Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jejak Sang Mantan


Happy reading

❤❤❤

Ghea mengepak barang dagangan untuk dikirimkan pada customer. Samudera mengamatinya diam-diam. Istrinya bukan termasuk kaum rebahan-rebahan amat, ada sedikit pergerakan dan terkadang lumayan banyak. Tapi pergerakan terbanyak memang berasal dari tarian jemari di atas layar. Ya maklum, owner online shop.

Samudera kembali menyaksikan kesibukan Sang Istri. Jari-jarinya terampil membungkus paketan. Jika sedang serius begini, sebenarnya Ghea terlihat lebih manis. Tanpa harus ngegas, sewot, dan cemberut, Sang Istri tampak penuh pesona. Namun, Samudera juga paham, butuh waktu untuk keduanya saling mengenal. Terkadang semua terasa asing. Terkadang pula ia bingung memulai percakapan. Naluri lelakinya memikirkan satu hal. Seandainya Ghea mau diajak bermesraan, mungkin perlahan kebekuan yang kerap terbangun itu akan mencair. Samudera segera menepis pemikiran-pemikiran yang akan memacu otaknya untuk berimajinasi yang lebih.

"Selesai ... tinggal nunggu kurir datang." Ghea tersenyum senang. Kedua tangannya memegangi perutnya, "kok laper, ya?"

Ghea menoleh ke kanan. Ia kaget melihat Samudera berdiri di dekat meja dan bersedekap. Mata elangnya kadang membuat Ghea salah tingkah. Sebenarnya ia masih merasa asing di rumah Samudera yang sekarang menjadi tempat tinggalnya juga. Ia juga belum mengenal lebih dekat sosok suaminya. Terkadang ada suara tertahan dan tak jadi ia lontarkan karena ia merasa Samudera mungkin tak akan senang mendengarnya.

"Kalau laper ya makan," ujar Samudera santai.

"Apa kamu nyediain cemilan-cemilan?" tanya Ghea lagi. Dia belum sempat membongkar isi lemari dapur atau kulkas. Ia penasaran juga selama Samudera tinggal sendiri, apakah ia menyimpan makanan-makanan yang layak dimakan?

"Ambil saja, kamu bisa nyari di kulkas atau lemari dapur." Ekspresi Samudera masih datar.

Ghea beranjak dan mulai mengeksplorasi isi dapur. Pertama ia membuka pintu kulkas. Ada buah dan beberapa botol yang perlu Ghea perhatikan lebih detail. Mayonaise, susu low fat, yoghurt plain, selain itu ada bermacam sayuran, telur, dan di bagian freezer hanya ada daging ayam tanpa ada ice cream kesukaannya.

Di lemari dapur, Ghea tak menemukan cemilan yang ia inginkan. Yang ada hanya granola, oatmeal, almond, tak ada keripik kentang, keripik pisang, keripik singkong, choco stick, coklat, biskuit, atau kue. Ghea juga memerhatikan sekeliling. Dapur tampak begitu rapi dan segala sudut ruangan juga bersih. Sedikit-sedikit ia bisa menilai seperti apa kepribadian Sang Suami. Rapi, bersih, pola makan sehat, dan mungkin suka mengatur.

"Tidak ada keripik pisang, keripik kentang, kue, atau coklat?" Ghea mendekat ke arah Samudera yang tengah duduk di ruang tengah.

Untuk sesaat Samudera membisu. Tatapan yang terlihat gahar membuat Ghea mati kutu. Ghea duduk santai agak jauh dari Samudera. Ia seolah bisa menebak jika Sang Suami kembali akan mengomentari hobi ngemilnya.

"Masih pingin diet, nggak? Kalau udah nggak mau diet lagi ya silakan cari keripik. Kalau masih mau ngemil makanan yang ada di rumah ini, aku bisa siapkan. Cemilan yang lebih sehat."

Pertanyaan Samudera begitu mengena. Tentu Ghea masih ingin menurunkan berat badan. Namun, menjauhi ngemil itu benar-benar menyiksanya.

Keduanya saling menatap sejenak. Samudera mengingatkan Ghea akan sosok dosen pembimbingnya semasa skripsi dulu. Tegas, terkenal killer, sekali menatap seperti ingin menerkam, tanpa bicara pun sudah terasa aura gaharnya.

"Kalau sedikit tidak apa-apa, 'kan?" Ghea memicingkan matanya.

"Keripik kentang 100 gram itu 547 kalori, sedangkan nasi putih 130 kalori per 100 gram. Kamu bisa milih, mau makan gurih-gurih, nggak kenyang, kalori besar, atau makan yang mengenyangkan, tapi kalori terkontrol." Samudera masih menatap Ghea dengan mimik tanpa ekspresi. Namun semua itu terasa seram bagi Ghea.

"Ya, sudah ngemil yang sehat saja." Ghea sedikit kesal, tapi ia tak mau cari perkara dengan Samudera.

Samudera tersenyum merayakan kemenangan. Ia berjalan menuju dapur. Dalam hati, Ghea jadi tak enak sendiri. Ia terbiasa melihat Sang Ibu melayani ayahnya, memasak, mengambilkan makanan, dan menyeterika pakaian ayahnya. Kini, suaminya yang justru menyiapkan makanan untuknya. Ghea semakin menyadari jika Samudera memperlakukannya dengan baik dan sejauh ini mampu menghadapi sikapnya yang sering keras kepala.

Beberapa menit kemudian Samudera membawa dua mangkok. Laki-laki itu membuatkan salad buah untuknya.

"Aku pakai mayonaise rendah kalori dan plain yoghurt, kalori lebih terkendali. Sehat juga, segar, banyak vitamin, kurang apa?" Samudera menyodorkan satu mangkok salad pada Ghea.

Wanita itu menerima begitu saja. "Terima kasih." Ghea langsung mencicipi salad yang tampak menggoda selera. Rasanya memang enak dan segar. Sedikit demi sedikit imajinasi akan makanan sehat yang tidak enak perlahan luntur.

Samudera tersenyum menatap Ghea lahap menghabiskan saladnya. Mereka kembali hening. Ghea membuka ponsel dan melihat online shop yang menawarkan diskon hingga 50 persen untuk baju-baju impor.

"Aduh, ini baju kok semuanya ukuran kecil. Masa XL aja lingkar dadanya 104, mana muat di aku? Kalau bikin baju ya yang niat, jangan setengah-setengah. Dikira semua cewek itu langsing apa? Kalau dihitung jumlah cewek yang semok itu lebih banyak dibanding yang langsing." Ghea mengerucutkan bibirnya. Dia sangat tertarik dengan model dress yang tampak cantik itu. Sayangnya, size tidak mendukung.

"Coba ya kalau aku langsing, nggak susah mau cari baju." Ghea kembali mengeluh. Matanya menurun pada perutnya yang tanpak berlipat di balik t-shirt yang ia kenakan.

"Tinggal nyari baju di toko lain yang jual baju big size, nggak usah dibikin ribet."

Tanggapan dari Samudera membuat Ghea melirik pria itu sesaat. "Di mana?" tanya Ghea lantang.

"Banyak di online shop atau mau ke toko langsung juga hayuk. Daripada bosen di rumah terus, nanti malam kita jalan-jalan ke mall atau ke butik."

Ghea tersenyum cerah. Dia memang sangat bosan berada di rumah terus. Ingin rasanya keluar sejenak untuk menghirup oksigen.

"Boleh boleh, aku juga bosen di rumah."

******

Malam tiba dan Samudera tak lupa akan janjinya. Ia mengajak Ghea mengunjungi salah satu butik yang dikenal menjual baju-baju berkualitas dan banyak penggemar.

Ghea terpana melihat gaun-gaun cantik bertebaran. Entah kenapa ia ingin sekali membeli gaun. Selama ini dia selalu berpenampilan kasual dan jarang menggunakan pakaian perempuan karena jarang ada dress atau kemeja perempuan yang ia suka muat di badannya. Ia lebih sering menggunakan kaos oblong dan celana jeans.

Ghea memilih satu gaun. Di saat jemarinya memegang gaun berwarna ungu pastel itu, ia dikejutkan dengan seorang perempuan yang juga memegang gaun tersebut. Di sebelah perempuan itu berdiri seseorang yang pernah mengukir kenangan manis bersamanya. Seseorang yang juga menorehkan luka terdalam.  Luka yang masih basah. Luka yang belum sembuh dan entah sampai kapan kepedihan itu berakhir.

"Maaf, kamu mau beli gaun ini?" tanya perempuan bernama Shakila itu. Ia tersenyum tipis.

Ghea melirik Devan yang membisu. Pria itu bertingkah seolah tidak mengenalnya. Hal yang sangat menyakitkan adalah ketika kau merasa tidak bertambah baik, sedangkan mantan kekasihmu terlihat lebih tampan dan memesona. Ia kembali teringat akan berat badannya yang semakin bertambah, begitu jauh jika dibandingkan dengan Shakila.

"Ada apa, Ghea?" Samudera menghampiri istrinya sembari menoleh ke arah Devan dan tunangannya.

"Nggak, aku lagi lihat-lihat gaun ini." Ghea sedikit gelagapan.

"Gaun ini mau dibeli sama Mbak atau nggak, ya?" Shakila kembali memastikan. Ia juga sangat menginginkan gaun itu.

Ghea melirik Samudera. Jelas Shakila tidak mengenalnya. Ghea menduga Devan tak pernah menceritakan tentang dirinya pada Shakila.

"Kamu mau? Ambil saja," ujar Samudera dengan mengembangkan satu senyum.

"Kamu mau gaun ini 'kan Sayang? Ambil saja. Ukuran gaun ini kecil, pasti muat di badan kamu." Devan tersenyum manis seraya memandang Shakila lembut.

Ghea baru menyadari jika gaun yang mencuri hatinya ini berukuran S, tentu tidak akan muat di badannya. "Aku nggak beli gaun ini. Silakan kalau Mbak mau ambil." Ghea memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum meskipun suasana begitu kaku dan tak nyaman untuknya.

"Beneran, Mbak? Ya, sudah, gaun ini saya ambil, ya?" Shakila tersenyum ramah. Ia tak tahu jika gadis di hadapannya ini adalah mantan kekasih Devan.

"Iya nggak apa-apa. Benar kata pacarnya Mbak, gaun ini pasti muat di badan Mbak. Kalau di saya nggak akan muat." Ghea bicara dengan tenang. Entah harus bersyukur atau justru bertambah insecure ketika mengetahui bahwa tunangan Devan tak hanya cantik dan langsing. Ia juga ramah dan murah senyum.

"Baik, Mbak. Terima kasih, ya." Shakila masih sempat tersenyum sebelum berlalu meninggalkan Ghea yang diam-diam mengagumi Shakila yang tampak begitu sempurna.

Samudera memerhatikan raut wajah Ghea yang berubah mendung. Ghea tahu, tak seharusnya ia cemburu melihat keromantisan Devan dan tunangannya. Ia sudah menikah meski pernikahan yang terjadi semata untuk memenuhi permintaan orang tua.

"Mau cari baju yang lain?" tanya Samudera.

Ghea menggeleng pelan. "Aku ingin pulang," ucap Ghea lirih.

Samudera hanya mengangguk. Mood Ghea begitu cepat berubah. Waktu berangkat, wajah Ghea begitu sumringah. Namun, saat ini ia justru terlihat tidak bersemangat.

Sepanjang perjalanan, Ghea lebih banyak diam. Ia menatap luar jendela dengan perasaan tak menentu. Jejak-jejak kenangan silam saat masih bersama Devan kembali menghantui. Ia tak bisa berdusta jika masih ada cinta untuk Devan.

Tiba di rumah, Ghea dan Samudera membersihkan diri, berganti pakaian, lalu menonton televisi. Ghea belum merasa ngantuk. Rasanya ia ingin mencurahkan isi hatinya pada seseorang. Hanya ada Samudera yang duduk di sebelahnya.

"Kamu ingat 'kan sama cewek di butik dan pacarnya? Yang tadi beli gaun yang aku suka?"

Samudera mengangguk dan tak dapat menerka apa yang akan dikatakan Ghea terkait dengan wanita dan laki-laki yang membeli gaun di butik.

"Cowok itu mantan pacarku. Cewek itu adalah tunangannya. Tunangannya nggak kenal aku. Mungkin mantanku emang nggak pernah cerita pernah pacaran sama cewek gendut kayak aku." Ghea memandang lurus ke depan dengan kesedihan yang ia tahan.

Samudera cukup kaget mendengarnya. Pantas saja Ghea mendadak muram dan kurang bersemangat. Rupanya inilah alasannya.

"Devan berpura-pura nggak kenal aku. Mungkin malu ya kalau sampai tunangannya tahu kalau aku ini mantannya. Tunangannya cantik, ya? Langsing lagi. Dia bisa pakai baju apa aja yang dia mau. Nggak kayak aku yang sering banget nggak bisa dapetin baju yang aku mau karena nggak muat." Ghea melirik Samudera sejenak lalu kembali menatap lurus ke depan. Wajahnya lebih muram dan nuansa kegundahan seakan menyala dari kedua bola matanya yang meredup.

Samudera masih terpaku menunggu Ghea selesai bicara. Wanita itu kembali melirik Sang Suami.

"Kamu denger aku ngomong nggak, sih? Kok diem aja?" Ghea mulai kesal. Ia merasa seperti tengah bicara sendiri.

"Aku dengerin. Aku pikir kamu akan bicara lagi, makanya aku tunggu sampai selesai."

"Ya, kamu nanggepin apa kek, jangan diem aja." Ghea sedikit merajuk. Samudera semakin memahami karakter Ghea yang suka ngambek tak jelas.

"Aku harus nanggapin apa? Kamu juga nggak minta tanggapanku. Okay, sekarang kamu tanya ke aku tentang hal yang butuh tanggapanku."

"Tanggapan kamu tentang fakta kalau cowok itu adalah Devan, mantan pacarku atau tanggapan kamu tentang tunangannya, si Shakila model yang sedang naik daun. Menurut kamu apa yang membuat Devan suka sama dia? Apa karena Shakila cantik?" Ghea bicara tanpa jeda. Hatinya semakin bergemuruh dan dipenuhi rasa yang tak semakin tak jelas.

"Tanggapanku tentang cowok itu yang ternyata adalah mantan kamu itu jujur aku kaget. Karena seperti yang kamu bilang, Devan pura-pura tidak kenal kamu. Menurut aku, dia bukannya malu ngenalin kamu sebagai mantannya. Dia cuma ingin menjaga perasaan tunangannya. Terus tadi kamu tanya, kenapa Devan suka sama Shakila. Ya tanya dong sama Devan langsung. Mana aku tahu, emangnya aku cenayang yang bisa meraba-raba isi hati orang?"

"Nggak mungkin lah aku tanya ke Devan langsung. Kita sudah putus komunikasi. " Nada bicara Ghea sedikit kesal.

"Terus misal kamu udah tahu alasan Devan suka sama Shakila, kamu mau apa?"

Pertanyaan Samudera membungkam Ghea. Kini wanita itu bingung untuk menjawab.

"Kamu ingin tahu kelebihan Shakila? Kamu ingin menjadi seperti Shakila agar Devan balik sama kamu?" cecar Samudera. Kata-kata ini seakan menusuk tepat di dada Ghea.

"Bukan gitu. Tanpa ditanya kelebihan Shakila, semua orang tahu dia terlihat sempurna. Cantik, langsing, anggun, dan ramah. Cowok mana pun pasti suka lihat dia."

"Apa selalu soal fisik? Cowok menyukai cewek itu bukan karena fisik semata. Bisa jadi karena Devan merasa nyaman atau karena Shakila pengertian."

Ghea menatap Samudera tajam. "Intinya aku nggak bikin Devan nyaman? Aku nggak pengertian? Udah gendut, jelek, nyebelin, dan nggak pengertian. Pantes aja Devan mutusin."

"Aku nggak bilang kamu gendut, nyebelin, atau nggak pengertian. Sekarang aku tanya, apa pentingnya kamu tahu alasan Devan suka Shakila setelah hubungan kalian berakhir? Kenapa kamu membandingkan diri kamu dengan Shakila?"

Ghea tak tahu harus membalas apa. Yang jelas ia merasa tak berarti dan kecewa. Patah hati itu masih terasa sakitnya.

"Kita memang belum begitu mengenal, tapi kita sudah menikah. Aku mau ngibur kamu pun bingung karena alasan yang bikin kamu down dan sedih adalah mantan kamu. Satu-satunya cara biar mood kamu bagus lagi ya jangan bandingin kamu sama orang lain. Hargai diri kamu. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.  Jangan ungkit masa lalu. Kenapa kita tidak coba untuk saling mengenal?" Kata-kata Samudera meluncur tegas. Tatapannya begitu awas seakan ingin membuat Ghea terperangkap selamanya di matanya.

"Tidak semudah itu untuk move on. Kamu mana ngerti." Ghea membalas lirih dan bersedekap. Sementara hujan mengguyur tiba-tiba.

"Aku juga pernah patah hati. Cuma aku nggak mau berlarut-larut patah hati. Yang aku tangkap, kamu sama sekali nggak ada itikad untuk menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh."

"Dari awal aku udah bilang sama kamu. Aku menikah demi memenuhi keinginan orang tua. Kamu juga sama, 'kan? Kenapa nggak biarkan semua mengalir?" Ghea meninggikan suaranya.

Tiba-tiba halilintar menyambar, membuat kedua insan itu terkejut bukan main. Suaranya begitu keras dan seakan seisi ruangan bergetar.

"Ini teguran karena kamu bicara keras sama suami." Samudera melirik Ghea dengan wajah datarnya.

"Kamu yang mancing aku bicara keras." Ghea tak mau kalah.

"Ya, udah mending kita tidur aja. Aku mau ke kamar." Samudera hendak beranjak, tapi Ghea buru-buru mencegahnya.

Halilintar kembali menggelegar. Ghea mulai ketakutan.

"Jangan ke kamar! Kamu tidur di sofa saja. Aku tidur di sofa itu." Ghea menunjuk sofa  yang lain.

"Aku nggak mau tidur di sofa. Aku nggak bisa tidur di tempat sempit. Aku cuma bisa tidur di kamar. Jadi aku akan kembali ke kamar." Kini Samudera tahu jika Ghea takut akan petir. Ia pikir, ini kesempatan yang bagus untuk mengajak Ghea tidur di kamarnya.

"Aku takut tidur sendirian kalau ada petir. Jadi kamu temeni aku di sini." Sorot mata Ghea tampak memohon. Ia benar-benar takut untuk kembali ke kamarnya dan tidur sendiri.

"Aku tidak bisa. Aku cuma bisa tidur di kamar. Jadi terserah kamu, mau ikut aku tidur di kamar atau tidur di sini sambil dengerin suara halilintar." Samudera menyeringai. Dalam hati ia rayakan kemenangan dan berharap Ghea mau melepas egonya serta mau tidur bersamanya.

"Kamu nggak akan cari kesempatan, 'kan?" Ghea menyipitkan matanya.

"Cari kesempatan gimana? Aku nggak ngerti maksudnya." Samudera berlagak polos.

"Ah, kamu mah pura-pura polos. Aku akan tidur di kamarmu, tapi jangan macam-macam." Ghea mengancam seraya menempelkan kedua telapak tangannya di kedua telinganya saat halilintar kembali memecah kesunyian malam.

"Okay, aku janji." Samudera menahan diri untuk tidak merayakan euforianya. Ia berjalan lebih dulu dengan menaiki tangga menuju kamar, sedangkan Ghea mengikuti dari belakang.

Ketika Ghea melangkah masuk ke kamar, dengan gesit Samudera menutup pintu. Ghea menoleh ke arah Samudera dan kaget bukan kepalang tatkala Samudera melepas pakaiannya.

******

Penasaran lanjutannya gak? 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro