Bab 8b
"Kamu lihat, Sean? Apa yang terjadi pada mereka? Kamu masih menolak keinginan papa?"
Sean menghela napas panjang. "Pa ...."
"Pikirkan dan pertimbangkan lagi, Sean. Demi papa dan perusahaan."
Sean tidak mengatakan apa apa, merasa trenyuh dengan sosok papanya yang tua. Terlihat sangar dan kuat di hadapan orang-orang, tapi sebenarnya sangat rapuh. Peristiwa hari ini membuat Sean mempertimbangkan kembali keputusannya.
**
Jilian mencicipi mi goreng buataan Sammy, mencecap rasanya yang pedas dan manis. Ia suka dengan aroma bawang yang menguar dan menggugah selera. Mengakui kalau Sammy sangat pintar memasak.
"Aku akui, kamu pintar memasak. Kenapa nggak jadi koki saja? Kenapa harus jadi dancer?" ucapnya dengan mulut penuh.
Sammy menggeleng di tempatnya duduk. "Memasak adalah hobi. Kalau jadi profesi terlalu melelahkan."
"Ehm, kamu harus sering-sering memasak biar aku bisa berhemat."
Sammy menyipit dari atas piringnya. "Putus dari Alfredo, aku lihat kamu sudah menggandeng orang baru. Punya mobil bagus."
Jilian tersenyum. "Hanya teman. Mobil itu bukan miliknya. Dia hanya sopir."
"Teman macam apa yang mengantar pulang saat Subuh?"
Jilian tidak mengatakan apa apa, karena tidak ingin banyak orang tahu tentang hubungannya dengan Sean. Tentu saja, tidak semua orang bisa mengerti jalan pikirannya tentang kesepakatannya dengan Sean. Sammy akan menganggapnya gila, karena berani menyerahkan tubuh pada laki-laki yang baru ditemuinya. Ia sendiri merasa demikian, tapi keadaan mendesaknya.
Selesai makan, Sammy berpamitan keluar. Tertinggal Jilian mencuci piring dan membersihkan rumah. Sepanjang melakukan pekerjaan, dadanya berdebar keras. Mengingat kalau hari ini adalah waktu yang dijanjikannya untuk berkencan dengan Sean. Bukan hanya berkencan tapi juga bercinta dengan laki-laki itu. Sejauh ini, ia sangat suka bercumbu dengan laki-laki itu. Menikmati sentuhan dan ciumanya. Ia tidak menampik, kalau apa yang dilakukan Sean pada tubuhnya sangat menyenangkan. Laki-laki itu tanpa segan menunjukkan apa itu gairah. Tetap saja, bercinta adalah hal yang berbeda dan Jilian menggigil setiap kali mengingat janji mereka.
Ia bisa saja mundur dari perjanjian itu. Sean tidak akan memaksannya. Lalu, bagaimana nasib orang tuanya? Jilian tidak tahu, seberapa besar Sean bisa membantunya. Bisa jadi laki-laki itu hanya menjanjikan hal palsu. Hanya menginginkan tubuhnya saja. Lalu, kenapa ia tidak keberatan? Benarkah ia bercinta dengan Sean demi menyelamatkan keluarganya, atau hanya demi menyalurkan gairahnya yang liar? Jilian tidak mengerti. Suara ketukan di pintu membuatnya berjengit kaget. Ia membuka dan ternganga saat melihat perempuan di depannya.
"Tan-te?" tegurnya gugup. "Ada apa kemari?"
Perempuan berambut pendek sebahu dengan anting-anting berlian, menyingkirkan tubuh Jilian dari pintu. Aroma parfum semerbak di ruang tamu yang kecil. Perempuan itu menenteng tas yang harganya ratusan juta dan tanpa membuka sepatu, berdiri angkuh di depan Jilian.
"Kamu masih tinggal di sini?" ucap perempuan itu dengan nada angkuh.
Jilian mengangguk. "Ma-masih, Tante."
"Masih kerja di bar juga?"
"Iya ...."
"Berarti kamu harusnya tahu kalau kamu tidak sepadan dengan Alfredo. Kenapa memaksa untuk tetap bersama?"
Jilian menggeleng keras. "Tante Mesha, nggak ada yang ingin kembali. Saya nggak mau kembali dengan Alfredo."
Mesha menjentikkan jari. "Benarkah? Lalu kenapa kamu merusak pesta anakku? Apa kamu nggak punya malu melakukannnya, Jilian!"
"Saya hanya ingin keadilan. Alfredo berselingkuh. Dia tetap menjalin hubungan dengan saya tapi di lain pihak, bertunangan dengan perempuan lain. Bukankah itu menyikiti saya?"
Mesha mendengkus. "Kamu tinggal bilang, Jilian. Apa yang kamu mau? Berapa banyak uang yang kamu butuhkan. Tidak perlu merendahkan diri sampai begitu di pesta anakku."
Jilian terdiam lalu tersenyum kecil. "Nggak ada yang mau uang, Tante. Saya melakukan itu murni untuk balas dendam. Karena Alfredo sudah melukai hati—"
Plak!
Tamparan keras dilayangkan Mesha pada Jilian dan membuat gadis itu terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak.
"Gadis laknat! Kamu merusah hari bahagia anakku!" Mesha maju dan tanpa ampun meraih rambut Jilian dan menjambaknya. "Kamu sudah mempermalukan kami. Akan aku ajari kamu, bagaimana berbuat sopan!"
"Tantee, sakiit!"
Jilian berusaha mengelak tapi cengkeraman Mesha di rambutnya justru makin kuat. Tidak hanya itu, Mesha yang dikuasai amarah, berusaha mencakar wajah Jilian. Detik terakhir, Jilian berhasil meloloskan diri dan mendorong Mesha.
"Gadis kurang ajar! Tidak tahu sopan santun. Layak diberi pelajaran!"
Mesha berderap ke arah pintu, memanggil sopir yang sedari tadi berada di luar. Ia menutup pintu dan berkata tegas pada sopirnya.
"Pegangi tangannya. Jangan sampai dia lolos!"
Percuma Jilian berusaha melawan, laki-laki itu memegang kedua lengannya dan membiarkannya menjadi sasaran kemarahan Mesha. Ia ditampar berkali-kali hingga pipinya nyeri dan darah keluar dari bibir. Ia berusaha untuk tidak menangis, saat rambutnya ditarik dan banyak yang tercabut dari kepala. Semua penderitaan ini, ia alami hanya karena menuntut keadilan akan sikap brengsek Alfredo. Pada akhirnya, ia tetap kalah karena miskin.
"Tantee, ampuun!" Ia berteriak tapi percuma, Mesha justru memperkeras pukulannya.
"Buat pelajaran, lain kali kamu harus mikir seribu kali sebelum menyakiti anakku. Sampah!"
Jilian ditinggalkan sendiri di ruang tamu, tergolek di atas lantai dingin dengan rambut acak-acakan, wajah penuh memar, dan bibir luka. Menatap nyalang pada langit-langit ruang tamu yang kecil, memikirkan nasibnya yang malang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro