Bab 14a
Jilian menggeliat, merasakan pahanya sedikit nyeri. Ia meraba samping dan mendapatinya kosong. Sean sudah pergi. Lamat-lamat terdengar suara laki-laki itu dari ruang tengah, mungkin sedang menelepon. Ia bangkit perlahan, tertatih menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Menatap jubah handuk di atas rak, mengambil dan memakainya. Menatap bayangannya di cermin, memantulkan wajah pucat dan mata cekung. Sepertinya ia butuh tidur lebih lama tapi perutnya lapar. Setelah mencuci muka dan gosok gigi, Jilian mengambil salah satu kaos Sean dan memakainya. Mengingatkan diri untuk meletakkan beberapa bajunya di sini. Siapa tahu, lain kali akan menginap lagi.
Benar dugaannya, laki-laki itu sedang bekerja. Laptop terbuka di depannya. Ia mengenali mereknya sebagai merek mahal. Ada headset terpasang di telinga, dan Sean sekarang bicara dalam bahas Inggris yang fasih. Jilian terpesona, mendengar suaranya yang dalam. Aksen Sean sangat sempurna dan enak untuk didengar. Laki-laki itu mengangkat wajah dan tersenyum padanya. Jilian mengusap perut, menuju dapur.
Seperti dugaannya, ada banyak makanan di atas meja. Ia duduk dan membuka satu kotak. Di dalamnya ada nasi dengan bebek panggang. Tumis sayur berada di kotak yang terpisah. Saat membukanya, aroma bawang putih menguar di udara. Mengambil sumpit, ia makan perlahan dan pikirannya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Sean? Apakah laki-laki itu benar hanya pegawai biasa? Kenapa bisa kerja di rumah? Bukankah jam-jam begini harusnya ada di kantor bersama Surya? Setahunya, Manggala Group sangat ketat dalam aturan pekerjaan, kalau begitu kenapa Sean bisa begitu bebas?
"Kamu makan atau melamun?"
Sean datang, menatapnya geli.
"Makan, lapar banget. Pak Sean udah makan?"
"Belum, sebentar lagi. Aku selesaikan kerjaan. Aku mau ke toilet sebentar. Kalau ada yang datang kamu buka pintu saja, aku meminta laundry mengantar pakaian kita."
Laki-laki masuk ke kamar dan tidak keluar untuk beberapa saat. Jilian meneruskan manyantap makanan. Terdengar bel pintu berbunyi. Ia mengernyit, menatap ke arah kamar tapi Sean tak kunjung keluar. Ia merapikan kaos, melangkah ke arah pintu dan membukanya. Di depan pintu berdiri seorang laki-laki berumur awal lima puluhan yang menatapnya kaget. Jilian tersenyum.
"Bapak mau antar laundry, ya?"
Laki-laki setengah baya itu mengedip bingung. "Laundry?"
"Iya, tadi udah dititipin omongan kalau ada tukang laundry mau datang. Maaf, Bapak mau antar laundry atau bukan?" tanya Jilian ramah, takut salah paham.
Laki-laki itu tersenyum. "Apa Tuan Sean ada?"
Jilian ternganga. "Tuan Sean? Bapak cari Tuan Sean?"
"Benar. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan pada beliau."
"Ah, kalau begitu silakan masuk."
Jilian merasa malu, karena berhadapan dengan laki-laki tua dalam keadaan hanya memakai kaos. Untung saja kaos Sean sangat besar untuk tubuhnya. Tidak terlalu ketara kalau ia hanya memakai kaos tanpa bawahan.
"Duduk, Pak. Itu, Pak Sean ada di toilet."
"Kamu bicara dengan siapa, Jilian?" Sean muncul dan terdiam saat melihat siapa yang datang. Ia tersenyum ke arah Jilian. "Habiskan makanmu."
Jilian mengangguk, berbalik dan kembali ke ruang makan. Kebingungan kembali melandanya, karena orang datang dan memanggil Sean dengan sebutan tuan. Siapa sebenarnya laki-laki yang ada di rumah ini? Benarkah penthouse ini hanya pinjaman? Benarkah Sean hanya orang biasa dan bukan siapa-siapa? Jilian menepiskan semua pertanyaan dalam otaknya dan kembali makan.
Sean menghampiri Janu. "Pak, datang ada keperluan apa?"
Janu membungkuk dan menyerahkan dokumen di tangannya. "Dari Tuan Besar."
Sean menerima dan membaca tulisan di sampul. "Dari papaku ternyata. Kapan aku harus kembalikan."
"Saat bertemu nanti."
"Baiklah." Sean menatap Janu. "Apakah papaku sehat?"
Janu terdiam dan menggeleng. "Tidak, baru tadi pagi Tuan Besar terkena serangan jantung."
"Kenapa? Apa yang terjadi?"
"Serangan kecil, sudah bisa diatasi. Alangkah lebih baik kalau Tuan Muda datang menjenguk."
Sean mengangguk. "Baiklah, selesai memeriksa dan menandatangani ini, aku akan ke rumah. Mungkin nanti malam."
"Baik Tuan Muda. Kalau begitu, saya pamit dulu."
Janu memutar tubuh, bersiap pergi saat Sean bertanya.
"Pak, kenapa papaku terkenang serangan? Apa pemicunya?"
Janu menghela napas panjang. "Bertengkar dengan Tuan Muda Seno."
"Sial!"
Sepeninggal Janu, Sean berdiri gamang di tengah ruang tamu. Informasi yang baru saja ia dengar membuatnya marah. Bagaimana bisa Seno bertengkar dengan membuat papa mereka serangan jantung. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh kakaknya itu.
"Pak ...."
Sean menoleh, tersenyum pada Jilian. "Kamu sudah selesai makan?"
Jilian mengangguk. "Sudah. Mau ganti baju dan pulang ke rusun sebelum kerja."
"Kenapa? Kamu bisa berangkat dari sini?"
"Eh, nggak ada pakaian ganti."
"Benar juga. Ingatkan aku untuk membeli pakaian baru untukmu."
"Nggak perlu, Pak. Aku punya banyak baju."
Sean meletakkan dokumen di atas meja. Meraih Jilian dan pelukan dan mengecup rambutnya. "Terima kasih, Jilian."
Jilian melingkarkan lengannya pada pinggang Sean. "Untuk apa, Pak?"
"Untuk hari kemarin dan hari ini. Terima kasih, sudah menemaniku."
Jilian tersenyum. "Aku yang berterima kasih, Pak. Untuk semua pertolongan. Aku—"
Jilian tidak menyelesaikan perkataanya karena Sean menyambar dagu dan melumat bibirnya. Mereka saling mengulum dan memagut. Sisa gairah karena percintaan tadi malam, menguar dari dalam diri mereka. Sean mengangkat wajah, mengusap bibir Jilian.
"Aku ingin sekali membawamu kembali ke ranjang, bercinta denganmu sampai besok. Tapi, pekerjaanku nggak bisa ditunda."
Jilian membelai dagu Sean yang berjanggut tipis,menyukai sensasi rambut kasar di jemarinya. "Nggak masalah, Pak. Kita harus realistis. Lagipula, masih ada esok hari."
"Benar, masih ada esok hari. Saat libur nanti, pastikan kamu datang. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kalau misalnya ada orang datang, usir atau pukul."
"Hahaha, iya, Pak. Kali ini aku nggak akan biarkan diriku dipukuli lagi."
"Ingat, apa pun yang terjadi, telepon aku, Jilian."
Tukang laundry beneran datang kali ini, membawa pakaian Jilian yang sudah dicuci dan disetrika rapi. Karena stok makanan banyak, Jilian berinisiatif membawa sebagian untuk bekal kerja dan memberikan pada Sammy. Sean tidak keberatan, bahkan meminta gadis itu membawa semua makanan.
"Kalau aku bawa semua, Pak Sean makan apa nanti?"
"Aku harus menghadap bossku nanti. Pasti makan malam sama dia. Dari pada nganggur, kamu bawa saja."
Jilian dengan senang hati menerima tawaran Sean. Selesai mengemasi makanan, ia bersiap pergi saat Sean memeluk dan meraih jemarinya. Ia belum sadar sepenuhnya saat laki-laki itu menyematkan cincin di jari manisnya.
"Pak, apa ini?" Ia terbelalak, pada cincin bertatahkan batu permata di jarinya.
"Cincin untuk kamu," jawab Sean. Mengecup jemari Jilian dengan lembut. "Kamu milikku sekarang."
"Ta-tapi, kelihatan mahal."
"Nggak ada yang mahal kalau buat kamu, Jilian. Asalkan aku mampu beli. Satu lagi, aku kurang suka dan cemburu pada laki-laki lain yang tinggal bersamamu. Aku harap kamu mempertimbangkan untuk pindah kemari."
Jilian tersenyum, berjinjit untuk mengecup bibir Sean. "Nanti, Pak. Kalau hubungan kita sudah stabil. Kita baru mulai, aku bahkan nggak tahu akan dibawa kemana hubungan kita nanti."
"Bukankah kita sepakat akan membalas Alfredo?"
.
.
.
.
.Cerita ini sedang PO dan tersedia di Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro