Chapter 12
Setelah menyelesaikan sarapan kilat di hari Sabtu mereka, Yoojoo dan Nayoung mulai bergerak merapikan kekacauan rumah yang selalu rutin terjadi di setiap harinya. Semenjak pindah ke rumah baru, mereka bertekad untuk lebih menjaga kebersihan dan kerapian rumah demi kebaikan bersama. Mereka juga sadar jika ternyata rumah yang berantakan mempengaruhi kondisi mental, itu pun baru mereka baca di artikel-artikel kesehatan yang sepintas lewat di internet.
"Kau akan pergi ke lab hari ini?" tanya Yoojoo ketika mereka sedang menjemur selimut di balkon. Nayoung yang berdiri satu meter darinya itu mengangguk sembari menepuk-nepuk selimut.
"Iya, Pak Kim memintaku melakukan uji coba sebelum benar-benar membuat sampel."
"Wah aku iri sekali padamu. Aku dan Jangjoon bahkan belum memulai apa pun dengan Profesor Lee. Kami baru berencana memilih material di hari Senin besok."
"Ah begitu rupanya. Sepertinya Pak Kim saja yang ingin memulainya lebih cepat, bukan karena kalian yang terlambat kok," elaknya, mencoba membuat Yoojoo tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Nayoung baru menyadari jika ada sesuatu yang bisa ia banggakan dari dirinya saat ini.
Menjadi anggota riset Profesor Jung—yang saat ini disupervisi oleh Namjoon untuk sementara—ternyata tidak sebegitu buruknya. Meski ia akui dirinya menjadi yang paling sibuk dan tersiksa di antara kelima temannya yang lain, setidaknya ia telah memulai. Ya, itu tidak termasuk dengan momen-momen menyebalkannya bersama Namjoon. Terkadang pria itu masih suka menyinggung soal dirinya dan Jungkook. Menyebalkan memang.
"Kau tidak mau menceritakan kegelisahanmu itu?"
"Apa?" Nayoung melirik ke samping, di mana ada Namjoon yang berjalan menyelaraskan langkah dengannya. "Oh maksud saya, tidak. Saya tidak gelisah."
"Kau masih menganggap serius kata-kataku barusan?"
"Yang mana, Pak? Anda banyak bicara saat kita di lab."
Namjoon tertawa pelan, Nayoung terdengar teliti sampai ia harus bertanya hal yang sebenarnya tidak perlu. "Soal temanmu itu. Teman pria yang kau sukai dan teman wanita yang kau yakini menyukai teman priamu itu."
"Tidak, Pak. Bukan apa-apa. Jangan khawatir. Saya bisa mengatasinya." Nayoung menggeleng seraya memberi senyum pada Namjoon, memberitahu pria itu bahwa ia baik-baik saja.
"Kau bisa memberitahuku kapan saja. Aku tahu kau tidak bisa cerita hal seperti itu ke teman-teman terdekatmu sekali pun, 'kan?"
Nayoung seakan mudah dibaca, bahkan oleh orang yang belum lama ia kenal seperti Namjoon. Entah apa maksud pria itu menyinggung soal Jungkook lagi. Apakah hanya untuk mengisi kekosongan selama perjalanan dari lab menuju gerbang atau ada hal lain yang ingin disampaikan pria itu. Yang pasti Nayoung berharap pria itu tetap tutup mulut soal rahasianya.
"Pak Kim, saya sangat berterima kasih karena Anda peduli pada saya. Tapi saya rasa hal itu terlalu dini untuk saya ceritakan pada Anda. Dan saya harap Anda tetap menjaga itu."
Telinga Namjoon terasa geli mendengar bagaimana tutur kata yang manis dan lembut itu melewati kupingnya. Padahal beberapa waktu lalu ia ingat jelas bagaimana gadis itu mengumpat dan mengabsen isi kebun binatang.
"Terlalu dini untuk saat ini ya? Baiklah, berarti masih ada kesempatan di lain waktu, bukan?"
"Apa?"
"Selamat menikmati akhir pekanmu, Nayoung. Jangan lupa jadwal kita ya?"
Kata-kata Namjoon sempat membuat hatinya menghangat. Terutama ketika pria itu menawarkan diri menjadi teman cerita, meski Nayoung masih menolaknya. Pria itu terdengar seperti begitu gigih untuk membuatnya buka mulut, ya meski sebenarnya secara garis besar pria itu sudah mengetahuinya dari buku hariannya. Tapi ketika Namjoon mengingatkannya tentang jadwal pertemuan lab, Nayoung seakan dihempas dari gedung tinggi. Pria itu pandai sekali mengaduk-aduk perasaannya.
"Nayoung? Kau sedang tanning atau apa?"
"Oh... maaf Yoojoo. Kau mengajakku bicara?" Kilas balik perbincangan singkatnya dengan Namjoon kemarin membuat Nayoung tidak sadar jika sinar matahari telah terpancar langsung ke kulitnya.
Yoojoo tertawa pelan lalu menarik Nayoung. "Ayo masuk. Sepertinya aku akan membiarkanmu yang belanja hari ini. Kau butuh waktu sendiri untuk menyegarkan pikiranmu itu. Biar aku saja yang membersihkan kamar mandi," ucap Yoojoo yang kemudian mendorong Nayoung untuk masuk ke kamarnya.
*****
Benar saja kata Yoojoo. Nayoung butuh waktu sendiri untuk sekedar mengembalikan kesadarannya. Mulai saat ini sepertinya ia akan menikmati momen-momen berbelanja ke supermarket sendirian, di mana matanya dimanjakan berbagai macam hal di sini, mulai dari makanan sampai barang-barang unik namun berguna untuk keperluan rumah.
Saat belanja tadi, ia merasakan kenyamanan yang tidak pernah dirasakan selama ini. Mungkin benar jika sebenarnya semua orang ingin memiliki me time, bahkan untuk orang yang dasarnya gemar bertemu orang sekali pun. Namun tetap saja, melakukan semuanya sendiri kadang menyulitkan juga.
Seperti saat ini, Nayoung yang kegirangan karena berbelanja itu tidak sadar jika ternyata barang-barang yang dibelinya tidak mampu ia bawa sendiri. Meski saat ini ia berada di bus dan duduk tenang, tetap saja nanti saat turun dari sini ia harus berjalan menuju rumahnya yang berada diujung tanjakan dan cukup jauh dari halte.
"Pintar sekali Kwon Nayoung, kenapa kau belanja banyak saat tidak bersama Yoojoo?" gumamnya sembari memandangi empat kantung belanjaan di kakinya saat ini. Setelah duduk selama sepuluh menit akhirnya bus berhenti di depan halte.
"Baiklah, anggap saja olahraga. Kau belum banyak berolahraga, Nayoung." Ia bermonolog sembari melangkah menjauhi halte di belakangnya. "Tidak ada salahnya. Sesampainya di rumah kau bisa istirahat sebentar." Tangannya yang memakai arloji terangkat mendekati mata, untuk memastikan waktu yang ia miliki masih cukup sampai pukul dua siang nanti.
Ketika asyik berjalan menanjak bersama kantung belanjanya, tangan Nayoung tiba-tiba terasa ringan dan terangkat. Lantas ia menoleh ke kanan dan kirinya, namun tak menemukan sesuatu.
"Sini biar kubawakan." Ia menoleh ke belakang dan menemukan Jeon Jungkook telah membawa dua kantung belanjanya dan kini giliran dua kantung lain yang berada di tangannya yang lain yang Jungkook ambil. "Kau tidak pergi bersama Yoojoo?" tanya Jungkook setelah langkahnya seragam dengan Nayoung di sebelahnya.
Meski ia masih tidak menyangka kehadiran Jungkook yang tiba-tiba, Nayoung mencoba untuk tidak terlalu gelagapan ketika pria itu fokus menatapnya. "Ah... itu. Kami membagi tugas, agar pekerjaan rumah yang tidak bisa kami kerjakan di hari-hari biasa bisa selesai semua di hari ini. Kau tahu 'kan hari Minggu itu murni hanya untuk bermalas-malasan bagi kami. Jadi semua harus selesai di hari Sabtu." Hidungnya berkerut bersama senyum yang muncul di bibirnya.
Jungkook sedikit tertegun akan bagaimana gadis itu menanggapinya. "Kau tidak marah padaku?" Ia sebenarnya takut sekali jika gadis itu masih marah padanya. Adalah momen yang langka bagi Jungkook melihat Nayoung marah, maksudnya marah yang serius. Bukan marah yang seperti jengkel lalu bersikap normal seperti biasanya.
"Untuk apa aku marah?" tanya Nayoung dengan mata memicing dan alis yang bertaut, bingung dengan maksud pertanyaan pria Jeon itu.
"Maaf, Nayoung. Aku tidak bermaksud untuk bohong padamu. Situasinya waktu itu terkesan membuatku terlihat seperti itu."
"Ah itu." Ia mengangguk pelan. "Maaf. Harusnya aku tidak bereaksi seperti itu," sambungnya lagi. Jungkook jelas tidak tahu jika sebenarnya Nayoung menahan rasa kesal dan cemburu yang ia simpan beberapa minggu ini. "Maaf karena menyebutmu pembohong. Aku tidak tahu detailnya seperti apa dan menyimpulkan sendiri. Jangjoon sudah menceritakan semuanya," lanjutnya.
"Ah... begitu rupanya. Syukurlah tidak ada salah paham lagi di antara kita."
"Ya, kau benar," jawab Nayoung singkat sembari melirik Jungkook sebentar, sebelum kepalanya kembali menatap jalanan lurus. "Toh aku tidak punya hak untuk marah, kalau memang benar kalian pacaran," sambungnya lirih, semoga Jungkook tidak mendengarnya.
"Kenapa, Nayoung?"
Nayoung buru-buru menoleh dan menggeleng cepat. "Oh... tidak. Terima kasih sudah membantuku." Alih-alih membuat alasan, lebih baik mengapresiasi pria ini karena mau membantunya hari ini. "Omong-omong apa yang kau lakukan di daerah ini?" Ia buru-buru mengalihkan topik.
"Aku ingin minta saranmu untuk memilih hadiah. Tapi sepertinya kau tidak bisa kuajak pergi ke toko hadiah sekarang juga."
"Sudah kuduga, kau membutuhkan sesuatu dariku."
Nayoung terkesan seperti tegar dan cepat tanggap akan apa yang pria itu inginkan. Setidaknya satu hal yang ia percayai sekarang adalah: Jeon Jungkook mustahil datang padanya tanpa keperluan.
"Apa itu hal yang buruk untukmu?" Jungkook sudah waspada jika dirinya salah bicara lagi. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda dengan Nayoung menurutnya.
"Hei, tentu saja tidak. Kita berteman sudah sangat lama, jadi wajar untuk saling membantu. Benar, 'kan?"
Tak terasa mereka telah sampai di depan gedung apartemen Nayoung. Meski begitu, Nayoung tak langsung pergi mendekati pintu. Ia mengajak Jungkook untuk berjalan menuju taman yang berada di seberang gedung.
"Jadi kau ingin memberi hadiah untuk siapa dan seperti apa?" tanyanya, kali ini suaranya terdengar ceria dan didukung dengan ekspresi wajah yang seperti biasanya ditujukan pada Jungkook. Akhirnya Jungkook bisa bernapas lega.
"Ada seorang gadis yang sedang kudekati. Aku tidak ingin yang terlalu heboh tapi bisa tetap berkesan untuknya." Punggung Jungkook bersandar pada kursi panjang tersebut dengan kedua tangannya yang bertaut dan bertumpu di atas paha. "Sebentar lagi dia ulang tahun."
"Ah... hadiah ulang tahun rupanya. Dia gadis yang seperti apa?" Mata Nayoung kini bisa fokus menatap Jungkook tanpa gugup.
Jungkook menatap langit sejenak sembari berpikir. "Hm... bagaimana ya aku menggambarkannya? Dia membuatku ingin sekali melindunginya."
Ah... siapa kira-kira gadis yang akan segera menggeserku?
"Mungkin sepatu, produk kosmetik, atau jaket musim gugur bisa jadi pilihan. Sesuatu yang membuatnya semakin cantik dan pasti berguna untuknya. Asal kau tahu saja, Jeon. Tidak semua wanita berdandan dan berpakaian cantik demi memanjakan mata kalian para pria, itu bisa jadi bentuk apresiasi mereka pada diri sendiri. Jadi pilih hadiah yang sesuai preferensinya, bukan preferensimu."
Tatapan Jungkook yang tak pernah lepas dari wajah Nayoung itu semakin dekat, sampai Nayoung merasakan bahunya dipeluk erat oleh pria itu. Jangan tanya apa ia terkejut atau tidak. Dia jauh lebih daripada itu. Tubuhnya benar-benar mematung, tangannya yang mengambang di udara enggan membalas pelukan tersebut. Bukan karena tak ingin, Nayoung hanya takut jika Jungkook mungkin akan merasakan debar jantungnya jika pelukan ini semakin erat.
"Wah... terima kasih, Nayoung! Kau tahu, betapa leganya aku ketika kau tidak marah padaku lagi. Kau teman terbaikku, Kwon Nayoung." Tapi sialnya Jeon Jungkook menariknya semakin erat hingga tidak ada jarak pada pertemuan dada mereka. Tangan pria itu bahkan mengusap-usap punggung Nayoung, layaknya sedang memberinya ketenangan. Padahal ia tidak sedang membutuhkannya.
Pedih? Tentu saja. Jeon Jungkook secara langsung mendeklarasikan bahwa Nayoung dan dirinya adalah teman. Tidak seperti harapan Nayoung selama ini.
Ada rasa ingin menangis? Tidak. Nayoung hanya ingin momen pelukan ini segera berakhir agar ia bisa pergi ke rumahnya lalu mengurung diri ke kamar selama beberapa jam, sebelum kembali menjalani kehidupannya yang statis itu.
*****
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan makan siang dengan Yoojoo, Nayoung buru-buru keluar dari apartemennya begitu sadar jika waktu menunjukkan dua puluh menit menjelang pukul dua tepat. Sungguh waktu yang sempit sekali untuk sampai ke kampus. Tapi ia tidak ada pilihan lain selain berjalan cepat menuju halte yang lagi-lagi membuatnya ingin melempar tali ke sana lalu bergelantungan saja kalau bisa.
"Hah...ha..." Ia masih mengais oksigen setelah berjalan cepat yang akhirnya berubah menjadi berlari begitu sampai di halte. Dadanya naik turun bersama punggungnya yang perlahan kembali menegak setelah tadi sedikit menunduk dengan kedua tangan yang bertopang pada lututnya. "Untung busnya belum datang."
Berniat ingin duduk di halte, namun sayangnya sudah ada yang duduk di sana. Heran, padahal ini akhir pekan dan sedang tengah hari. Kenapa tiba-tiba menjadi sangat ramai?
"Hei, Nona. Paru-parumu baik-baik saja?" Suara klakson yang datang lebih dulu sebelum kalimat tadi membuat Nayoung berjingkat dan melotot ke depan. Sebuah mobil berhenti di hadapannya, dan ia baru sadar jika Kim Namjoon lah yang menanyakan kabar paru-parunya tadi.
"Hei, bisa beri aku tumpangan?" Nayoung berjalan mendekati mobil dan kemudian kedua tangannya menggenggam kaca jendela yang turun setengah itu.
"Ehm. Language," ucap Namjoon sembari berdeham yang membuat Nayoung mencebik kesal dan mundur selangkah dari mobil pria itu. Di saat-saat seperti ini, pria itu benar-benar masih menjengkelkan di mata Nayoung.
"I'm kidding. Cepat naik. Kau mau tanggung jawab kalau aku kena tilang?" Namun pria itu tak serta merta meninggalkan Nayoung, meski ia telah bersikap tak sopan padanya. Setidaknya Nayoung bersyukur Namjoon masih bisa disebut pria baik-baik berkat sikapnya barusan, tapi kalimat terakhirnya tetap saja menjengkelkan. Kenapa ia harus ikut bertanggung jawab soal penilangan padahal pria itu yang mengemudi?
Nayoung pun membuka pintu mobil lalu segera masuk dan duduk di kursi penumpang yang ada di samping Namjoon. Mobil pun berjalan tepat setelah ia menutup pintu kembali. "Entah ini kebetulan atau bukan, tapi terima kasih sudah memberikan tumpangan, Pak Namjoon."
"Oh, bukan Pak Kim lagi?" Namjoon tak mengalihkan matanya dari jalanan, namun tetap bisa mendengarkan Nayoung di sampingnya.
"Lidahku terasa aneh saat memanggilmu menggunakan nama keluarga saja. Seakan ilegal sekali menyebutmu begitu. Lidahku lebih nyaman memanggilmu Pak Tua atau Tuan Pemabuk sebenarnya." Tangannya yang bebas tadi pun bersedekap sembari matanya menghindari tatapan pria itu.
Namjoon tertawa kecil melihat bagaimana gadis itu tak sadar jika terdapat bunyi melengking yang disebabkan olehnya. "Dari tadi kau tidak sadar ya kalau belum memakai sabuk pengaman?"
Tanpa menanggapi pertanyaan pria itu dengan suara, Nayoung menarik benda panjang di samping kanannya lalu memasukkan gesper sabuk tersebut ke lubang yang ada di sisi kiri bawahnya. "Done," sahutnya singkat setelah bunyi nyaring tersebut hilang begitu sabuk pengamannya terpasang.
"Padahal aku ingin parkir di depan sana."
"Untuk apa?"
"Siapa tahu kau butuh bantuan untuk memasangnya."
Entah maksud pria itu merayunya atau menganggapnya udik tidak pernah naik mobil, Nayoung tak peduli. Saat ini adalah saat yang tepat untuk tidak menanggapi kata-kata pria itu. Pokoknya ia hanya ingin hari ini segera berakhir supaya besok ia bisa tidur seharian.
Nayoung lantas menyandarkan kepalanya lalu memejamkan mata. "Bangunkan aku jika kita sudah sampai, Pak Kim Namjoon." Meski terdengar seperti memerintah, Nayoung tetap menyapa Namjoon sebagaimana mestinya.
"Baik, Nona," sahut Namjoon dengan suara yang direndahkan. Sampai akhir pun pria itu masih meledeknya. Nayoung menggeleng pelan dan memilih untuk menolehkan kepalanya ke arah jendela. Berharap setelah ini pria itu tidak mengajaknya bicara.
*****
Pandangan mata Nayoung begitu tajam sampai Namjoon mungkin sudah tamat riwayatnya saat itu juga. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa gadis itu menatapnya tajam dan menyeramkan bukan tanpa alasan. "Pak Namjoon," panggil Nayoung dengan suara dalam dan rendah itu.
Tapi Namjoon justru tersenyum lebar dan bahkan menarik-narik tangan gadis di hadapannya ini untuk ikut masuk ke dalam gedung yang ada di belakangnya itu. "Ayolah. Sekarang sedang akhir pekan, biarkan aku bermain arkade sebentar saja, ya?"
"Hei, Pak. Saya pikir Anda adalah orang profesional yang menghargai waktu." Sungguh, ia bukan Namjoon yang Nayoung kenal seperti biasanya, yang galak dan tukang perintah itu.
"Ayolah. Kau pasti akan ketagihan bermain arkade juga. Ayo kita bermain sebentar saja. Setelah itu baru pergi ke lab."
"Tidak mau!"
"Nanti aku traktir makan enak. Ya? Ya?"
"No!"
"Nona Kwon Nayoung, apa kau tidak stres? Ayolah, kau itu butuh hiburan sebelum kembali berperang. Ya? Ya? Ayolah." Ya ampun, lihatlah bagaimana pria itu menggoyangkan bahunya di hadapan Nayoung. Entah apakah Nayoung bisa tahan bersama pria itu untuk sekian jam ke depan.
"Singkirkan tanganmu." Dagu Nayoung menunjuk tangan besar pria itu yang melingkari pergelangan tangannya.
"Apa?"
Sumpah, Nayoung ingin sekali menampar wajah dengan ekspresi polos itu.
Ia menarik napasnya kencang, sebelum benar-benar mengeluarkan teriakan mautnya. "Tolong. Singkirkan. Tanganmu. Pak Kim Namjoon!"
Pria itu malah tersenyum polos seperti anak kecil. "Oh iya. Maaf." Senyum selebar tiga jari yang memamerkan gigi putihnya itu terpancar di atas kepala Nayoung, karena ia tenggelam di hadapan pria jangkung itu.
Tanpa membuang tenaga untuk mengomel, Nayoung berjalan melewati Namjoon, tanpa menyadari jika pria itu mengekorinya dari belakang.
*****
"Hei, hei, hei! Tembak yang itu, dia musuh kita! Astaga payah sekali kau, Pak Tua!"
Siapa tadi yang mencak-mencak tidak mau bermain arkade?
Tidak perlu ditanya bagaimana bingungnya Namjoon melihat Nayoung yang begitu heboh memainkan salah satu permainan arkade yang menggunakan mainan senjata laras panjang itu. Alih-alih fokus memainkan permainannya, Namjoon melirik gadis di sampingnya tanpa berucap meski mulutnya menganga lebar. Alhasil membuatnya kalah dari Nayoung.
"Dasar payah kau, Pak! Makanya jangan baca buku terus, pakai juga otakmu saat bermain."
Siapa pun, tak hanya Namjoon, mungkin akan mulai menyadari jika gadis itu lupa akan bagaimana kerasnya keinginannya menolak ajakan Namjoon tadi. Emosinya kini murni mengalir hanya pada permainan-permainan arkade yang membuat adrenalin dan naluri ingin menangnya bangkit.
Dan hal itu berlaku juga ketika mereka bermain hoki meja.
"Hei, Nayoung! Lakukan yang benar. Astaga, payah sekali kau!" seru Namjoon ketika pin hokinya berhasil masuk ke lubang meja daerah Nayoung yang berjarak lebih kurang satu setengah meter di seberangnya.
Poni Nayoung yang mulai memanjang menutupi pandangannya itu menghembus ke atas berkat tiupan kencang dari mulutnya. Sepertinya ia tampak tak terima karena dibuat panas oleh Namjoon. "Kau mendorong pinnya kencang sampai memantul dari ujung sana dan sini. Bagaimana aku mau mendorongnya?" ocehnya kesal.
Namjoon tertawa kecil, gemas dengan bagaimana polosnya anak itu. "Memang begitu cara bermainnya. Ya ampun, Nayoung! Defensemu buruk sekali. Kau yakin pernah jadi perwakilan badminton kampus, hah?" Sembari mendorong pantulan pin kuning dari Nayoung, Namjoon meneruskan roastingnya terhadap gadis itu sampai ia kembali mencetak poin.
"Yes! Aku menang!" Tangannya yang tadi memegang alat pendorong pin itu melempar benda tersebut ke tengah meja lalu mengangkatnya bersama tangan yang lagi satu, bersorak atas kemenangannya.
"Ayo main lagi! Kau curang!" seru Nayoung kencang seakan hanya ada mereka berdua di tempat ini. Jarinya tak lupa ikut menuding Namjoon.
Sementara yang dituduh mengedikkan bahu seakan bingung apa salahnya. "Apanya yang curang? Kau yang tidak bisa menjaga lubangmu, jangan lupa tadi kau juga sempat memasukkan pinnya ke tempatmu sendiri."
"Aku tidak terima! Pokoknya ulang!" Tangan Nayoung meraba ke bawah meja dan membawa piringan lain untuk melanjutkan permainan. Benar 'kan kata Namjoon. Jiwa ingin menang gadis itu keluar jika dipicu.
"Baiklah. Last one, ya?" Punggung Namjoon kembali membungkuk, bersiap mendorong pin.
Mereka kembali memulai permainan, sesuai permintaan gadis itu. Kali ini Nayoung tidak mau lengah lagi. Tadi ia sudah melihat bagaimana pria itu diuntungkan dengan lengan panjangnya. Nayoung tidak mau kalah dari pria yang meremehkannya di awal itu. Baik tangan Namjoon maupun tangan Nayoung kali ini sama-sama memperkuat defense terhadap gawang mereka masing-masing. Sepertinya tidak ada yang ingin mengalah di antara mereka.
"Nayoung!" panggil Namjoon ketika ia mendorong pinnya lurus terharap gawang Nayoung.
Namun gadis itu berhasil menghadangnya, alhasil pin tersebut terpantul ke ujung meja daerah Namjoon. "Jangan ajak aku bicara."
"Kalau kau kalah, jadilah teman kencanku."
"Apa?"
Tangan Nayoung terdiam mematung dan pandangannya lurus menatap Namjoon karena ucapan pria itu. Ada perasaan aneh di perutnya ketika pria itu menyebut kata-kata sensitif tadi. Tapi siapa yang peduli, tepat saat itu juga tembakan keras menabrak gawang Nayoung dan itu membuat Namjoon menambah skor terakhir dan membuatnya kembali menjadi pemenang.
Namjoon kembali melakukan selebrasi dengan berteriak kencang, yang membuat Nayoung semakin dengki dan akhirnya berjalan mendekati pria itu dan meninju perutnya pelan. "Aduh!" Pukulan gadis itu lumayan membuat perutnya sedikit ngilu. "Tanganmu pandai bermain juga, ya?" ejek Namjoon sembari membungkuk karena meringis menahan sakit.
"Jangan berlebihan. Perutmu itu tembam dan banyak lemaknya, jadi harusnya pukulanku tidak sesakit itu," sahut Nayoung kesal lalu berlalu meninggalkan Namjoon. "Aku mau main balap motor saja."
Biarlah hari ini menjadi hari Nayoung.
Hari ini ia membiarkan gadis itu meledeknya dengan sebutan Pak Tua atau meledek lemak di perutnya hari ini. Bahunya mengedik sejenak sebelum berbalik arah dan mengikuti ke mana perginya gadis itu. "Hei, tunggu aku!"
*****
"Di kehidupan terdahulu sepertinya aku pernah menjadi juara pertama dalam bermain hoki meja. Entah ada aura yang begitu kuat saat aku memainkannya."
"Wah, menyenangkan sekali hari ini. Setelah sekian lama tidak bermain arkade akhirnya aku melakukannya lagi hari ini. Kakakku pasti iri padaku."
Nayoung masih sangat setia memandangi pria yang sedang menyetir di sampingnya ini dengan tatapan iri serta dendam yang menggebu-gebu. Jelas ia merasa dendam pada pria itu, tadi ia dikalahkan secara telak oleh pria itu. Apalagi ketika diledek soal keahliannya bermain badminton membuatnya ingin sekali mengajak pria itu sparing suatu hari nanti.
"Kenapa menatapku? Apa sekarang kau terang-terangan mengagumiku?" tanya Namjoon tiba-tiba, diliriknya sejenak Nayoung sebelum kembali menatap lurus.
Hidung gadis itu lantas berkerut bersama mata yang mendelik. "Wah... percaya dirimu sepertinya semakin menjadi setelah menang telak dariku. Bagaimana? Puas?" Ketika akan mengalihkan pandangan dari Namjoon, matanya tak sengaja melirik jam digital yang berada di dasbor yang menunjukkan angka lima bersama tiga angka nol yang mengapitnya. "Kita benar-benar menghabiskan waktu tiga jam lamanya demi bermain arkade. Sungguh, kau gila."
Nayoung menggeleng pelan. "Ehm, ehm. Tapi tadi itu menyenangkan." Mobil berhenti karena lampu lalu lintas berubah jadi merah, dan kepala Namjoon menoleh. "Kau tahu, wajah penuh amarahmu itu membuatku terpacu ingin menang. Karena aku sudah menang, sekarang aku lapar."
Punggung Nayoung lantas menegak, kepalanya menoleh menatap Namjoon yang masih bertahan dengan ekspresi datar dan polos namun menyebalkan itu. "Lapar katamu?"
"Iya. Memang kau tidak lapar setelah tiga jam lebih bermain?"
"Kita mau pergi ke lab jam berapa kalau begini caranya?"
"Masih bisa kita lakukan di hari Senin. Toh hanya uji coba saja."
Sungguh, pria ini membuat rambut Nayoung ingin keriting rasanya. Kepalanya ibarat sudah dipenuhi semut-semut yang membuatnya gatal ingin menggaruk kepala. Tangannya tiba-tiba mengepal di depan wajah pria itu, namun ia kembali menahannya lalu tersenyum paksa bersama giginya yang menggertak. "Pak Kim Namjoon yang terhormat, tidakkah Anda sadar jika waktu kita sudah terbuang percuma tiga jam lalu?"
"Tidak terbuang sama sekali."
"KENAPA TIDAK MEMBERITAHUKU DARI AWAL KALAU MEMANG BISA HARI SENIN?!"
Tubuh Namjoon lantas bersandar ke pintu sampingnya ketika suara teriakan Nayoung keluar dan memenuhi mobilnya, dengan kedua tangan yang menutup kedua telinganya, ia menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. "T-tunggu, aku pikir kau senang kuajak bermain sebentar."
Nayoung menghempas punggungnya berkali-kali ke sandaran jok bersama ekspresi merajuknya. "Apanya yang sebentar? Ah!"
"Benarkah? Tapi kau berteriak paling kencang saat memenangkan permainan balap mobil dan motor sekaligus. Kau juga menikmatinya, 'kan? Aku tidak tega mengajakmu ke lab di saat kau sangat keasyikan di sana tadi."
Sementara pria itu menurunkan rem tangan dan menjalankan mobil, Nayoung kembali terdiam dan mulai sadar akan sesuatu. Sadar jika pria itu seperti menyihirnya. Sihir apa yang dimainkan Namjoon padanya?
Saat ini Nayoung justru merasa bersalah karena membentak pria itu atas hal yang sebenarnya bukan salahnya juga. Tapi ia jelas masih belum paham jalan pikiran pria itu, kenapa waktunya sangat sesuai dengan saat di mana Nayoung butuh pengalihan dari patah hatinya tadi siang?
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Nayoung lagi setelah beberapa detik lalu ia sempat diam.
"Apa yang kulakukan?" tanya Namjoon dengan polosnya, yang lagi-lagi membuat Nayoung cemberut dan bersedekap dada.
"Sudahlah, aku tidak mau bertanya lagi. Toh jawabanmu sepertinya tidak akan pernah memuaskanku."
Tidak ada percakapan yang terjadi lagi setelah itu. Nayoung memandangi deretan toko-toko dan kafe-kafe yang mereka lewati, sembari beberapa kali ia menghembuskan napasnya kencang yang dapat didengar oleh Namjoon. Sementara pria itu tetap fokus menyetir sambil sesekali melirik gadis murung di sampingnya.
"Kalau begitu, aku antar kau pulang saja. Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik."
"Jangan buat aku tambah kesal dengan mengantarku pulang dalam keadaan perut lapar, Pak Tua!"
"Jadi kau marah padaku atau tidak? Ayo jawab, sebelum aku belok kanan di depan sana."
"Ah! Baiklah, baiklah. Aku tidak marah lagi. Puas?" Jawaban pasrah Nayoung membuat Namjoon tersenyum dan memutar setirnya ke kanan begitu terdapat belokan.
Nayoung masih merenungi apa yang ia lakukan hari ini. Jika ia ingin berterus terang, sebenarnya ia merasa lebih ringan dan lega setelah bermain arkade. Tidak ada yang salah sebenarnya. Toh satu-satunya yang ia tidak suka dari Namjoon hari ini hanyalah perubahan rencana tiba-tiba yang bukan tipikal Namjoon sekali, yang biasanya sangat ketat jika berhubungan dengan jadwal.
Mungkin tidak seharusnya ia bersikap terlalu kasar pada pria ini. Meski ada kalanya Namjoon sangat menyebalkan, tapi pria itu sedikit berperan dalam peningkatan hormon-hormon kebahagiaannya hari ini.
TBC
AN :
Harap maklum, bapak dosen abis kegirangan jadi juara main hoki meja. Jadi prinsip "suka-suka-gue"nya lagi mode on hehehh
Ayok ada yang mau nantangin bapak dosen?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro