Bab 1a
Jilian menatap hotel di depannya. Orang-orang berlalu lalang dan berpasangan dengan pakaian terbaik mereka. Senyum manis tersungging di wajah, saling bergandengan dengan pasangan atau anak. Jilian menatap mereka penuh iri dengan hati menggelegak karena marah. Di dalam taxi yang membawanya ke hotel, ia menepuk jidat. Menengguk minuman yang sengaja dibawanya. Minuman beralkohol yang akan membantunya melewati semua ini. Ia butuh keberanian untuk berteriak dan memaki, alkohol adalah support terbaik.
Jilian tidak pernah menyangka, kalau ia akan sampai ke tahap ini. Datang ke pesta pernikahan hanya untuk merusaknya. Ia adalah tipe orang yang selalu menghargai orang lain. Orang tuanya mendidik untuk jadi manusia yang tidak menyakiti manusia lain. Sayangnya, ia disakiti lebih dulu dan keinginannya hanya satu, membalas dendam.
"Nona, sudah hampir 15 menit kita di sini." Sopir taxi menoleh, bertanya dengan tatapan bingung.
Jilian meneguk ludah, lalu mengangguk. Menatap argo taxi dan sedikit menghela napas karena banyaknya uang yang harus dikeluarkan. Ia merogoh dompet, mengambil uang dan membayar. Menerima kembalian tanpa banyak kata. Sebelum turun dari taxi, ia meneguk sekali lagi minuman dari botol dan keluar dengan sedikit terhuyung. Pandangannya sedikit mengabur, tapi pikirannya masih bekerja dengan baik.
Ia menyeret gaun kuning sepanjang sepanjang jalan. Tidak peduli dengan ujungnya yang kotor. Satu tangan memegang gaun, tangan yang lain memegang botol minuman. Tas hitam kecil berayun di bahunya. Saat menyeberangi jalan depan lobi, ia hampir tertabrak mobil. Untung saja reflek pengendara sangat bagus. Jilian terhuyung sebentar, sebelum menegakkan diri dan melangkah cepat ke arah lobi.
Pengendara mobil yang hampir menabrak Jilian, menatap gadis itu tak berkedip. Rasa kaget masih mengusainya karena gadis itu menyeberang tanpa melihat jalan. Kalau saja refleknya tidak bagus, entah apa yang akan terjadi
"Kenapa dia terburu-buru sekali?" Laki-laki berkaca mata hitam, bergumam dan menatap arah lobi. Ia kembali menstarter kendaraan dan berhenti di parkiran vallet.
Jilian menyeberangi lobi, antri di depan lift dengan banyak orang lainnya. Ia menyerbu masuk saat lift terbuka, membiarkan dirinya terdesak di dalam. Celoteh orang-orang hanya didengar sepintas, ia terlalu sibuk dengan pikiran dan rasa sakit hatinya.
Lift membuka, ia memiringkan tubuh untuk mencari jalan keluar. Tiba di depan ballroom, ada banyak orang di lorong. Menggunakan undangan yang dipinjam dari seorang teman, ia memasuki ballroom dengan mudah. Berdiri di dekat pintu masuk dan terbelalak.
Di pelaminan yang megah, sepasang pengantin sedang menerima ucapan selamat dari para undangan. Musik mengalun dari orchestra di ujung ruangan. Ia mengenali orang-orang yang ada di pelaminan, pengantin laki-laki, dan orang tuanya. Ia mengusap dadanya yang sesak, menahan air mata yang hendak jatuh. Membuang botol ke tempat sampah, ia mengusap mata dan mengangkat ujung gaunnya. Melangkah dengan cepat menuju pelaminan. Ia menyambar kertas lebar dan mengkilat dari meja prasmanan. Itu adalah brosur catering, meletakkannya di atas kepala untuk menutupi wajah lalu mengantri bersama tamu undangan yang lain. Satu langkah ke depan, dadanya seperti digedor. Seribu umpatan terekam di dalam dada dan harus ia sembur keluar.
Hingga lima antrian lagi di depan MC pernikahan mengajak bicara pasangan pengantin. Para tamu yang ingin bersalaman harus menunggu.
"Wah, bisakah pengantin laki-laki yang berbahagia ini bercerita, sudah lama kalian menjalin hubungan dan bagaimana akhirnya memutuskan untuk menikah?"
Pengantin laki-laki mengambil mikrophon, tersenyum pada istrinya yang bergaun putih dan mulai bicara. "Kami menjalin hubungan kurang lebih enam bulan lalu. Merasa cocok satu sama lain, dan aku melamarnya bulan lalu."
Jilian mengepal saat mendengarnya.
"Kisah cinta yang hebat. Apakah kalian langsung klik satu sama lain dari pertama bertemu?"
Lagi-lagi si pengantin laki-laki yang menjawab. "Iya, Karen adalah satu satunya perempuan dalam hidupku. Tidak pernah ada perempuan yang aku cintai, seperti Karen."
"BOHOOONG!"
Jilian yang sudah tidak sabar menahan geram, keluar dari barisan. Membuang kertas ke samping dan menunjuk pengantin laki-laki dengan marah.
"Alfredo, sialan kamu! Berani-beraninya bohong!"
Pengantin laki-laki terperangah, sementara istrinya menatap bingung. "Siapa dia, Sayang?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Alfredo dengan panik. Berusaha menenangkan istrinya.
Jilian melangkah maju, beberapa orang berusaha menghalangi dan ia tidak peduli. Alkohol membuatnya kuat untuk menahan malu, meskipun sakit hatinya menggelegak.
"Terus aja bilang menyangkal. Kita pacaran tiga tahun. Orang tuamu juga kenal akuu!" Jilian menunjuk kedua orang tua di samping Alfredo. "Baru dua hari kamu putusin aku secara sepihak, kamu udah nikah! Bajingan!"
"Alfredo!" Sang papa berteriak.
Alfredo menggeleng lalu berteriak. Tangannya melambai untuk mengusir Jilian. Ia memanggil para penjaga, dan dua laki-laki berusaha memegang tangan Jilian, tapi ditepiskan. "Perempuan gila! Kita udah putus dari lama. Kenapa kamu masih nggak terima?"
"Udah lama? Baru dua hari lalu. Laki-laki sialan!" Jilian mengambil sepatu dan melemparkannya ke arah Alfredo. Meleset, mengenai pelaminan dan jatuh di karpet. "Kalau kamu mau kawin! Bilang terus terang. Jangan pakai alasan nggak masuk akal!"
Jeritan Jilian menarik perhatian banyak orang. Para tamu undangan mendekat, untuk melihat apa yang terjadi. Tapi, Jilian tidak peduli. Ia ingin seluruh dunia tahu, apa yang sudah dilakukan Alfredo padanya. Ia tidak masalah kalau memang harus putus hubungan, tapi tidak begini caranya.
Alfredo meninggalkan istrinya, menghampiri Jilian dengan wajah memerah. Ia memberi tanda dan dua laki-laki penjaga kini menyergap Jilian, memegang tangannya dengan erat. Tidak peduli kalau perempuan itu meronta dan berteriak. Ia berdiri di depan Jilian dan menatap tajam.
"Berani-beraninya kamu mempermalukanku!"
Jilian mengangkat dagu dan tertawa lirih. "Aku hanya ingin istrimu tahu, laki-laki macam apa yang dinikahinya. Kamu ingat gaun yang aku pakai ini? Gaun yang sama waktu kamu melamarku tahun lalu dan kita resmi bertunangan. Sialan!"
"Oh, kamu sakit hati karena aku memutuskanmu?"
Jilian berdecak, meronta tapi kedua penjaga mencengkeram pergelangan tangannya. "Sakit hati? Bukan putus yang bikin aku sakit tapi karena kamu menduakanku. Bisa-bisanya kamu memacariku dan dia bersamaan. Sialan kamu, Alfredo!"
Alfredo tersenyum sinis, mengusap jas pengantin dan rambutnya, menatap Jilian dengan pandangan bosan. "Harusnya kamu intropeksi diri, kenapa aku memilih Karen. Laki-laki mana yang akan menikah dengan perempuan macam kamu?"
Jilian meledak, berteriak tapi Alfredo memberi tanda pada penjaga untuk menyeretnya turun dari pelaminan.
"Jangan kamu pikir masalah ini akan selesai, Alfredo. Kamu harus terima pembalasankuuu!"
.
.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 4.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro