Chapter 14
Mata Nayoung menatap termometer alkohol di hadapannya serta buku di pegangannya bergantian. Tangannya tak ketinggalan menuliskan beberapa huruf dan angka yang sepertinya hanya dirinya dan Namjoon saja yang paham. Siapa pun yang melihat Nayoung dalam situasi seperti ini jelas tidak akan berani mengganggunya. Seakan-akan gadis itu bisa marah dan meledak sewaktu-waktu kalau saja ada yang menyentuh buku maupun alat-alat praktikumnya.
"Apa yang kau catat? Penting atau tidak? Temperaturnya sudah kau catat? Proses kerjanya sudah didokumentasikan? Sampel sebelumnya jadi berapa gram setelah diproses?"
Tubuhnya menegap setelah membungkuk beberapa detik lalu karena menulis. Namjoon muncul di belakangnya dengan pertanyaan bertubi-tubi yang kadang membuat Nayoung tegang dan takut jika ternyata yang ia kerjakan tidak sesuai keinginan pria itu.
"Pak, pelan-pelan." Nayoung memutar kursinya menghadap Namjoon. Matanya langsung bertatapan dengan pria itu. Namjoon sedikit membungkuk untuk membuat pandangannya sejajar dengan Nayoung.
"Ah, Pak Namjoon. Bisa kau mundur sedikit?" pintanya lembut. Posisi mereka saat ini benar-benar canggung dan membuat Nayoung hampir lupa akan apa yang ingin ia laporkan pada dosennya itu. Namjoon pun menegakkan tubuhnya lalu bersedekap dada menatap gadis yang duduk tegap di hadapannya ini.
"Saya sudah catat semua yang Anda sampaikan saat briefing kemarin. Dan gram sampel yang saya kerjakan Senin kemarin sudah saya tulis di log book. Bapak belum melihatnya?" Setidaknya Nayoung dapat mengucapkan kata-kata yang ia proses tadi dengan lancar setelah pria itu sedikit menjauh. "Saya pikir Anda sedang mengajar. Jadi saya memulai ekstraksinya lebih dulu. Saya sudah izin dengan Pak Lee," sambungnya lagi.
Sementara itu Namjoon menoleh ke sana kemari seperti mencari sesuatu yang hilang. Yang membuat Nayoung menaikkan sebelah alisnya. "Hari ini semua kelas yang aku ampu hanya melaksanakan kuis."
"Wah... berarti mahasiswamu saaaangat pintar ya? Padahal baru tiga puluh menit lalu sesi kuliah dimulai, Anda sudah di sini," ucap Nayoung terdengar seperti menyindir. Yang kemudian dibalas Namjoon dengan anggukan pelan dan mata yang memejam serta bibir yang tersenyum sejenak.
Mencoba mencari posisi yang santai dan nyaman untuk berbincang, Namjoon mendaratkan pinggangnya untuk bersandar pada bibir meja yang digunakan untuk praktikum. "Mereka sudah persiapkan segalanya dengan baik. Tidak seperti seseorang yang gemar membuat forum diskusi sendiri di dalam kelas." Ucapannya jelas terdengar seperti menyindir Nayoung. Namun gadis itu memutar kembali kursinya kemudian fokus menatap pekerjaannya.
"Oh begitu ya? Maafkan saya karena menjadi mahasiswa pembangkang." Namun mulutnya tetap mencebik tanpa berbalik pada Namjoon.
"Oh, aku tidak bilang jika itu adalah kau."
"Sudahlah, aku lelah adu mulut denganmu."
"Hei, hei. Kau tahu kalau aku bercanda, 'kan? Jangan tersinggung. Bukankah kita sudah berjanji untuk menjadi teman?" Merasa jika ejekannya sudah cukup membuat gadis itu kesal, Namjoon menyudahinya lalu menusuk lengan gadis itu pelan-pelan dengan telunjuknya.
"Memang." Gadis itu tetap meladeni Namjoon sembari berdiri lalu mengamati termometer kembali.
"Kalau begitu jangan membuatku tidak nyaman begitu."
"Ya kalau tidak nyaman menghadapiku tidak usah berteman denganku."
Wah gila. Sulit sekali membuat gadis ini tersenyum.
Namjoon baru sadar jika selama ini dirinya sama menyebalkannya seperti Nayoung saat ini. Pantas saja ketika dirinya bekerja di perusahaan, karyawan-karyawan di departemen yang ia pimpin takut padanya, dan memilih untuk menyampaikan keluhan dan pendapat hanya melalui Jimin yang selanjutnya diteruskan pria itu kepadanya. Andai ada Park Jimin di sini, mungkin ia sudah menertawai Namjoon sampai puas.
"Ya ampun!"
Suara desisan dari tetesan embun air yang jatuh ke alat pemanas di hadapannya membuat Nayoung tersentak kaget dan tubuhnya refleks mundur beberapa langkah, yang membuat punggungnya berbenturan dengan sesuatu yang besar dan kokoh yang menyokongnya agar tidak jatuh terjungkal. Bahunya terasa dikunci tak bergerak ketika keduanya dicengkeram oleh penyokong itu.
"Suaranya mengejutkanmu ya? Kau baik-baik saja?" bisik si penyokong yang tak lain adalah Kim Namjoon. Suara rendah namun lembut itu menghampiri telinga Nayoung tanpa permisi, yang membuat sekujur bulu tengkuknya berdiri dan ia mulai merasakan geli ketika napas pria itu berhembus di sana.
"Y-y-ya. Saya baik-baik saja. Maaf, Pak. Harusnya ini saya balut dengan tisu agar embunnya tidak menetes." Tangan Nayoung meraih meja untuk mencari tisu yang ia maksud, tanpa berminat menatap Namjoon yang masih mengusap-usap pundaknya.
Namjoon masih diam di belakang gadis itu, namun pandangannya terlalu kentara ketika melihat tangan mahasiswanya itu bergetar hebat saat mencari tisu. Ia lantas menahan tangan itu lalu membawanya ke samping tubuh Nayoung.
"Biar aku saja. Tanganmu bergetar. Kau duduk saja." Tangan Namjoon menekan bahu gadis itu perlahan untuk kembali duduk, dan setelah itu mengambil beberapa lembar tisu untuk dililitkan di sekitar benda berbahan kaca tersebut.
Nayoung ingin sekali marah pada Namjoon, karena sudah membuatnya kacau hanya dengan suara bisikan yang membuatnya geli itu. Namun lagi-lagi ia dibuat diam ketika pria itu melakukan kegiatannya tanpa berpindah posisi ke hadapannya agar lebih mudah, setidaknya itu yang ada di benaknya.
Pria itu justru melakukan itu dari belakang, yang tanpa sadar membuat Nayoung mampu mencium aroma parfum musk yang sepertinya dipakai pria itu pagi ini. Hal lain yang membuat Nayoung tak berkutik adalah punggungnya yang dengan lancang merasakan bagaimana stabilnya irama jantung pria itu. Meski tadi itu hanya sebentar saja, efek debar aneh di dada Nayoung terus berlanjut sampai pria itu kembali pada posisinya.
"Kau akan menemukan hal-hal seperti ini ke depannya. Jadi belajarlah untuk mengantisipasinya dari sekarang," ucap Namjoon sembari meloloskan kedua tangannya ke saku bawah jas lab putih yang ia kenakan.
"Untung ada aku di sini. Lain kali mulailah praktikum saat aku ada di sini juga. Melihat bagaimana kau terkejut hanya karena tetesan air embun dari ekstraktor, sepertinya aku harus mengajarimu keterampilan menggunakan alat praktikum dari tahap dasar. Ah... kau menambah pekerjaanku saja, Kwon Nayoung." Namjoon melirik Nayoung setelah helaan napas beratnya dengan tatapan datar namun pasrah.
Mungkin ini sudah sekian kalinya Namjoon selalu mengejeknya, dari hal kecil seperti kepolosannya soal aturan bermain hoki meja yang tidak ia ketahui, sampai hal serius terkait keselamatan dan keterampilan di lab yang sebenarnya sudah Nayoung pelajari—ia hanya lupa sejenak karena pria itu juga sebenarnya.
Meski diberi tatapan menusuk dari Nayoung, Namjoon tetap melancarkan agenda untuk membuat kepala gadis itu panas. Memberi senyum sinis andalannya sambil memiringkan kepala dan mengangkat kedua tangannya sejajar dada bersama bahunya yang ikut mengedik.
Apa Nayoung kesal? Tentu saja.
"Kalau begitu kau saja yang kerjakan sendiri. Kau sedang senggang 'kan? Aku punya tugas mata kuliah lain." Tubuhnya bangkit kemudian berbalik menuju ruang belajar.
Namjoon terlihat tidak keberatan. Meski matanya tak beralih dari tubuh mungil yang perlahan menjauh dari pandangannya itu, senyum sinisnya berganti setelah sudut bibirnya yang lain tertarik juga hingga membentuk senyum kecil yang tak disadari gadis itu.
"Dasar tukang merajuk." Kemudian ia kembali melirik alat kimia yang sedang menyala dan memancarkan uap panas di hadapannya itu. Ekspresinya berubah seakan terkejut melihat alat tersebut, lantas tangannya buru-buru meraih sarung tangan. "Oh iya, temperaturnya perlu kuturunkan dulu."
*****
Kenyataannya Nayoung bukanlah pergi dari lab untuk mengerjakan tugas, melainkan mencari pendingin untuk dadanya yang panas akibat Kim Namjoon. Ia menatap mesin minuman tak sabar, menunggu sekaleng soda favoritnya keluar dari sana. Matanya menatap nanar ujung sepatu, bersama dengan benaknya yang mengulang kembali ingatan tentang bagaimana interaksinya dengan beberapa pria yang ada di sekitarnya belakangan ini.
Nayoung tak pernah segugup ini sebelumnya. Sebenarnya ia sering merangkul dan dirangkul ketiga sahabat laki-lakinya—ehm sedikit pengecualian untuk Jungkook. Di awal-awal memang ia belum terbiasa akan hal itu, namun lama-lama rasanya biasa saja. Tapi apa yang terjadi padanya dengan Namjoon belakangan ini membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kepalanya pun dipenuhi pertanyaan, misalnya kenapa pria sesibuk Kim Namjoon menyempatkan waktu di akhir pekan demi mengajaknya bermain arkade dan makan malam di restoran Jepang? Ditambah sekarang pria itu membuat kontak fisik yang lebih dekat dari biasanya.
"Mungkin benar, dia melakukan itu demi kelancaran penelitian. Dia ingin aku fokus. Benar 'kan?" Kali ini monolognya mencoba meyakinkan kepala Nayoung untuk tidak membuat pertanyaan lagi.
"Tapi rasanya tetap saja aneh. Kalau begitu Pak Lee Minhyuk tidak seakrab itu dengan mahasiswanya? Ehm... tunggu, Pak Lee 'kan sudah menikah. Jadi mungkin dia lebih berhati-hati akan hal itu. Astaga! Apa karena orang tua itu kesepian setelah ditinggal pacarnya?" Dan begitulah monolog Nayoung berlanjut, penerimaan lalu penyangkalan kemudian membuat plot cerita di kepalanya, selalu seperti itu.
Nayoung kembali merengut kesal karena perang batinnya tak usai-usai. Kepalanya mendongak menatap deretan gambar kaleng minuman yang berada di atas kepalanya itu, yang kemudian terfokus pada gambar minuman sodanya. "Ah... Kenapa lama sekali turunnya?"
"Kau bisa saja tersandung lalu jatuh di depan orang banyak jika belum mengikatnya dengan benar."
Sebuah punggung berjongkok dan menaruh perhatian pada sepasang sepatu putih Nayoung. Tangannya menarik keluar tali yang belum diikat itu dari dalam sepatu dan kemudian mengikatnya hingga membuat simpul sempurna dan kuat di sepatu kanvas tersebut.
"Kapan kau datang, Jungkook?" Nayoung masih memandangi puncak kepala Jungkook yang bisa ia lakukan dengan mudah karena pemuda itu masih mengikat tali sepatunya.
Jungkook berdiri begitu selesai dengan sepatu gadis itu. "Kau sedang praktikum ternyata." Ia cepat menyadarinya ketika dilihatnya tubuh gadis itu masih berbalut jas laboratorium.
"Ya ampun, ini rambut atau sarang burung? Aku tidak bisa membedakannya." Bersama decak jengkelnya, Jungkook menarik pelan karet rambut yang mengikat gulungan rambut acak gadis itu. Kemudian kedua tangannya itu dengan mahirnya menghimpun helai demi helai rambut Nayoung menjadi satu ikatan ekor kuda.
Tak lama, tangan Nayoung terangkat menahan kedua tangan Jungkook. "Aku bisa sendiri, Jungkook. Jangan sembarangan menyentuh rambutku. Tidak ada yang tahu jika mungkin tanganmu itu mengandung virus aneh-aneh." Kemudian tangannya yang bebas menarik karet rambut yang berada di pergelangan tangan pria itu lalu segera mengikat rambutnya.
"Hei, aku bukan penyebar wabah." Jungkook merengut. "Aku hanya berniat membantumu. Kau itu urakan sekali, seperti tidak mandi seminggu."
"Maaf, apa bau badanku begitu mengganggumu sampai kau harus mendatangiku dan mengomentari penampilanku?"
"Tidak begitu juga konsepnya, Nayoung. Ya ampun, aku berniat baik membantumu padahal. Kenapa sensitif sekali sih?"
"Baiklah, baiklah. Kenapa mendatangiku?" Ia menatap pria Jeon itu datar sembari sesekali melirik mesin minuman di sampingnya, berharap kaleng sodanya cepat jatuh ke bawah agar ia bisa kembali ke lab melanjutkan pekerjaannya.
"Aku ingin mengajakmu pergi liburan. Besok kau tidak ada jadwal kuliah dan penelitian 'kan?"
Kata-kata Jungkook terdengar acak dan sebenarnya mengganggu pikirannya. Ada angin apa yang melanda pria itu sampai tiba-tiba mengajak pergi berlibur? Kedengarannya seakan-akan mengajak pergi bulan madu. Eh...
"Ada yang perlu dirayakan sampai harus melakukan liburan?" tanya Nayoung, masih dengan ekspresi datarnya.
"Hanya ingin saling memberi semangat. Setelah nanti kita fokus pada penelitian masing-masing, kita akan jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Jadi setidaknya mari kita lakukan di awal-awal seperti ini."
"Siapa lagi yang ikut? Kita tidak mungkin pergi berdua saja, 'kan?"
Jungkook telah membuat batas dengan jelas sebelumnya. Berkali-kali ia mendeklarasikan dirinya sebagai teman bagi Nayoung. Maka Nayoung merasa tidak perlu buang tenaga untuk mengolah kata-katanya agar tidak terkesan seperti berharap. Lebih baik membuang ekspektasinya jauh-jauh saja sekalian.
Tangan Jungkook tiba-tiba terulur dari belakang, mengambil sesuatu dari saku celananya. Dan muncullah satu kaleng soda seperti yang Nayoung tunggu dari mesin di sampingnya. "Tentu saja. Ini liburan dua hari satu malam untuk kita berenam saja."
Meski ia bingung bagaimana Jungkook mendapatkan minuman tersebut, Nayoung tetap menerimanya. "Baiklah, silakan kau atur. Tidak masalah, 'kan?" ucapnya seraya membuka kaleng tersebut.
Jungkook tampak bahagia. Senyuman lebar hingga memamerkan gigi putihnya, anggukan kencang yang membuat rambut lebatnya ikut berayun, sampai mata rusanya yang melebar itu sudah berbicara. Nayoung tidak perlu bertanya lagi bagaimana perasaan pemuda itu.
Pria itu bergerak mendekat ke sisi wajah Nayoung dan membisikkan sesuatu sebelum ia pergi. "Mesin itu sedang diperbaiki. Mekaniknya menyalakan mesin itu untuk dites, jadi isinya masih kosong." Senyum usilnya terpancar sembari berjalan menjauh dan memunggungi Nayoung.
"Hei, Jeon Jungkook!"
Dan ia baru sadar jika uang lima ribu wonnya terbuang percuma.
*****
Hari itu pun tiba. Hari di mana Nayoung dan Jungkook merealisasikan liburan dua hari satu malam mereka bersama keempat sahabatnya. Perjalanan menuju lokasi perkemahan mereka memakan waktu tempuh lebih kurang satu setengah jam lamanya dari Seoul dengan menggunakan mobil.
Sementara empat orang lainnya yang menyiapkan perlengkapan kemah seperti tenda dan kawan-kawan berada di mobil yang Jungkook kendarai melaju menuju area perkemahan, Nayoung dan Joonyoung yang berada di mobil berbeda berkendara menuju pasar untuk membeli bahan-bahan masakan makan malam.
Tidak ada perbincangan berarti antara keduanya. Bukan karena Joonyoung merasa tak cocok dengan Nayoung, hanya saja ia sadar jika Nayoung masih berada di alam mimpinya. Lagi pula Joonyoung memang lebih suka keheningan saat berkendara.
"Aduh."
Kepala Nayoung yang tertopang oleh telapak tangan yang disandarkan pada tepi jendela itu lantas jatuh ketika dirasa sudah cukup lama untuk si pemiliknya tertidur. Nayoung refleks mengusap tengkuk belakangnya yang merasakan sensasi seperti tertarik karena kepalanya yang menunduk secara mendadak tadi.
"Kalau masih mengantuk tidur saja. Turunkan sandaran joknya." Kepala Nayoung lantas menegak tatkala suara Joonyoung terdengar.
Nayoung mengangguk pelan sembari melirik Joonyoung yang barusan meliriknya sejenak. "Tidak apa. Aku sudah merasa lebih baik."
"Apa yang kau lakukan sampai tampak lesu begitu? Kau begadang di lab lagi?"
"Aku baru pulang dari lab pukul dua pagi. Karena aku minta waktu libur untuk hari ini, mau tidak mau harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal jika aku pergi kemah."
"Sendirian?" Nayoung sudah menjelaskan dengan panjang lebar, jadi Joonyoung sedikit menghemat waktu dengan langsung bertanya yang lain.
"Untungnya tidak. Pak Kim menemaniku dan mengantarku pulang juga."
"Syukurlah. Setidaknya kau tidak benar-benar sendirian." Joonyoung menghela napasnya, meski ekspresi wajahnya tetap begitu-begitu saja. "Ternyata Pak Kim cukup baik pada mahasiswanya," sambungnya.
Tiba-tiba Nayoung menjadi tertarik hingga ia mendekatkan dirinya ke Joonyoung, namun kepalanya didorong pelan oleh pria itu. "Duduk yang benar. Kita masih di jalan tol."
Ia kembali meluruskan punggungnya, meski pipinya menggembung karena kesal pada Joonyoung yang mendorong kepalanya. "Memang kau pikir Pak Kim tidak baik?"
"Bukan. Sebenarnya bukan tentang Pak Kim. Tapi tentang kau." Joonyoung akhirnya tersenyum, meski tak begitu lebar. Yang Nayoung kenal sebagai ekspresi sinis dan mengejek. "Kau sering tidak fokus saat kelasnya. Aku mendengarnya dari Yebin dan Yoojoo. Jadi aku kira dia akan lebih galak dan akan sering menyulitkanmu."
Nayoung tersenyum pahit. Kenyataannya memang begitu, hanya saja Joonyoung belum tahu jika ada sesuatu yang rumit dibalik dosen yang kerap membuatnya merasakan sensasi naik roller coaster setiap harinya itu.
"Ah soal itu. Ya, memang ada saatnya dia menyebalkan. Tapi dia juga banyak membantuku." Tentu saja, sikap Namjoon terkadang membuatnya merasa hangat dan dihargai dan diapresiasi kerja kerasnya oleh pria itu, namun kadang juga bisa membuatnya seperti dihempas dari langit.
"Ah, ternyata ada sisi menyebalkan juga darinya ya? Kukira dia sosok pria sempurna idaman para wanita, seperti yang diceritakan Yebin. Aku bertaruh sepertinya teman kita itu terpesona pada Pak Kim. Benar, 'kan?" Joonyoung seakan memancing Nayoung untuk bercerita banyak hal tentang Namjoon.
"Bagaimana denganmu, Joonyoung? Perusahaan tempat studi kasusmu bagaimana?"
Maka sebaiknya Nayoung mengalihkan topik agar pria itu tidak bertanya lebih lanjut. Akan rumit jika Joonyoung juga tahu banyak hal soal Namjoon. Cukup Jungkook dan dirinya saja yang tahu banyak akan hal tersebut.
"Sejauh ini masih lancar saja sih. Mulai minggu depan aku baru pergi ke pabrik setelah mengurus beberapa hal di kantor." Joonyoung jarang muncul di kampus karena penelitian yang dikerjakannya mengambil studi kasus di sebuah perusahaan manufaktur baja di luar kota. Jadi ini adalah kali pertama mereka bertemu setelah berminggu-minggu disibukkan dengan agenda masing-masing.
"Ah begitu ya." Nayoung garuk-garuk kepala, ketika merasa topik pembicaraannya dengan Joonyoung sudah habis. Pria itu menjawabnya terlalu cepat sampai tidak memberinya kesempatan untuk mengolah pertanyaan baru. "Oh ya, standar material di sana apa?" Dan muncullah pertanyaan acak yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya.
"Kau bertanya hanya karena penasaran atau berpikir untuk mengganti judul penelitianmu?"
Hidungnya berkerut lalu tersenyum lebar tanpa dosa, seakan Joonyoung memergokinya. "Baiklah, aku tidak akan bertanya soal itu lagi."
Tawa kecil dari Joonyoung sedikit melegakan Nayoung. Setidaknya setelah ini Joonyoung berhenti menggali soal Namjoon 'kan? Pria Lee itu menyeramkan sekali sebenarnya.
Joonyoung diam-diam adalah pemerhati yang jeli dan pandai membaca keadaan. Meski ia adalah pria paling pendiam di antara ketiga teman pria Nayoung, bukan berarti ia tidak tahu banyak hal. Dibalik tawa kecilnya itu bisa saja ada banyak rahasia yang siap keluar dari mulutnya.
"Sudah lama aku ingin menghabiskan waktu seperti ini. Akhirnya terwujud juga." Nayoung mengambil biskuit cokelat di samping jok lalu memberikan sepotong pada Joonyoung yang kemudian disambut oleh tangan pria tersebut.
"Suasana hati Jungkook sedang baik sekali. Jadi sepertinya ia ingin membaginya dengan kita. Toh kita juga sedang butuh hiburan. Benar, 'kan?" kata Joonyoung sembari mengunyah perlahan biskuit pemberian Nayoung dan tetap fokus menatap jalanan.
Nayoung mengangguk pelan. "Begitukah? Hm, tapi benar juga. Mengingat kau akan jarang kembali ke Seoul."
Setelah percakapan tersebut, tak ada lagi suara di antara keduanya. Sampai beberapa menit keheningan berlalu, mereka telah sampai di pasar dan langsung bergegas melaksanakan tugas berbelanja mereka.
*****
Langit malam bertabur bintang, api unggun yang menghangatkan tubuh, dan iringan gitar mengisi kekosongan yang awalnya ada. Setelah makan malam dengan menu lengkap yang membuat perut mereka siap meledak, keenam orang itu duduk melingkari api unggun sembari bernyanyi mengikuti iringan gitar dari salah satu dari mereka.
Seakan beban kehidupan terangkat semua, mereka begitu gembira menggoyangkan tubuh ketika gitar mengiringi lagu trot, lalu ikut bernyanyi sembari saling merangkul bahu dan mengayunkan tangan di atas kepala ke kiri dan ke kanan ketika lagu sendu dimainkan oleh Jungkook.
"Tunggu. Tunggu." Jangjoon menginterupsi di tengah-tengah acara. "Kita tidak mungkin akan bernyanyi dan bermain gitar sampai besok pagi 'kan?" lanjutnya.
"Kau tidak akan menyuruh kita tidur, 'kan? Ayolah, masih terlalu cepat untuk tidur di pukul sebelas malam." Yebin menunjukkan layar ponsel pada teman-temannya.
Jangjoon tersenyum sembari telunjuknya bergoyang, menyangkal ungkapan Yebin. "Tentu saja tidak. Bagaimana kalau kita memainkan kartu UNO seperti yang biasa kita lakukan di rumah Jungkook?" usulnya.
"Dengan aturan yang sama?" tanya Joonyoung. Semua perhatian tertuju pada Jangjoon, the master of ceremony malam ini.
"Tentu saja. Itu bagian terserunya. Mari kita anggap sebagai ajang mengakrabkan diri setelah sekian lama. Okay?"
*****
"Ya ampun, Bu. Anakmu sudah bukan anak taman kanak-kanak yang harus ada di bawah ketiak ibunya. Usiaku sudah kepala tiga, Bu. Masa aku harus lapor jam berapa aku tidur? Aku pergi memancing bersama Minhyuk Hyung, bukan pindah tidur dari apartemen ke alam bebas, Bu. Lagi pula besok aku tidak ada jadwal ke kampus."
Entah sudah berapa kali Namjoon meyakinkan ibunya bahwa ia bukan satu-satunya yang harus dikhawatirkan seharian ini. Namun wanita paruh baya itu sepertinya tetap tidak tega mendengar putranya tidur di luar ruangan yang dipenuhi nyamuk dan serangga lain. Lagi-lagi mata Namjoon berputar dengan kesal karena mendengarkan nasihat ibunya yang tak ada ujungnya itu.
Sebagai bentuk terima kasih dan merayakan Namjoon yang bergabung menjadi dosen bersamanya, Minhyuk berencana membuat perayaan kecil sekaligus untuk bernostalgia tentang masa-masa kuliah dulu. Rencana awalnya adalah dengan minum soju dan makan daging barbeque, namun nyatanya rencana itu dikacaukan oleh Namjoon sendiri waktu itu. Sehingga jadilah rencana mengajak Namjoon untuk berkemah dan memancing di luar kota.
Sementara itu Namjoon menghela napasnya. "Baiklah, Bu. Baiklah. Sebagai gantinya, besok akan kubawakan sesuatu dari sini. Entah apa yang akan kudapatkan, pokoknya akan kubawakan besok. Baiklah, Bu. Aku mencintaimu."
Minhyuk duduk santai di kursinya melirik Namjoon yang masih diberi khotbah tengah malam oleh sang ibu. Bersama tawa kecilnya ia masih setia memandangi punggung sahabatnya itu, sampai akhirnya Namjoon kembali dan ikut duduk di sampingnya yang sedang menikmati segelas kopi panas di gelas berbahan aluminium tersebut.
"You're still the same mama boy that I knew before, Kim," ejek Minhyuk diikuti tertawaan puasnya setelah melihat raut muka kesal pria tersebut.
Hidung Namjoon berkerut bersama bibirnya yang semakin maju ke depan melirik Minhyuk kesal. "I hate you, Hyung. Puas sekali kau mengejekku. Lihatlah tawa jahatmu itu."
Minhyuk belum juga menyelesaikan tawanya sampai air matanya keluar dari sudut ekor mata kirinya. "Ya ampun. Maafkan aku, Namjoon." Tangannya menepuk pundak sahabatnya itu. "Hei, cobalah memakluminya. Membesarkan anak laki-laki sendirian bukan hal mudah. Wajar dia khawatir. Jangan khianati ibumu kalau memang ingin mendapatkan kepercayaannya."
"I don't need your lecture about getting trust from my mom, Hyung. Ajarkan itu pada anakmu saja," sungut Namjoon kesal yang dibalas Minhyuk dengan anggukan pelan sebagai tanda menyerah.
"Omong-omong, Namjoon." Minhyuk kembali membuka perbincangan.
"Apa lagi, Hyung? Setidaknya beri aku waktu menikmati kopiku, Hyung," sahut Namjoon tanpa beralih dari kopi yang baru ia buat sebelum ibunya menelepon tadi.
Tangannya sibuk mengaduk cairan panas dalam gelas tersebut sampai ketika ponsel di pangkuan pahanya kembali bergetar, tangannya berhenti mengaduk dan beralih mengambil ponselnya. "Nayoung?" Dan tak sadar ia membaca nama yang tertera pada layar.
"Apa yang Nayoung—" Minhyuk tak diberi kesempatan melanjutkan kalimatnya ketika tangan Namjoon mendarat tepat di wajahnya, sementara tangan satunya menerima telepon dari mahasiswanya itu. "Hei, Kim Namjoon! Kau—"
"Halo? Ada apa, Nayoung?"
"Kau di mana?"
"Sebentar." Menyadari jika tujuan gadis itu meneleponnya bukan untuk urusan tugas dan hal perkuliahan lainnya, Namjoon kembali berdiri dari kursinya lalu berjalan menjauhi Minhyuk dan memunggunginya.
Minhyuk memandang curiga Namjoon di saat pria itu tak menyadarinya. "Aku pernah ditelepon mahasiswa saat tengah malam. Tapi tidak sampai menjauh seperti itu," monolognya sembari mengusap dagu.
"Aku sedang di luar. Kenapa menelepon di saat kau seharusnya tidur? Terjadi sesuatu di tempatmu?" Namjoon melanjutkan teleponnya setelah menjauh dari Minhyuk.
"Bukan. Aku hanya merindukanmu." Suara gadis itu terdengar lirih dan seperti putus asa, namun Namjoon masih bisa mendengarnya.
Namun ketika gadis itu mengucap kata rindu, alis Namjoon bertaut. Ia tidak salah dengar 'kan? "Kau mabuk?"
"Tidak. Aku benar-benar mengatakannya dalam keadaan sadar."
Helaan napas Namjoon keluar. "Lalu kau ingin apa melalui telepon ini? Hanya ingin mengatakan itu saja?"
"Bisa kau omeli aku? Marahi aku sepuasnya. Sebut aku pemalas dan pembangkang seperti biasanya."
"Hei, kau gila ya? Kalau sedang stres pergilah ke toserba beli camilan manis. Atau mabuk saja sekalian."
"Aku lebih suka dimarahi olehmu. Aku lebih suka diejek dan dibuat marah olehmu saja. Aku tidak suka jika orang lain yang melakukannya."
"Nayoung, kau kenapa?" Entah apa yang membuat Namjoon begitu khawatir sampai menaikkan volume suaranya. Sampai sedetik kemudian Namjoon mendengar suara isakan dari seberang sana. Nayoung menangis di telepon itu.
"Kau tidak mau melakukannya? Ya sudah, aku akan mencoba untuk tidur lagi."
"Baiklah. Tunggu, tunggu!" Meski Nayoung tak berada di hadapannya, tangan Namjoon tetap refleks terangkat ke depan seakan mencegat gadis itu. Napasnya kembali berhembus kencang bersama tangannya yang bebas berkacak pinggang. "Baiklah, akan kulakukan. Dengarkan baik-baik ya?"
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro