Bab 11a
"Hari ini aku harus kerja, mungkin pulang agak sore. Kamu bisa mengurus dirimu sendiri?" Sean berpamitan pada Jilian yang sedang sarapan.
"Bisa, Pak. Ini udah bisa makan sendiri."
Sean menyesap kopinya. "Bagus."
"Pak, aku mau pamit kerja malam ini."
"Bisa?"
Jilian mengangguk. "Bisa. Tadi malam aku udah coba oles concealer dan berhasil."
"Oke, aku bisa antar kamu ke bar."
"Bukannya kerja sampai sore?"
"Nggak akan terlalu sore. Pasti bisa antar kamu."
Jilian mengulum senyum, merasa tidak enak hati dengan kebaikan yang ditawarkan Sean padanya. Hatinya bertanya-tanya, kenapa Sean begitu baik padanya. Dari awal bertemu sampai sekarang. Apakah benar yang diharapkan laki-laki itu hanya sex? Mungkinkah sesuatu yang lain? Tapi, apa?
"Pak, jangan terlalu baik. Aku jadi malu."
Sean hampir tersedak kopi mendengar perkataan Jilian. "Hah, kamu malu sama aku?"
"Tentu saja, masa nggak punya rasa malu."
Jilian mengusap pipi kanannya yang mendadak gatal. Salah tingkah karena tatapan Sean padanya. Memang benar ia malu, karena sudah membuat repot orang lain. Tapi, bersyukur juga. Kalau tidak ada Sean entah apa jadinya. Mungkin sekarang ia masih terkapar di rumahnya yang kecil, meratapi kesedihan dan kesakitannya. Tidak mungkin berani melawan Alfredo dan keluarganya.
Sean bangkit dari kursi, mendekati Jilian dan mengecup puncak kepalanya. Tangannya gatal ingin merengkuh gadis ini dalam pelukan, mencium sampai Jilian lemas dan bercumbu seperti biasa yang mereka lakukan. Tapi, ia sadar kondisi gadis ini sedang tidak baik-baik saja.
"Jangan merasa malu padaku, Jilian. Aku tidak sebaik itu. Ingat apa yang aku minta sebagai imbalan atas semua kebaikanku?"
Jilian mengangguk. "Iya, Pak."
"Sex. Kalau kita lakukan itu, secara nggak langsung kamu menjual tubuhmu padaku. Lihat bukan? Aku bukan tipe orang yang akan melakukan kebaikan tanpa pamrih. Ada timbal balik dari apa yang aku minta padamu. Jilian, jangan terlalu malu padaku."
Jilian tidak mengelak saat Sean mengangkat dagunya dan bibir mereka bertaut. Ia sudah terbiasa dengan sentuhan dan kecupan dari laki-laki itu. Menikmati setiap ciuman yang mereka lakukan bersama. Ia menyukai sensasi aneh di dada, setiap kali mereka bersama. Ciuman yang manis seperti sekarang ini, membuat semangatnya bangkit dalam menjalani hari.
"Baiklah, aku pergi dulu. Terlalu lama dekat kamu, bisa-bisa aku lupa diri. Ingin rasanya telanjangi dan cumbu kamu."
Bisikan Sean membuat Jilian memanas. Ia tersenyum kecil, melambai pada laki-laki yang kini melangkah keluar. Jilian mendesah, perasaannya berkecamuk dalam situasi yang tidak ia mengerti. Sean akan membantunya, melindunginya dari Alfredo. Tidak peduli kalau itu membahayakan posisi laki-laki itu. Sean menginginkan imbalan berupa sex. Mereka menjadi patner di tempat tidur, tanpa cinta dan ikatan apa pun. Tentu saja, ia dirugikan dalam hal ini. Tapi, kalau semua bisa membantunya melawan keluarga Alfredo, ia siap menyerahkan diri.
Jilian mengusap memar di pipi. Tidak lagi sesakit kemarin. Setiap kali mengingat tindakan kejam Mesha padanya, hatinya bergidik ngeri. Kerasnya tamparan perempuan itu, masih terasa di pipinya. Kebencian yang terlihat di binar matanya, membuat Jilian tidak akan pernah lupa. Hilang sudah rasa hormat yang dulu pernah dirasakannya pada Mesha, berganti menjadi rasa takut dan dendam secara bersamaan.
**
Nugroho mendengarkan laporan dari para manajer tentang berbagai hal yang terjadi di perusahaan akhir-akhir ini. Ia lebih banyak mengendalikan semua dari rumah, jarang sekali ke kantor karena mempercayakan semua pada Surya dan Seno. Kedua anak laki-lakinya itu sekarang sedang duduk tak jauh darinya. Ikut serta mendengarkan pemaparan para manajer.
Tanpa sepengetahuan sang papa, Seno mencolek Surya. "Kamu lihat? Anak bangsat itu tidak datang di rapat penting begini."
Surya menaikkan kacamatanya. "Mungkin memang Papa tidak memintanya datang."
"Bisa jadi, atau juga karena memang pemalas."
Seno berdecak, tidak bisa menyembunyikan rasa senang. Ia sudah berpikir kalau hari ini Sean akan muncul, ternyata rapat sudah setengah jalan dan adiknya itu belum nampak batang hidungnya. Beberapa hari ini ia dibuat senewen oleh papa dan adiknya. Keputusan yang tiba-tiba dari sang papa mengubah semua rencana yang selama ini sudah dibuatnya. Ia sudah mengumpulkan orang-orangnya, menghimpun kekuatan yang dipunya, kalau memang diperlukan suatu saat akan mengugat sang papa. Semoga saja semua itu tidak sampai terjadi.
"Kak Surya, dengar-dengar anakmu juga datang menemui Papa."
Surya mengangguk tanpa memandang Seno. "Bukannya anakmu juga ada di sana?"
"Ternyata, kamu berminat jadi pimpinan perusahaan? Aku pikir kamu nggak punya ambisi ke sana."
"Ambisi selalu ada Seno. Aku manusia biasa, wajar kalau ingin punya jabatan. Terlebih, aku yang paling tua di antara kita."
Seno mendengkus. "Paling tua dan paling tidak tegas. Entah apa jadinya kalau kamu jadi pimpinan, bisa-bisa kamu membiarkan orang-orang menginjak-injakmu."
Surya melirik adiknya, masih tanpa ekpresi berkata tenang. "Jangan meremehkan laut yang tenang. Biasanya sangat berbahaya."
Setelah itu Surya kembali fokus mendengarkan para manajer memberi laporan. Tidak memberikan kesempatan pada Seno untuk bicara. Ia kesal karena sudah diremehkan oleh adiknya. Selama ini ia memang dikenal paling tenang, paling santai, dan nyaris tidak ada ambisi. Itu karena masih ada sang papa. Kalau memang diberi kesempatan untuk memimpin perusahaan, ia akan melakukan yang terbaik.
Seno mungkin percaya diri, karena dianggap paling mampu. Adiknya itu sudah mendidik Alfredo dengan baik. Surya sendiri punya harapan yang luas pada anak laki-lakinya. Meskipun karirnya biasa saja, tapi Arvin adalah pekerja keras. Ia yakin sang anak akan membantunya kalau tampuk pimpinan jatuh ke pundaknya. Sekarang ini, halangan terbesar untuk mendapatkan jabatan itu bukan Seno, melainkan Sean. Ia sangat berharap, adik bungsunya itu menolak dan pada akhirnya, sang papa memberikan keputusan ulang. Kalau Sean sudah bisa disingkirkan, tinggal memikirkan cara untuk merebut kursi pimpian dari Seno.
"Maaf, aku terlambat."
Pintu membuka, Sean masuk dalam balutan jas lengkap warna abu-abu. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, menikmati tatapan kaget yang diarahkan padanya. Ia duduk di kursi kosong, membuka laptop dan menyalakannya.
"Dari mana kamu? Kenapa baru datang?" tanya Nugraha. Tangannya terangkat untuk menginterupsi manajer produksi yang sedang memaparkan hasil kerja.
Sean menatap papanya. "Mengumpulkan data."
"Data apa?"
"Produksi, penjualan, dan juga laba rugi."
Semua orang duduk tegang di kursinya, termasuk Seno dan Surya. Nugraha tidak terpengaruh dengan atmosfer ruang rapat yang mendadak berubah.
"Kenapa kamu harus mengumpulkan semuanya dari awal? Bukannya ada laporan dari para pegawai."
Sean mengedip. "Aku punya pendapat sendiri, Papa. Silakan diteruskan pemaparannya dan kita lihat apakah temuanku sama dengan mereka."
Manajer produksi menelan ludah. Menatap Nugraha untuk meminta pendapat. Saat laki-laki tua itu mengangguk, ia meneruskan penjelasannya. Awalnya, semua berjalan lancar, sampai akhirnya Sean membantah saat pembacaan produksi di kwartal ketiga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro