Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10a

Karen menatap suaminya dengan kesal. Alfredo sibuk makan sampai nyaris tidak mendengarkannya bicara. Padahal ia sedang bicara tentang hal penting. Ia sudah sabar menunggu, sampai suaminya selesai makan tapi Alfredo ternyata tidak kenyang juga.

"Alfredo, kamu sudah selesai belum makannya?"

Alfredo mendongak, mulutnya penuh dengan telur. "Yah, kenapa?"

"Kamu makan terus sambil main hape, aku mau bicara."

Melihat istrinya mencebik, Alfredo menelan makanannya dengan susah payah. Mengambil tisu dan mengelap mulutnya. "Oke, aku sudah selesai."

Karen menghela napas, menatap tajam pada suaminya. "Aku sudah dengar yang terjadi di perusahaanmu. Apa benar Kakek ngasih pimpinan perusahaan sama pamanmu?"

Alfredo mengangguk. "Benar itu."

"Lalu? Kalian diam saja? Maksudku, kamu dan papamu?"

"Tentu saja, tidak!" Alfredo memukul meja. "Aku sudah bicara dengan kakek, sialnya ada si Arvin juga di sana. Nggak lama Uncle Sean juga datang. Kami malah berdebat. Aku akan cari waktu lagi untuk membujuk kakek membatalkan putusannya."

Karen berdecak, menatap suaminya dengan pandangan tidak puas. Ia selalu merasa kalau Afredo terlalu lembek dalam menghadapi masalah. Suaminya itu memang perlu untuk diajari.

"Hanya bicara? Menunggu lagi? Kenapa bukan besok atau hari ini juga kamu lakukan? Ketemu Kakek apa susahnya!"

Alfredo menggeleng. "Nggak semudah itu, Sayang. Kakek itu sibuk, harus sesuaikan jadwal dulu sebelum bertemu."

"Kamu harus bertindak gesit, Alfredo. Kalau sampai pimpinan benar-benar jatuh ke paman kamu itu, habislah kita."

Tersenyum kecil, Alfredo meraih jemari istrinya dan menggenggamnya. "Jangan kuatir, Sayang. Meskipun aku nggak jadi pewaris, tapi Manggala Sport tetap jadi milikku."

Karen mengibaskan tangan suaminya. Bersedekap sambil menyipitkan mata. "Ngaco kamu!" sergahnya gusar. "Perusahaan sport itu, tidak ada apa apanya dibandingkan dengan Manggala Group secara keseluruhan. Lagipula, kamu tahu sendiri kalau papamu mendidikmu untuk jadi pewaris, bukan hanya perusahaan kecil tapi pewaris grup!"

Alfredo menyugar rambutnya. "Iya, Sayang. Aku paham. Aku tetap akan usaha untuk bujuk kakek. Beri aku waktu. Lagi pula, Uncle Sean belum menerima jabatan itu. Kita masih punya kesempatan."

"Justru karena pamanmu belum menerima, akan lebih baik kalau kamu bergerak secepatnya. Jangan sampai sepupu-sepupumu mendahuluimu. Tadi kamu bilang siapa? Arvin? Jangan-jangan besok sepupu perempuanmu yang tertarik."

"Siapa? Lopita? Nggak mungkin. Lopita hanya tertarik dengan dunia fashion, tidak dengan yang lain."

"Alfredo, semua hal harus dipikirkan. Diantisipasi, dan jangan sampai kita kecolongan."

"Baiklah, aku mengerti. Akan berusaha lebih keras untuk membujuk kakek. Jangan kuatir, ya?"

Karen terdiam, meskipun tidak puas dengan jawaban suaminya, untuk sementara tidak ada yang bisa dilakukannya. Suaminya memang harus dibujuk dan didorong, jangan sampai mengalah. Ia menikahi Alfredo karena tahu laki-laki itu akan menjadi kandidat kuat untuk pewaris Manggala Group. Ia tidak akan membiarkan impiannya musnah begitu saja.

Percakapan mereka terjeda saat Mesha datang. Alfredo menyambut sebentar kedatangan sang mama lalu pamit kerja. Tersisa hanya Karen dan Mesha di ruang makan.

Mesha tersenyum pada menantunya yang cantik. "Kalian sudah selesai sarapan?"

Karen mengangguk. "Iya, Ma. Tumben datang pagi-pagi."

"Hanya ingin mengobrol dengan kamu."

"Soal penting, Ma?"

"Tentang sesuatu yang kamu keluhkan tempo hari. Perempuan hina yang mengganggu pesta pernikahan kalian."

Perkataan mertuanya membuat Karen tertarik. Ia mencondongkan tubuh, berusaha lebih dekat pada Mesha. Tentu saja, sakit hatinya pada Jilian tidak akan pernah terobati, karena gadis itu sudah mempermalukannya.

"Mama apakan dia?" tanyanya terus terang.

Mesha tersenyum, menjentikkan kukunya yang dicat warna merah marun. "Tentu saja, memberinya pelajaran. Harusnya, gadis itu sekarang mengerti sedang berhadapan dengan siapa."

Karen tersenyum licik. "Parahkah?"

Mesha mengangguk. "Sangat. Bisa jadi bikin dia nggak bisa bangun dari tempat tidur."

"Aww, Mama kejam sekali. Tapi, aku suka."

Keduanya berpandangan lalu tertawa bersamaan. Kekecewaan Karen atas sikap lembek suaminya, terbayarkan sedikit karena informasi yang dibawa mertuanya. Tentu saja ia tahu kalau kekerasan dilarang, tapi merasa kalau Jilian memang pantas mendapatkannya. Ia berencana memberi pelajaran gadis itu secara langsung, tapi ternyata Mesha bertindak cepat dengan membantunya. Syukurlah, ia tidak perlu mengotori tangannya.

"Kamu jangan kuatir, mulai sekarang dia tidak akan pernah menganggu kalian lagi."

"Mama hebat, terima kasih."

"Sudah semestinya, demi rumah tangga anakku. Siapa pun pengganggunya, akan aku singkirkan."

Mesha merasa bangga dengan diri sendiri. Tidak peduli kalau ia baru saja membuat seorang gadis babak belur, yang dilakukannya hanya demi anaknya. Ia tidak suka mendengar besannya mengeluh saat mendengar gosip tentang Alfredo dan Jilian. Hubungan keduanya sudah lama berlalu, dan memang sudah selayaknya kalau gadis itu disingkirkan.

**

Jilian mengerjap, menatap langit-langit ruang rawat. Ia sudah satu malam berada di tempat ini, setelah meminum obat dan infus, keadaan tubuhnya mulai membaik. Ia sendirian di sini, karena Sean pamit pergi. Ia menduga, laki-laki itu ke kantor untuk bekerja. Tertinggal sendirian di ruang rawat, Jilian meraba pipinya dan mengernyit.

Ia bangkit perlahan dari ranjang, menarik tiang infus dan membawanya ke kamar mandi. Menatap dengan sedih, wajahnya di cermin kecil yang tergantung di dinding. Pipi kanannya memerah, dan pipi kirinya ada goresan kuku. Tidak hanya itu, lehernya pun bengkak dan ada luka sobek di alisnya. Semua karena perbuatan Mesha. Perempuan itu tidak hanya menamparnya, tapi juga menjambak rambut, mencakar, dan menendang perutnya. Memejam sambil menggeleng, Jilian berusaha mengenyahkan rasa takut. Masih tidak percaya kalau perempuan yang ia kenal sangat lembut, ternyata bisa melakukan hal brutal padanya.

Perlahan ia menyesali apa yang sudah dilakukannya di pesta pernikahan Alfredo. Hal yang awalnya terlihat bagus demi melampiaskan rasa sakit hati, kini berubah menjadi sesuatu yang membuatnya tersiksa dan penuh luka. Sekarang dipikir lagi, hal gila itu tidak sebanding dengan kesehatannya.

"Alfredo, apakah kamu tahu perbuatan kejam mamamu? Pastinya, kalau kamu tahu akan mendukungnya bukan?" Jilian tersenyum pahit menatap cermin. "Tentu saja kamu akan mendukung mamamu, bahkan kalau sampai nyawaku melayang sekalipun, kamu tidak peduli."

Tertampar oleh kenyataan pahit, Jilian beranjak kembali ke ranjangnya. Menyesali apa yang telah terjadi, tidak akan mengubah keadaan. Ia sudah bertindak nekat dan tidak ada gunannya lagi berpikir soal itu. Yang perlu dilakukannya adalah menyembuhkan diri dan berada sejauh mungkin dari keluarga Alfredo.

Ia merayap naik ke ranjang, kembali rebah sambil mengernyit menahan sakit. Menoleh saat mendengar ponselnya berdering. Tersenyum kala membaca nama papanya tertera di layar. Menghela napas panjang, ia berusaha membuat suaranya seceria mungkin.

"Jilian."

"Iya, Papa." Dada Jilian tergetar dalam rasa haru.

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya, Papa. Jilian baik-baik saja."

"Syukurlah. Apa hubunganmu dengan Alfredo baik-baik saja?"

Jilian meneguk ludah. "Ba-baik, Pa."

"Soalnya papa baca berita sekilas, keluarga Manggala baru saja merayakan pesta pernikahan secara besar-besaran. Itu tidak mungkin, Alfredo bukan? Itu pasti sepupunya Alfredo."

Jilian tidak menjawab, terdiam cukup lama dan mendengarkan papanya mengoceh. Sampai akhirnya berusaha untuk tersenyum. "Pa, gimana jualannya? Lancar?"

Sang papa teralihkan, dari awalnya bicara soal Alfredo akhirnya membahas tentang bisnis baru mereka. Setelah bicara selama tiga puluh menit, mereka mengakhiri percakapan. Jilian merasa sangat lelah karena harus membohongi papanya. Ia hendak tidur saat pintu terbuka. Sean muncul dalam balutan celana denim hitam dan kemeja hitam berlengan panjang yang digulung sampai ke siku. Kakinya dibungkus sepatu kets putih. Penampilannya terlihat sangat elegan meskipun dalam balutan pakaian kasual.
.
.
.
.
.
Cerita ini sudah ending di Karyakarsa.Akan cetak bersamaan dengan Pengantin Tawanan.

Penggemar playbook, siapkan pulsa kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro