Bab 15a
Ayah dan anak itu berdiri saling pandang, umur yang terpaut jauh menandakan kalau Nugraha sudah cukup berumur saat istrinya melahirkan Sean. Meski begitu, kedekatan keduanya cukup bagus, setidaknya saat Sean ada di dalam negeri. Nugraha yang selalu bersusah payah untuk mendekatkan diri pada anaknya, meski selalu mendapatkan penolakan. Ada benteng yang sengaja dibangun Sean untuk mereka berdua, dan membuat Nugraha kesulitan menembusnya. Semua dimulai saat mamanya Sean meninggal dunia.
"Siapa gadis itu? Sepertinya aku sering mendengar namanya," ucap Nugraha.
"Kakek datang ke pernikahan Alfredo?"
"Hanya di dua jam pertama. Kenapa?"
"Nggak, hanya tanya."
"Apa hubungan kekasihmu dengan pernikahan Alfredo?"
Sean tersenyum tipis, melangkah ke arah tempat tidurnya dan duduk di pinggiran. Bobot tubuhnya membuat permukaan kasur bergerak. Ia mengamati dinding dengan banyak figura berisi foto para pemain bola. Ia sangat suka olah raga sepak bola saat kecil, latihan secara diam-diam di sekolah dan mengikuti perkembangan berita. Tidak ada yang disukainya lebih dari sepak bola.
Foto-foto itu masih tergantung di dinding, Nugraha sama sekali tidak meminta pelayan untuk mencopot atau memindahkannya. Tidak peduli kalau foto itu sudah pudar. Sean meraih pigura kecil di atas meja samping ranjang. Mengusapnya perlahan. Foto dirinya dan sang mama saat masih hidup. Mamanya terlihat sangat muda, segar, dan cantik.
"Papa tahu kenapa aku menerima jabatan itu?"
Nugraha meraih kursi di dekat jendela dan duduk. "Karena kamu sayang sama papamu ini?"
Sean mendengkus, merasa geli dengan kata-kata sayang yang terlontar dari mulut sang papa. "Kalau rasa sayang bisa dihitung, aku rasa Kak Surya dan Kak Seno jauh lebih sayang dari pada aku."
"Kalau begitu apa? Jangan bilang kamu hanya ingin cari pengalaman? Karena papa yakin, kamu sudah banyak mendapat pengalaman di luar negeri."
"Memang bukan, tapi aku ingin mencoca sesuatu yang baru. Bagaimana rasanya jadi orang paling berkuasa. Aku juga melihat beberapa kekurangan dalam system manajemen perusahaan kita dan ingin merapikannya."
Nugraha tersenyum. "Lakukan yang menurutmu bagus. Tapi, ingat! Apa pun yang kamu lakukan harus mendiskusikannya dulu denganku."
Sean mengangguk. "Itu pasti, Pa."
"Kenapa kita nggak turun dan makan? Papa belum makan."
"Tunggu, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada Papa."
Sean membuka laci nakas, mengeluarkan kotak persegi dari plastik dan menunjukkan pada papanya. "Apa Papa tahu ini apa?"
Nugraha mengernyit. "Obat-obatan mamamu? Untuk apa kamu menyimpannya?"
"Ini memang obat-obatan mama dari dokter. Aku menyimpannya untuk kenang-kenangan. Memang aneh, menyimpan kenangan obat. Tapi, apa Papa tahu kalau di antara obat-obatan itu ada racun yang terselip di dalamnya?"
"Racun? Maksudmu apa, Sean? Mana mungkin ada racun di antara obat-obatan mamamu?"
"Memang begitu kenyataannya, Pa. Aku menyimpan bukti kalau ada racun. Untuk Papa tahu, aku sudah menyelidikinya dan sayangya, dokter yang merawat mama saat itu sudah meninggal."
Perkataan panjang lebar dari anaknya membuat Nugraha bingung. Apa hubungan antara racun, obat-obatan, dan kematian istrinya? Kenapa Sean begitu misterius sampai menyelidiki dokter yang merawat mamanya? Nugraha tidak pernah berpikir kalau istrinya diracun. Ia tahu kalau istrinya sakit parah, komplikasi ginjal dan paru-paru. Bukan hal konyol seperti racun.
Melihat papanya termangu, Sean mengulum senyum. "Papa pasti bingung dan menganggapku gila. Percayalah, Pa. Aku sama sekali tidak gila. Begitu aku merasa curiga, aku langsung menyelidiki dan ternyata benar, ada kandungan zat berbahaya di dalam obat-obatan yang dikonsumsi mamaku."
Nugraha terperangah. Menggeleng kepala dengan cepat. "Jangan bicara sembarangan, Sean. Tuduhan serius itu."
"Memang, dan aku sudah membuktikannya. Membawa obat obatan ke luar negeri dan meminta dokter yang kompeten membuktikannya. Papa pasti bingung, siapa orang yang ingin mencelakakan mama. Aku sudah punya dugaan kuat, Papa. Suatu hari nanti akan aku ungkapkan. Saat itu, aku akan membalasnya. Itulah kenapa, aku menerima jabatan sebagai presdir. Untuk membalas perbuatan orang-orang yang sudah menyakiti mamaku."
Pernyataan yang panjang lebar, lugas, dan tegas dari anak bungsunya membuat Nugraha terdiam. Ia meraih kotak berisi obat-obatan dan membukanya. Sama sekali tidak pernah terpikir kalau istrina akan diracun. Siapa yang tega melakukannya? Kenapa harus meracuni Marisa? Istrinya adalah perempuan cantik dan baik pada semua orang.
"Kamu pulang karena dendam?" gumamnya.
Sean mengangguk. "Sebagian, iya. Sebagian lagi karena memang bosan tinggal di luar negeri."
Nugraha mengedip, menghela napas panjang. Tangannya mengusap kotak obat dengan gemetar. "Kamu mencurigai papa?" tanyanya pelan.
"Tentu saja tidak. Papa meskipun tidak perhatian pada mama tapi Papa mencintai mama. Benar bukan?"
Nugraha mengangguk. "Mamamu adalah perempuan yang selalu papa cintai. Dari dulu sampai sekarang. Tidak berubah."
Sean tidak meragukan perkataan papanya. Dari semenjak kematian mamanya, sang papa sama sekali tidak ada niatan untuk menikah lagi. Padahal, sebagai laki-laki kaya raya dikelilingi banyak perempuan cantik, akan mudah bagi papanya untuk mendapatkan siapa pun yang diinginkan. Nyatanya, sampai sekarang Nugraha memilih untuk tetap sendiri. Sean menghargai itu.
"Papa nggak usah kuatir, aku akan membuktikan dan membalasnya sendiri."
Perkataan yang dingin dari Sean membuat Nugraha bergidik. Ia menatap lekat-lekat mata anak bungsunya. Menyadari kalau anak kecil yang dulu terlihat sangat pendiam, kini menjelma menjadi laki-laki kuat dan penuh dendam. Bertahun-tahun berlalu tanpa mereka bersama, mengubah banyak hal dalam diri anaknya.
Sean, hati-hati dengan prasangkamu. Jangan sampai membuatmu hancur."
Sean tersenyum. "Aku sudah hancur dari dulu, Papa. Semenjak mama meninggal."
Malam itu, mereka melewatkan waktu berdua di kamar Sean. Para pelayan membawa makan malam ke atas atas permintaan Nugraha, yang ingin menghilangkan kebiasaan demi anaknya. Mereka makan sambil mengenang masa kecil Sean yang pernah dilalui di rumah ini.
"Papa berharap, kamu tinggal di rumah ini, Sean."
"Nanti, Papa. Kalau aku sudah menikah, akan pindah kemari."
"Kamu serius dengan gadis itu?"
"Iya, aku serius."
Nugraha mengunyah makanannya dengan perlahan. Menatap anaknya yang juga menyantap dalam diam. Sean memang tidak banyak bicara tentang gadis yang ada di penthouse. Tapi, ia akan menyelidikinya. Siapapun perempuan yang dekat dengan anak-anaknya, harus mendapatkan persetujuannya.
**
Terima kasih bagi yang sudah PO cerita ini. Sedang naik cetak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro