46. Trouble Begins
Apakah dia marah?
Atau biasa aja?
Tapi ... kelihatannya dia marah.
Candy mencoba menebak-nebak apa yang ada di pikiran Navy sepanjang perjalanannya menuju rumah. Di depannya, Aksal membawa motor dalam kecepatan sedang. Candy bahkan tidak berusaha berpegangan pada pinggangnya atau apapun. Dan Aksal sepertinya mengerti hingga melambatkan laju.
Siang tadi, lepas dari pelukan refleksnya pada Aksal, Candy menemukan cowok itu di sana, cowok yang namanya ia panggil-panggil dalam hati ketika terjebak di toilet tadi. Navy. Navy melihatnya bersama dengan Aksal, lalu, tanpa mengucapkan apa-apa, berbalik pergi begitu saja.
"Rumahnya nomor 39 kan, tadi?" Pertanyaan Aksal mengagetkannya dan tahu-tahu, motor menepi. Tepat di depan rumahnya.
Candy bahkan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai! Dengan kelabakan, ia turun dari motor, nyaris tersandung dan mencium aspal dalam ketergesaannya. Untungnya, itu tidak terjadi. Ia buru-buru mengembalikan helm pada Aksal.
"Makasih banyak, kak! Mau─"
Candy melirik dengan sudut matanya. Mobil Navy ada di sudut pekarangan. Dari tempat Aksal berdiri, seharusnya terlindung bonsai-bonsai kesayangan Bubun. Aksal tidak boleh melihatya. Jadi, niatnya untuk berbasa-basi mengundang cowok itu masuk ia batalkan.
"Eh, sampai jumpa kalau gitu!"
Aksal tampak sedikit kebingungan, tetapi ia mengangguk. "Hm. Sampai jumpa besok."
Usai kepergian Aksal, Candy berbalik kembali ke rumah. Niatnya ingin memperjelas kejadian tadi, mengartikan tatapan menusuk Navy padanya. Tetapi ketika menaiki tangga dan jelas-jelas melihat Navy membanting pintu di depannya, seluruh keberanian Candy menguap.
Ia berdiri di depan pintu kamar Navy, genggaman tangan di udara, namun tak mengetuk.
Ya, Navy memang marah, kayaknya.
Apa dia merajuk? Cemburu?
Tapi gue harus apa? Menjelaskan?
Kenapa? Kita nggak punya hubungan apa-apa. Nggak ada alasan untuk menjelaskan.
Maka, begitu saja, Candy menyimpan kembali tangannya dan berlalu. Harapnya, masalah ini juga akan berlalu. Secepatnya.
***
Hingga malam habis dan hari berganti, mereka tidak bertukar satu patah katapun. Saat makan malam, Navy hanya menghabiskan makannya dengan cepat dan masuk ke kamar, gitarnya terdengar, namun selain itu, tidak ada. Begitupun paginya ketika mereka berada di meja makan yang sama sebelum berangkat sekolah.
"Hari ini kita bareng, kan?" Candy memberanikan diri bertanya.
Tetapi yang dia dapat, justru perlakuan dingin. Navy masih menolak bicara. Alih-alih menjawab, cowok itu berdiri. Ke toilet, mungkin. Entah, dia tidak mengatakan apa-apa. Tertinggal tas dan ponselnya, yang kemudian menyala, menghadirkan pesan timbul secara otomatis. Candy tidak ingin melanggar privasi cowok itu, tetapi layar yang menyala dan pesan yang tampil begitu saja di sampingnya, terasa mustahil untuk tidak terbaca olehnya.
Terdapat sebuah pesan, pengirimnya tidak memiliki nama. Namun bunyinya, membuat Candy semakin bertanya-tanya.
Baby,ini yang terakhir. You're mine only.
Baby?Siapa yang mengiriminya pesan dengan panggilan seintim itu? Candy tidak mengerti, tetapi mendapat respons sedemikian membuatnya kehilangan selera untuk bertanya lebih banyak. Ia berlalu melewati mobil Navy yang masih menunggu di halaman.
"Gue pesen gojek aja," ujarnya, masih tanpa tanggapan.
Dan Candy berpikir, semuanya akan kembali normal setelah hari berganti. Dia pikir, dia akan kembali ke rutinitas biasa yang membosanan, melalui hari yang sama, kegiatan yang sama.
Nyatanya tidak hari ini.
Ketika dia menginjakkan kaki melewati gerbang sekolah, melewati gerombolan anak-anak yang berkumpul di sudut-sudut, Candy merasakan puluhan pasang mata menatapnya. Membuat alarm bahaya berdering dalam kepalanya. Apa yang salah? Apa dia salah memakai seragam hari ini? Candy menunduk, meneliti pakaiannya. Tidak, dia memakai seragam yang sama seperti yang dipakai semua orang. Apakah sepatunya beda sebelah? Atau kaus kakinya? Dua-duanya tidak setelah dia memeriksa.
Candy bahkan menyempatkan diri mampir ke toilet guna memeriksa wajahnya di cermin besar yang tergantung di depan deret wastafel. Tidak ada yang tampak salah dengannya. Lantas kenapa─
"Dia kan, orangnya?"
Lalu, bisik-bisik itu terdengar. Berita yang telah berembus, sampai ke telinganya.
"Bener, itu dia," diiringi dengkusan yang lain.
"Nggak ngaca apa, ya?"
Yang lain terkikik geli. "Padahal di depannya cermin gede."
"Belum pernah kena bully rame-rame aja, kayaknya."
Melalui pantulan cermin itu, ia melihat tiga orang di belakangnya. Candy menatap mereka jelas-jelas, satu persatu. Mereka membicarakannya, itu jelas! Dari cara mereka menatapnya dengan pandangan tidak suka, dan bisik-bisik yang sengaja tidak disembunyikan. Dan ketika dia berhasil mengumpulkan keberanian dan berbalik, mereka bersikap seolah itu bukan apa-apa.
"Duh, lipstik gue terlalu merah, ya?"
"Ke kelas, yuk. Udah mau bel."
Di luar, sama parahnya. Bisik-bisik serupa terdengar hampir di setiap sudut. Orang-orang memandanginya dari segala penjuru. Langkah Candy terhenti. Ia menunduk menatap sepatu, menyadari suara-suara itu berhenti ketika dia berdiri mendengarkan. Tetapi puluhan tatap itu masih terhujam kepadanya, dari berbagai arah yang tidak dapat dia tatap balik.
Seketika, perasaan buruk menghampirinya, membuat jantungnya berdegup cepat.
Apa... yang terjadi? Apa yang telah dia lewatkan.
Ia mempercepat langkah seketika. Ia harus segera tiba di kelas dan menemui teman-temannya. Mereka pasti tahu sesuatu, kan? Namun lagi-lagi, langkahnya belum panjang ketika sekelompok cewek menghadang ke hadapannya.
"Candy S. Arella?" Seseorang membaca seraya menunjuk nametag di dada seragam Candy. Cewek itu mendongak sedikit, melihat beberapa kakak kelas mengepungnya. Wajah mereka tidak ada ramah-ramahnya.
"Lo orangnya?" tanya cewek yang di tengah. Seseorang yang berambut sebahu dikuncir.
Candy tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Jadi dia membuka mulut, hendak bertanya.
Yang sebelum sempat dilakukan, telah dibungkam cewek lain di sebelah cewek pertama. "Dear, Pangeran. Kamu adalah pangeran berkuda putih yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku..." Ia melantunkan dengan intonasi berlebih.
Yang dengan spontan, disambut tawa ketiga temannya. "HAHAHAHA! LAWAK!"
Ekspresi sebaliknya hanya ada pada Candy. Kedua mata cewek itu terbelalak seketika. "Dari mana─"
Ia bahkan tidak mampu menyelesaikan pertanyaan itu. Seketika dadanya berdegup kencang, kepalanya berputar dan penglihatannya memburam. Tanpa sadar, diterobosnya pagar manusia yang menghalangi. Dipercepatnya langkah, berusaha agar lekas-lekas keluar dari situasi itu. Agar lekas-lekas meninggalkan suara-suara di belakangnya. Tawa dan cemoohan yang terasa memenuhi udara.
Sebanyak apapun ia mencoba berpikir mengapa dan bagaimana hal ini dapat terjadi, Candy tidak dapat menemukan jawabannya.
Tidak hingga ketika di pojokan koridor yang menikung ke koridor lain, dia bertemu Navy. Tatapan mereka bertemu, sebelum cowok itu mengambil satu langkah maju dan berbisik ketika berjalan melewatinya.
"Ayo bicara," bisiknya
***
Sepuluh menit yang terasa seperti terkurung selamanya di dalam neraka harus Candy jalani ketika dia masuk ke dalam kelas untuk menaruh tas, lalu berjalan mengikuti jalan yang tadi dilalui Navy sementara seluruh pasang mata di sekolah itu mengikutinya.
Ia menemukan cowok itu di sudut koridor, di taman yang menyembunyikan mereka dari pandangan orang-orang. Syukurlah, bel masuk sudah berbunyi. Cowok itu sedang berbalik memunggunginya, kedua tangan di simpan di saku.
Dan dengan setiap langkah yang dia ambil, setiap langkah lebih dekat dengan Navy, kemarahannya kian naik dan naik. Dari ujung-ujung jemari, menjalar hingga puncak kepala. Jadi, ketika Navy akhirnya berbalik dan menatapnya tanpa rasa bersalah, kemarahan itu tidak bisa ia bendung.
Didorongnya cowok itu dengan kedua tangan, sekuat tenaga. Membuat Navy terhuyung mundur beberapa langkah.
"PUAS LO?!"
Navy mengernyit. "Maksud lo?"
"Harusnya gue yang nanya, apa maksud lo?! Kenapa... Kenapa lo harus nyebarin surat itu?! Atau ... memang ini yang lo inginkan?" suaranya bergetar, oleh rasa marah dan tangis yang hampir pecah. "Dari awal ... memang ini kan, tujuannya? Ini semua cuma permainan lo..."
Sekarang ia mengerti. Kesadaran itu menampar Candy dengan telak.
Bodohnya, dia baru mengerti sekarang. Maksud dari pesan anonim yang ditujukan untuknya. Maksud dari pesan yang terbacanya di ponsel Navy.
Navy, cowok itu, dan seseorang .... tengah mempermainkannya. Dan mungkin mereka tengah tertawa lucu saat ini. seperti tawa-tawa yang Candy dengar sepanjang koridor tadi,
"Bahagia lo sekarang?!" Disergahnya satu bulir airmata yang mengalir keluar begitu saja. "Ini kan yang lo mau dari dulu?! Selamat, lo berhasil!"
Dan sebelum Navy dapat memberikan respons apapun, Candy telah berputar di tumit sepatunya, dengan cepat melangkah pergi. Dengan airmata yang mulai merembes, ia mencoba setengah berlari. Kemana saja. Asal dapat bersembunyi.
***
Ia menabrak seseorang bahkan tidak lama setelahnya. Pada titik ini, Candy tahu dia semakin mempermalukan diri, tetapi tidak ada yang dapat dilakukan. Airmatanya mengalir tanpa dapat dicegah.
"Candy? Kamu kenapa?"
Candy mengenali suara itu. Dan justru, suara itulah yang membuatnya merasa semakin ingin menghilang dari muka bumi. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk, berusaha menghalangi Aksal dari melihat tumpahan air mata di wajahnya. Tidak berhasil. Dia tidak dapat menyembunyikan senggukannya.
Tangis Candy kian menjadi ketika Aksal, alih-alih menjauh karena jijik padanya, cowok itu justru memeluknya dalam usaha menenangkan Candy.
"It's okay ... kamu nggak perlu malu atau sedih. Itu bukan apa-apa."
Menarik Candy lebih dekat dalam pelukannya. Aksal membiarkan airmata Candy membasahi kemeja seragamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro