Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9a

Sambaran kilat memantul di jendela, sesekali terdengar guruh menggelegar. Di luar hujan deras tak berhenti selama hampir tiga jam. Sean berdiri gelisah di ruang tamu, menatap arloji di tangan. Harusnya hari ini Jilian datang menemuinya, sesuai janji mereka. Nyatanya, gadis itu menghilang dan tidak ada kabar sama sekali. Apakah gadis itu membatalkan niatnya untuk datang? Tidak ingin terlibat dalam perjanjian mereka lagi? Bisa jadi, gadis itu ragu-ragu karena merasa kalau apa yang akan dilakukannya bersama Sean adalah hal yang buruk. Tidak akan ada yang menyangkal, kalau ada yang tahu tentang perjanjian mereka.

Sean sendiri tidak keberatan kalau Jilian menolak. Setidaknya, gadis itu tetap datang dan memberi penjelasan. Ia bisa menerima semua alasan penolakan, asalkan Jilian sendiri yang mengatakannya. Menghilang seperti ini, bukan solusi yang baik.

Ia duduk di sofa, meraih gelas berisi minuman dan meneguknya. Menatap cairan merah berkilau dari dalam gelasnya. Warna merah itu mengingatkannya akan sesuatu. Saat mamanya yang sakit tergolek di ranjang, batuk darah tidak berhenti dan pada akhirnya menyerah pada hidup. Saat itu, ia masih berumur 10 tahun. Anak laki-laki yang tidak punya tempat bergantung selain sang mama. Papanya terlalu sibuk bekerja, dan mendidik dua kakak laki-lakinya. Membiarkan mamanya menderita sendirian, tanpa perhatian dari suami yang seharusnya menjadi tempat bersandar. Setelah mamanya meninggal, di umur 12 tahun Sean memutuskan untuk hidup mandiri. Sekolah di asrama dan hanya pulang saat liburan. Tentu saja, ditentang oleh Nugroho.

"Anak kecil mau keluar dari rumah. Bisa apa kamu nanti, hah?"

"Justru karena Sean nggak bisa apa-apa, makanya mau belajar mandiri."

"Tidak boleh! Kamu harus tetap di sini!"

"Dan mati seperti Mama karena kesepian?"

Perkataan Sean memukul perasaan Nugroho. Laki-laki itu sesaat terdiam, mengepalkan tangan lalu ambruk ke sofa. Tentu saja, yang dikatakan Sean benar adanya. Nugroho memang terlalu sibuk bekerja sampai melupakan istrinya. Membiarkan istrinya berjuang sendirian di kala sakit parah. Tadinya ia berpikir, dengan membawa istrinya ke rumah sakit, ada suster dan dokter yang merawat, akan membuat cepat sehat. Ternyata, salah. Yang dibutuhkan istrinya bukan hanya soal perawata mahal di rumah sakit tapi juga perhatian dari suami dan anak.

Setelah perdebatan hari itu, Nugroho mengijikan Sean meninggalkan rumah. Mengirim anak bungsunya ke sekolah asrama yang bagus di luar kota. Sean hanya pulang sesekali, itu pun kalau Nugroho yang meminta. Dari awalnya terasa berat karena hidup sendirian, pada akhirnya membuat Sean terbiasa.

Setelah lulus dari SMU, Sean memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri sekaligus membantu bisnis papanya. Di negeri orang itu, Sean ditempa menjadi pebisnis andal. Semua yang dilaluinya saat masih kecil, menjadikannya keras seperti sekarang. Termasuk pada keluarganya sendiri.

Dari dulu, kedua kakaknya tidak pernah menyukainya. Tidak mengherankan memang. Persaingan yang keras di antara mereka untuk menjadi pewaris perusahaan, membuat mereka kehilangan kasih sayang persaudaraan. Makin bertambah umur, makin lebar jurang kebencian di antara mereka. Ditambah dengan sikap Nugroho yang seolah membiarkan anak-anaknya bersaing. Seperti menuang minyak ke dalam bara.

Sean meraih ponsel, berusaha menghubungi Jilian sekali lagi. Dari tadi ponselnya berdering tapi tidak diangkat. Kali ini malah mati. Menghela napas panjang, ia bangkit dari sofa. Mengganti sandal dengan sepatu, meraih kunci mobil dan meninggalkan penthouse.

Sepanjang jalan, hujan turun sangat deras. Kemacetan terjadi di beberapa ruas jalan. Meski begitu tidak menghalangi Sean untuk melaju. Tiba di rusun yang ditempati Jilian, ia dibuat bingung. Karena tidak tahu di mana letak kamar gadis itu. Menepikan kendaraannya ia keluar untuk bertanya pada pemilik warung yang buka di lantai dasar. Ada banyak kedai makanan yang juga masih buka di sana. Sean berharap salah satu pemilik kedai atau warung mengenal Jilian.

Ia sengaja membeli dua bungkus rokok, sebelum mengajukan pertanyaan. "Bu, kenal gadis yang namanya Jilian? Kira-kira kamarnya di lantai berapa?"

Pemilik warung menengadah. "Jilian? Gadis bar?"

"Iya, benar dia."

"Itu, pacarnya di sana. Tanya aja dia!"

Sean menoleh dengan cepat, menatap laki-laki tampan berambut ikal yang sedang membeli makanan. Laki-laki itu memakai celana pendek hitam sedengkul dengan kemeja bunga-bunga. Mereka saling pandang dan hati Sean mencelos saat tahu Jilian sudah punya pacar.

Laki-laki itu mendekat, menatap Sean dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu beralih pada mobil yang terparkir di depan warung.

"Kamu cari Jilian ada apa?"

Suara ketus laki-laki itu membuat Sean menghela napas. "Ingin bertanya sesuatu."

"Tanya apa?"

"Bukan urusanmu!"

Keduanya saling pandang, Sean menolak untuk tunduk. Ia terbiasa menghadapi orang-orang arogan dan sikap laki-laki di depannya bukan apa-apa. Ia harus bertemu Jilian dan meminta penjelasan. Langit kembali memuntahkan air, makin deras dan guruh bersahutan di langit.

Ikut aku! Tapi, mau ketemu atau nggak, itu urusan Jilian."

Sean mengikuti laki-laki itu menaiki tangga, sepanjang jalan mereka tidak saling bicara, membiarkan suara hujan menjadi pengganti percakapan. Diam-diam keduanya saling menilai. Sean menolak untuk berprasangka tentang siapa laki-laki yang dianggap pacar Jilian, sebelum tahu kebenarannya. Mereka naik ke lantai tiga, membelok di sudut dan berhenti di kamar nomor 305. Laki-laki itu membuka pintu, Sean mengikutinya.

"Jilian, kamu di mana?" Laki-laki itu berteriak.

Terdengar suara orang muntah, Sean menatap laki-laki itu.

"Muntah lagi?"

Tubuh Sean gemetar. Tak lama terdengar sahutan lirih.

"Sammy, perutku mual."

Sammy bergegas ke arah kamar mandi, diikuti oleh Sean.

"Keluarlah, biar aku bantu kompres perutmu. Kamu mual karena seharian nggak makan."

Pintu kamar mandi mengenglik terbuka. Sean mundur, memberi jalan pada Jilian. Saat melihat gadis itu, kekagetan melandanya dengan kuat.

"Jilian, apa yang terjadi sama kamu!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro