Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

Nugroho tidak kaget saat mendapati cucu laki-lakinya ada di sini. Bukan hanya Alfredo yang datang, tapi juga anak Surya, Arvin. Umur keduanya sepantar, Arvin lebih tua satu tahun dari Alfredo. Hubunga mereka sebagai sepupu bisa dikatakan hanya baik di permukaan, itu yang bisa ditangkap dari sikap keduanya yang menjaga jarak.

Nugroho mengajak Arvin bermain catur dengan Alfredo menunggu dengan bosan. Tidak peduli meski orang-orang mengatakan catur adalah permainan untuk mengasah otak, ia tetap tidak suka melakukannya. Lebih asyik bermain video game dari pada menjalankan bidak-bidak kayu. Ia menatap bergantian pada sang kakek dan sepupunya. Mencibir dalam hati tentang sikap Arvin. Sudah jelas kalau yang dilakukan sepupunya adalah untuk menjilat sang kakek. Kalau boleh memilih, pasti Arvin akan memilih duduk bermain ponsel dari pada menemani sang kakek.

Pesan muncul di ponselnya, Alfredo membaca sambil menelan ludah. "Satu berita datang lagi, gunjingan yang lain tentang pesta pernikahan kita. Apa kamu tahu betapa malunya aku? Ini adalah pertemuan penting, tapi yang mereka katakan adalah tentang kamu dan mantan kekasihmu. Memalukan!"

Ia mendesah, membalas pesan dari istrinya dengan hati-hati. "Sayang, abaikan mereka."

"Bagaimana aku bisa abaikan? Kamu tahu siapa mereka? Para petinggi dari Silver Group. Mama dan aku adalah bagian dari klub ini. Kamu pikir mudah pergi begitu saja?"

Perasaan kesal kembali menguasai Alfredo. Semenjak menikah, ia merasa sangat tertekan. Semua karena kemunculan Jilian di pestanya. Ia masih tidak habis pikir, Jilian bisa melakukan perbuatan erendah itu. Padahal, selama ini ia mengenal Jilian sebagai gadis yang cerdas dan penuh harga diri.

"Skak!"

Permainan catur berakhir dengan sang kakek mendapatkan kemenangan. Arvin tertawa malu.

"Permainan Kakek memang luar biasa. Sulit dikalahkan."

Nugroho tertawa. "Kakek dari dulu tidak berubah. Kamu saja yang kurang latihan."

Arvin mengangkat kedua tangan. "Ampun, Kek. Aku mengaku kalah."

Alfredo mendengkus ke arah sepupunya. "Sampai kapan kamu memuji-muji Kakek? Tanpa kamu puji, Kakek memang hebat."

Arvin menatap Alfredo, seakan baru sadar ada saudaranya. "Aku bicara dengan kakek, sampai lupa ada kamu di sana, Alfredo. Bagaimana rasanya setelah menikah? Indah bukan menikah diacak-acak mantan? Hahaha, kamu luar biasa!"

"Dia bukan mantan. Hanya gadis gila!"

"Ups, tapi semua orang tahu kalau kalian dulu menjalin cinta. Gadis yang luar biasa, berani datang ke acara pernikahan dan mengacaukannya. Katakan, siapa nama gadis itu? Barangkali aku akan membutuhkan jasanya untuk meramaikan pesta."

"Tutup mulutmu!"

"Bagaimana kalau aku nggak mau?"

Keduanya berdiri dan saling melolot. Nugroho berdehem keras. "Hentikan! Duduk kalian berdua. Sudah sama-sama tua, masih saja suka saling adu otot!"

"Dia yang memulai, Kek." Alfredo menunjuk Arvin dan dibalas dengan cibiran dari saudaranya.

"Mengadu adik kecil?"

"Cukup! Kalau kalian masih ingin ribut, keluar dari rumahku!"

Alfredo menahan makian yang sudah ada di ujung lidah. Menghela napas untuk meredakan kekesalan. Kembali teringat akan niatnya datang menemui sang kakek. Yakin kalau Arvin sengaja memprovokasi untuk membuatnya marah. Akhirnya, ia mencoba untuk tetap tenang. Meskipun pesan yang diterima dari istrinya, membuat emosinya bergolak. Ditambah dengan ejekan dari Arvin. Semua terjadi karena Jilian. Ia mengetik satu pesan dengan cepat dan mengirimkannya pada mantan kekasihnya.

"Gadis sialan! Pembuat malu! Sebaiknya kamu lenyap dari kehidupanku, sebelum aku hancurkan keluargamu!"

Tidak ada balasan dari Jilian, dan Alfredo juga tidak mengharapkannya. Yang terpenting gadis itu tahu kalau dirinya tidak main-main dengan ucapannya. Ia serius ingin menyingkirkan Jilian dari kehidupnya, agar tidak lagi menganggu. Ia salah, sudah meminta maaf, bukankah itu cukup? Kenapa Jilian sampai berbuat nekat?

"Kenapa kalian datang bersamaan kemari? Tidak mungkin hanya ingin menemaniku bermain catur?"

Alfredo tersenyum. "Aku sering datang. Kenapa kali ini Kakek curiga?"

"Aku juga sering datang, Kek," sahut Arvin. "Memangnya harus ada alasan untuk menemui Kakek?"

Nugroho melambaikan tangan. "Iya, tapi tidak bisanya bersamaan. Apakah kalian datang atas kemauan orang tua kalian?"

Arvin dan Alfredo saling pandang. Tentu saja si kakek benar, tapi tidak mungkin menunjukkannya.

"Kalau benar begitu, kalian bisa bilang pada orang tua kalian, kalau kakek tidak akan mengubah keputusan."

"Kakek! Kenapa mendadak?" tanya Arvin. "Keputusan Kakek membuat papaku bingung."

"Apa yang dibuat bingung? Mereka hanya menjalani saja?"

"Masalahnya waktunya tidak tepat, Kek. Banyak proyek yang sedang kami kerjakan."

"Justru itu, Sean bisa membantu kalian."

"Kenapa harus dia, Kek?" Kali ini Alfredo yang bicara. "Kenapa harus Uncle Sean?"

"Iya, aku pun ingin tahu. Kenapa harus aku?"

Sean muncul di belakang mereka secara tidak terduga, menatap sang papa lalu pada dua ponakannya. Dengan santai ia mendudukkan diri di depan mereka. Kedatangannya yang secara tiba-tiba tentu saja mengejutkan semua orang.

"Kamu datang hanya untuk bertanya soal itu?" tanya Nugraha pada anak bungsunya.

Sean mengangguk. "Iya, karena aku pun sama bingungnya dengan mereka. Jelas ada Surya dan Seno yang jauh lebih mumpuni. Kenapa harus aku?"

Alfredo bertepuk tangan, wajahnya menyiratkan kegembiraan. "Uncle benar, Kek. Papaku jauh lebih mumpuni dalam bekerja. Bagaimana kalau kita batalkan saja keputusan Kakek dan serahkan jabatan itu pada papaku!"

"Jangan mimpi! Kamu pikir yang kerja hanya papamu? Ingat, papaku adalah yang tertua dari anak-anak Manggala. Sudah seharusnya, jabatan itu jatuh ke tangan papaku!" Arvin memprotes.

Alfredo melotot pada sepupunya. "Apa kamu tahu yang dikatakan orang-orang tentang papamu? Dibilang lembek dan tidak tegas."

"Yang orang katakan tentang Om Seno adalah terlalu licik dan serakah!"

Sean menghela napas panjang, menepuk pundak Arvin dan Alfredo. Berdecak kesal karena datang ke rumah sang papa di waktu yang salah.

"Kalian harus ingat, ini rumah kakek kalian. Bukan arena debat. Kalau kalian membuat Kakek kena serangan jantung, aku pastikan akan menyeret kalian berdua keluar!"

Teguran Sean membuat Alfredo menghela napas panjang, begitu pula Arvin. Keduanya susah payah menahan emosi. Sampai akhirnya menyerah dan duduk kembali dengan sikap kaku.

Nugraha termenung, menatap anak dan cucunya. Merasa sangat ironis. Anaknya yang paling diinginkanya untuk menduduki jabatan, justru menolak. Sedangkan yang lain malah berebut. Ia sudah tua, ingin hidup tenang tapi malah terjebak dalam kekacauan.

Bangkit dari sofa, ia meminta Sean menemaninya ke kamar. Meninggalkan kedua cucunya di ruang tamu. Kesedihan merambat dari hati melihat cucu cucunya bertikai. Merasa marah pada anak-anaknya karena menggunakan kedua cucunya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro