Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3b

Ranjang itu bergetar karena gerakan dua orang di atasnya. Mereka saling melumat, saling tindih, dan mencium. Keduanya telanjang, dengan keringat membanjiri tubuh. Si laki-laki yang berada di bawah, membiarkan pasangannya bergerak di atas tubuhnya. Jemarinya terjulur untuk meremas dada si perempuan yang tegak menantang, sementara tubuh mereka menyatu.

Si perempuan bergerak cepat, naik turun, maju mundur, dan membuat si laki-laki melenguh. Ia tidak pernah mengalami, bercinta dengan demikian hebat dan menggairahkan. Ia memang pernah bersetubuh dengan perempuan, tapi tidak sehebat istrinya. Karena bergerak, seolah-olah bercinta sudah menjadi bagian dalam keseharian.

Alfredo melenguh, meraih pinggang sang istri dan menggerakkan pinggulnya. Dalam satu hujam keras dan cepat, ia mencapai puncak. Tubuhnya bersimbah keringat dan tergolek di atas ranjang.

Karena menatap suaminya yang lemas dan mendesah. "Kenapa kamu keluar terlalu cepat?"

Alfredo menggeleng. "Maafkan aku, Sayang. Tapi, kamu sangat nikmat. Aku sampai nggak bisa tahan diri."

Karen tidak mengatakan apa-apa. Melepaskan diri dari pelukan suaminya. Mengambil jubah di atas sofa dan memakainya. Membuka jendela dan menyulut rokok. Ia merasa kesal, tubuhnya seolah tidak terpuaskan. Alfredo tinggi dan gagah, harusnya punya stamina kuat. Mereka dua kali bercinta, dan keduanya selalu berakhir dengan Alfredo menyerah lebih dulu. Karena memendam rasa kesal.

"Sayang, apa kamu marah?" tanya Alfredo. "Maafkan aku. Ta-tapi, aku akan berusaha lebih baik lagi nanti."

Karen menoleh dan tersenyum. "Mungkin karena kamu kelelahan juga."

Alfredo mengangguk, mengusap wajahnya. "Memang, persiapan pernikahan, urusan kantor, membuatku kelelahan."

"Lelah karena urusan kantor? Atau lelah karena mengurusi mantan pacar yang mengamuk?"

Perkataan Karen membuat Alfredo menegang. Ia tersentak bangun dari ranjang, menatap istrinya yang sedang mengisap rokok. "Bukannya aku sudah bilang yang sebenarnya? Sudah aku putuskan perempuan itu."

Karena meniup asap yang bergulung di depannya dan tersenyum kecil. "Entah siapa yang berbohong. Kamu atau dia. Tapi, aku ingat dia bilang kamu baru memutuskan hubungan belum lama."

"Tentu saja dia!"

Alfredo bangkit dari ranjang, dalam keadaan telanjang menghampiri istrinya. Mereka baru menikah kemarin, dan di hari kedua menjadi suami istri harus terlibat cek cok. Semua gara-gara Jilian yang datang mengacau. Tidak ingin hari-harinya sebagai pengantin baru dirusak, ia memeluk istrinya.

"Jangan marah, Sayang. Percayalah padaku. Kami tidak ada hubungan apa-apa lagi."

Karena mendengkus. Merasa kalau perkataan suaminya tidak sepenuhnya benar. "Hubungan kalian dulunya pasti istimewa. Kalau tidak, gadis itu tidak akan mengamuk di pesta kita."

"Bukan istimewa, tapi karena dia sedikit gila. Menurutmu, mana ada gadis waras yang mau mempermalukan dirinya sendiri. Tolonglah, percaya padaku."

Alfredo mengusap tubuh istrinya dan mengecup punggungnya. Mamaki Jilian dalam hati karena sudah menciptakan banyak masalah untuknya. Dari tadi malam, ia terus dibombardir pertanyaan dari kedua orang tuanya, mertua, dan kini istrinya. Mereka semua mempertanyakan hubungannya dengan Jilian.

Peristiwa itu membuatnya sangat marah, bertanya pada teman-temannya satu per satu tentang siapa yang memberikan Jilian undangan. Karena tanpa undangan gadis itu tidak bisa masuk. Tidak ada yang mengaku, karena semua temannya kebetulan datang di hari itu. Sampai sekarang, itu adalah misteri untuknya.

"Alfredo, kalau kamu ingin bebas dari masalah ini. Kamu harus tuntaskan masalah dengan gadis itu."

Alfredo mengangguk, mengecup leher istrinya. "Tentu saja, aku pasti tuntaskan. Nggak ada satu pun orang yang bisa merusak pernikahan kita."

"Bagus." Karen membawa tangan suaminya ke arah selankangannya dan berkata tajam. "Bagaimana dengan ini? Aku kurang puas tadi."

Alfredo tersenyum, membuka jubah istrinya. Ia merendahkan tubuh dan berjongkok di depan istrinya. Mengangkat satu paha Karen ke atas bahunya dan mendesah. "Biar aku yang selesaikan."

Karena berpegangan pada dinding, berusaha menikmati sentuhan Alfredo di area intimnya. Memang tidak terlalu hebat, tapi cukup untuk memuaskannya hari ini. Sepertinya, Alfredo dilahirkan bukan untuk menjadi pecinta. Karen merasa, dirinya terlalu berharap banyak. Saat lidah Alfredo mencapai titik sensitifnya, ia mendesah. Ingin sekali dibanting ke ranjang dan disetubuhi, tapi sadar kalau suaminya tidak lagi punya tenaga.

"Sial!" Ia menggumam cukup keras dan di bawahnya, Alfredo makin bersemangat untuk memuaskannya.

**

Selesai makan, Jilian merapikan bekas makanan mereka. Sean sedang berdiri di depan mesin espresso. Terlihat dari gerakan laki-laki itu yang canggung, kalau penthouse ini memang bukan miliknya. Jilian tersenyum, mengamati sekilas pada ruangan yang terang benderang. Entah siapa pemilik sebenarnya dari rumah ini, tapi yang pasti orang kaya. Entah berapa miliar harga dari penthouse ini, dengan dekorasi yang elegan dan mewah.

"Pak, pekerjaamu apa sebenarnya?" Jilian tidak dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya.

Sean menoleh, berhasil membuat dua gelas espresso dan meletakkan di atas meja.

"Menurutmu apa?"

Jilian mengernyit lalu menelengkan kepala. "Ini bukan penthousemu, tapi bisa tinggal di sini. Bebas menggunakan barang-barang. Aku tebak, kamu asisten seseorang atau sopir mungkin?"

Sean menaikkan sebelah alis. Mendekati Jilian dan mengurung gadis itu di antara meja makan. "Sopir? Baiklah, anggap saja aku sopirmu kalau begitu. Mulai sekarang, aku akan mengantarmu kemana pun kamu ingin pergi. Aku harap kamu nggak keberatan kalau punya kekasih seorang sopir."

Jilian meneguk ludah. "Kita bukan kekasih sungguhan."

"Memang, tapi dengan jawabanmu, aku anggap kamu setuju dengan tawaranku. Detil rencana pembalasan bisa kita bahas nanti."

"Be-belum setuju, Pak." Jilian menggigit bibir, gugup karena Sean begitu dekat. Tato terlihat jelas dari balik pakaian, membuat jarinya gatal ingin mengusapnya.

"Berarti aku yang geer," bisik Sean. Jarinya mengusap bagian depan tubuh Jilian. Menyukai fakta kalau gadis itu memakai kemejanya dan terlihat menggemaskan. "Karena aku beranggapan, di malam pertama kamu tidur di ranjangku, berarti kamu sah menjadi milikku."

Sean mengangkat pinggang Jilian, meletakkannya ke atas meja dan mengulum bibirnya. Ia tidak membiarka gadis itu mengelak. Bibirnya memagut, tangannya mengangkat paha Jilian di sekitar pinggangnya. Ia menyukai sensasi tubuh mereka yang menempel satu sama lain. Jemarinya menyelusup masuk ke dalam kemeja untuk meremas dada Jilian.

"Kamu tegang, berarti aku anggap kamu setuju denganku."

Jilian mendesah, menikmati sensasi aneh di tubuhnya karena cumbuan Sean. "Pak, aku—"

"Ssst, diam saja. Aku akan memberimu sesuatu untuk dipikirkan hari ini."

Sean membuka mengangkat kemeja hingga ke dada, membaringkan Jilian ke atas meja makan dan menunduk untuk menikmati puncak dada yang tegak menantang. Tidak peduli pada desah liar napas mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro