Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Suara berderit dari engsel pintu terdengar ketika Minhyuk mendorong pintu berwarna putih yang menjadi pembatas akses antara laboratorium dan ruang belajar—atau bisa disebut sebagai kantor—yang ditempati oleh sahabatnya, Kim Namjoon. Kepalanya menyembul perlahan dari celah pintu kemudian semakin masuk ke dalam bersama badannya yang menegak begitu sadar jika Namjoon tidak bergeming karena kehadirannya.

"Jika kau tidak ada keperluan dan hanya menggangguku, sebaiknya kembali saja ke kantormu, Hyung. Aku se—"

Namjoon menahan napasnya sejenak sebelum menghembusnya kasar ketika pria Lee itu telah menarik kursi yang ada di seberang mejanya kemudian duduk dengan anteng di atasnya. Karena mustahil baginya untuk menggendong pria itu keluar dari kantornya—kecuali ia ingin menjadi pusat perhatian di depan pintu lab—Namjoon memilih untuk tak ambil pusing akan hal tersebut dan melanjutkan kegiatannya mengamati gelas-gelas kimia.

"Aku jelas punya maksud kemari, bayi besar. Aku memintamu melakukan sesuatu untukku."

Namjoon benar-benar yakin dan sadar jika hanya ada dirinya dan Minhyuk saja di dalam ruangan ini. Jadi sepertinya sebutan bayi besar itu jelas ditujukan Minhyuk untuk dirinya. "Usiaku tiga puluh tiga tahun sebentar lagi, dan kau menyebutku bayi? Kau serius, Hyung?" Ia lantas meletakkan gelas kimia yang menjadi perhatiannya tadi lalu menatap Minhyuk datar namun ada pasrah yang tersirat.

"Sikapmu itu menggemaskan sekali saat bertelepon dengan Nayoung. Tidak ada alasan untuk tidak menyebutmu bayi besar." Tangan Minhyuk yang menapak di atas mejanya terangkat melewati kepalanya, menunjukkan bagaimana tinggi besarnya sosok bayi di depannya ini.

Kepala Namjoon mendongak empat puluh lima derajat ke atas sembari meniup udara bercampur debu yang beradu di atas kepalanya itu. "Aku ingin sekali memusuhimu, tapi mau bagaimana lagi? Temanku di sini hanya kau." Lalu kepalanya kembali tegap dan menatap Minhyuk. "Apa yang perlu kubantu sampai kau kemari?"

"Bisa kau gantikan aku mengajar besok? Istriku baru saja menelepon, katanya ibu mertua sudah bisa pulang dari rumah sakit. Jadi besok kami akan mengantarnya kembali ke Daegu."

Namjoon tak menunjukkan ekspresi bingung setelah tahu alasan Minhyuk untuk absen mengajar besok. Ia sudah mengetahui segala hal tentang mertua pria itu, minggu lalu temannya itu berlari keluar dari kantornya setelah mendapat telepon bahwa ibu mertuanya yang kebetulan sedang datang ke Seoul pingsan di kamar mandi rumahnya.

"Baiklah, kau urus dulu mertuamu baik-baik. Besok aku hanya perlu memberikan materi dari silabus, 'kan?" tanyanya, memastikan jika pekerjaan tambahan itu tidak akan mengganggu rencana kerja harian yang telah disusun rapi dalam agendanya.

"Aku juga memberi tugas makalah pada mereka."

Tangan Namjoon yang tengah merapikan buku dan kertas yang berserakan di atas mejanya itu lantas terdiam dan melayang ketika Minhyuk baru saja memberi tugas baru secara tersirat dari kalimatnya barusan. "Jadi aku yang harus memeriksa dan memberi nilainya juga?" tanyanya menyimpulkan.

"Ayolah, Namjoon. Aku percaya padamu. Isi kepala kita itu kurang lebih sama saja—kecuali selera tentang wanita. Jadi nilai saja menurut parametermu."

Sebenarnya ia ingin sekali mengunci leher pria yang lebih pendek darinya itu dengan lengannya, tapi Namjoon baru ingat jika Minhyuk besok menjalankan misi untuk menjadi menantu yang baik. Lagi-lagi karena alasan klasiknya, Namjoon menjawab, "Baiklah. Karena kau teman terbaikku, akan kulakukan." Sembari menghimpun buku-buku di pelukannya kemudian meraih ponsel di mejanya. "Kau datang untuk itu saja, Hyung?"

"Kau menyuruh Nayoung ikut kelas Kimia Organik untuk pendalaman materi penelitian kalian?"

Namjoon terkadang bingung mengapa temannya ini suka sekali membolak-balik topik dengan mudah, tapi ah... sudahlah.

Diliriknya kembali Minhyuk ketika berjalan melewati mejanya. "Benar. Karena dia masih belum memahami konsep penelitiannya. Selama ini dia hanya melakukan apa yang kuminta, tanpa tahu konsepnya lebih dalam."

"Padahal kau bisa mengajarinya langsung. Aku sedikit kasihan padanya." Minhyuk berdiri dari kursi lalu mendekati Namjoon sembari memasukkan tangan ke saku celana. Melihat perubahan ekspresi wajah Namjoon, Minhyuk lantas melanjutkan kalimatnya.

"Ia melakukan presentasi yang seharusnya dilakukan berkelompok hanya seorang diri. Sepertinya dia memilih untuk melakukannya sendiri karena tidak memiliki teman yang dikenal di kelas itu. Kau tahu 'kan kelas yang aku ajar itu hanya untuk mahasiswa tahun kedua? Dan entah apakah ini perasaanku saja, tapi suasana kelas saat dia presentasi benar-benar menyeramkan. Mereka menyerang Nayoung dengan banyak pertanyaan."

"Aku tidak tahu alasannya memilih untuk jadi sok jagoan. Tapi sepertinya dia juga bukan orang yang akan buang tenaga demi gengsi. Hm... mungkin dia ingin menguji mental." Namjoon masih berusaha untuk tidak terbawa suasana oleh cerita Minhyuk yang seakan ingin membuatnya ikut kasihan juga pada gadis itu.

"Ujian masuk perguruan tinggi, tugas kuliah, praktikum, hukuman membawa makanan darimu, dan belum lagi hal-hal lain yang tidak aku tahu tentangnya. Semua hal itu bisa disebut ujian mental baginya," oceh Minhyuk membela Nayoung yang bahkan tidak ada bersama mereka saat ini. "Aneh. Padahal waktu bertelepon dengannya kau terlihat senang sekali. Kenapa sekarang kau terlihat tidak peduli padanya?"

"Jangan melebih-lebihkannya, Hyung. Itu kewajibannya sebagai mahasiswa. Malam itu aku hanya merasa bertanggung jawab atas kondisinya. Siapa yang akan bertanggung jawab jika dia memecahkan gelas larutan saat bekerja di lab hanya karena melamun? Aku 'kan?" Namjoon mulai merasa gelisah dengan percakapan ini, maka ia memutuskan untuk melangkah ke pintu dan memegang gagang pintu.

"Kau tidak keberatan dengan keberadaannya di dekatmu?"

Tangan Namjoon berhenti sejenak dan menggantung di gagang ketika pria itu kembali memberi pertanyaan baru. Ia menoleh pada Minhyuk bersama senyum tipis yang membuat lubang di pipinya sedikit menjorok ke dalam.

"Entah. Yang kutahu saat ini, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya di dekatku. Jadi aku tidak keberatan."

Jawaban Namjoon membuat Minhyuk terdiam. Bukan karena tak tahu bagaimana responnya. Namun karena otaknya sibuk membuat berbagai kemungkinan.

*****

Mulai hari ini juga Nayoung merasa senasib dengan kerabat atau kekasih selebriti yang wajahnya terekspos di mana-mana. Ternyata begini rasanya. Satu-satunya yang berbeda adalah dirinya bukan kekasih atau kerabat selebriti, melainkan sosok 'teman' dari orang terkenal, yang membuatnya menjadi sosok antagonis dalam drama—kejadian yang dibesar-besarkan ini cukup pantas untuk disebut drama—ini.

Kehidupannya dari bangun pagi hingga kembali tidur di malam hari tidak pernah tenang seperti sedia kala. Notifikasi ponselnya tidak pernah sepi, bahkan tadi malam ponselnya terasa panas saking tidak ada istirahatnya benda persegi itu. Seandainya ia bisa tahu informasi perkuliahan tanpa membuka grup kelas, mungkin ia sudah mematikan ponselnya seharian.

Nayoung kira setelah dua hari berlalu masalah tersebut akan redam. Nyatanya, pesan pribadi media sosialnya penuh akan ujaran-ujaran benci yang menyudutkannya. Ia sudah cukup bersabar dengan isi grup obrolan kampus yang membicarakannya, bahkan kini ditambah dengan pengikut akun Chaeyeon yang kebanyakan orang luar kampus juga ikut menyerangnya. Ia tidak punya pilihan lain selain menonaktifkan akunnya.

"Kwon Nayoung."

Namjoon merasa ada yang aneh dengan mahasiswinya itu belakangan ini. Intensitas melamun gadis itu meningkat dari biasanya. Ia beberapa kali memergoki gadis Kwon itu berjongkok di bawah meja praktikum sembari menundukkan kepala dan terkadang sesekali menarik napas panjang, lalu setelah itu kembali duduk di kursinya. Sampai detik ini, Namjoon belum melihat pergerakan dari punggung yang membungkuk lemas di kursi itu. Bahkan panggilan darinya pun tidak dijawab oleh gadis itu.

Akhirnya sampai ketika tangan Namjoon bergerak mematikan alat pemanas yang berada di depannya, gadis itu baru menyadari kehadiran Namjoon dan segera berdiri dari kursinya. "Maaf, Pak. Saya tidak sadar ternyata temperaturnya sudah melebihi batas." Dengan paniknya ia beranjak dari kursinya kemudian tangannya bergerak mendekati gelas kaca berisi cairan mendidih tersebut.

Tapi sepertinya kata-kata Nayoung tak membuat Namjoon langsung percaya pada gadis itu. Ia baru saja akan memperingatkan gadis itu, namun terlambat. Nayoung telah menyentuh gelas panas mendidih tersebut.

"Aduh panas!"

"Hei!" Merasa sudah tidak tahan melihat kegelisahan Nayoung, Namjoon pun menarik bahu gadis itu untuk menjauhi alat praktikum. "Sudah, aku saja. Kau bahkan tidak bisa mengurus hal semudah ini. Beruntung gelasnya tidak jatuh," ucapnya dingin yang tanpa sadar membuat Nayoung tertegun. Ia tak menghiraukannya dan memilih untuk mengambil alih pekerjaan yang tadinya ingin dikerjakan gadis itu.

Nayoung tak ada pilihan lain selain memandangi punggung yang sedang membungkuk membereskan segala yang tak ia kerjakan dengan benar di sana. Ia masih berusaha mengontrol napasnya yang tak teratur itu, mencoba menjaga agar semuanya terlihat baik-baik saja.

"Maaf, Pak." Setidaknya ada sebuah kalimat yang terucap sebagai tanda penyesalannya. "Lain kali saya akan lebih berhati-hati."

"Kau sudah menyebut itu berapa kali dalam satu minggu ini? Aku sampai bosan mendengarnya."

Kata-kata barusan membuat Nayoung kembali tegak dan kaku. Namjoon sedang dalam mode serius, marah, dan tidak boleh diganggu. Di saat seperti ini apa pun yang keluar dari mulut Nayoung sepertinya akan selalu dianggap salah. Akhirnya ia tidak berniat melanjutkan kalimatnya dan memilih untuk diam kaku di tempatnya sembari memandangi dosennya yang tengah mencuci gelas kimia di wastafel yang berada di ujung ruangan.

Kau sudah benar-benar kurang ajar menyuruh pria itu mencuci gelas, Kwon Nayoung. Merasa tak berguna di tempatnya berdiri, Nayoung memutuskan untuk beranjak dari sana menuju ruang belajar.

Sembari ia menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan mahasiswanya itu, Namjoon sesekali melirik gadis yang berdiri kaku namun tak berdaya tak jauh dari dirinya berada. Salah sudut bibirnya tertarik seakan puas membuat Nayoung merasa bersalah karena telah menyuruh dosennya secara tidak langsung. Meski bukan itu niat sebenarnya mengambil pekerjaan gadis itu. Namjoon tidak mau labnya hancur hanya karena kecerobohan mahasiswanya yang melamun nyaris sepanjang jam kerja.

Kepala Namjoon kembali menoleh setelah ia selesai mencuci gelas di wastafel, untuk memastikan apakah Nayoung masih betah berdiri di tempatnya. "Ah... ke mana anak itu? Mau apa dia dengan tangannya yang masih melepuh itu? Sudah kuduga ada yang aneh waktu dia meneleponku waktu kemah." Namjoon tak menemukan mahasiswinya di sana, hanya seonggok kain putih yang ditaruh sembarang di atas meja. Nayoung melepas jas labnya sebelum menghilang.

*****

"Han Chaeyeon."

Chaeyeon tak membalikkan tubuh meski langkahnya terhenti ketika Nayoung memanggilnya dua kali dan berjalan semakin dekat di belakangnya. "Aku sedang sibuk." Ia jelas masih kecewa pada Nayoung, jadi menghindari gadis itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan saat ini.

"Aku mau bicara denganmu sekarang. Bisa sempatkan lima menit waktu sibukmu itu?" Nayoung mendahului Chaeyeon lalu berbalik dan berdiri di hadapan gadis itu. "Kalau kau benar-benar sibuk sampai tidak punya waktu untuk bernapas dengan baik, maka mari bicara di sini."

Ucapan sarkas Nayoung cukup membuat Chaeyeon tertegun. Matanya melirik ke sekeliling, mengamati koridor yang sedang cukup ramai sampai mengundang perhatian orang yang ada di sana. Dan berbagai kamera ponsel pun mulai terangkat ke arah mereka berdua. Chaeyeon menyadari jika ini bukan tempat yang cocok untuk memulai perbincangan lima menit yang diminta Nayoung.

Mereka pun memutuskan untuk bicara di atap gedung yang sebelumnya mereka tempuh dengan menaiki lift dan mau tak mau harus berada dalam situasi canggung dan diam satu sama lain tanpa ada yang berniat memulai perbincangan. Baik Chaeyeon maupun Nayoung, keduanya seakan sudah siap saling jambak jika saja Nayoung tak menahan keinginannya itu.

Chaeyeon bersedekap dada sembari menatap gadis Kwon di hadapannya dengan tatapan benci. "Cepat, aku ada urusan."

Nayoung terbatuk ketika melihat bagaimana bebalnya Han Chaeyeon yang telah menunjukkan wajah aslinya itu. "Kau cukup berani dan tidak tahu diri ya untuk mengolah cerita hoaks."

"Kenyataannya memang benar. Bahwa kau dan Jungkook bersenang-senang tanpaku, padahal ia berjanji mengajakku berkemah suatu hari nanti."

"Asal kau tahu saja, aku sudah lama ingin mengatakan ini padamu. Biar kujelaskan. Aku dan Jungkook—"

"Simpan saja penjelasanmu itu. Semua terlihat jelas. Kau menyetujui ajakan Jungkook tanpa berpikir lama karena kau menyukainya 'kan? Kau bahkan tidak berpikir untuk mengajak atau memberitahuku." Nayoung pikir Chaeyeon akan mendengarkannya, seperti biasa. Tapi ucapannya barusan benar-benar tidak bisa ditolerir lagi.

Chaeyeon melangkah maju mendekati Nayoung. "Aku pikir kita bisa berteman baik, padahal pertama kalinya aku punya teman yang baik sepertimu."

Nayoung benci berada di situasi seperti ini. Ia merasa seperti menjadi pelaku alih-alih korban, meski sebenarnya ia yang dirugikan di sini. Ia muak harus berpura-pura tidak apa-apa setiap melihat kedekatan dua orang itu, atau berpura-pura tertawa setiap Chaeyeon menyemangatinya untuk menyatakan perasaannya pada Jungkook meski selalu urung dilakukannya. Nayoung benar-benar merasa dikhianati ketika tahu bahwa orang yang berusaha menjadi matchmaker antara dirinya dan Jungkook adalah orang yang mengkhianatinya juga.

"Jika kita berteman baik, apa pantas mengumbar masalah pribadi yang hanya antara kita berdua saja ke media sosial? Kau pikir semua masalah selesai dengan mudah lalu semua orang berpihak padamu hanya karena kau pusat perhatian dunia?"

Gadis Han itu kembali tak menjawab. Sementara Nayoung telah berada pada puncak amarahnya. Tangis yang ia tahan-tahan itu perlahan keluar dan membuat suaranya mulai parau.

"Aku sudah berusaha menjelaskannya padamu, tapi kau memutuskan untuk tidak mendengarkanku. Baiklah. Itu pilihanmu. Silakan berbuat sesukamu. Mau kau bercinta dengan Jungkook, aku tidak peduli. Yang ingin kupastikan saat ini adalah kuharap kau tidak mengusik hidupku lagi."

"Maka kau tidak akan pernah bisa berteman dengan Jungkook lagi."

Ujung jari kaki Nayoung terhenti dan menukik, kemudian tubuhnya kembali berbalik untuk mendekati Chaeyeon. "Mau aku kembali berteman dengan Jungkook atau tidak, itu urusanku. Yang bisa aku beritahu sekarang, masalah ini hanya antara kau dan aku. Dari awal kebohonganmu yang membuat masalah ini ada, dan kau membesar-besarkannya."

Nayoung lantas melangkah pergi meninggalkan Chaeyeon setelah usahanya untuk meluruskan masalah antara mereka tak membuahkan hasil. Han Chaeyeon tidak akan pernah tahu rasanya sampai ia mengalaminya sendiri, jadi Nayoung rasa cukup untuk membuat dirinya lelah untuk hal tak berguna itu.

*****

"Dasar anak bandel, berani-beraninya mematikan telepon dari dosennya sendiri." Namjoon menekan layar ponselnya dengan cukup keras, saking ingin melampiaskan kekesalannya karena Nayoung yang menghilang tanpa membawa tasnya. "Apa dia benar-benar marah karena kata-kataku barusan?" Dagu Namjoon kini menjadi sasaran ketukan ponselnya.

Mata Namjoon lalu kini melirik tas punggung yang berada di atas meja yang biasa digunakan gadis itu jika mengerjakan laporan di ruang kerja labnya ini. "Sekarang sudah malam, dan dia belum kembali. Apa dia benar-benar menyuruhku membawa pulang tasnya?"

Tangannya perlahan meraih tas tersebut kemudian melirik apa saja yang ada di dalamnya. Baiklah, mungkin Namjoon terlihat seperti pembangkang, mengingat Nayoung telah memperingatkannya untuk tidak membongkar barang-barangnya setelah kejadian buku harian di gedung olahraga waktu itu. "Tiba-tiba aku penasaran dengan yang dia bawa. Tas ini kelihatannya kecil, ternyata muat banyak juga."

"Ah! Astaga, mengejutkan saja!" Getaran hebat dari bokongnya mengalihkan tangannya untuk merogoh saku belakang celananya dan meraih sumber getaran itu. "Apa lagi, Hyung? Aku sedang tidak ingin mendengarkan ejekanmu sekarang."

Beberapa detik setelah hubungan telepon selesai, tangan Namjoon yang bebas dari ponsel itu meraih tasnya dan juga tas yang tadi hendak ia rogoh lalu pergi meninggalkan lab secepat angin.

*****

"Pak, tolong jauhkan gadis itu dari toko ini! Bagaimana jika atasanku datang melihat kekacauan ini?"

Minhyuk garuk-garuk kepala melihat apa yang terjadi di hadapannya. Awalnya rencana pergi ke toserba ini adalah untuk membeli sosis ayam kesukaan putranya sebelum pulang kerja. Nyatanya rencananya sedikit berbelok menjadi 'penjamin' untuk gadis yang sedang menangis meraung-raung di meja yang berada di depan toko tersebut.

Ia menatap gadis yang merupakan pekerja paruh waktu di toko tersebut sembari memohon maaf berkali-kali. "Maaf, Nona. Tapi bisa tunggu lima menit saja, tolong jangan telepon polisi. Aku jamin dia bukan gadis jahat."

"Tapi dia cukup membuat gaduh di sini." Gadis toserba itu tetap tak terima. Apakah Minhyuk harus mengeluarkan jurus terakhirnya?

Sebelah matanya mengedip dan bibirnya tersenyum lebar. "Lima menit saja, ya?"

Dan sepertinya gadis itu menyerah karena Minhyuk cukup pandai membujuknya. Gadis toserba itu masuk kembali ke toko, tak mempedulikan gadis yang sedang duduk dan membentur-benturkan dahi ke meja itu.

"Astaga. Kenapa sih aku selalu berurusan dengan orang mabuk?" Minhyuk mendorong bahu gadis yang akhirnya berhenti memalu kepalanya di meja itu. "Hei. Kepalamu bisa gepeng kalau seperti itu terus, Kwon Nayoung!"

Kepala itu tegak kembali begitu namanya disebut. Dengan mata yang setengah terbuka dan seakan tidak punya dosa itu, ia tersenyum lebar kemudian menunduk untuk menyapa pria di depannya. "Halo, Pak Minhyuk! Cuacanya dingin sekali ya?" Kemudian lengannya merangkul leher pria itu kencang, sehingga pria Lee itu tertarik ke dekatnya. "Ayo kita minum somaek*, Pak! Biar aku yang buat, okay!" serunya lantang sembari mengacungkan telunjuk dan jempol yang menyatu menjadi bulat itu.

(*perpaduan soju dan maekju/bir)

"Hei, hei! Aku dosenmu. Kurang ajar kau!" Minhyuk menghadang wajah gadis itu untuk tidak semakin dekat padanya dengan telapak tangannya, hingga dagu gadis mabuk itu mendongak.

Minhyuk menatap ngeri Nayoung yang matanya terpejam dengan bibir yang tersenyum itu. Ia mendadak takut dan langsung teringat istri yang sedang menunggu kepulangannya ke rumah.

"Eih... Pak Minhyuk, kau tampan sekali hari ini. Seandainya kau belum menikah dan sedikit lebih tinggi, kau sudah masuk tipe idealku, tahu!"

Namun setelah mendengar kalimat sensitif yang menyinggung tingginya, Minhyuk serasa jatuh dari gedung tinggi. Diam-diam ia bersyukur sudah menjadi istri seseorang, ditambah memiliki anak laki-laki yang sama tampannya seperti dirinya—ia mulai berpikir untuk membelikan makanan dan minuman sehat yang bisa meninggikan badan anak.

Syukurlah Minhyuk tidak harus mendengarkan celotehan gila Nayoung lebih lama lagi. Namjoon datang menghampirinya setelah memarkir mobilnya. Tangannya lantas berayun-ayun, mengisyaratkan agar pria Kim itu lebih memperlaju kakinya untuk segera membebaskannya dari Nayoung.

"Kau sudah lama di sini, Hyung?" Namjoon melepas jaketnya begitu sampai kemudian memakaikannya di bahu gadis yang kembali memalu dahinya itu ke meja.

Minhyuk berdiri dari kursi kemudian menempelkan selembar kertas pada dada sahabatnya itu. "Ini yang perlu kau bayar padaku besok. Ah... kenapa aku selalu mengurus orang mabuk. Lihat saja saat aku mabuk-mabukan, kalian berdua yang harus mengurusku!" Kemudian ia berlalu pergi ke dalam toko untuk membeli sosis seperti rencana awal.

*****

Namjoon tidak begitu terkejut melihat kertas bon belanjaan yang diberi Minhyuk. Lima kaleng bir dan satu botol soju sepertinya cukup membuat gadis di hadapannya ini mabuk. "Kalau mau mabuk-mabukan, setidaknya kau harus punya dompet. Salahmu sendiri tidak bawa tas." Pria itu duduk di hadapan Nayoung, menunggu gadis itu sadar dari mabuknya, maksudnya sedikit lebih baik dan setidaknya bisa berjalan sampai ke tempat mobilnya diparkir.

Ponsel Nayoung yang tergeletak di meja tiba-tiba menyala hingga mengalihkan perhatian Namjoon dari kepala yang sedang terbaring di meja tersebut. "Dia tidak lupa membawa ponsel, tapi lupa membawa dompet," ocehnya sambil terkekeh.

Posisi ponsel itu cukup untuk membuat Namjoon mampu membaca notifikasi yang muncul di layar kunci. Sehingga ia bisa membaca dengan jelas isi-isi pesan di sana. Kalimat-kalimat kasar itu cukup untuk membuat Namjoon tercengang dan merasa harus membacanya.

[Dia itu padahal senior tapi kenapa tingkahnya memalukan sekali?]

[Berhenti mengaku menjadi teman kalau sikapmu begitu! Dasar jalang tidak tahu malu.]

[Aku tidak menyangka orang seperti dia pernah mewakili kampus di kompetisi badminton nasional. Sepertinya aku tahu alasan mengapa dia kalah waktu itu. Mentalnya sudah buruk dari dulu.]

[Kau bukan siapa-siapa di sini.]

[Orang tuamu pasti malu punya anak sepertimu.]

Helaan napas Namjoon semakin berat tatkala pesan terakhir yang ia baca muncul. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nayoung ketika membaca pesan-pesan ini. Setidaknya yang ia yakini sekarang adalah suatu hal yang wajar bagi Nayoung untuk menangis dan mabuk di saat seperti ini. "Sepertinya ini alasan kau memintaku untuk berbicara lama-lama di telepon waktu itu."

"Pak Namjoon?"

Ia pun buru-buru melempar ponsel Nayoung begitu sadar si pemilik telah bangun dari tidur mabuknya itu. "Oh, Nayoung," sapanya dengan canggung. Lebih tepatnya gugup, bagaimana jika tadi usahanya membaca isi pesannya terlalu kentara?

"Ssshh... Pak Namjoon, bisa belikan aku es krim?"

Lagi-lagi helaan napas berat Namjoon keluar. Gadis itu masih bisa meminta es krim meski mendesis menahan pedih tangannya yang terkena gelas panas di lab tadi.

"Pertama, ayo kita obati tanganmu dulu."

*****

"Kau menyebalkan, Pak Namjoon!"

Namjoon begitu sabar meladeni Nayoung yang mengoceh protes di samping telinganya hanya karena tidak dibelikan es krim. Kakinya berhenti melangkah sejenak untuk mengangkat dan memperbaiki posisi tubuh Nayoung yang berada di punggungnya itu. Namjoon salah tebak saat gadis itu menyapanya dengan sapaan saat di kampus, ia pikir Nayoung sudah sadar dari mabuknya.

Ternyata tidak. Gadis itu merengek-rengek seperti bayi sepanjang perjalanan di dalam mobil. Dan Namjoon harus meladeninya, kecuali ingin membuat kegaduhan di tengah jalan. Dan sayang sekali tempat Namjoon membeli es krim untuk Nayoung sedang tidak berjualan dan alhasil mereka pulang dengan tangan kosong, dan masalah itu yang menjadi alasan Nayoung mengoceh di telinganya saat ini.

"Besok aku belikan, Nayoung."

"Tidak mau!"

"Hei, hei! Berhenti melompat-lompat! Punggungku hancur lama-lama!" Namjoon nyaris jadi gila karena pundaknya diguncang dan punggungnya dihentak-hentak seakan ia adalah kuda yang harus dipacu agar berjalan lebih cepat.

Perjalanan menuju lantai tempat rumah Nayoung berada tak semulus yang Namjoon kira. Nayoung saat sedang mabuk ternyata cukup mengerikan, entah lebih mengerikan dirinya atau gadis yang sedang digendongnya ini.

"Tunggu, tunggu!" Nayoung memukul-mukul pundak Namjoon begitu mereka telah berada dekat dengan pintu rumah Nayoung.

"Aduh! Pukulanmu benar-benar gila!" Entah harus berapa lama Namjoon bertahan dengan gadis ini. Tiba-tiba ia merasa menyesal karena pernah mabuk parah sampai masuk ke rumah gadis ini.

Belum berakhir dengan pundak yang dipukul, kini telinga pria itu ditarik oleh Nayoung. "Sssstt... jangan berisik." Dan kali ini bukan sakit yang Namjoon rasakan, namun sensasi geli aneh karena bisikan gadis itu tepat di telinganya. "Ada Jungkook di sana. Aku tidak mau pulang. Dia pasti mencariku lagi 'kan?" lanjut Nayoung.

"Hei, hentikan. Geli, tahu! Kau berhalusinasi rupanya. Lihatlah baik-baik ke depan sana. Tidak ada siapa-siapa. Ayo pulang!"

"Tidak mau! Jungkook pasti mencariku lagi. Aku tidak mau menemuinya. Kita pulang ke rumahmu saja, Pak Namjoon!"

"Hei, berhenti memanggilku begitu! Bagaimana jika tetangga mendengar?"

Namjoon tidak ada pilihan lain, kecuali ia ingin membuat seluruh penghuni keluar dan membuat situasi lebih rumit. Dan satu hal lain yang ia pikirkan sepanjang perjalanan menuju lantai unitnya: bagaimana aku menjelaskan situasi ini pada Seokjin Hyung?

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ketika ia melirik nama yang menelepon dari jam pintarnya, Namjoon sudah tak dapat berkata-kata lagi. Kakaknya pagi tadi berjanji untuk pulang lebih cepat untuk memasak makan malam sekaligus menguji resep baru. Satu-satunya yang bisa ia harapkan saat ini adalah, semoga Nayoung tidak membuat situasinya lebih rumit nanti.

*****

"Hari ini aku sedang dalam suasana hati yang luar biasa. Jadi aku mendapatkan ide baru."

Meski steak buatan kakak sepupunya itu telah tersaji di depan matanya, Namjoon tak berkutik dan tetap melamun. Padahal ia sangat menyukai daging. Seokjin yang menyadari hal itu mengetuk-ngetuk meja dan melotot pada adiknya itu. "Hei. Kau masih memikirkan kekasihmu itu?"

"Tidak. Aku bahkan diblokir dari media sosialnya." Namjoon melanjutkan kegiatannya menata sendok dan alat makan lainnya di meja.

"Bukannya kau sudah punya pacar baru?

"Kapan aku bicara begitu, jangan mengada-ngada, Hyung." Setelah mendapatkan piring berisi steaknya, Namjoon langsung duduk di kursinya dan bersiap untuk makan setelah kakaknya menyuap sepotong daging.

"Lalu wanita yang kau dekati itu siapa?"

Namjoon dengan ekspresi cengo itu menelan ludah. Seakan sadar bahwa Seokjin sedang membahas sesuatu yang sensitif. "Apa? Aku sedang tidak mendekati siapa-siapa."

"Wanita yang sering kau ajak pulang bersama dengan mobilmu di tengah malam itu. Siapa dia?"

Ah... Seokjin sedang membahas wanita yang ia kenal sebagai pemabuk terburuk sepanjang masa itu. "Hah? Oh itu. Dia mahasiswiku."

Seokjin bukannya terkejut dan siap memarahi adiknya, seperti yang diekspektasikan Namjoon sebelumnya. Pria itu malah tertawa kecil dan menggodanya. "Kau mulai nakal ya? Jadi kau berpacaran dengan mahasiswimu?"

"Bukan!" Namjoon memotong dagingnya dengan cepat, hingga menimbulkan suara decit perpaduan pisau logam dengan piring keramik itu. "Dia mahasiswi yang aku ceritakan, Hyung. Yang ikut proyek penelitianku dengan profesorku dulu. Kami sering pulang bersama karena... ya kau tahu sendiri jika tidak ada bus lagi saat tengah malam. Itu sebagai bentuk pertanggung jawabanku, itu saja."

Meski sudah dijelaskan panjang lebar, Seokjin tetap tidak percaya. "Em.... begitu ya? Jadi membawa gadis itu pulang kemari juga sebagai bentuk pertanggung jawaban?"

Tangan Namjoon yang hendak menyuap steak terhenti sejenak. Sebelum ia menurunkan tangannya. "Aku tidak membawanya kemari," elaknya. Meski di dalam batinnya ia sudah gugup luar biasa, bagaimana kakaknya ini bisa tahu?

Suara tawa Seokjin menggelegar dan diakhiri dengan tawa kecil yang mirip seperti suara kilap saat mengelap jendela. "Hei, Kim Namjoon. Kau itu sudah berumur kepala tiga. Kalau mau bawa pacar ke rumah tidak masalah, toh itu tanggung jawabmu." Kemudian jarinya menunjuk ke lemari sepatu yang berada di dekat pintu masuk. "Tapi kalau mau sembunyi-sembunyi, lakukanlah dengan benar, jangan sampai ketahuan olehku."

Usai sudah petak umpetnya. Namjoon mengulum bibirnya tanpa sadar.

"Untuk apa ada sepatu yang ukurannya lebih kecil dari ukuran kaki kita di sini? Apalagi kalau bukan karena itu milik orang lain 'kan? Dan aku bisa merasakan aura feminin begitu masuk tadi." Kedua tangannya terlentang ke atas, menghayati aura yang ia sebut-sebut tadi.

Namjoon kaku tak bergerak. Ia sudah ketahuan. Salah sendiri menantang kakaknya yang punya insting tajam itu. "Hyung, dengar. Ini tidak seperti yang kau bayangkan."

"Sudahlah, aku malas mendengar teori rumit itu. Ajak saja dia makan sekarang juga." Seokjin berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati sebuah pintu. "Dia sembunyi di kamarmu?" tanyanya dengan santai.

Namjoon tiba-tiba muncul di bawah Seokjin lalu dengan cepat berdiri menghalangi pintu kamarnya. "Hyung, steak-nya masih biasa-biasa saja rasanya. Bagaimana kalau kau kembali ke restoran lagi untuk melakukan riset lagi?"

Seokjin menggeleng sambil tertawa kecil. "Itu bisa ditunda besok. Ayolah aku mau melihat gadis cantik yang kau pacari sekarang." Tangannya meraih kenop pintu dan pintu berhasil terbuka. Seokjin mengerutkan dahi begitu tidak mendapatkan yang ingin ia lihat. "Tidak ada siapa-siapa?" Matanya berputar mengelilingi kamar adiknya, siapa tahu ia melewatkan sesuatu. "Lalu aura feminin tadi dari ma—" Napasnya Seokjin tersendat kala ia menemukan sepotong pakaian berwarna kuning gading.

"Wah... pakaian wanita." Kedua alis Seokjin menaik lalu melirik Namjoon di belakangnya yang sudah pasrah jika kakaknya menemukan Nayoung di ranjangnya.

"Kau sempat bersenang-senang dengannya ya?"

Namjoon tidak tahu harus menjawab apa. Kepalanya hanya tertunduk. Sembari membatin mengutuk Nayoung yang dengan cerobohnya membuat situasi terlihat seperti Namjoon lah yang memulai semua ini.

TBC

Bonus buat cuci mata 😍

(pic chapter 16)

AN : kira-kira Namjoon abis ngapain ya sama Nayoung?????? Btw akhirnya aku keluar goa hehe. Mohon maaf dan terima kasih ya untuk yang masih menunggu cerita ini. Doakan ya semoga ke depannya bisa cepet dan rutin updatenya ^^ 💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro