Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10b

"Pasien kita hari ini, bagaimana kabarnya?" sapa laki-laki itu.

Jilian tersenyum. "Aku sudah sehat. Apa bisa pulang hari ini?"

Sean mengangguk. "Bisa, aku sudah mengurusnya. Kita akan pulang."

"Syukurlah. Bosan di sini, lagi pula harus kerja juga."

Sean duduk di tepi ranjang, mengusap rambut halus gadis itu. "Kita pulang ke penthouse bukan ke rusun."

Jilian mengedip bingung. "Kenapa?"

"Biar ada yang merawatmu, yaitu aku. Karena aku yakin, laki-laki cantik di rumahmu itu, belum tenu bisa merawatmu."

Jilian tidak dapat menahan senyum. "Sammy, maksudmu? Dia memang cantik, banyak yang bilang begitu."

Cara Jilian memuji Sammy membuat Sean mendengkus kesal. "Mereka bilang dia pacarmu."

"Mana mungkin! Setahuku Sammy nggak tertarik sama perempuan!"

"Dia gay?"

Jilian menggeleng. "Entahlah. Aku nggak pernah tanya soal orientasi seksualnya karena itu bukan urusanku. Kami berteman karena sama-sama bekerja di bar. Dia sedikit keberatan kalau harus membayar sewa rusun sendirian. Kebetulan, aku sedang cari kontrakan saat itu. Tanpa pikir panjang langsung terima. Perjanjian pertama kami adalah, tidak saling mencampuri urusan masing-masing."

"Begitu, dia tahu tentang Alfredo."

"Iya, tapi Alfredo tidak tahu soal dia."

"Alfredo tidak pernah menemuimu di rusun?"

"Pernah, hanya sampai halaman. Nggak sampai naik."

Penjelasan panjang lebar dari Jilian soa Sammy, entah kenapa membuat Sean lega. Ia tahu tentu saja, kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa. Jilian tidak mungkin berpacaran dengan Sammy, sementara menjalin hubungan dengan Alfredo. Terperangkap dalam rasa curiga yang berlebihan, membuat Sean malu dengan dirinya.

Sean membawa Jilian ke penthouse setelah diijinkan keluar dari rumah sakit. Ia menempatkan gadis itu di kamarnya, tidak peduli kalau Jilian menolak. Ia memesan makan untuk mereka pada restoran terdekat. Memastikan kalau Jilian tidak kekurangan nutrisi selama masa penyembuhan.

"Pak, apa aku besok sudah bisa masuk kerja?"

Sean menatap bilur-bilur di wajah Jilian yang sudah memudar dan mengangguk. "Bisa. Tapi, kamu harus memakai concealer untuk nutupi bilur."

Jilian mengangguk. "Pasti. Eh, Pak Sean tahu tentang concealer?"

"Tahu tentu saja. Itu bukannya bahan dasar untuk make up? Manggala Group punya salah satu pabrik yang bergerak di bidang kecantikan. Pak Surya pernah menbawaku ke sana dan mereka memperkenalkan produksinya."

Jilian tersenyum manis. "Keren!"

"Nggak, biasa aja itu. Sudah pekerjaan sehari-hari."

Sean membuka lemari, untuk mengambil piyama. Malam ini ia memilih untuk tidur di kamar tamu agar tidak menganggu kenyamanan Jilian.

"Pak, kamu bukan sopir'kan?"

Pertanyaan Jilian membuat Sean menoleh. "Memang bukan."

"Tuh'kan, kamu ngaku. Mana ada sopir boleh tinggal di penthouse?"

Sean tersenyum, mendekati Jilian dan mengecup bibir pucat gadis itu. "Tentu saja, aku bukan sopir. Kamu yang beranggapan begitu, Jilian." Kembali lagi ke depan lemari untuk mencari pakaian kerja.

Jilian kebingungan, menyadari kalau dari awal memang dirinya yang salah paham. Sean mungkin berpenampilan kasual, bukan berarti pegawai biasa. Kalau tebakannya benar, berarti Sean adalah alah seorang pegawai dengan jabatan tinggi di Manggala. Pantas saja berani menawarkan bantuan padanya. Ia mengamati Sean yang sedang membolak-balikkan pakaian di dalam lemari.

"Pak, kalau benar mau membantuku, apa nggak bikin posisi Pak Sean terancam. Maksudku, mungkin posisi kerjamu bagus, tapi Alfredo itu cucu dari boss besar Manggala."

"Jilian, kamu pikirkan saja tentang kesehatanmu. Jangan memikirkan hal lain. Biar aku yang tangani, oke?"

"Tapi, kerja di Manggala Group pasti enak dan gaji besar. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana, Pak?"

"Orang dengan kemampuan sepertiku, tidak takut dipecat. Jilian, kamu pikir hanya Manggala aku bisa bekerja?"

Mereka saling pandang, dan Jilian menyadari kalau sekarang bukan saatnya meragukan kemampuan dan niat baik laki-laki itu. Dengan berat hati ia mengangguk, percaya sepenuhnya dengan Sean. Selesai makan malam, Jilian kembali tertidur. Tentu saja pengaruh obat-obatan membuatnya mudah mengantuk.

Sean menatap tak berkedip pada gadis yang berbaring tenang di ranjangnya. Jemarinya gatal ingin menyentuh. Ia duduk di pinggir ranjang, menyentuh rambut, pipi, dan bahu gadis itu. Harusnya, beberapa hari lalu mereka bercumbu dan bercinta. Saling melepaskan gairah. Kini, semua tertunda karena Jilian terluka. Sean menghela napas panjang, tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Mulai kapan ia begitu terobsesi dengan seorang gadis? Mungkin saja, di pertemuan pertama mereka yang terjadi tidak sengaja dan itu sudah beberapa tahun berlalu. Tetap saja ia tidak bisa lupa, dengan gadis muda yang membantunya membalut luka saat dirinya kecelakaan.

"Waktu itu, kamu membantuku. Sekarang, biarkan aku yang berganti membantumu, Jilian."

Sean mengecup lembut bibir Jilian sebelum beranjak untuk tidur di kamar tamu. Sampai di ruang tengah, ia meraih ponsel. Melakukan panggilan singkat pada nomor yang berada di paling atas.

"Papa, besok aku ingin bicara. Penting."

Suara Nugroho terdengar mengantuk. "Kamu tahu besok ada pertemuan bukan?"

"Iya, aku tahu."

"Datang saja, jangan sampai terlambat."

"Iya, Papa."

Sean memutuskan panggilan, merasa puas dengan apa yang sudah dilakukannya. Mulai besok, ia akan membuat perhitungan dengan orang-orang yang sudah membuat hidupnya, dan hidup Jilian menderita. Ia akan membalas mereka satu per satu, agar mereka tahu betapa pedihnya kehilangan orang paling berharga dalam hidup, karena korban keserakahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro