Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

Dahi Nayoung berkerut ketika mendapati Namjoon mengambil arah jalan lain dari petunjuk jalan yang ditampilkan di layar dasbor. Matanya melirik pria Kim itu tengah fokus menyetir di sampingnya dengan tatapan curiga. Ia yakin bukan hanya dirinya saja yang akan memiliki pikiran aneh-aneh ketika dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Jangan-jangan aku mau dibawa ke tempat asing, lalu, lalu...

"Kau yakin matamu tidak akan keluar dari dalam sana, 'kan? Asal kau tahu saja, aku tidak punya alasan untuk berbuat jahat padamu. Jadi hentikan fantasi tak berdasarmu, Nona." Seakan-akan bisa menerka arti tatapan Nayoung meski matanya fokus menyetir, Namjoon buru-buru mengklarifikasi maksud dan tujuannya.

Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir yang Nayoung bayangkan adalah sesuatu yang wajar untuk di situasi seperti ini.

"Jadi maksud Anda, saya tidak menarik untuk diculik?"

"Lucu sekali ada wanita yang ingin diculik."

Nayoung sadar jika pertanyaannya barusan cukup konyol. Jadi adalah sesuatu yang pantas bagi Namjoon untuk menanggapinya seperti itu,  maka ia pun buru-buru mengganti topik perbincangan.

"Saya pikir kita pergi ke kafe sebelum belokan tadi. Saya ada shift siang ini," ujarnya sembari melirik jam tangan digitalnya.

Sementara bagi Namjoon adalah sesuatu yang aneh ketika menemukan bagaimana transisi emosi Nayoung yang melonjak lalu terjun bebas seperti roller coaster taman hiburan yang membuatnya muntah itu. Maksudnya, bagaimana gadis itu bisa berucap dengan begitu tenang tanpa ada sisa-sisa tangisan keras sebelumnya?

Namjoon ingat benar bagaimana kencangnya tangisan gadis itu ketika ia menghampirinya. Hingga ia merasa bersalah karena kemungkinan bahwa ia menjadi penyebab gadis itu menangis. Ya ampun, Namjoon tidak ingin mengingat apa yang ia lakukan semalam kalau bisa.

Suatu kebetulan bahwa ternyata warna lampu lalu lintas berubah menjadi merah tepat ketika mobilnya berada dua meter jauhnya dari zebra cross. Namjoon pun menginjak rem dan kemudian menatap Nayoung yang masih tertunduk diam. "Kau yakin bisa bekerja dengan kondisi emosi tidak stabil begitu?" tanyanya dengan tatapan ragu pada gadis itu, sembari menyandarkan lengannya pada kemudi.

"Mau emosi saya stabil atau tidak, itu bukan urusan Anda." Nayoung menghindari tatapan Namjoon, dan memilih untuk menatap ke luar melalui jendela di sisinya. "Saya mungkin menangis meraung-raung sebelumnya. Tapi karena Anda sudah datang, saya harus profesional untuk membicarakan urusan kita. Jika saya ingin menangis lagi, itu bisa saya lanjutkan di rumah." Kemudian beralih melirik kuku-kuku jemari tangannya.

Salah satu sudut bibir Namjoon tertarik, bersama napasnya yang berhembus pelan. Matanya tak absen menatap sisi samping Nayoung sejak tadi. "Memang ada ya, orang yang membuat cicilan untuk menangis?" Jujur saja, baru ini ia menemukan gadis aneh yang memiliki jadwal terencana untuk menangis.

Tolong beritahu Namjoon apakah ia satu-satunya orang di dunia ini yang baru menemui orang semacam Nayoung, atau mungkin sudah ada orang yang pernah menemui crying planner seperti Nayoung.

"Ada. Saya orangnya. Tertarik untuk melakukan kredit menangis seperti saya? Sepertinya Anda juga sedang memerlukannya, Tuan."

Sial. Memang aku terlihat begitu menyedihkan di matanya?

Harga diri Namjoon sedikit merosot, mengingat gadis itu menawarkan sesuatu yang sebenarnya ia perlukan saat ini. Oh, sebenarnya ia ingin sekali melanjutkan tangisannya yang terjeda akibat memuntahi kekasih gadis ini semalam. Tidak, tidak. Ia harus menahannya. Ini demi citranya agar tidak menjadi lebih buruk.

Netra mereka kini bertemu dan saling bertatap. Namjoon dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya gadis itu rencanakan, sementara Nayoung dengan tatapan menusuk yang siap masuk ke dalam pria itu karena telah membuat harinya semalam memburuk.

"Baiklah, Nona. Terserah kau saja. Yang penting urusan kita selesai." Dan Namjoon pun memutar arah setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

*****

Nayoung meletakkan secangkir kopi ke meja tempat Namjoon berada, sementara pria itu sibuk dengan ponselnya sendiri. Pria itu tampak sibuk dan berkali-kali membuat panggilan yang entah kepada siapa. Yang ia yakini adalah pria Kim itu ternyata tetap bekerja meski di luar kantor, kata-kata asing yang berkaitan dengan pekerjaan pria itu sudah cukup membuat Nayoung terperangah akan workaholicnya seorang Kim Namjoon.

"Kami tidak pernah membawakan minuman pada pelanggan. Biasanya mereka mengambilnya sendiri begitu alarm yang mereka bawa bergetar."

Namjoon yang kebetulan baru saja selesai menelepon kemudian mendongak menatap gadis ber-apron barista yang menutupi dada hingga pinggang ke bawah itu. "Lalu apa?" tanyanya setelah meloloskan ponselnya ke saku jas dan beralih meraih cangkir tersebut.

Dengan senyum penuh arti, Nayoung ikut duduk di hadapan Namjoon bersama dengan selembar kertas yang ia letakkan ke meja. "Tapi karena Anda adalah orang yang istimewa, saya merasa harus mengantarkan kopi langsung ke hadapan Anda. Dan oh iya, ini ada sesuatu yang harus kau baca dengan mata terbuka lebar, Kim Namjoon."

Baiklah, di kalimat akhir ia mengubah tingkatan bahasanya. Padahal ia tahu jika Namjoon lebih tua darinya. Sepertinya ini adalah puncak kejayaan dari sabarnya seorang Kwon Nayoung.

"Ah panas!" Bibir Namjoon yang menyentuh sisi dalam permukaan cangkir seakan mati rasa akibat rasa panas begitu terkena cairan kopi panas yang mengeluarkan kepulan uap tersebut. Tangannya refleks menaruh gelas keramik tersebut ke meja namun sayangnya justru tumpah dan mengenai pahanya. "Aduh!" Yang refleks membuatnya berdiri dan mengibas-ngibaskan tangannya ke daerah tersebut.

Beruntungnya kertas yang Nayoung taruh tadi dengan cepat ia ambil kembali, sehingga hanya ujung permukaan kertas itu saja yang mengenai tumpahan kopi Namjoon. Melihat meja kafe tempatnya bekerja berantakan, secara naluriah pun ia segera merapikan kekacauan yang dibuat pria di hadapannya ini.

"Hei! Kenapa tidak bilang kalau ini masih panas?" Masih dengan tangannya yang mengipasi paha, mulutnya mengoceh protes pada Nayoung yang anehnya tidak panik ketika melihat kopi yang tumpah.

Seusai merapikan meja, gadis itu menatap Namjoon hangat tanpa menghilangkan senyumnya barang hanya sedetik. "Bukankah kopi seharusnya memang disajikan dalam keadaan panas? Kau saja yang sepertinya terkejut karena dua hal: sensasi panas di bibir atau terkejut melihat tulisan di kertas yang kuletakkan tadi. Benar, 'kan?" Jari telunjuk dan tengahnya naik bergantian lalu mendekatkannya ke depan wajah Namjoon.

Oh, tidak perlu ditanya seberapa jengkelnya Namjoon karena gadis itu.

Nayoung mengangkat cangkir tersebut, memeriksa segala sisi untuk memastikan apakah pria itu memecahkan aset berharga bosnya itu. "Lagi pula salahmu sendiri menghempas cangkir yang jelas-jelas bagian permukaan bawahnya tidak datar seperti ini, tentu saja ia akan hilang keseimbangan jika ditaruh sembarangan." Lihatlah bagaimana alis gadis itu bertaut lalu naik turun dengan angkuh, Namjoon semakin dongkol melihatnya.

Sialan. Ia memang merencanakannya.

"Karena kopinya terbuang setengah, tunggu di sini. Akan kubuatkan yang baru." Gadis itu melengos, meninggalkan Namjoon. Namun belum sempat menjauh, Namjoon berhasil mencegatnya.

"Hei, Nona Kwon Nayoung." Pergelangan tangan gadis itu Namjoon genggam erat, seakan tidak ingin kehilangan tersangka yang membuat celananya basah dan—mungkin—pahanya yang mulai memerah di dalam sana. "Sebaiknya cepat jelaskan padaku apa maksudmu membuat surat perjanjian seperti itu?" Dagunya menunjuk ke arah kertas yang dipegang Nayoung dengan tangannya yang lain.

Bahu Nayoung mengedik sejenak lalu ia pun ikut duduk kembali dengan santai. "Aku rasa kau sudah paham. Jadi tidak perlu dijelaskan panjang lebar."

Berbeda dengan Namjoon yang tampak tidak terima akan ucapan Nayoung, jarinya menekan-nekan kertas yang barusan diletakkan Nayoung di atas meja. "Kau pikir aku akan melakukannya lagi? Sampai harus membuat surat ini."

Kedua lengannya tertumpuk di atas meja kemudian menatap lurus pada Namjoon. "Ya. Ingin memastikan agar Anda tidak mengulang kesalahan yang sama atau bahkan lebih parah dari itu." Entah Nayoung sudah tidak peduli dengan tidak kekonsistenannya dalam berbahasa. Mau bahasa formal atau bukan, sebaiknya ia mendahulukan suasana hatinya saat ini.

Sebenarnya Namjoon sedikit terkejut akan tindakan yang Nayoung ambil. Ia pikir masalahnya selesai sampai di ketika ia menyerahkan kartu nama tadi pagi, ternyata seberani itu seorang Nayoung untuk membuatnya terikat akan perjanjian tersebut.

Omong-omong, sebenarnya isi perjanjian itu adalah sesuatu yang tidak perlu ia khawatirkan. Hanya saja ia merasa tidak terima karena membuat perjanjian—bahwa dirinya siap dilaporkan ke polisi jika mengulangi kejadian yang sama—akan membuat dirinya terkesan seperti orang yang biasa melakukan hal tersebut.

"Maaf, Nona. Tapi situasi tadi malam benar-benar pertama kali terjadi. Dan saya bisa jamin itu tidak akan terulang lagi."

"Oh ya? Setahu saya orang yang sedang patah hati bisa mabuk-mabukan selama satu minggu lamanya dan meraung-raung memanggil kekasihnya. Bukankah Anda orang yang seperti itu, Tuan?" Nayoung ikut menekan-nekan kertas surat tersebut dengan jarinya sembari matanya fokus pada pria itu. "Dan ini adalah cara terbaik untuk menjaminnya, Tuan Kim Namjoon."

Lagi-lagi Namjoon dibuat menghela napas oleh gadis itu. Ia sudah cukup malu dengan apa yang ia lakukan semalam, namun gadis itu justru membuka aibnya di tempat umum. Siapa yang bisa jamin jika orang-orang di dalam ruangan ini tidak mendengarnya?

"Hei! Enak saja kau bicara." Ingin sekali ia berteriak nyaring, namun apa daya ia hanya bisa menuding wajah gadis itu disertai dengan suaranya yang tertahan dalam gertakan giginya.

"Harusnya Anda tidak perlu mempermasalahkan surat ini, jika memang bisa menjamin tidak akan mengulangnya." Punggung gadis itu bersandar sementara Namjoon mengambil kertas tersebut dan menelaah isinya, sebelum ia menentukan pilihannya.

"Nona, asal kau tahu ya? Aku bukan orang yang bisa kau tuntut dengan mudah." Sebenarnya, sejujurnya, Namjoon memang khawatir jika mungkin ia akan mengulangi apa yang terjadi semalam.

Bagaimana jika ia melakukannya lagi, dan Nayoung benar-benar akan melaporkannya ke polisi, lalu bisa saja nanti nama pamannya akan ikut terseret. Astaga yang benar saja.  Sudah cukup ia membuat pamannya kebakaran jenggot karena mengetahui calon menantunya memutus hubungan secara praktis dan sepihak, Namjoon tidak mau pamannya semakin menjadi-jadi ketika mengetahui keponakan kesayangannya punya catatan kriminal karena perkara konyol.

Kecerobohan Kim Namjoon yang aktif ketika sedang mabuk benar-benar membawanya ke malapetaka. Dan itu dimulai ketika menekan tombol lantai empat—harusnya ia menekan tombol lima—pada lift lalu masuk ke rumah gadis itu, mengingat letak pintu rumah mereka kebetulan sekali sama persis, tapi berada di lantai yang berbeda.

Namjoon agak takut melihat bagaimana Nayoung berdengkus yang disertai dengan mengkerutnya hidung gadis itu. Ternyata ini maksud dari sikap tenang tapi aneh gadis itu tadi pagi.

"Baiklah, baiklah. Anda adalah orang kaya yang bisa menyewa pengacara terbaik di negara kita ini, begitu 'kan maksudmu? Tapi saya tidak peduli. Saya butuh jaminan yang bisa dipakai sebagai bukti jika Anda mengulanginya lagi," ucap Nayoung panjang lebar tanpa jeda bernapas.

Ponsel Namjoon bergetar ketika masih berseteru dengan batinnya sembari membaca isi surat perjanjian tersebut. Ia melirik layar kuncinya dan menemukan notifikasi pesan dari rekan kerjanya yang meminta dirinya untuk kembali ke kantor. Berkurang sudah waktu Namjoon untuk berpikir sebelum membuat pilihan. Ia benar-benar harus membuat pilihan sekarang juga.

Tangannya menghempas kertas tersebut dengan pasrah ke meja. Napasnya yang sejak tadi tercekat akhirnya berhembus perlahan bersama dadanya yang tadi membusung perlahan membungkuk. Benar-benar pasrah dan memilih untuk mengalah saja. "Baiklah. Mana stempelnya?"

Nayoung tersenyum lebar dan langsung meletakkan stempel ke atas meja. Dasar orang tua ini. Kenapa tidak dari tadi saja sih?

*****

Bahunya yang mulai terasa kaku itu Namjoon gerakkan setelah berjam-jam duduk di hadapan laptop dengan berbagai data-data dan dokumen yang meminta untuk diselesaikan itu. Kedua tangannya bertaut kemudian terentang ke depan kemudian dibawanya ke atas kepala, bersama dengan punggungnya yang menegak.

"Ah! Finally!" seru Park Jimin yang mengikuti gerak-gerik peregangan Namjoon di sebelahnya. Suara pria itu cukup untuk membuat Namjoon menoleh dan sadar jika bukan hanya dirinya yang berada di dalam ruang rapat.

Namjoon menurunkan kedua lengannya lalu kembali duduk dengan posisi tegap di kursinya. "Kalian sudah bekerja keras selama satu minggu ini," ucapnya dengan suara dalam dan rendahnya serta senyum tipis terbentuk dari kedua sudut bibirnya yang naik.

Meski ia ingin sekali berseru lantang seperti Jimin, Namjoon merasa tidak benar untuk melakukannya. Bisa saja citra wibawa yang ia bangun selama ini jatuh begitu saja. Ya, Namjoon begitu ketat menjaga citranya.

Sementara beberapa anggota departemen yang lain telah merapikan laptop dan barang-barang pribadi mereka lainnya dan bersiap untuk pulang, Namjoon dan Jimin masih duduk di ruang rapat untuk mengembalikan tenaga mereka setelah sekian lama bergulat dengan pekerjaan.

"Terima kasih, Manajer Kim. Akhirnya lembur kita terbayar juga," celetuk wanita yang datang ke ruang rapat dengan segelas kopi di tangannya. "Ini saya buatkan kopi untuk bapak. Bapak telah bekerja keras memimpin kami. Terutama selama satu minggu terakhir ini."

Park Jimin melotot melihat wanita yang datang menghampiri Namjoon secara tiba-tiba itu. "Nona Kang Hyunah, apa yang kau lakukan?"

"Saya hanya ingin mengembalikan tenaga Manajer Kim, Pak." Hyunah menatap Jimin tanpa dosa. "Beliau selalu menemani kita lembur dan bahkan membeli makan malam dan camilan tengah malam untuk kita semua."

Jimin menggerakkan kedua jarinya, memberi isyarat agar wanita Kang itu berjalan menghampirinya. "Dengar, Nona Kang. Manajer Kim tidak pernah membiarkan siapa pun membuatkan kopi untuknya. Ia punya takaran sendiri untuk itu. Bagaimana jika kau membuatnya marah lagi?" Ia mencoba menahan suaranya yang hendak meninggi itu dalam bisikannya.

Merasa dirinya salah lagi, Hyunah menundukkan kepala dan menggaruk tengkuk. "Saya hanya..."

Sementara Jimin dan Hyunah yang berdebat soal kopi, Namjoon menatap tajam gelas kopi di hadapannya seakan perbincangan kedua orang di belakangnya tidak semenarik gelas kopi di bawah hidungnya itu. Gelas keramik itu seakan tidak asing untuk netra dan ingatannya. Ia mulai gelisah memikirkan di mana dirinya pernah punya pengalaman tak terlupakan dengan gelas keramik putih berisi kopi panas.

"Aduh!"

Dan akhirnya Namjoon berhasil mengingatnya. Gadis Kwon itu. Kwon Nayoung, si gadis skeptis menyeramkan yang membuat lidahnya mati rasa untuk beberapa hari karena kopi buatannya. Oh tidak, lebih tepatnya dua hari. Selama dua hari ia merasakan sensasi tebal di lidahnya setiap menyeruput kuah sup di makanannya. Selera makannya nyaris hilang kalau saja Seokjin tidak memaksanya makan. 

Sialan.

"Nona Kang?"

Merasa namanya dipanggil, Hyunah yang belum menyelesaikan perdebatannya dengan Jimin itu menoleh kepada Namjoon, sementara Jimin diam mematung di tempat. "Benar, 'kan kataku?" Jimin mengernyit kemudian mendorong pelan lengan gadis itu agar mendekat pada Namjoon.

Hyunah berdiri di samping Namjoon kemudian bertanya, "Iya, Pak? Apakah kopinya tidak enak?"

"Bisa ganti gelasnya dengan gelas kertas saja?" Namjoon mengangkat mug keramik tersebut dan mengamatinya. Kemudian menoleh pada gadis itu dan memberikan senyuman tipis seperti sebelumnya. "Oh ya, kalau boleh, bisa buat kopinya jadi lebih manis? Saaaaangat manis. Gula darah saya jadi rendah sekali karena begadang seminggu ini."

Mulut Hyunah menganga lebar dalam jeda waktu selama beberapa detik. Sebelum ia tersadar karena suara deheman yang berasal dari Jimin. Ia mengambil gelas yang ada di hadapan Namjoon kemudian berbalik keluar menuju pantri kantor.

"Hyeongnim, kurasa aku butuh penjelasan tentang apa yang terjadi selama satu minggu ini." Jimin menggeser kursinya untuk lebih dekat pada Namjoon. Sementara pria Kim itu menatap Jimin bingung atas apa yang pria itu katakan.

"Satu minggu ini kita bekerja lebih lama dari biasanya. Lalu apa?" Bahu Namjoon naik mengedik.

"Dari saat menjadi rekan satu tim sampai kau menjadi atasanku, kau tidak pernah membiarkan siapa pun membuatkan minuman untukmu. Jangan-jangan..." Mata Jimin menyipit bersama telunjuknya yang terarah pada wajah Kim itu.

"Apa?" Kedua netra Namjoon lantas fokus pada telunjuk yang sebentar lagi menyentuh hidungnya itu sehingga membuat matanya juling.

"Kau menyukai Nona Kang?"

Tangan Namjoon lantas menepis jari Jimin saat itu juga. "Apa maksudmu, Jimin?"

"Sudah jelas sekali. Kau selalu marah-marah padanya. Aneh sekali. Padahal aku atasan langsungnya. Dan kau sering membuatnya melakukan tugas-tugas aneh seperti lembur hanya karena menggores bodi mobilmu—kau itu mirip senior-senior di kampus yang suka merundung junior-juniornya. Dan sekarang kau memintanya melakukan sesuatu yang biasanya tidak kau sukai."

Namjoon tampak menikmati saat-saat di mana pria di sampingnya itu berbicara panjang lebar sampai berbusa itu. "Sudah selesai pemaparan bukti-bukti fiktifnya, Park Jimin?"

"Apa?"

"Sekarang giliranku." Namjoon menegakkan punggungnya di sandaran kursi. "Aku hanya ingin memberinya sedikit kenang-kenangan sebelum aku pergi. Sebenarnya aku sedikit merasa bersalah karena memarahinya terus. Ya bisa kukatakan ia adalah karyawan yang istimewa, lebih tepatnya perlu lebih banyak bimbingan. Makanya aku memberinya banyak tugas."

"Pergi?" Jimin mengulang kata sensitif yang terucap dari atasannya itu. "He..hei tunggu. Kau mau pergi ke mana?" tanyanya sembari semakin memutus jarak antara mereka. Ya, maksudnya Jimin hanya perlu jarak yang lebih dekat untuk memastikan dirinya tidak salah dengar.

Kedua alis Namjoon naik sembari kepalanya menggeleng. "Tidak jauh. Hanya ke kampusku saat kuliah S1 dulu."

Jimin menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Jangan bercanda, Hyeong."

"Panggil aku dengan benar, Ketua Tim Park Jimin. Be professional, man." Namjoon berdiri dari kursinya kemudian menghempas materi presentasi yang ia siapkan ke pangkuan pria Park itu. "Ini sudah kusiapkan materinya untuk presentasi ke Direktur Choi. Semangat ya?" Oh sungguh, Jimin ingin mengumpat saat melihat senyuman penuh arti temannya itu.

Namjoon berlalu pergi meninggalkan Jimin sendirian di ruang rapat, sementara pria Park itu menatap materi tersebut dan punggung pria yang meninggalkannya itu bergantian.

"Sialan kau, Kim Namjoon!" serunya lantang. Kemudian beralih membuka materi yang diberikan pria itu. "Kenapa dia mempercepat rencana untuk resign di saat genting seperti ini sih? Menyebalkan!" Jimin hanya bisa menyugar serta mengacak-acak rambutnya frustrasi.

*****

Nayoung menutup notebook-nya lalu memasukkan benda tersebut ke tas bahunya setelah sadar jika kelas yang ia ikuti akan segera dimulai dalam kurun waktu sepuluh menit lagi.  Meski ia masih punya waktu yang cukup untuk melanjutkan semadinya, Nayoung yakin jika waktu tersebut tidak akan cukup mengingat jarak gedung fakultasnya dari perpustakaan pusat tidaklah dekat. Jadi sebaiknya ia mengantisipasi untuk tidak terlambat daripada itu benar-benar terjadi.

Tak terasa ia sudah setengah jalan dari gedung perpustakaan pusat yang ia tinggalkan tadi. Ternyata sudah cukup lama ia tidak pergi ke sana, sampai rasanya waktu berjalan begitu cepat. Nayoung memang baru hari ini pergi ke perpustakaan pusat, biasanya ia hanya pergi ke perpustakaan yang ada di gedung fakultas untuk mengembalikan energinya setelah berada dalam keramaian yang membuatnya lelah tanpa sebab.

Dan sebenarnya juga Nayoung baru menyukai perpustakaan saat ia mulai disibukkan dengan penelitian tugas akhirnya. Ia rasa perpustakaan adalah tempat terbaik untuk recharge sekaligus menguras energinya kembali dengan buku-buku tebal serta komputer yang penuh dengan riwayat pencarian jurnal-jurnal pendukung penelitiannya. Ya bisa dikatakan Nayoung baru dikategorikan sebagai nerd student ketika sudah dikejar-kejar tenggat waktu seperti saat ini.

"Hai, Nayoung!"

Beruntung sekali Nayoung tidak tersedak napasnya sendiri kali ini. Sapaan riang dari sosok gadis yang berjarak lima meter darinya itu masih bisa terdengar oleh telinganya. Seruan gadis itu bukan menjadi satu-satunya alasan Nayoung terdiam kaku di tempatnya berdiri saat ini. Tapi juga bagaimana dekatnya gadis itu dengan pria yang membuat Nayoung tidak tenang beberapa hari ini.

Gadis itu menjawil lengan pria di sampingnya lalu berjalan bersamanya mendekati Nayoung. Namun sebelum mereka menghampirinya, Nayoung telah kembali dari kekosongan pandangannya dan langsung melangkah menuju kedua orang tersebut. "Hai Chaeyeon, hai Jungkook. Kalian pergi bersama?" tanya Nayoung sembari tersenyum tipis, mencoba untuk bersikap normal meski dadanya terasa panas melihat bagaimana jemari lentik Han Chaeyeon berada di lengan jaket jeans Jeon Jungkook.

"Hai, Nayoung. Aku—"

"Iya, Nayoung. Jungkook memaksa untuk menjemputku. Ia takut aku pingsan seperti waktu itu—ya meski aku belum pingsan sih saat itu. Ya, mau bagaimana lagi? Beruntung sekali punya teman seperti Jungkook. Benar, 'kan?" Jungkook belum memiliki kesempatan untuk bicara karena Chaeyeon memotong kalimatnya barusan. Sementara gadis itu mengedikkan bahu kemudian tersenyum pada Jungkook yang meliriknya sejenak lalu kembali menatap Nayoung.

"Ayo kita ke ruang kuliah. Kelas Profesor Jung akan segera di mulai." Jungkook mencoba memecah keheningan yang diciptakan oleh Nayoung. Gadis itu tak berekspresi meski Chaeyeon mengajaknya bicara.

Tak berlangsung lama, Nayoung kembali menegakkan kepalanya kemudian berjalan melewati kedua orang tersebut. "Kalian pergi duluan saja. Aku mau ke toilet. Cuci muka."

Jungkook menoleh ke belakang, di mana punggung Nayoung mulai menjauh dari jarak pandangnya. Kepalanya lagi-lagi tertunduk sejenak, memikirkan cara bagaimana agar temannya itu tidak marah lagi padanya. Namun tangan yang menjawil lengannya itu kembali menyadarkannya untuk segera ke ruang kuliah untuk mengikuti kelas hari ini.

"Ayo, Jungkook. Kita bisa bicara dengan Nayoung seusai kelas Profesor Jung."

"Baiklah. Terima kasih, Chaeyeon. Setidaknya aku sedikit lega saat dia menyapaku barusan."

*****

Tangannya menutup keran wastafel setelah merasa air mengalir itu cukup membasahi dan menyegarkan wajahnya. Nayoung menatap pantulan wajahnya yang ada di cermin memanjang tersebut. Beberapa saat memandangi wajahnya sendiri sebenarnya membuat Nayoung muak dan marah. Marah pada dirinya sendiri, mengapa ia tidak bisa menjadi satu-satunya yang dipandang Jungkook dengan tatapan itu.

Ia masih ingat jelas bagaimana mata Jungkook begitu hangat memandang Chaeyeon, begitu pun sebaliknya. Menyebalkan sekali, seakan kedua orang itu ingin sekali menunjukkan bagaimana progress hubungan mereka padanya. Apa motivasi Chaeyeon datang menghampirinya dengan tangan yang tak lepas dari lengan pria di sampingnya itu? Seakan sengaja sekali ingin melihat Nayoung panas. Dan brengseknya itu berhasil.

Lagi-lagi Nayoung menghembuskan napas dengan kencang lewat mulutnya. Sembari mengusap-usap wajahnya yang basah dengan tisu, matanya tak lepas dari cermin yang memantulkan tubuhnya. Matanya naik turun dari kepala hingga pinggangnya yang kebetulan terpantul oleh benda itu.

"Sadarlah. Kau tidak menarik di matanya. Berhenti berharap. Mari bersikap biasa-biasa saja nanti." Setelah merasa dirinya sudah cukup stabil untuk keluar dari toilet, Nayoung melangkahkan kakinya ringan menuju pintu keluar lalu berjalan menyusuri lorong untuk menuju ke ruang kuliah.

Lorong lumayan sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya. Bisa jadi itu mahasiswa tahun pertama yang baru selesai praktikum, atau mungkin baru selesai kuliah. Ya, Nayoung sudah terlalu hafal mati bagaimana situasi di sini. Sampai terkadang ia bosan dan berharap menemukan dinamika dari kehidupan perkuliahannya.

Meskipun kehadiran kelima sahabatnya membuat Nayoung bahagia dalam satu waktu, tapi tetap ada rasa bosan ia alami. Bagi Nayoung yang muak akan rutinitas, itu sebenarnya cukup membuatnya tertantang awalnya. Tapi ternyata lama-lama ia jenuh dan berharap ada suatu dinamika di tahun akhirnya di kampus ini. Tapi nyatanya dinamika yang datang adalah dinamika hati yang tidak ia nikmati sama sekali.

"Kejutan!"

Seruan seseorang—lebih tepatnya pria—di belakang Nayoung membuatnya merasakan sensasi kejut seakan jantungnya nyaris terjun bebas dari tempatnya berada. Langkah kaki kanannya terhenti di anak tangga ketika ia merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya cukup keras dari belakang.

Karena terkejut, Nayoung pun refleks menggenggam erat besi pegangan tangga dan berbalik ke belakangnya, di mana suara seruan tersebut berasal. Matanya lantas melebar ketika mendapati seorang pria jangkung yang kini tingginya setara dengan dirinya di anak tangga itu berdiri di hadapannya dengan senyuman manis dan lebarnya.

"Tuan Pemabuk?"

Di pertemuan pertama mereka, Namjoon perlu menunduk dan berjongkok untuk bertemu tatap dengan Nayoung yang tengah duduk di anak tangga depan gedung fakultas.

Di pertemuan kedua, yang baru ia sadari setelah insiden salah masuk rumah, Namjoon mendengar sekilas bagaimana gadis yang ternyata Nayoung itu berdebat hebat dengan seorang pria yang ia yakini sebagai Jungkook.

Di pertemuan ketiga, Namjoon membuat gadis itu ketakutan akibat insiden malam itu.

Di pertemuan keempat, Namjoon lagi-lagi menemukan bagaimana posisi jongkok menjadi posisi favorit gadis itu ketika sedang menyembunyikan sedihnya.

Dan di pertemuan kelima mereka hari ini, Namjoon benar-benar memandang mata gadis itu setara tingginya tanpa harus menunduk.

Dua pasang netra itu bertemu dengan jarak yang cukup dekat. Dengan posisi salah satu tangan Namjoon yang berpegangan pada besi pegangan, mengantisipasi agar gadis itu tidak jatuh. Sesekali mata Namjoon mengabsen bagaimana polos dan pucatnya wajah gadis itu tanpa polesan alas bedak atau semacamnya, bagaimana pipi gadis itu mulai memerah dan memanas seiring intensnya pandangan mereka yang bertemu, kemudian berakhir pada bibir pucat tanpa pewarna bibir itu.

"Hai. Mulai sekarang sebaiknya kau tidak boleh macam-macam denganku, Nona." Meski sempat fokus mengamati wajah gadis itu, Namjoon tetap konsisten pada rencananya mengejutkan wanita itu dengan kehadirannya.

"Apa?" Nayoung mendorong bahu Namjoon untuk sedikit menjauh lalu menegapkan tubuhnya.

Senyuman Namjoon kian lebar dan semakin memperdalam lubang pada pipinya. Matanya yang mengedip sesekali sempat membuat Nayoung menahan napas. Kemudian tubuhnya mulai mendekat pada Nayoung, seakan siap mengimpit gadis itu di antara dirinya dan pagar pembatas anak tangga.

"Jangan macam-macam dengan dosenmu, Nona Kwon Nayoung."

Namjoon yakin setelah ini Nayoung tidak akan mengulang kata apa seperti sebelumnya. Ia sudah cukup yakin bahwa berbicara di samping telinga gadis itu akan membuat semuanya terdengar dengan jelas.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro