Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 29

Chapter 29



“Mbak Dita,” panggil seorang wanita di bagian front office setibanya aku di apartemen. “Ada kiriman paket.”

Aku menghampirinya dan menerima selembar amplop berwarna cokelat. Nama Albern di bagian belakang amplop membuatku tak sabar untuk segera membukanya saat aku berada di dalam elevator.

Sebuah kartu undangan pernikahan dengan motif elegan bernuansa emas yang kutemukan di dalam amplop itu membuat tanganku bergetar. Dua bulan lamanya aku dan Albern tak saling bertemu dan bertukar kabar, lalu tiba-tiba saja ia mengirimkan benda ini.

Jantungku serasa diremas dan dadaku ditekan hingga sesak napas. Bumi seakan runtuh saat kulihat nama perempuan yang bersanding dengannya dalam kartu undangan itu.

Albern & Yola.

What the f–

Tiba-tiba kudengar suara ledakan yang mengejutkan. Dunia pasti tak setuju dan marah besar dengan semua ini.

Aku terjaga dari tidurku dan mimpi buruk itu. Terima kasih, kembang api. Aku pun menghela napas lega.


*

Orang-orang mengunggah foto atau video bertema tahun baru di media sosial dengan caption berisi daftar resolusi. Mungkin hanya aku satu-satunya manusia di muka bumi yang tidak melakukannya. Bahkan semalam, aku menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton film di Netflix sampai tertidur dan bermimpi buruk, lalu terbangun oleh suara kembang api dan gegap gempita acara tahun baru di luar sana.

Aku lantas bertanya pada diriku sendiri, apa resolusiku untuk tahun ini? Bekerja di stasiun radio di Jakarta? Lulus casting dan menjadi bintang film dari rumah produksi potensial? Menjalankan bisnis kuliner?

Menik—ah... sudahlah.

Seperti yang sudah-sudah, resolusi sebatas judul. Pada akhirnya, kita hanya menjalankan hidup seperti seharusnya.

Dua bulan berlalu setelah terakhir kali Albern meninggalkan apartemenku malam itu. Tak ada lagi seseorang yang datang membawakanku makanan, kecuali kurir pengiriman makanan. Tak ada lagi Albern yang muncul lewat panggilan telepon atau chat untuk menanyakan kabarku dan mendengar curhatku. Tak ada lagi keberanaianku untuk menemui Albern di kantornya seperti dulu. Tak ada lagi alasan bagiku untuk bertemu Albern, terutama sejak aku bergabung dengan LIT Professional Endorse Service atas rekomendasi Marlyn.

Hari-hariku kembali diisi dengan agenda pemotretan, tetapi tidak semelelahkan saat melakukan pemotretan untuk iklan berskala besar. Aku masih punya banyak sisa waktu untuk beristirahat dan melakukan aktivitas lain.

Dua bulan itu terasa lebih lama dari yang sebenarnya. Lebih dari cukup bagiku untuk introspeksi diri dan merenungi semua hal yang telah terjadi. Sampai di satu titik, aku merasa hidupku begitu sepi.

“Lo masih nggak mau ngehubungin Albern duluan?” tanya Marlyn suatu hari. “Jangan lagi lo bilang kalau elo nggak tahu nomor hape dia, dan lo nggak mau berusaha menghubungi dia lewat akun medsosnya!”

“Gue takut... dia nggak mau jawab telepon gue. Gue takut dia nggak mau lagi ketemu sama gue. Jadi, yah... lebih baik kayak gini aja.”

“Lebih baik dari Hongkong?”

“Please ya, Mbak. Lo jangan coba-coba ngehubungin Albern tanpa sepengetahuan gue.”

“Iya, iya. Tenang aja, gue nggak bakal ikut campur, kok. Gue cuma bisa bantu doa. Kalau emang dia jodoh lo, semoga didekatkan dan dimudahkan. Kalau bukan, ya semoga dijauhkan, dan segera dipertemukan dengan jodoh lo yang sebenarnya.”

Aku tak mau berharap lebih soal jodoh. Selama ini, aku terlalu percaya diri dan optimis, sampai-sampai aku terburu-buru melangkah ke hubungan yang lebih jauh saat bertemu dengan Rizal. Saat ini, aku hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan Albern. Sebagai teman.

Hari pertama di tahun baru kuawali dengan lari pagi di taman sekitar apartemen. Mandi. Sarapan. Menonton TV. Tidur siang. Sore harinya, aku pergi berbelanja ke supermarket.

Aku berjalan menuju bagian buah-buahan, dan berhenti di depan display alpukat. Tampak seorang pria sedang memilih-milih alpukat. Deja vu. Jantungku mendadak berdegup cepat. Serta-merta aku memanggilnya, “Albern?”

Pria itu menoleh dan menatapku dengan aneh.

“Ups... sori. Saya pikir, kamu teman saya.”

Si pria-yang-dari-belakang-mirip-Albern itu tersenyum maklum, lalu melanjutkan aktivitasnya. Sedangkan aku mundur dan pergi ke tempat lain dengan rasa malu.

Kenapa semakin berusaha melupakan seseorang, kita justru semakin sering mengingatnya, dan berhalusinasi sosok itu ada di depan mata?

Dan kenapa di saat persahabatan mulai tumbuh dan berkembang menjadi perasaan yang lebih dalam, kita justru dilanda ketakutan, dan seakan-akan semua itu adalah sebuah kesalahan?


Sekembalinya aku ke apartemen, pihak concierge memberi tahu bahwa aku mendapat kiriman paket dari seseorang.

Tiba-tiba aku dilanda deja vu.

Apa mungkin sekarang aku punya kemampuan penglihatan yang mengerikan seperti yang dialami karakter utama dalam film Final Destination?

“Paket apa, Mbak?” Aku bertanya dengan enggan. Awas saja kalau ternyata itu amplop berisi kartu undangan!

“Buket bunga,” jawab wanita itu.

Aku menghela napas lega. Selega-leganya.

Kuterima buket mawar itu. Siapa pun pemiliknya, aku tak peduli....

‘New day, new year, new beginning.
Old friends, old times, old relations.
Happy New Year, Dita.

Love,
Albern’

Sekali lagi aku membaca tulisan di kartu ucapan yang tersemat pada buket itu. Berkali-kali meyakinkan diri bahwa nama yang tertera di sana memang benar-benar Albern.

Selama beberapa detik aku terdiam. Berusaha mencerna perasaan apa yang bersemayam di dalam dadaku.

Hangat.

Bahagia.

*

“Thanks ya, bunganya.” Esok harinya, aku menemui Albern di kantornya, setelah semalaman berusaha mengumpulkan keberanian dan kekuatan.

“Bunga?” Albern tampak terkejut sekaligus bingung. “Bunga apa?”

“Bunga dan kartu tahun baru yang kamu kirim....”

Aku dan Albern saling berpandangan, lalu kami sama-sama menyebut nama Prisca. Ya, siapa lagi kalau bukan anak jail itu yang bisa melakukan semua ini?!

Karena sudah telanjur berada di sana, aku pun tak mungkin tiba-tiba pergi begitu saja. Sudah kadung malu. Telanjur basah ya sudah mari kita berenang saja.

“Albern....”

“Ya?”

“Aku... minta maaf soal kejadian malam itu. Aku nggak tahu apa yang ada di pikiranku sampai aku harus ngomong kayak gitu. Aku nggak bermaksud... entahlah....”

“Menurutku, nggak ada kata-kata yang salah, Dita. Dan nggak perlu ada permintaan maaf. Bagimana pun, itu hak kamu untuk mengatakannya. Setiap orang punya hak untuk merasa nyaman atau terganggu atas sikap orang lain terhadap dirinya. Aku ngerti, kamu ngerasa risi sama aku sampai-sampai kamu harus pergi ke Bandung untuk menghindariku.”

“Enggak, Al. Bukan kayak gitu.”

“Terus?”

Aku tak berani membalas tatapan serius Albern. Jantungku berdebar-debar kencang dan aku berusaha setengah mati untuk tidak terlihat gugup. “Saat itu, aku bener-bener bingung. Satu-satunya hal yang paling mungkin untuk kulakukan hanya menghindar. Aku perlu waktu untuk sendirian dan memikirkan semuanya dengan tenang.”

Albern terdiam, berusaha mencerna kata-kataku.

“Selama dua bulan ini, aku berpikir dan merenung. Ternyata, ada banyak hal yang kulewatkan. Ada sesuatu yang datang tanpa kusadari. Dan ada ketidakrelaan saat malam itu... kamu pergi.”

“Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Dit.”

“Aku pun pada awalnya nggak ngerti, Al. Sampai malam itu, setelah kamu pergi, aku ngerasa hampa dan sepi. Aku ngerasa baru aja membodohi dan membohongi diriku sendiri. Sebenernya, aku nggak ingin kamu pergi. Aku nggak mau kamu menghilang dan berhenti menghubungiku.”

“Lalu kenapa kamu bilang seakan-akan aku mengganggu hidupmu, dan lebih baik kita berhenti untuk saling menghubungi?”

“Aku takut, Al.”

“Takut apa?”

“Aku takut jatuh cinta sama kamu. Aku takut saat aku jatuh cinta sama kamu, aku langsung berpikir kalau kamu orang yang tepat. Aku takut kenangan dan pengalaman buruk itu terulang lagi.”

Albern tampak terkejut mendengar pengakuanku. Perlu waktu beberapa saat baginya untuk kemudian bertanya, “Sekarang bagaimana? Kamu masih takut?”

Aku menunduk, lalu mengangguk.

“Dit...” Albern meraih kedua sisi bahuku dengan lembut dan terasa menenangkan. “Sekarang aku paham apa yang sebenarnya mengganggu pikiran dan hatimu. Lihat aku, Dit.”

Aku berusaha mengangkat wajahku untuk menatapnya.

“Dan tolong dengarkan aku baik-baik.” Sesaat Albern menarik napas setelah melepaskan tangannya dari bahuku. “Sejujurnya, aku suka sama kamu sejak dulu. Sejak pertama kali kita bertemu di supermarket sore itu. Tapi aku nggak serta-merta meyakininya sebagai sebuah perasaan yang kuat dan utuh, terlebih lagi karena kamu sudah menikah. Dan demi Tuhan, aku nggak pernah berharap yang terburuk dari pernikahanmu. Aku tahu bagaimana sakitnya berpisah dengan pasangan kita karena hal apa pun, apalagi karena perselingkuhan. Dan aku benar-benar tulus berteman sama kamu. Aku sayang sama kamu, selayaknya sahabat.”

Kini giliranku yang terkejut. Speechless. Ternyata penerawangan Marlyn hampir mendekati kebenaran.

“Setelah kamu bercerai,” lanjut Albern, “aku masih tetap memegang spirit persahabatan kita. Bagaimana pun, yang terpenting bagiku adalah bisa membantumu dan melihatmu bahagia. Karena saat kamu bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Begitu juga sebaliknya. Aku nggak mau melihat kamu sedih.”

Dadaku berdesir dan terasa hangat saat mendengar pengakuannya.

“Saat aku tahu kamu menghindariku karena merasa nggak nyaman dengan sikapku, aku sadar siapa diriku dan apa posisiku. Aku nggak mau memaksakan diri. Aku pun nggak mau memaksa kamu untuk tetap berada dalam jangkauanku. Jadi, satu-satunya cara terbaik yang bisa kulakukan adalah menuruti permintaanmu. Berhenti menghubungimu. Berhenti menemuimu. Dan itulah yang kulakukan selama dua bulan ini.”

“Maafin aku, Al. Aku memang egois. Selama ini aku hanya memikirkan perasaanku sendiri tanpa pernah sedikit pun berusaha memahami perasaan kamu. Yang kupikirkan hanya soal ketakutan-ketakutanku.”

“Bisa kupahami. Ini bukan hal yang mudah buat kamu, Dit.”

“Tapi, ini jadi sesuatu yang nggak adil juga buat kamu, Al.”

“Aku percaya, cinta yang benar itu perlu cukup waktu. Enggak hadir tiba-tiba atau terburu-buru.” Albern menatapku lebih dalam. “Dulu, aku suka sama kamu, lalu aku menyimpan perasaan itu di tempat yang seharusnya, karena situasinya nggak tepat.

“Aku nggak pernah membuang atau menghilangkannya. Aku hanya menukarnya dengan persahabatan yang tulus. Sampai di satu momen, ketika situasinya benar-benar tepat, aku akan mengambil kembali perasaan itu dan menunjukkannya kepadamu dengan caraku sendiri.”

“Kenapa aku? Kenapa bukan perempuan lain? Kamu bisa menemukan dan mendapatkan perempuan mana pun dengan segala bentuk kebaikan dan kelebihanmu ini. Kamu nggak harus menunggu sesabar dan selama ini untuk mendapatkan perempuan yang kamu inginkan.”

“Cinta memang perlu waktu, tapi terkadang dia nggak perlu alasan. Klise, sih. Tapi itulah yang terjadi dalam hidupku sejak kita bertemu. Aku nggak perlu perempuan lain. Hanya kamu yang bisa bikin aku bahagia.”

“Bagaimana kalau kehidupan pernikahanku dengan Rizal aman-aman saja dan aku nggak pernah berpisah dengannya? Apa kamu masih akan tetap menyimpan rasa suka itu? Apa kamu akan menyesali penantian panjangmu yang berakhir sia-sia?”

Sesaat Albern terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Itu namanya takdir. Aku bukan tipe orang yang akan menyesali dan menangisi takdirku. Aku hanya akan tetap menjalani kehidupan ini dengan hati dan pikiran yang positif. Saat aku sudah berusaha sebaik yang kubisa tetapi ternyata takdir berkehendak beda, berarti Tuhan punya rencana lain yang jauh lebih baik dan lebih indah untukku.”

Aku tersenyum dan merasa lega. “Kamu memang orang paling positif yang pernah kutemui di dunia ini.”

“Itulah alasan kenapa aku masih tetap hidup setelah pertunanganku gagal karena pasanganku berselingkuh, lalu aku jatuh cinta dan patah hati di saat bersamaan karena perempuan itu ternyata istri orang.”

Serta-merta aku tertawa. “Dasar, Avocado Boy!”

“Hei, kamu masih inget aja. Dasar, Avocado Girl!”

Pembicaraan kami berakhir karena perutku lapar. Kami makan siang di warteg dekat kantor Albern. Saat itu aku baru tahu kalau Albern tidak suka buah alpukat.

“Aku sukanya Avocado Girl,” ujarnya sambil tertawa.

“Nggak lucu!”

“Nggak apa-apa nggak lucu, asal aku tetap bisa bikin kamu bahagia.”

Seumur hidup, aku baru pernah makan di warteg yang rasanya seenak ini. Mungkin karena aku makan bersama orang yang tepat. Seseorang yang selama ini aku cari dalam hidupku.

“Albern....”

“Ya?”

“Kamu... nggak mau nembak aku?”

“Hah? Di sini banget?”

Aku mengangguk.

Albern menoleh kiri-kanan, lalu menatapku dengan rikuh.



(Bersambung)


HOREEE TINGGAL SATU CHAPTER LAGI! TUNGGUIN YA ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro