Chapter 5
"Maafkan aku, Nayoung."
"Tidak apa, selesaikan saja dulu urusanmu. Toh aku sudah tahu alamatnya. Aku bisa pergi ke sana bersama Yoojoo."
"Sampai jumpa."
Yoojoo menghampiri Nayoung yang telah duduk di halte menunggunya sejak lima menit yang lalu. Dan tepat ketika ia berada di samping gadis itu, ia tampak seperti baru saja menerima telepon. "Jungkook jadi ikut bersama kita?"
Nayoung menggelengkan kepalanya, kemudian memasukkan ponselnya ke tas. "Tidak. Katanya dia harus pergi ke perpustakaan kota mencari literatur yang diminta Profesor Nam, dan katanya harus diberikan hari ini. Dia terdengar panik sekali tadi."
Yoojoo menepuk pundak Nayoung kemudian merangkul gadis itu. "Tidak apa. Kau tidak perlu takut tersesat. Toh kita ada GPS. Setidaknya Jungkook telah membantu kita mendapatkan rumah."
Gadis itu benar, Nayoung mengangguk pelan dan tersenyum tipis kemudian berdiri dari halte untuk naik menuju bus yang telah berada di hadapan mereka. Setidaknya hari ini ia bisa tidur dengan tenang karena telah mendapatkan tempat tinggal baru. Dan setelah penandatanganan kontrak ia hanya perlu melanjutkan beres-beres bersama Yoojoo lalu menelepon teman-temannya untuk membantu mereka pindah rumah.
"Nayoung, ada apa denganmu?" Yoojoo mengguncang bahu Nayoung ketika menyadari temannya belum duduk di sampingnya. Gadis itu masih berdiri di dekat kursi dengan tatapan kosong. Sementara itu, Nayoung tak mengalihkan pandangannya dari kaca jendela yang memperlihatkan suasana kota yang sedang ramai akan lalu lintas. Namun fokusnya bukanlah itu, tetapi sesuatu yang ada di dalam kafe di seberang jalan di hadapannya.
Bolehkah dia marah? Bolehkah dia turun dari bus ini kemudian berlari menyeberang jalan untuk menghampiri mereka? Oh, yang benar saja. Nayoung akan butuh keberanian yang cukup banyak untuk melakukan itu. Ditambah bus yang membawanya ini sedang dalam kondisi berjalan.
Dia tidak mungkin menghentikan bus dengan spontan seperti di drama-drama televisi. Baiklah, sebenarnya itu adalah hal mudah, semudah mengorek hidung. Hanya perlu telunjuk sakti yang digunakan untuk menekan tombol di dekat pintu lalu selesai. Namun bagaimana dengan tatapan tajam dan seluruh pandangan penumpang yang fokus pada dirinya?
"Nayoung. Duduklah. Ada apa dengan dirimu?" Yoojoo berhasil menarik Nayoung untuk duduk, sebelum seluruh perhatian tertuju pada mereka. "Kau baik-baik saja?" Meski Yoojoo menghujaninya dengan pertanyaan, Nayoung tetap diam tak menjawab. Punggungnya ia hempaskan pada sandaran kursi lalu mengistirahatkan kepalanya ke jendela bus.
Dalam waktu sekejap, suasana hati Nayoung yang awalnya bahagia karena akan mendapatkan rumah baru justru menjadi kacau ketika melihat Jeon Jungkook membohonginya. Pria itu bukan pergi ke perpustakaan kota, namun pergi ke kafe bersama Han Chaeyeon yang selalu ingin mendekatkan Nayoung pada Jungkook. Apa mau kedua orang itu?
*****
Yoojoo membaca isi kontrak sewa rumah dengan seksama sementara Paman Jeon menyeduh teh untuk disajikan pada kedua gadis yang mengunjungi kantornya itu. Sementara Nayoung masih diam dan lemas dengan pandangan kosong duduk di samping Yoojoo. Ia seakan menyerahkan segala urusan pada gadis itu, toh Yoojoo adalah saudaranya juga, jadi tidak akan ada masalah.
"Ada apa dengan Nayoung? Dia sedang sakit?" Paman Jeon tampak memperhatikan Nayoung sejak gadis itu datang mengunjungi kantornya. Bukannya apa, hanya saja ia mengenal Nayoung sebagai sosok ceria yang selalu tertawa akan leluconnya—yang tidak pernah dilakukan oleh keponakannya sendiri.
Yoojoo melirik gadis di sampingnya. "Oh, dia." Dengan senyum canggungnya, ia mencoba mencari alasan terbaik agar pria paruh baya itu tidak khawatir pada Nayoung. "Nayoung baru saja menyelesaikan kuis. Kuisnya sulit sekali, Paman. Saya beruntung tidak mengambil mata kuliah itu," terang Yoojoo kemudian diikuti tawa renyahnya.
"Ah begitu rupanya. Itu artinya Nayoung pekerja keras, buktinya tenaganya sudah terkuras. Seperti anjing polisi yang baru habis mengejar pencuri."
"Ya ampun, Paman leluconmu lucu sekali. Tapi bagaimana jika Nayoung mendengarnya?" Baiklah, Yoojoo harus rela Nayoung disamakan dengan anjing oleh Paman Jeon. Gadis itu memang lemas seakan tidak punya tulang, sampai bersandar pada sofa empuk itu.
Setelah membaca kontraknya dengan seksama, Yoojoo dan Nayoung pun menandatangani kontrak lalu menyerahkan uang jaminan. Dan akhirnya, mereka resmi mendapatkan tempat tinggal baru. Yoojoo tak kalah bahagianya—meski ia yakin bahwa Nayoung mungkin merasakan hal yang sama jika suasana hatinya tidak sedang buruk seperti saat ini.
"Selamat ya. Kalian bisa mulai mengangkut barang di esok hari saja. Toh sekarang sudah sore, kalian perlu memasak untuk makan malam, 'kan?"
Yoojoo yang pertama kali bertemu Paman Jeon cukup terkejut dengan perhatian yang diberikan pria itu. Bahkan awalnya Yoojoo tidak memikirkan soal makan malam, jika saja Paman Jeon tidak mengingatkan. Dia pun tersenyum lalu membungkuk dalam pada pria itu. "Terima kasih, Paman."
*****
Sesampainya di rumah atap mereka, Nayoung dan Yoojoo melanjutkan kegiatan beres-beres yang tertunda karena pergi kuliah dan dilanjutkan menemui Paman Jeon tadi. Namun sebelum itu, Yoojoo berniat memasak makan malam terlebih dahulu sementara Nayoung membersihkan diri seusai seharian berada di luar rumah.
Rambutnya yang tanggung itu Nayoung ikat ekor kuda kemudian dipasangkan ikat kepala agar anak-anak rambut yang baru tumbuh di pinggir tidak basah saat mencuci muka. "Ah sial. Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?" Ia bermonolog seraya menggosok wajahnya dengan kasar, menjadikan wajahnya sebagai pelampiasan rasa frustrasinya. Berkali-kali ia membuang napasnya perlahan, tanpa membuka mulutnya lebar—mungkin takut Yoojoo akan mendengarnya.
"Kenapa dia berbohong padaku? Kalau memang ingin menemui Chaeyeon, kenapa tidak katakan saja." Setelah berjam-jam ia diam tak melontarkan apa yang ada di pikirannya, Nayoung seperti menumpahkan semuanya ke hadapan cermin wastafel yang sedang ia tatap. "Kalau dipikir-pikir, aku memang bukan tipe idamannya. Akan sia-sia jika aku mengharapkan dia." Helaan napas kembali terdengar bersama kepalanya yang mendongak ke atas.
"Nayoung, ada panggilan tak terjawab dari Jungkook." Suara Yoojoo di luar kamar mandi membuat leher Nayoung menegak, kemudian ia berjalan keluar dari kamar mandi untuk merampas ponselnya yang berada di genggaman Yoojoo.
Gadis berponi yang tengah menggunakan apron itu menatap Nayoung sejenak kemudian berbalik kembali ke dapur. "Aku baru akan menjawabnya, tapi panggilannya terputus lebih dulu," ujarnya sembari melanjutkan kegiatan potong-memotong sayuran.
"Terima kasih, Yoojoo," ucap Nayoung yang kemudian berjalan menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Niatnya begitu. Namun telepon dari Jungkook seakan membuat ia goyah dan memilih untuk lebih dulu menghubungi pria itu daripada mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah yang nyaman.
"Halo?"
Telepon antara nomor Nayoung dan nomor Jungkook memang telah tersambung, namun kelopak matanya yang melebar ketika mendengar suara penerima telepon itu jadi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya ketika menerima telepon itu.
"Chaeyeon? Kau sedang bersama Jungkook?" Suara Nayoung terdengar seperti bergetar—sedikit—meski ia masih bisa menutupinya. "Dia ke mana? Aku bisa bicara dengannya sekarang?"
"Iya, aku bersamanya. Aku sedang berada di apartemen Jungkook." Nayoung merasakan sensasi panas di dadanya ketika mendengar jawaban gadis itu.
Dia ada di apartemen Jungkook di waktu sore menjelang malam begini? Untuk apa? Kini pertanyaan itu yang memenuhi kepala Nayoung dengan segala kemungkinan yang ia bayangkan.
"Tapi bagaimana ini, Jungkook sedang mandi sejak sepuluh menit yang lalu. Aku tidak bisa memberikan ponselnya sekarang, bukan?"
Kesabarannya mulai menipis. Bingkai foto yang bertengger manis di atas meja itu nyaris dilemparnya, namun ia masih cukup sadar untuk menahannya. Ia masih ingat jika membuat keributan dengan suara gaduh akan membuat Yoojoo yang merupakan ibu Nayoung versi muda itu akan panik dan menghujaninya dengan pertanyaan tak berguna.
Namun lagi-lagi Nayoung pandai memainkan ekspresinya saat ini, tentu saja karena Chaeyeon tidak melihatnya. Meski ia masih mencoba bernapas dengan normal : matanya terpejam seiring hembusan napas perlahannya keluar. "Baiklah kalau begitu. Nanti saja aku telepon kembali. Sampai jum—"
"Kau bisa datang kemari." Gadis itu seakan memantik api emosi Nayoung yang telah ia kontrol susah payah selama sesi menelepon ini. Entah sudah berapa kali Nayoung menghela napas dengan berat hari ini.
"Tidak perlu. Aku bisa menanyakannya besok saat di kampus. Aku sedang lelah. Aku tutup ya?" Tanpa mendengarkan jawaban Chaeyeon—entah sudah berapa kali dia melakukannya—hubungan telepon telah terputus. Tanpa jeda pun ponsel Nayoung telah terlempar bebas ke tumpukan pakaian kotor yang menggunung di dekat lemarinya.
"Sabar, Kwon Nayoung. Sabar. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Mungkin mereka hanya mengerjakan tugas mata kuliah Polimer bersama. Kau tidak boleh iri pada mereka. Salahmu sendiri mengambil mata kuliah itu tahun lalu." Tangannya mengelus-elus dadanya dengan kasar, atau bahkan hampir seperti memukulnya.
"Hufff, namaste." Kedua tangannya mengatup bersama matanya yang terpejam, di saat emosi seperti ini membuat Nayoung terpikir untuk melakukan yoga. Tapi matanya kembali terbuka, tampaknya wacana untuk melakukan yoga harus dibatalkan hari ini.
Kedua tangannya membuka kancing kemejanya dengan kasar. "Apa tadi dia bilang? Tapi bagaimana ini, Jungkook sedang mandi sejak sepuluh menit yang lalu. Aku tidak bisa memberikan ponselnya sekarang, bukan?" Mulut Nayoung mencebik, mengikuti cara bicara Chaeyeon yang terdengar seperti dibuat-buat yang membuatnya muak tanpa diketahui gadis itu. "Omong kosong tidak berguna." Dan kali ini ia kembali melempar kemeja yang ia gunakan tadi ke sembarang arah, dan kali ini kemeja itu mendarat di ujung lemarinya.
Nayoung memilih untuk mengalihkan emosinya dengan membantu Yoojoo menyiapkan makan malam, agar malam ini mereka bisa menyelesaikan beres-beres dan besok setelah kuliah mereka hanya perlu mengangkut semua barang itu ke tempat tinggal baru mereka. Ya, dalam sejarah hidupnya Nayoung baru membuat rencana seapik itu di kepalanya hari ini. Biasanya ia paling malas membuat rencana.
*****
Kedua tangan Nayoung lincah bergerilya di mesin kopi yang sudah seperti sahabat akrabnya selama lebih kurang satu tahun lamanya itu. Aroma nikmat kopi yang perlahan mengisi cangkir putih gading itu juga seakan sudah biasa menyapa kedua lubang hidung Nayoung—kabar baiknya hidung Nayoung terasa membaik setelah menghirup aroma itu.
"Ini Iced Americano pesanan Anda." Dan ternyata tangannya tak hanya mahir mengoperasikan mesin kopi, peran sebagai kasir pun kelihatannya juga sangat ia kuasai.
Seorang gadis berpakaian seragam sekolah menengah atas yang berdiri di seberang meja kasir menerima gelas berbahan plastik itu kemudian mengeluarkan sebuah benda persegi dan tipis itu.
Wow, kartu kredit? Dia pasti anak orang kaya. Meski Nayoung sempat melirik sejenak kartu itu kemudian beralih menatap siswa itu, ia segera memproses pembayaran kopi milik siswa itu dengan mesin kartu kredit dan menyelesaikan segalanya dengan cepat.
"Ini setruk dan kartunya. Terima kasih." Nayoung meletakkan kedua benda tersebut di atas nampan kecil khusus untuk meletakkan setruk, kemudian membungkuk pelan selayaknya pegawai yang memang harus selalu melakukannya.
"Eonni," panggil gadis muda itu. Nayoung lantas menegakkan kepalanya dan menatap gadis itu.
"Iya? Apa ada yang kurang? Atau Anda ingin memesan kembali?" tanya Nayoung dengan sopan tentu saja.
"Bukan begitu. Jadi begini, Oppa yang waktu itu kapan datang kemari?"
Meski Nayoung paham maksud dari apa yang dibicarakan oleh gadis ini, ia tetap mencoba untuk tidak menjadi sosok yang sok tahu. "Maaf, maksud Anda karyawan pria yang bekerja di sini selain aku? Dia mendapatkan giliran shift malam."
Gadis itu menggeleng cepat dan melambaikan tangan di depan wajah Nayoung. "Tidak, Eonni. Maksudku bukan Oppa yang berseragam seperti kau. Tapi Oppa tampan pemilik kafe ini." Melihat bagaimana telunjuk berkuteks merah cabai itu menunjuk ke arah dadanya membuat Nayoung menggigit bibirnya pelan dan menoleh ke arah lain lalu kembali menatap gadis itu.
Mencoba untuk tidak marah adalah pekerjaan rumah terbesar Nayoung beberapa hari ini. Setelah drama pengusiran, kemudian pikirannya yang berkecamuk karena Han Chaeyeon dan Jeon Jungkook, kini ia harus berhadapan dengan gadis SMA genit yang berniat menggoda atasannya. Dan ditambah gaya bicara nona kecil itu benar-benar membuatnya siap memberi kata-kata terbaiknya—sarkasme tentu saja—kapan saja untuk mendidik anak itu.
Bukan Nayoung namanya jika tidak bisa fake smile. Senyum lebar dan mata melototnya itu bisa dikatakan menyeramkan daripada disebut ramah. "Beliau baru datang di sore hari." Lalu kepalanya mendekat pada telinga siswa itu. "Dia sedang mempersiapkan acara pernikahannya. Jadi dia akan jarang datang kemari."
Gadis SMA itu refleks menarik diri untuk menjauh dari Nayoung kemudian mengambil kartu kredit dan setruk yang harusnya ia terima sejak tadi. Dan tanpa berucap satu kata pun, gadis itu pergi meninggalkan kafe.
"Selamat menikmati!"
Seakan tidak terjadi apa-apa, Nayoung membungkuk pelan kembali kemudian fokus untuk menerima pesanan lainnya yang telah mengantre di belakang gadis SMA tadi. "Jungkook?" Namun sepertinya alam belum mengizinkannya untuk beristirahat dari emosinya. Orang nomor satu yang ingin ia hindari hari ini hadir di hadapannya. Dengan senyum tipis dan polos seperti tidak ada sesuatu yang membuat mereka canggung. Sialan kau, Jeon.
"Hai? Tolong satu caramel macchiato." Entah apakah Jungkook memang tidak tahu atau dia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia melakukan kesalahan pada Nayoung? Entahlah, senyumannya membuat Nayoung berniat untuk tidak marah. Pria itu menyapanya dengan ceria seperti biasanya, dia bisa apa?
*****
Nayoung pikir setelah Jungkook mendapatkan apa yang ia pesan, pria itu telah pergi dari kafe. Ternyata sampai ia selesai shift-nya, pria itu masih duduk dengan tenang sambil menggigit-gigit sedotan plastik di minumannya dengan pandangan yang mengarah ke luar.
Sebenarnya Nayoung paham jika itu artinya adalah pria itu menunggunya selesai bekerja. Jungkook memang sekali dua kali menemaninya bekerja, tapi itu pun karena dia juga sekalian mengerjakan video cover lagu yang akan ia unggah ke internet atau mengerjakan tugas. Dia tampak santai dengan tas punggung yang bahkan masih ia pakai, dia tidak mengeluarkan laptop atau pun buku catatan. Lalu apa yang Jungkook lakukan?
"Aku pikir kau memesan minuman untuk take away." Setelah berjalan dari arah ruang staf yang berada di dekat dapur, Nayoung sampai di meja Jungkook dan berdiri di dekatnya.
Melihat Nayoung yang telah hadir di sampingnya, Jungkook buru-buru menyedot habis minumannya lalu berdiri dari kursinya. "Kau sudah selesai? Ayo kita pergi." Aneh. Sungguh aneh bagi Nayoung. Apa yang membuat Jungkook datang kemari hanya demi meminum caramel macchiato dan menjemputnya?
"Kau kemari untuk menjemputku?" tanya Nayoung, meyakinkan hatinya apakah yang ia duga benar.
Jungkook menoleh ke belakangnya, di mana Nayoung masih berdiri di dekat meja yang tadi ia tempati. "Iya. Memang apa lagi yang harus kulakukan di sini? Mencuci gelas?"
Nayoung tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ia lalu berjalan melewati Jungkook untuk keluar dari kafe, sementara pria itu berjalan mengekori di belakangnya. Namun tepat ketika akan mengambil helm-nya, tangan Nayoung dicegat oleh Jungkook.
"Kau nampak tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya pria itu.
Banyak, Jungkook. B-A-N-Y-A-K S-E-K-A-L-I. Nayoung menggeleng pelan—lagi-lagi ia membohongi kata hatinya—menjawab pertanyaan Jungkook. Meski ingin sekali dia bertanya tentang apa yang terjadi kemarin, Nayoung memilih untuk bungkam. Satu-satunya yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana kembali ke kampus untuk bertemu Profesor Jung dengan tepat waktu. "Jungkook, jika kau memang berniat baik menjemputku, sebaiknya kita pergi ke kampus sekarang juga. Aku ada janji dengan Profesor Jung."
Pria itu menepuk dahinya. "Oh ya, benar. Aku juga ada janji dengan Chaeyeon."
Kepala Nayoung maju bersama dahinya yang berkerut. "Chaeyeon? Kau ada janji apa dengannya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Nayoung, Jungkook mengambil helm Nayoung lalu melemparnya pada gadis itu. "Tidak ada waktu menjelaskannya, ayo."
Bersyukur sekali helm itu berhasil ia tangkap. Jika tidak, mungkin dahinya yang tadi berkerut mendadak rata—namun benjol—karena terkena benda bulat itu. Nayoung memutar bola matanya di saat Jungkook kembali menarik kedua tangannya untuk berpegang pada pinggang pria itu. Sepertinya labil menjadi nama tengah Jungkook sekarang. Pria itu labil sekali sampai membuat Nayoung bingung dengan perasaannya. Padahal baru kemarin pria itu membohonginya, tapi beberapa waktu lalu pria itu kembali membuat dadanya berdesir.
*****
Mereka telah sampai di kampus setelah melalui kemacetan di jalan raya selama sepuluh menit. Tepat ketika Jungkook memarkirkan motornya, Chaeyeon yang sepertinya sudah menunggu dari tadi itu berdiri di hadapan mereka dengan jaket kebesaran yang menutupi tubuhnya. Dalam sekian detik Nayoung bisa langsung mengenali siapa pemilik jaket itu.
"Hai," sapa Chaeyeon dengan suara serak. Oh, dia sedang flu sepertinya.
Nayoung turun dari motor dengan bantuan pundak Jungkook yang menjadi pegangannya. "Kau sakit, Chaeyeon?" tanyanya tepat setelah menyadari wajah penuh riasan itu terlihat memucat, terlihat warna liptint di bibir gadis itu memudar dan menyisakan sedikit warna di bagian dalam bibir itu.
Gadis itu mengangguk pelan. "Sedikit. Aku baru habis dari klinik. Jangan khawatir." Namun bukan kondisi Chaeyeon yang menjadi titik fokus Nayoung, matanya kini menatap lurus ke salah satu tangan gadis itu yang mengusap jaket yang ia kenakan. "Maaf ya, aku memakai jaket Jungkook. Badanku rasanya meriang sekali."
Ucapan Chaeyeon yang sepertinya bisa didengar Jungkook itu membuat Nayoung panik. Bagaimana tidak? Jungkook berada di sampingnya, dan pria itu kini terlihat bingung dengan maksud kalimat gadis Han itu barusan. Rasanya seperti Nayoung akan menggali kuburnya di tanah yang ia pijak saat ini juga. Mulai detik ini, Chaeyeon menjadi orang kedua yang ingin ia hindari hari ini. Ia bersungguh-sungguh.
"Ya pakai saja, toh itu jaket Jungkook. Dan sebaiknya kau pulang saja. Tidak perlu pergi ke mana-mana lagi dan istirahat sana." Nayoung menyenggol bahu Jungkook yang masih tampak seperti sedang berpikir itu. "Kau lihat? Dia sedang sakit. Batalkan saja janji kalian hari ini." Kalimat datar nan ketus Nayoung kembali membuat Jungkook bingung. Kepalanya seakan dipenuhi dengan pertanyaan: Nayoung habis makan apa sampai emotion meter—kalau memang ada—gadis itu melonjak drastis?
"Janji? Janji yang mana?" Meski suaranya serak dan seperti akan segera hilang jika ia lanjut berbicara, Chaeyeon masih bisa bertanya dengan polosnya. Bolehkah Nayoung jujur? Chaeyeon mulai memuakkan baginya. "Oh. Maksudmu janji yang tadi malam kau katakan, Jungkook?" Kini gadis itu beralih menatap Jungkook. Yang kemudian dijawab oleh anggukan pria itu.
"Iya, kau menga—"
"Baiklah, aku pergi. Sepertinya kalian juga sedang tidak ingin diganggu." Tanpa mendengar kalimat Jungkook selanjutnya, Nayoung berjalan lurus menuju gedung fakultas meninggalkan dua orang yang sedang berbicara itu.
Menyadari ada yang salah dengan Nayoung, Jungkook berniat mengejar Nayoung. Sebelum ia mengejar gadis itu, ia memberi kunci motornya pada Chaeyeon untuk dititip. "Aku akan kembali, kau bisa duduk di situ sebentar?" Ia menunjuk anak tangga yang ada di belakang gadis itu.
*****
"Sadarlah Kwon Nayoung, Jungkook tidak menyukaimu seperti itu. Kau sudah dengar 'kan bagaimana dia dan Chaeyeon punya acara istimewa sendiri? Kau hanya teman yang selalu mengandalkannya."
Nayoung berusaha untuk tidak menangis, meski suaranya mulai terdengar seperti bergetar. Langkahnya semakin cepat menuju ruangan Profesor Jung. Ia cukup masa bodoh untuk menyadari tatapan aneh seorang pria yang tadi ia lewati. Kini ia hanya perlu memberi tugas yang telah ia kerjakan pada dosen itu lalu pulang ke rumah untuk mengemas barang-barangnya untuk pindah rumah.
"Nayoung." Lengannya tiba-tiba dicegat sebuah tangan, yang membuat Nayoung berbalik arah dan menyadari jika seseorang yang menariknya adalah Jeon Jungkook.
"Aku sedang dikejar waktu, Jungkook." Nayoung mengelak, menarik lengannya yang dicegat oleh pria Jeon itu.
Jungkook menatap kedua mata Nayoung, yang membuat gadis itu menghindari pandangannya. "Ada yang salah denganmu hari ini," ujarnya. "Tolong jangan buat aku bingung," lanjutnya lagi.
Tempat mereka berdiri saat ini sangat tidak tepat untuk Nayoung melampiaskan marahnya dan memaki pria di hadapannya ini. Lorong ini memang sepi, namun bisa saja di balik pintu ruangan-ruangan yang berjajar di samping mereka itu ada orangnya. Nayoung tidak ingin dikenal sebagai pembuat onar, dia sudah di tahun akhir masalahnya. Bagaimana jika tugas akhirnya tidak lancar hanya karena masalah sepele seperti emosi yang tidak terarah?
"Aku sedang muak dengan pembohong," jawab Nayoung akhirnya. Meski masih sulit untuk dipahami Jungkook.
"Aku pembohong maksudmu?" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk. Tangan Jungkook kembali terangkat memegang bahu Nayoung. "Berbohong apa? Nayoung, kau salah pah—"
"Terima kasih untuk tumpangan hari ini, dan juga karena membantuku menemukan tempat tinggal baru. Oh ya, karena kau akan mengantar Chaeyeon—atau mungkin juga mengantarnya berobat—kau tidak perlu repot-repot datang membantuku dan Yoojoo. Ada yang lain yang bisa membantu kami." Nayoung menatap Jungkook kali ini, tatapan tajam dan dingin yang membuat Jungkook jengah dan memutuskan untuk menurunkan tangannya dari bahu gadis itu.
Nayoung berjalan kembali setelah merasa urusannya dengan Jungkook selesai. Sementara Jungkook tidak punya pilihan lain selain pergi mendatangi Chaeyeon yang telah menunggunya. Mungkin ia butuh waktu sendiri, pikirnya. Hei tunggu, tapi dia tidak sendirian. Ia hanya ingin menjauhiku. Astaga, apa yang sudah kuperbuat? Jungkook kembali dibuat pusing setelah menyadari bahwa bukan Nayoung yang salah hari ini, melainkan ada sesuatu di dalam dirinya yang salah, yang membuat gadis itu marah padanya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro