Bab 4b
Jilian menatap Sean lekat-lekat. "Untuk apa balas dendam? Aku nggak mau dikira ingin merusak pernikahannya. Di pesta kemarin, aku memang sedang gila tapi sekarang aku sudah waras."
"Bukan untuk merusak pernikahan Alfredo tapi untuk menunjukkan kalau tanpa dia, kamu tetap tegak menjalani hidup dan move on dengan cepat."
"Dengan menjadi kekasih, Anda, Pak Sean? Maksudku, kekasih pura-pura?"
"Hanya statusnya yang pura-pura, tapi tidak dengan hubungannya. Aku akan memperlakukanmu layaknya kekasih sungguhan. Dengan begitu, kita bisa saling membantu."
"Dalam hal apa?"
Sean menghela napas panjang. "Aku membantumu, menunjukkan pada Alfredo kalau kamu tidak lagi berharap padanya. Sedangkan kamu membantuku, untuk menghadapi orang tuaku. Mereka menginginkan aku menikah, dan aku belum siap untuk itu."
Jilian tersenyum. "Takut menikah, Pak?"
"Anggap saja begitu. Bantulah aku mengusir para perempuan yang ingin mengejarku."
Jilian menyipit, menatap Sean yang mematikan rokok dan membuang putung ke asbak. Sean menangkap pandangannya.
"Ada apa? Kenapa menatapku begitu?"
"Pak, entah kenapa aku berpikir kalau kamu bohong."
"Soal apa?"
"Pekerjaan. Kamu pasti bukan sopir. Mana ada sopir yang dikejar-kejar perempuan?"
"Ada, kalau punya wajah sepertiku."
Jilian ternganga lalu mendengkus. Ingin menyangkal perkataan Sean tapi menyadari kalau itu adalah bentuk kesombongan dan juga fakta yang memang terlihat nyata. Sean memang tampan dan menawan, ia pun menyadarinya.
"Pak, narsis sekali."
Sean tertawa lirih. "Jilian, aku harus ke kantor. Boss besarku datang hari ini. Kamu simpan nomorku, telepon aku kalau kamu sudah berpikir matang."
Jilian mengangguk. "Pak, itu, tentang pekerjaanku."
"Iya, kenapa dengan pekerjaanmu?"
"Bartender di bar."
"Menarik. Suatu saat nanti aku ingin datang melihatmu melakukan juggling."
Jilian keluar dari penthouse dalam balutan kemeja sebatas paha. Ia juga memakai sandal kulit yang terlalu besar untuknya. Semua karena ia kehilangan salah satu sepatunya. Sean mengantarnya langsung ke rusun yang ditinggalinya sekalian berangkat ke kantor.
"Kamu tinggal di rusun ini?"
Jilian mengangguk. "Iya, Pak. Maaf, nggak bisa ngajak masuk karena ada teman satu rumah. Jam segini biasanya dia tidur."
Sean tersenyum. "Nggak masalah. Ingat janjimu untuk memikirkan tawaranku."
"Iya, Pak."
Jilian turun dan mengamati kendaraan hitam mengkilat yang dikendarai Sean menghilang di jalan. Menaiki tangga, ia tidak habis pikir dengan Sean. Dari mana laki-laki itu mengenalnya? Kenapa dengan mudah menawarkan kesepakatan? Niat laki-laki itu memang tidak sepenuhnya tulus, selain ingin menghindari pernikahan pastinya juga menyukai tubuhnya. Jilian menyadari kalau kesepakatan mereka, ibarat symbiosis mutualisme. Sayangnya, ia tidak berencana menerima tawaran Sean, karena tidak menginginkan pembalasan apapun. Alfredo sudah menikah. Ia cukup tahu diri untuk berhenti berharap dan juga tidak lagi ingin berhubungan dengan mantan tunangannya itu.
Seperti dugaannya, sesampainya di rumah temannya belum bangun. Dengan cepat ia mengganti kemeja dengan daster dan mulai mencuci. Ia sedang menjemur saat terdengar suara dari belakang.
"Jilian, kamu kemana saja? Libur malah nggak di rumah?"
Ia menoleh, menatap laki-laki kurus dengan wajah menggemaskan di belakangnya. "Hai, aku melakukan misi rahasia."
Laki-laki itu mengernyit. "Apaan?"
"Ada deh. Anak kecil nggak usah tahu!"
Laki-laki itu mendengkus lalu membalikkan tubuh. "Terserah deh. Asal jangan bikin masalah apalagi hamil di luar nikah."
"Siap, Boss!"
Jilian tersenyum, menatap temannya yang pergi ke dapur. Namanya Sammy. Seoran dancer di bar tempatnya bekerja. Hubungan mereka sangat baik dan nekat tinggal serumah untuk meringkan pembayaran. Tidak ada hubungan yang istimewa di antara mereka selain sahabat. Sammy lari dari rumah, untuk mengejar cta-citanya dan mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing.
Pukul lima sore, Jilian bergegas naik ojek menuju tempat kerjanya. Ia mengganti pakaian kerja berupa kemeja putih, celana merah, dan rompi merah. Memoles wajah dengan make up tipis dan lipstik, menguncir rambutnya dan menyemprot parfum di pergelangan tangan serta belakang telinga. Pekerjaannya sebagai paramu bar, bukan hanya membutuhkan keterampilan yang bagus tapi juga diharuskan menjaga penampilan.
"Jilian, hari ini kamu berada di meja depan. Efendi, tidak masuk. Sakit!"
Manajer bar berujar saat melihatnya datang. Jilian mengangguk, mengangkat jempol. "Siap!"
Untunglah malam ini bukan malam Minggu, ia tidak akan keteteran karena saah satu peramu utama tidak masuk. Ia menyiapkan gelas dan mulai bekerja saat satu per satu tamu berdatangan. Ada beberapa pengunjung yang kerap datang ke bar dan ia mengenali mereka.
"Jilian, seperti biasa." Seorang perempuan dengan gaun hitam dan lipstick tebal duduk di depannya.
"Blue fantasy cocktail?"
Perempuan itu mengangguk. "Benar sekali."
"Siap, ditunggu."
Jilian mengambil gelas tinggi, memasukkan es batu kotak yang panjangnya melebihi gelas. Meracip vodka, syrup, crème, dan orange blossom water tiga tetes. Tidak lupa perasan lemon, dan putih telur. Mengocoknya selama 25 menit bersama campuran es batu. Setelah itu menuangkannya ke dalam gelas tinggi dan menyerahkan pada perempuan itu.
"Silakan."
"Terima kasih, Jilian."
Jilian membuat pesanan yang lain. Meracik minuman yang berbeda beda. Sebenarnya, pekerjaan ini lumayan menyenangkan untuknya. Yang membuat kesal adalah anggapan saudara dan kerabatnya yang menganggap bekerja di bar adalah hina. Padahal yang ia lakukan adalah meracik minuman, bukan menjual diri.
Malam makin larut, dan para pengunjung makin banyak. Di sesi istirahat selama sepuluh menit, ia menerima tamu. Kunjungan dari seseorang yang tidak diduganya. Laki-laki itu menunggunya di teras belakang bar. Tentu saja laki-laki itu tahu di mana harus bicara dengannya, karena beberapa kali pernah kemari. Jilian menghela napas, tidak mengerti apa yang diinginkan Alfredo dengan mendatanginya di sini.
"Alfredo, ada apa?"
Laki-laki itu membalikkan tubuh, menyipitkan mata dan menyeringai. "Masih hidup kamu ternyata?"
Jilian terdiam, Alfredo maju dua langkah mendekat dan mengamati dari atas ke bawah sambil berdecak. "Aku pikir, setelah kamu mengacau, rasa malumu muncul. Biasanya, orang-orang yang melakukan tindakan nekat sepertimu akan punya rasa malu. Mereka mungkin pergi atau menghilang. Kamu tetap di sini Jilian. Hebat sekali. Jangan-jangan kamu tidak lagi punya rasa malu?"
PerkataanAlfredo membuat kemarahan kembali menggelegak dalam diri Jilian. Ia mengepalkantangan, bersiap kalau seandainya harus memukul mantan tunangannya yangberkhianat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro