Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Pick Gitar

Terima kasih telah bersedia menunggu cerita ini :)

.

.

.

"Can! Candy!"

Candy menoleh, rambut panjang lurusnya yang diikat menjadi satu kunciran di belakang kepala mengibas ke belakang sementara usahanya untuk keluar dari pintu ruang ekskul menggambar harus dihentikan sementara. Seseorang memanggil, suara yang Candy kenali. Senyumnya mengembang begitu menemukan sosok yang barusan memanggilnya tersebut.

"Kak Ve!"

Veloxa berlari kecil ke arahnya sembari mengembalikan senyum Candy. Bahkan pas lari aja cantik, pikir Candy.

"Ada yang ketinggalan," katanya ketika berdiri di depan Candy.

Cantik membelalakkan mata dengan tanda tanya di keningnya. Dengan cepat ia melepas kembali sandangan tas dari pundak sebelum memeriksa isinya. Apa yang ketinggalan?

Veloxa memperlihatkan tangannya yang menggenggam sesuatu. Lantas, dibukanya telapak tangan.

Sebuah pick gitar berwarna hitam betuliskan good luck kecil yang dikaitkan menjadi gantungan kunci tampak putus di bagian rantai. Candy mengenali pick itu dengan baik, terkejut ketika melihatnya. Bisa-bisanya dia nyaris menghilangkannya!

"Ah, iya. Punyaku. Makasih ya, kak!" katanya. Buru-buru, ia mengambil pick itu kembali. Bisa gawat kalau hilang! Ginjalnya bisa dalam bahaya.

Namun gerakannya untuk menyimpan kmebali benda itu tertahan oleh tangan Veloxa. "Tunggu!" kata cewek itu sembari menatap pick itu lekat-lekat. "Ini ... kenapa familiar, ya?"

Deg!

***

[Dua hari sebelumnya...]

"Sakit nggak sih, jari main gitar terus?" Candy tiba-tiba bertanya ketika Navy kembali memetik sinarnya. Kali ini, memainkan lagu lawas yang tidak Cnady kenali.

Cowok itu membiarkan getar senar A minornya memudar, jari menggantung di udara sebelum dia menoleh ke arah Candy. "Kalau terbiasa sih, enggak. Mau nyoba?"

"Enggak, ah," Candy buru-buru menggeleng. "Sakit! Kalau jari-jari gue putus gimana?"

"Lebay!" Navy menoyor kepala cewek itu pelan. Lalu merogoh saku celananya hati-hati. Tidak lama, ia kemudian mengeluarkan dua buah pick gitar di genggaman tangannya. Dua-duanya berwarna hitam. Salah satunya terdapat tanda tangan putih di atasnya, sementara yang lain tampak lebih sederhana, terdapat tulisan good luck kecil dengan sebuah hati.

"Pakai ini," kata cowok itu sembari menyodorkan pick gitar yang terdapat tanda tangan..

Candy mengambilnya. Ia menimbangnya di tangan, sedikit lebih berat dari yang ia duga. Ia juga mengangkatnya di ujung jemari untuk diterawang, tidak terlihat apa-apa, selain bentuk yang seperti segitiga sama kaki yang tumpul. "Ini apa sih?" tanyanya. "Lucu. Kayak patahan sisa plastik gitu tapi dialusin lagi."

Segera, Navy menatapnya menghakimi.

"Apa?"

"Harganya dua ratus ribu," kata cowok itu datar.

Candy nyaris menjatuhkan pick itu. Lalu gelagapan coba menangkapnya di udara. "Kok mahal banget untuk benda sekecil ini?! Beneran deh, ini kayak patahan plastik!"

Satu jentikan mendarat di kening Candy. Navy berdecak. "Pick Gitar Eddie Van Halen, asli nih dari Amerika. Ada tanda tangannya."

"Ouch." Candy mengelus keningnya yang berdenyut. "Siapa? Penemu lampu?"

"Itu sih Thomas Alva Edison. Jauuhhh~" Cowok itu bersiap untuk menjentik kening Candy lagi. Namun kali ini, Candy lebih siap, dia segera menutupi keningnya dengan tangan, membuat jentikan Navy justru mendarat di ujung hidungnya, membuat cewek itu seketika menekuk bibir kesal.

Navy mengindahkannya. Ia menunjukkan pada Candy pick gitar lainnya. "Yang ini, lebih mahal dari itu," katanya, memerhatikan sudut tumpul yang tidak lagi mulus, penuh gores di sana sini. "Jimat keberuntungan nih. Bikin gue berhasil menang event sana-sini."

"Beneran? Ih mauuu. Pengen yang kayak gini juga. Beli dimana? Mahal nggak?"

"Mahal." Navy mengangguk mengiyakan.

"Berapa?" Candy bertanya. "Nyampe sejuta?"

Navy menggeleng. "Sepuluh ribu, mungkin?"

Dan sebelum pertanyaan lanjutan di wajah Candy tersuarakan, cowok itu melanjutkan. "Ini adalah hadiah dari Papi waktu akhirnya, setelah menentang mati-matian, dia akhirnya setuju ngizinin gue nge-band."

"Hah? Emang sebelumnya nggak disetujuin?"

Sebuah gelengan pelan menjadi jawaban. "Orangtua mana sih, yang nggak was-was kalau anaknya nge-band? Band itu tentang musik, impian, seni. Tapi bersamanya, ada banyak konotasi negatif yang tersemat."

"Kayak?" Candy memiringkan kepala, menatap Navy dengan lebih fokus, dengan lebih ... perhatian.

"Kayak apa yang terjadi sama orangtua kandung gue?"

Sekarang, Candy benar-benar menjatuhkan pick gitar Eddie Van Halen seharga dua ratus ribunya Navy ke lantai. Dengan sigap cewek itu memungutnya, lalu menyekakannya ke celana piyama. Matanya menatap Navy keheranan, tetapi suaranya tercicit ketika akhirnya bertanya.

"Maksudnya? Emangnya ... Papi bukan orangtua kandung lo?"

"Menurut lo? Bagian mana dari diri gue yang mirip si botak tua itu?"

"Hah?!"

Rasanya, Candy ingin menggeplak kepala Navy sekarang. Ia bahkan tidak tahu apakah sekarang Navy sedang serius atau bercanda, wajahnya tidak terbaca. Hingga kemudian, cowok itu kembali memetik gitarnya menggunakan pick yang telah usang di tangan.

"Enggak, Papi bukan orangtua kandung gue. Tapi dia adalah satu-satu yang gue punya sekarang, setelah Nenek meninggal."

C minor mengalun.

"Terus orangtua kandung lo .. dimana sekarang?"

Sekarang nada F.

Navy mengendikkan bahu. "Nggak tahu. Entah masih hidup atau enggak, gue nggak peduli."

"Loh? Kok gitu? Ih Navy, jangan gitu. Nanti durha─"

"Mereka membuang gue dari bayi."

Mulut Candy terbuka, ia tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya. Tidak juga menutup mulutnya kembali.

"Gue anak hasil hubungan di luar nikah. Bapak gue anak band. Vokalis. Nyokap waktu itu baru lulus SMA, kata Papi. Mereka sepakat untuk nggak meninginkan gue di dunia ini. Dan kalau bukan karena Papi, gue pasti sudah membusuk di got atau pembuangan sampah."

"Papi... ngadopsi lo?'

"Lebih dari itu. Papi meninggalkan karir band-nya demi merawat gue, anak yang dibuang sahabatnya. Awalnya, semuanya serba sulit buat kami. Papi memutuskan untuk nggak kuliah agar bisa fokus ngeband, bikin lagu, jadi seniman. Tapi semenjak ada gue ... gue harus melihat dia bekerja keras menenteng ijazah SMA cuma buat beliin gue susu."

"Kenapa dia ... melakukan itu?"

"Ngadopsi gue?" Navy terkekeh. "Ya, kan? Aneh banget. Meninggalkan karir di depan mata cuma buat bayi yang bukan anaknya. Tapi kata Papi, semua orang berhak hidup, berhak bermimpi. Dan mimpinya berubah ketika melihat gue. Dia tiba-tiba ... pengin menjadi seorang Ayah, yang baik."

Keheningan yang menyela percakapan mereka kemudian. Candy menunduk, mempermainkan pick gitar di antara jarinya sementara bibirnya terkatup, tidak tahu harus berkata apa. Hingga, Navy kembali menjadi orang pertama yang bicara.

"Jadi nggak, mau nyoba?"

"Diajarin, nih?"

"Iya lah! Kapan lagi kan lo diajarin cowok terganteng dan terpopuler satu sekolah. Cewek-cewek lain pasti bakal berebutan untuk berada di posisi lo sekarang. Beruntung banget lo emang."

Candy menatap cowok itu datar. "... nggak jadi aja, deh."

Tepat ketika cewek itu beranjak berdiri, disertai tawa, Navy mencengkeram pergelangan tangannya, menarik Candy untuk kembali duduk di tempatnya. Ia lalu meletakkan gitarnya di atas pangkuan Candy sehingga cewek itu tidak punya pilihan lain selain menerima.

Navy bangkit berdiri untuk berada di sisi Candy. Menunduk, diposisikannya tangan cewek itu agar memangku gitar itu dengan tepat. Yang membuat Candy merasakan jantungnya berdetak lebih cepat merasakan tubuh cowok itu persis di belakangnya.

Dan yang lebih membahayakan kesehatan jantung lagi, adalah ketika Navy menyentuh tangannya, mengarahkan jemari Candy agar diletakkan di kunci yang tepat.

"Ini A mayor," katanya. "Paling gampang untuk jari. Coba petik."

Candy menuruti perkataan, meskipun bisikan Navy di ujung telinganya membuat seluruh konsentrasinya buyar.

"Relax, jangan kaku kayak patung. Lebihin tenaga di ujung jari biar suaranya lebih keluar."

Bahkan ia tidak punya kata-kata untuk menyanggah cowok itu sekarang. Dengan jantungnya yang mulai kacau, Candy hanya dapat menurut.

Navy mengajarinya beberapa kunci dasar lagi. Baik kunci mayor dan minor. Dari F ke G, berpindah ke C sebelum kembali ke G, lalu berakhir di A.

"Coba ulangi. Petik nada-nada tadi."

Candy menurut, meski tersendat. Jemari Navy yang lebih besar dari miliknya selalu di sana, menuntun Candy. F - G - C - G - A.

"Sekali lagi."

Sekali lagi, ia melakukannya. Kali ini lebih lancar. Dan begitu berhasil, senyum semringah segera menghiasi wajah Candy. "Aaah! Gue tahu lagu ini! Surat cinta untuk Starla, kan? Bagian reff-nya!"

Kembali, Candy memetik kunci yang sama dengan bersemangat. Sementara di sisinya, Navy tersenyum, memerhatikannya.

"Ih, gue bisa! Liat, kan? Gue bi─"

Candy, yang secara refleks menolehkan lehernya ke arah Navy dalam upaya memperlihatkan pada cowok itu, harus menghentikan sisa kalimatnya di ujung lidah. Matanya membulat dan serasa memacu kecepatan sepuluh kali lipat dari keadaan normal. Cowok itu tengah menatapnya, dari jarak dekat. Dan Candy yang menolehkan wajah tidak membantu. Hal itu membuat mereka berhadapan amat dekat. Saling tatap.

Candy adalah orang pertama yang berhasil memecahkannya. Buru-buru, ia berdiri.

"Gue lupa ngerjain PR," katanya asal sebelum meletakkan gitar ke atas kursi dan berlari ke kamarnya.

***

Satu jam. Satu jam adalah waktu yang dibutuhkan Candy untuk meredakan degup tidak normal jantungnya. Dia membuka ponselnya, mencari nama Aksal di media sosial dan berusaha menatap cowok itu lekat-lekat agar kepalanya tidak kembali memikirkan Navy.

Candy! Inget Mas Crush kamu itu siapa! Kenapa harus erdebar-debar karena cowok senyebelin narapidana itu?! Nggak bisa! Nggak bisa! Kamu harus inget Kak Aksal baik-baik dan Cuma Kak Aksal!

Sulit. Hal yang biasanya semudah membalik telapak tangan, mengkhayalkan Kak Aksal, tiba-tiba rasanya sulit. Perlu satu jam agar hal itu nyaris berhasil. Yang sayangnya, kembali digagalkan oleh ketukan di pintu kamar. Candy membuka pintu dengan sedikit salah tingkah, terutama ketika dia menemukan Navy-lah yang berdiri di sana.

Tanpa aba-aba, Navy menarik tangan Candy, membuat cewek itu tersentak. Dia meletakkan sesuatu di tangan Candy.

"Nih."

"Hah? "Candy mengerjap. Sedikit lambat untuk memperhatikan apa yang ada di telapak tangannya. Dan pada akhirnya, meskipun ia dapat melihat bahwa yang ada di sana adalah pick gitar yang satunya, pemberian Papi Navy, pertanyaan tetap keluar dari bibirnya. "Ini ... apa?"

"Kutil naga."

"HAH?!"

"Ya pick gitar lah. Pake nanya." Candy merengut. Tuh, kan? Navy nyebelin banget. "Katanya pengen jimat keberuntungan."

"Eh... buat gue?" Ia mengerjap dua kali. "Serius?"

"Cuma minjemin." Cowok itu menyentil keningnya lagi. "Anggap aja .. ini bisa bantu. Kalau lo udah tahu mau jadi apa, balikin."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Navy berbalik pergi. Meninggalkan Candy, dengan pick gitar yang telah diberi lubang dan dikaitkan agar menjadi sebuah gantungan kunci. Candy tersenyum.

***

"Can?" Veloxa memanggilnya lagi, secara otomatis menarik Candy dari lamunan.

Cewek berkuncir itu tersenyum pada sang kakak kelas, sebisa mungkin agar tidak terlihat gugup. "O-oh. Mungkin ... karena sering kupakai kakak jadi agak familiar kali, ya?" ia tertawa kikuk. Matanya terasa terputar ke belakang saat berusaha mencari alasan keluar. "Aku ... ada janji sama Deera nih. Pergi dulu, ya, Kak!"

Ketika Candy berputar di tumitnya dan berlari pergi, Veloxa tidak mengejar. Dan untuk itu, Candy dapat menghela napas lega.

Setidaknya, untuk sementara.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro