Chapter 22
Chapter 22
“Terima kasih,” ucap Rizal, seusai aku menyuapinya nasi dan sup ayam asparagus yang kubuat. Asam lambungnya kambuh ditambah demam tinggi membuatnya tak berdaya pagi ini. Kemarin Rizal lembur di ruang kerjanya, berusaha menyempurnakan kode program untuk fitur terbaru dalam aplikasi e-commerce yang akan segera diluncurkan perusahaannya.
Aku tidak menjawab. Bahkan, selama menyuapinya, aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Setelah menaruh peralatan makan di bak cuci, aku mencari obat maag dan penurun demam di kotak P3K.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Rizal, saat aku memberinya obat.
Aku mengangguk. Aku bahkan sudah mandi dan bersiap pergi menemui pengacara untuk mengurus perceraian kami. “Minum obat maagnya dulu. Selang setengah jam kemudian, baru minum penurun demam.”
“Kamu mau ke mana?” Rizal bertanya setelah mengucapkan terima kasih.
“Bukan urusanmu.”
“Maaf.”
Kondisi Rizal kiranya sudah cukup membaik, jadi aku tak punya beban kewajiban lagi jika harus pergi.
Marlyn merekomendasikan seorang pengacara yang pernah mengurus perceraian temannya. Ia bilang, lewat pengacara bernama Yosef Harahap itu, proses perceraian temannya berjalan mulus dan lancar. Kantornya berada di kawasan Kemang. Aku pergi naik taksi, masih belum berani menggunakan mobil pribadi.
“Suami Anda berselingkuh?” tanya pria berambut ikal dan berwajah tegas itu setelah membaca formulir yang kuisi.
“Ya. Dengan mantan rekan kerja saya dulu.”
“Dari mana dan bagaimana Anda mengetahui perselingkuhannya?”
“Dari panggilan telepon, chat, lalu suami saya mengakuinya, begitu pun dengan selingkuhannya.”
“Bagaimana frekuensi perselingkuhannya? Sering? Jarang?”
“Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, mereka berselingkuh. Mau sekali, dua kali, sepuluh kali, seratus kali, perselingkuhan tidak bisa ditoleransi!”
“Hm....” Ia mengangguk-angguk. “Menurut Anda, apa penyebab suami Anda berselingkuh?”
“Ya karena dia tidak punya iman dan tidak setia.”
“Bagaimana bisa suami Anda bertemu dengan mantan rekan kerja Anda sampai akhirnya berselingkuh?”
“Dia menghubungi wanita itu awalnya lewat Instagram.”
“Setelah ketahuan, apakah mereka masih berhubungan?”
“Saya tidak tahu, dan saya tidak peduli. Sehari setelah perselingkuhan mereka terungkap, saya mengalami kecelakaan dan menjalani masa pemulihan selama hampir empat bulan.”
“Oh, saya turut menyesal mendengarnya.” Raut wajahnya sesaat berubah, simpatik. “Selama hampir empat bulan itu, bagaimana sikap suami Anda? Apakah Anda melihat atau merasakan gelagat yang berbeda?”
“Saya fokus pada kesembuhan saya, Pak. Jadi, nggak sempat memikirkan apakah dia masih berselingkuh atau nggak.”
“Dia merawat Anda selama masa pemulihan itu?”
“Ibu saya lebih banyak berperan daripada dia.”
“Tapi, dia masih ambil bagian dalam proses itu?”
“Ya. Mungkin dia merasa bersalah, lalu dia merawat saya untuk menebusnya.”
“Hm....” Ia kembali mengangguk-angguk. “Setelah Anda sembuh dan pulih, Anda baru sempat mengajukan gugatan cerai?”
Aku mengangguk. “Selain nggak mau membuat ibu saya bertambah sedih pada saat itu, saya juga perlu waktu untuk memikirkan keputusan besar ini.”
“Sekarang, Anda sudah yakin keputusan ini benar-benar yang terakhir?”
“Sangat yakin.”
“Berarti, Anda benar-benar sudah tidak mencintai suami Anda lagi?”
Kurasa, Marlyn lupa memberi tahuku soal sesi wawancara yang menyebalkan ini.
*
Aku pulang dengan perasaan lega. Semua dokumen dari pihak-pihak berwenang akan diurus oleh pengacaraku. Aku hanya tinggal memfoto kopi dokumen-dokumen yang kumiliki, lalu mempersiapkan diri memenuhi panggilan pengadilan. Setelah itu, aku akan mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan rumah tanggaku yang kacau ini dan suamiku yang berengsek itu.
Setiba di rumah, aku disambut ibu mertua—maksudku calon mantan ibu mertuaku di ruang depan. “Dari mana saja kamu? Suami sedang sakit, malah kelayapan.”
“Ada keperluan, Mam.” Aku masih berusaha bersikap hormat dan sopan.
“Apa? Foto-foto seksi lagi? Kirain setelah kena azab kemarin, kamu bakalan tobat. Ckckck.”
Azab, katanya? Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosiku. Selama masa pemulihan, aku jarang melihat wanita itu. Sekalipun ia datang menjenguk, sikapnya sedikit lebih baik. Mungkin karena ia tak mau menunjukkan sifat aslinya di depan Mama.
“Eh, Kak Dita,” sapa Elsa yang muncul dari ruang tengah. Ia memelukku. Perutnya yang sudah semakin membesar itu membatasi pelukan di antara kami. Usia kandungannya sudah menginjak bulan keenam. “Kak Dita sehat? Syukurlah, Kakak udah bisa jalan-jalan sekarang. Nanti mau ya, temenin aku ke Kembang Setaman buat ngebahas acara Tujuh Bulanan?”
Aku mengangguk, menyanggupi. Meskipun mungkin pada saat itu statusku sudah menjadi mantan kakak ipar.
Kami beranjak ke ruang tengah. Rizal duduk di sofa sambil menonton TV, masih mengenakan pakaian semalam dan berpenampilan layaknya orang sakit.
“Sudah pulang, Sayang?” sapa Rizal.
“Ya,” jawabku singkat, lalu masuk kamar untuk menyimpan tas.
“Rizal, kamu kok diam saja diperlakukan seperti itu?” Wanita itu sepertinya sengaja meninggikan volume suaranya agar aku bisa mendengarnya dari dalam kamar. “Bisa makin kurang ajar, dia!”
“Diperlakukan seperti apa, Mam?” tanya Rizal. “Dita juga nggak bersikap kurang ajar.”
“Kamu itu ya, selalu saja membela istrimu!”
“Bukannya saya membela Dita, tapi memang kenyataannya Mami yang selalu menuduh Dita yang tidak-tidak.”
“Siapa yang menuduh? Jelas-jelas tadi dia mengabaikan kamu. Sudah pergi kelayapan nggak jelas sementara suami di rumah sedang sakit, pulang-pulang malah judes kayak gitu. Istri macam apa?!”
“Mam, cukup!” tegas Rizal.
“Mami bersyukur banget punya menantu kayak Elsa. Elsa benar-benar penyelamat martabat keluarga kita. Cantik, baik, patuh, dan nggak pernah bikin ulah. Nggak heran kalau Tuhan sayang sama Elsa. Nggak lama setelah menikah, bisnis Hilbram melejit pesat, dan mereka pun lekas dikaruniai anak. Sementara kamu dan Dita... nggak bisa diharapkan. Apalagi setelah Dita mengalami kecelakaan dan mengalami gangguan fisik....”
“Cukup, Mam! Cukup!” Kali ini Rizal berteriak. “Mami nggak berhak menilai dan mengatakan hal-hal yang buruk tentang Dita!”
“Mami cuma bicara fakta.”
“Apa salah Dita sampai-sampai Mami selalu memperlakukannya seperti ini?”
“Sejak awal, Mami nggak pernah merestui pernikahan kalian. Pada akhirnya, Mami capek dan nyerah karena kamu terus memaksa. Ternyata benar, setelah kalian menikah, perempuan itu nggak bisa menjadi istri dan menantu yang baik.”
“Mami nggak tahu dan kenal siapa Dita.” Rizal berusaha membelaku. “Dita itu istri yang baik, nggak seburuk yang Mama tuduhkan! Di tengah kesibukannya bekerja, Dita masih bisa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Penilaian dan penghakiman Mami sudah menutup mata dan hati nurani Mami untuk melihat siapa Dita yang sebenarnya. Mami benar-benar picik!”
“Lihat apa yang sudah dia lakukan sampai-sampai membuat kamu tega membentak-bentak Mami seperti ini. Dia membawa pengaruh buruk untuk kamu dan keluarga kita. Elsa, kamu jangan terlalu dekat dengan si Dita!”
Karena sudah tak tahan, aku pun keluar dari kamar.
“Mami nggak perlu khawatir dengan pengaruh buruk yang kubawa,” ujarku, dengan nada suara setegar mungkin. “Karena sebentar lagi, aku akan pergi dari rumah ini.”
“Maksud kamu?”
“Aku dan Mas Rizal akan berpisah.”
Sasmi Subrata dan Elsa menatapku kemudian menatap Rizal dengan ekspresi terkejut. “Kalian... akan bercerai?” tanya wanita itu. “Ah, Rizal, kenapa kamu tidak bilang dari tadi kalau kamu akan menceraikan perempuan ini? Akhirnya, kamu sadar juga.”
“Saya tidak mau bercerai dengan Dita.” Rizal menggeleng. “Ini keingin Dita. Dialalh yang menggugat cerai.”
Sasmi Subrata menatapku dengan bengis. “Dasar perempuan tidak tahu diri!”
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro