Bab 12b
"Kakak, bisa nggak ucapannya lebih lembut sedikit!" Arvin ikut menegur kakaknya, yang sedari tadi membatah perkataan sang papa. "Papa kita sedang banyak pikiran. Jangan memperumit keadaan."
Lopita tertawa lirih pada adiknya. "Terus saja berakting menjadi anak yang baik, Arvin. Tapi, jangan bawa-bawa diriku."
"Aku nggak berakting!"
"Kalau begitu kamu lagi menjilat. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi, aku harap kalian berhenti mencampuri urusanku!"
Surya menggebrak meja, menghentikan perdebatan kedua anaknya. Ia menatap jengkel pada anak tertuanya. Sudah berumur cukup matang, tapi menolak untuk menikah. Tidak suka bekerja di kantor, dan selalu berbuat semaunya, termasuk dengan gaya hidupnya yang serampangan. Anak perempuannya memang harus didisiplinkan.
"Yang kamu bilang bukan urusanmu, sudah membiayai gaya hidupmu. Kamu pikir dengan menjadi fashion design, cukup untuk membeli mobil, sewa kantor, beli apartemenmu itu, hah!"
Lopita mencebik. "Aku sedang berusaha, Papa."
"Berusaha apa? Ingin membuatku terkena serangan jantung? Kamu sudah bukan anak kecil lagi, Lopita. Orang tua sedang kesusahan kamu malah mengejek!"
Lina mengusap punggung suaminya. "Pa, tenaaang. Jangan mengamuk."
Surya menatap istrinya dengan pandangan tidak puas. "Bagaimana aku nggak ngamuk, kalau anakku sendiri mengacau. Kamu jadi istri, apa saja kerjamu. Mengurus dua anak saja tidak becus!"
"Paa, kenapa marah sama Mama? Yang salah justru Kakak!" Arvin mengeluh tidak puas.
"Tapi, mamamu yang sehari-hari di rumah! Harusnya, dia bisa mengendalikan kalian berdua."
Lina menghela napas panjang, menatap sedih pada makanan yang banyak tersisa di atas meja. Mendengarkan semua perkataan suaminya tentang dirinya yang dianggap tidak mampu menjadi istri. Selama ini, ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri dan seorang ibu, nyatanya tetap tidak bisa membuat puas suaminya.
Lopita menatap papanya yang terus marah dan mengoceh, tidak menyukai fakta kalau sang papa sedang menumpahkan rasa marah karena perusahaan pada keluarganya. Ia merasa prihatin dengan mamanya yang hanya tunduk dan diam. Mendesah kesal, ia bangkit dari meja makan.
"Mau kemana kamu? Papa belum selesai bicara."
"Ke bar, cari minum."
"Duduk!" Surya berkata geram.
"Nggak, Papa. Aku nggak mau duduk hanya untuk dengar Papa mengamuk! Dah, Mama."
Lopita bergegas keluar, tidak peduli pada panggilan papanya. Inilah salah satu alasan kenapa ia memilih tinggal di apartemen dari pada serumah dengan keluarganya, sang papa yang otoriter membuatnya terkekang. Ia melajukan kendaraan ke bar langganan, menikmati minuman, menari, dan menghilangkan beban.
**
"Amber, apa kabar?" Sean menyapa perempuan yang sedang memeluknya.
"Ternyata benar, kamu Sean. Long time no see, my dear."
Jilian hampir menumpahkan minuman di tangan saat mendengar sapaan Amber pada Sean. Ia tidak menyangka kalau Sean akan mengenal perempuan secantik Amber. Dilihat dari penampilannya, Amber bukan perempuan biasa. Barang-barang bermerek yang melekat di tubuhnya, menandakan status sosial yang cukup berada. Bagaimana mereka kenal? Di mana, dan kapan? Jilian menajamkan pendengaran, untuk menguping percakapan mereka.
"Sean, kamu makin tampan, dari terakhir kita bertemu." Amber berkata merayu. "Berapa lama itu? Dua tahun lalu sepertinya. Kamu menghilang setelah pertemuan terakhir kita."
Sean tersenyum kecil. "Sorry, Amber. Aku sibuk."
Amber tersenyum manis, jemarinya dengan santai mengusap bahu Sean. "Kamu sibuk, aku maklumi. Tapi, kenapa menghilang. Kamu nggak tahu, kalau aku selalu menunggu pertemuan kita?"
Sean menghela napas, berusaha menurunkan tangan Amber dari bahunya. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari Amber, dan tidak menyangka malam ini akan bertemu di sini. Ia menatap Jilian yang sibuk melayani tamu. Mengernyit tidak suka pada satu laki-laki setengah baya yang memesan minuman sambil merayu Jilian. Gadis itu menanggapi dengan senyum sopan, tak urung membuatnya kesal.
"Aku free sepanjang malam ini. Bagaimana kalau kita mengobrol di tempat yang lebih privat?" Amber tanpa malu-malu menempelkan tubuhnya pada Sean.
"Maaf, aku nggak bisa. Ada perlu penting." Demi menghindari masalah yang berlarut larut, Sean bangkit dari kursi. Bergegas membayar sebelum pergi. Sengaja tidak berpamitan pada Jilian karena tidak ingin Amber tahu.
"Sean, kita baru ketemu!" Amber mengikuti langkah Sean.
"Kapan-kapan kita mengobrol lagi, Amber."
"Kapan? Mana nomor ponselmu, Sean?"
"Nomor ponselku nggak berubah!"
Amber berdiri mematung, menatap sosok Sean yang menghilang di kerumunan. Ia menggigit bibir, menahan rasa kecewa dan marah. Membalikkan tubuh, ia kembali ke meja dan menenggak habis minumannya.
"Lagi!" Amber membantung gelas di meja. "Aku sedang bahagia, karena bertemu lagi dengan laki-laki pujaanku. Kamu tahu Jilian? Dia bilang nomor ponselnya nggak berubah. Hahaha. Aku mendapat lampu hijau!"
Sisa malam itu, dilewati Jilian dengan pikiran penuh tentang Sean dan Amber. Apa hubungan mereka dulu? Kenapa bisa saling kenal? Apa yang dikatakan Sean sampai membuat Amber demikian bahagia?
Saat pekerjaan selesai, Jilian yang sedang menuju tempat ojek, dikejutkan dengan Sean yang muncul entah dari mana. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu sedang menunggunya pulang.
"Pak, masih di sini?" tanyanya.
Sean mengangguk. "Tentu saja, menunggumu. Ayo, masuk!"
Jilian duduk di jok depan, memasang sabuk pengaman. "Nggak nyangka Pak Sean masih di sini. Kirain udah pergi."
Sean mengernyit. "Pergi kemana?"
"Ya, nggak tahu. Ada perempuan cantik yang menyodorkan diri. Masa, iya, nggak mau?"
"Maksudmu, Amber?"
"Siapa lagi?" Jilian melirik Sean. "Tahu nggak, Pak. Sepanjang malam Amber terus mengoceh soal kamu. Bahagia karena udah ketemu lagi. Katanya, kalian akan berkencan dalam waktu dekat."
"Ngaco! Kapan aku bilang gitu?"
"Tapi, kalau itu benar juga nggak apa-apa. Amber itu cantik dan kaya, cocok sama Pak Sean."
Suara Jilian terdengar lirih di dalam kendaraan. Sean tidak mengatakan apa pun. Sisa perjalanan dihabiskan dalam diam. Jilian sempat memprotes karena Sean tidak mengantarkannya ke rusun tapi malah ke penthouse laki-laki itu.
"Pak, aku mau ke rusun."
Sean melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan lengang di pagi buta. Tiba di parkiran, ia meraih lengan Jilian dan menariknya ke dalam lift.
"Aduh, pemaksaan ini namanya. Aku mau ke rusun, malah ke sini." Jilian memprotes sambil mencebik.
Sean mengabaikannya. Saat pintu lift terbuka, ia menarik gadis itu keluar. Membuka pintu, mendorong Jilian masuk. Membanting pintu sampai tertutup, ia meraih wajah Jilian dan melumat bibir gadis itu.
"Pak, apa ini."
Suara Jilian ternggelam karena ciuman mereka. Sean mendorong gadis itu ke atas sofa, dan menindihnya dengan posesif.
.
.
.
.
.
Tersedia di google playbook. Link ada di papan pengumuman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro