Bab 6a
Ruangan sunyi, semua pandangan tertuju pada Sean yang sedang membalas pesan dari Jilian dengan senyum terkulum dan tidak menyadari semua tatapan yang diarahkan padanya. Orang-orang itu terlalu shock untuk bicara. Pengumuman penting dari Nugroho membuat mereka bukan hanya kaget, tapi juga terpana. Kebanggaan dan rasa percaya diri hilang dari Seno. Ketenangan dalam diri Surya, tergantikan oleh kebingungan. Satu-satunya orang yang cukup tenang hanya Sean. Tidak peduli dengan keriuhan tanpa kata dari orang-orang di sekitarnya.
Setelah puas menerima jawaban dari Jilian, Sean mengangkat wajah dan meletakkan ponselnya. Menatap sang papa sekilas dan berkata dengan ekpresi tenang.
"Pa, jangan membuat semua orang kaget. Nanti mereka jantungan."
Nugroho tersenyum kecil. "Anggap saja ini kejutan kecil. Kamu menggantikan aku mulai hari ini."
"Aku belum bilang setuju."
"Papa nggak butuh persetujuan kamu. Ini keharusan!"
"Aku baru beberapa hari tiba di sini. Belum punya—"
"Kamu benar, Sean. Kamu masih anak baru di sini. Bagaimana mungkin Papa mempercayakan hal sebesar ini padamu!" Seno menyela keras dengan wajah memerah. Tangannya memukul meja tanpa sadar. "Harusnya, Papa bisa berunding dengan kami lebih dulu sebelum memutuskan. Meminta pertanggungjawabnku dan Kak Surya, bukan malah mengumumkan di tempat umum!"
"Ini bukan tempat umum. Ini rapat terbatas," jawan Nugroho tenang. Tidak terpengaruh dengan kemarahan anak keduanya. "yang ada di sini adalah para pejabat tinggi, aku yakin mereka tidak akan membocokan hal sepenting ini."
"Justru karena hal penting, harusnya Papa memberitahu kami dulu." Kali ini Surya yang berbicara. "Aku dan Seno jauh lebih tahu kondisi perusahaan dari pada Sean."
"Kak Surya benaar, entah apa yang ada di pikiran Papa!" Seno lagi-lagi berteriak.
"Diam kamu! Berani-beraninya menentangku!"
"Papa, Seno mengatakan sebenarnya!"
"Kalian pikir aku nggak punya mata untuk melihat? Sampai butuh pengamatan kalian?"
Sean yang menjadi obyek percakapan justru tidak peduli. Ia menatap sekitarnya dengan bosan. Mengamati ekpresi marah dan kaget kedua kakaknya. Ia tidak tertarik dengan jabatan yang diberikan papanya. Menganggap itu hanya lelucon, tapi ekpresi dan ketegasan sang papa mengisyaratkan sebaliknya. Ia mendesah dalam hati, merasa kalau ini akan menjadi awal buruk untuk hubungan persaudaraan dengan kedua kakaknya.
Para petinggi perusahaan yang terjebak dalam perdebatan keluarga mereka, duduk serba salah di kursi. Mereka terjebak dalam intrik yang tidak pernah terbayangkan. Ingin berlalu tapi tidak bisa, tetap tinggal berarti ikut terlibat. Sedangkan sebagai pegawai, mereka diharapkan tetap loyal pada perusahaan.
Mereka mengamati satu per satu kakak beradik Manggala. Sang kakak yang selama ini selalu tenang dan cenderung tidak punya ambisi, nomor dua yang bersemangat dengan emosi meledak-ledak lalu si bungsu yang cenderung santai. Mereka tidak tahu, bagaimana kinerja si bungsu yang diberikan kekuasaan tertinggi oleh Nugroho. Sean memang berhasil memimpin perusahaan mereka di luar negeri, tapi belum teruji di sini. Sungguh dilema yang membuat hati mereka kebat kebit dalam kekuatiran.
Nugroho yang sudah lelah berdebat dengan kedua anaknya, bangkit dari kursi lalu memukul meja. Membuat semua perhatian terpusat padanya. Ia menatap satu per satu orang-orang di ruangan, berlanjut pada ketiga anaknya.
"Keputusan sudah aku buat, tidak akan dibatalkan. Kalau kalian bertiga ingin protes, datang langsung ke rumah!"
Nugraha meninggalkan ruangan diikuti oleh asisten sekaligus sopirnya. Saat pintu menutup di belakangnya, ia menoleh pada sang asisten dan berkata sambil mendesah.
"Anak-anakku, semoga mereka mengerti tentang keputusanku."
"Iya, Tuan."
"Terutama Sean, aku harap dia menerima jabatan ini. Kamu mengerti kenapa aku memilih si bungsu bukan?"
"Sangat mengerti, Tuan. Memang hanya Tuan Muda Sean yang layak menggantikan Tuan Nugraha."
"Seandainya orang-orang bisa mengerti jalan pikiranku seperti kamu."
Keduanya menyusuri lorong berkarpet dengan hati dan pikiran berat, memikirkan tentang tiga laki-laki yang sekarang sedang berdebat di ruang rapat. Keputusan Nugraha memang benar, meskipun dilihat dari kacamata anak-anaknya, itu adalah hal yang tidak masuk akal.
Di ruang rapat, Sean sibuk menjawab keluh kesah kedua kakaknya. Ia membubarkan para petinggi, dan sekarang tersisa hanya mereka bertiga. Ia sendiri merasa frustrasi, karena keputusan tak terduga papanya. Ia pulang dengan niat membuka usaha baru, bukan melanjutkan apa yang sudah menjadi hak milik orang tuanya.
"Kamu bicara apa dengan Papa? Kenapa Papa bisa memberikan jabatan itu secara tidak masuk akal!"
Pertanyaan Seno membuat Sean terdiam. Ia pun sama herannya dengan sang kakak.
"Kalau aku jawab tidak tahu, kamu pasti tidak percaya."
"Mana mungkin kamu tidak tahu! Apakah kamu sudah merencanakan ini dari lama?"
"Kamu pikir papa kita orang bodoh yang bisa dimanipulasi?"
Seno menghela napas frustrasi. Perkataan sang papa tentang Sean benar-benar memukul perasaannya. Ia tahu kalau papanya sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengganggunya. Tidak peduli anak-anaknya sendiri. Masalahnya adalah, keputusan yang sekarang benar-benar tidak adil untuk mereka.
"Aku tidak peduli apa yang Papa putuskan untuk kamu. Tapi, sebaiknya kamu bicara dengan Papa untuk membatalkan keputusannya." Surya bangkit dari kursi, menatap tajam. "Kamu orang luar, tidak diterima di sini."
Laki-laki itu keluar diikuti oleh Seno. Tertinggal hanya Sean di ruangan kosong. Ruangan berpendingin dengan dinding putih dengan jendela kaca yang tertutup rapat. Ada gorden cokelat tebal yang sedikit tersingkap. Sean menghela napas panjang, menangkap aroma citrus yang wangi memenuhi paru-parunya. Ia teringat seseorang yang menyukai aroma ini. Menyegarkan katanya. Tersenyum simpul, ia bangkit dari kursi dengan Bagas menunggunya di balik pintu.
"Aku ingin kembali ke penthouse. Kamu bisa ke kantor."
Bagas mengangguk, mengantar Sean sampai ke lobi sebelum menaiki kendaraannya sendiri. Memutar musik untuk menemani selama perjalanan, pikiran Sean mengembara. Tentang papanya, dan kedua saudaranya yang tidak pernah menganggapnya. Seperti itulah keluarga Manggala, terlihat harmonis hanya di permukaan.
Tiba di lobi, ia dikejutkan dengan sosok Jilian yang berdiri di lobi. Wajah gadis itu terlihat pucat tersiram bias matahari, ada gurat kesedihan di binar matanya. Meski begitu, gadis itu tetap tersenyum menyambutnya.
"Kata resepsionis, kamu pergi. Jadi, aku berinisiatif menunggumu."
Sean meraih tangannya dan membawanya ke lift. "Kerja. Bossku ada urusan."
"Apakah sudah selesai?"
"Sudah."
Sean membimbing Jilian masuk ke lift, memencet tombol tutup dan menghimpit gadis itu ke dinding sementara mereka meluncur ke atas.
"Kamu cantik," bisiknya para sebelum mengecup bibir gadis itu.
Jilian mengedip, mengepalkan tangan dan membiarkan Sean mengecupnya. Saat lift membuka, ia membiarkan lengannya ditarik keluar. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi kala mereka masuk ke penthouse dan sudah siap dengan konsekuensinya. Saat Sean menyerbu bibirnya dengan ciuman yang panas, ia menerima dengan pasrah. Membiarkan kehangatan yang mengalir lewat bibir, mengenyahkan semua masalah. Sepertinya, ia memang membutuhkan ini untuk menyalurkan kegundahan. Tidak ada obat yang lebih baik untuk menyembuhkan luka hati, selain bercumbu. Jilian sedang berusaha mengobati sakit hatinya.
"Apa kamu sengaja mencariku?" bisik Sean di sela ciuman mereka.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 36
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro