikhlas menerima kenyataan sepahit apa pun.
“Buat Tante, yang terpenting sekarang luka hatinya sudah sembuh. Perkara siapa jodohnya nanti, Tante hanya bisa berharap dialah yang terbaik, yang bisa membuat anak Tante bahagia.”
Mata Tante Diah berkaca-kaca, sementara berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadaku. Aku pun memeluknya, dan tanpa sadar ikut menangis.
*
Setelah salat magrib berjamaah, kami makan malam bersama. Segalanya berjalan normal dan wajar, sampai tiba-tiba saja Albern bilang, “Om, Tante, saya mohon izin...”
“Izin ke mana?” tanya Mama.
“Oh, ke toilet?” tebak Papa. “Silakan.”
“Iya, jangan ditahan-tahan,” sambung Mama, “nanti jadi penyakit.”
Albern tersenyum, tetapi wajahnya terlihat tegang. “Maksud saya... saya mohon izin... untuk menjalin hubungan yang serius dengan Dita.”
Aku, Mama, dan Papa, kompak menatapnya.
“Mungkin ini terlalu cepat, tapi saya sudah memikirkannya dengan matang.” Albern menatapku, kemudian menatap kedua orangtuaku. “Saya sayang sama Dita. Lebih dari sahabat. Saya ingin hubungan kami bukan sekadar hubungan main-main, coba-coba, atau hubungan sesaat. Sekali lagi, saya mohon izin dari Om dan Tante untuk menjalin hubungan yang serius dengan Dita. Hubungan di antara dua orang dewasa yang mau sama-sama berjuang untuk mencapai kebahagiaan hidup berkeluarga.”
Tenggorokanku tersekat. Aku perlu air mineral untuk melancarkan pencernaanku.
“Maksud Nak Albern... Nak Albern minta izin untuk melamar anak kami?” tanya Papa.
“Betul,” jawab Albern dengan anggukan penuh keyakinan.
Papa dan Mama saling bertukar pandang, lalu mereka menatapku.
“Om sendiri sebetulnya cukup terkejut. Ini bukan sebuah permohonan yang bisa kami jawab secepat ini. Tapi, tentu saja Om sangat menghargai keberanian dan kesungguhan Nak Albern.”
“Saya mengerti, Om dan Tante perlu waktu untuk memikirkan dan mempertimbangkannya. Saya pun tidak mendesak Om dan Tante untuk segera menjawab permohonan saya tadi. Saya hanya berusaha untuk menyampaikan maksud baik saya. Dengan begitu, saya bisa menemani dan menjaga Dita dengan lebih baik dan bertanggung jawab. Sehingga Om dan Tante tidak perlu merasa cemas dan waswas.”
Papa mengangguk paham. “Sebelum Om menjawab, mari kita bertanya dulu pada Dita, apakah Dita bersedia?”
Aku masih perlu tambahan air mineral. Aku tak menyangka, prosesi penembakan yang dimaksud Albern akan seserius ini. Tidak hanya melibatkan kami berdua, tapi juga kedua orangtuaku. Satu-satunya amunisi yang dimiliki Albern telah ia letuskan dan berhasil membuatku setengah lumpuh.
“Aku....” Setelah meneguk segelas lagi air mineral, akhirnya aku bisa berbicara. “Aku... ya, aku bersedia. Tapi, Al, aku minta waktu supaya kita nggak terburu-buru. Bagaimanapun, kita masih harus saling mengenal karakter kita masing-masing lebih dalam lagi. Kita sama-sama pernah mengalami kegagalan, dan kita pasti nggak mau hal itu terulang lagi.”
“Iya, Dit. Aku nggak ngajakin kamu nikah sekarang juga. Aku cuma ngasih tanda untuk kamu dan orangtua kamu, bahwa aku mau menjalin hubungan yang serius sama kamu. Oke, sekarang kita pendekatan dulu, saling mengenal karakter kita masing-masing. Dan aku bakalan tunggu kamu setahun, dua tahun, atau berapa tahun pun, sampai kamu benar-benar siap menjadi istriku.”
Albern kembali beralih pada kedua orangtuaku. “Om dan Tante juga boleh menjawab permohonan izin saya kapan saja, saat Om dan Tante sudah yakin.”
Papa tersenyum seraya mengangguk-angguk. Kali ini, aku tak bisa memahami makna anggukannya. “Kalau sudah begini, Om dan Tante menyerahkan sepenuhnya pada Dita. Karena yang mau menjalaninya kan, bukan kami, tapi kalian berdua.”
“Maksud Om... Om dan Tante bersedia memberi saya izin untuk menjalin hubungan serius dengan Dita?”
“Ya, tentu. Dengan syarat, Nak Albern bisa membahagiakan Dita dan tidak akan pernah menyakitinya.”
“Pasti, Om. Saya akan menjaga Dita sebaik-baiknya, mencintai dan menyayanginya dengan sepenuh hati, membahagiakannya sepenuh kesanggupan saya, dan tidak akan pernah menyakitinya seujung kuku pun.”
Papa dan Mama tersenyum, sementara aku tenggelam dalam perasaan yang sulit kudefinisikan. Mungkin ini yang namanya bahagia. Wajah Albern pun terlihat sepuluh kali lipat lebih tampan dari biasanya.
*
Hari-hariku terasa lebih manis dan indah sejak Albern maju selangkah lebih dekat. Selama ini, aku selalu membayangkan dan mengidamkan sosok kesatria yang sanggup melakukan hal yang luar biasa, semisal mempertaruhkan hidupnya dengan melawan para monster yang berusaha memakanku. Namun ternyata, aku dipertemukan dengan sesosok pria yang sedang terluka dan diam-diam memendam rasa. Seseorang yang tidak sempurna tetapi selalu ada untukku. Seseorang yang melakukan hal-hal sederhana tetapi sangat berarti untuk hidupku.
“Nggak kerasa ya, kita udah pacaran selama sebulan,” ungkap Albern, tak lama setelah kami tiba di sebuah kafe.
“Emang kapan kamu nembak aku?”
“Tepat sebulan yang lalu, di rumah kamu, di depan kedua orangtuamu.”
“Kamu pasti udah nyiapin teks dan ngapalin abis-abisan supaya bisa lancar nembak aku seserius itu!”
“Enak aja! Itu murni isi hatiku yang sebenarnya, tanpa rekayasa, tanpa setingan, tanpa gimmick.”
“Demi apa?”
“Demi... cintaku padamu.”
“Ih, jijik!”
“Tapi kamu happy, kan?!”
“Enggak, ah. Biasa aja. Aku bakalan happy kalau kamu mau melakukan sesuatu.”
“Apa?”
“Tunggu sebentar.” Aku bangkit, lalu berjalan menuju barista untuk memesan sesuatu. Beberapa saat kemudian, aku kembali ke meja kami di mana Albern sedang duduk dengan wajah bingung. “Ta daaa!”
Albern menatapku, lalu menatap segelas jus alpukat di tanganku. “Jangan bercanda deh, Dit.” Kedua tangannya spontan menutup hidung dan mulutnya.
“Buktiin, kalau kamu sayang sama aku, kamu harus minum jus ini!”
Albern menggeleng-geleng. “Aku mending berantem ngelawan para monster yang berusaha memakan kamu, daripada harus minum jus alpukat yang kayak eek bayi itu!”
“Ayolah, pliiis. Sekali ini aja. Ini enak, kok.”
“Enggak!”
“Katanya sayang, katanya cinta. Masa ngelakuin hal kecil kayak gini aja nggak mau?” Aku memasang tampang serius.
“Oke, fine!” Wajah Albern terlihat pucat dan enggan saat memegang segelas jus alpukat itu. Tangannya bahkan bergetar saat mengangkat gelas itu dan mendekatkannya ke mulut.
Sebelum Albern benar-benar meminumnya, aku menahan tangannya. Meletakkan kembali gelas itu di meja, aku kemudian mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan mengecup bibirnya. Albern membalas kecupanku. Selama beberapa saat kami berciuman, tak memedulikan orang-orang di dalam kafe.
T A M A T
*
Terima kasih sudah membaca dan menemaniku menulis draf 1 #CintaAkhirPekan2 selama kurang lebih 34 hari ini. Sampai berjumpa di cerita-ceritaku selanjutnya. Jangan bosen, yaaa!
Salam,
#DadanErlangga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro