Chapter 10
Nayoung pikir urusannya dengan pria yang sedang berdiri membelakanginya itu usai begitu kesepakatan mereka dibuat seminggu yang lalu. Tapi ternyata mimpi buruknya bertambah lagi hari ini.
Padahal tanpa kehadiran pria itu pun, hari-hari Nayoung sudah terasa sangat berat. Ia sudah cukup bersabar dengan apa yang dihadapinya selama seminggu terakhir ini, seperti mengontrol hati dan pikirannya agar sama-sama sinkron untuk tidak memikirkan hal-hal tak berguna—rasa cemburu misalnya.
Segala sesuatu yang telah hilang, maka akan ada gantinya. Sebuah pengibaratan yang sempurna, di mana setelah ia—sedikit—berhasil mengendalikan rasa cemburu tak berguna, ternyata muncul lagi pengacau lainnya. Kenyataan bahwa pria itu ternyata menjadi pengganti dosennya untuk satu semester ke depan adalah kekacauan yang dimaksud.
Sungguh, Nayoung tidak ada selera memandangi Kim Namjoon yang tengah mengoceh panjang lebar dan melukis struktur kimia poliester* di papan tulis lebar itu.
(*salah satu jenis material/bahan yang banyak digunakan di industri konveksi/pakaian)
"Profesor Jung memilih orang yang tepat untuk menggantikannya selama di luar negeri. Benar, 'kan?"
Telinganya seakan gatal ketika mendengar suara Baek Yebin yang terkesan memuji pria yang sedang berada cukup jauh dari pandangan mereka tersebut. Ya, saat ini Nayoung sedang dalam mode menghindar jadi ia memilih tempat duduk terjauh dari pandangan pria berkacamata itu.
"Hah? Apa kau bilang tadi?" Tangannya menggaruk pelan daun telinga.
"Ya maksudku begitu. Dia cerdas, cara penyampaian materinya juga cocok untukku. Dan sebagai bonusnya, dia menawan." Bola mata Yebin seakan siap keluar saking membulat dan berbinarnya ketika gadis itu membicarakan dosen baru yang sedang mengajar itu.
Nayoung mengalihkan pandangannya kembali ke buku catatannya dan mencoret-coret acak kertas tersebut. Mulutnya lantas mencebik, merasa tidak sependapat dengan gadis di sampingnya itu. "Ini baru hari pertama kita diajar oleh pria itu. Jangan jadi orang sok tahu, Ye—Aduh! Sakit, Yebin." Sayangnya karena itu, ia mendapatkan pukulan kencang dari telapak tangan gadis itu. "Kontrol tanganmu itu!" serunya tertahan sembari mengusap lengannya yang dipukul barusan.
Yebin menunduk sedikit dan mendekati telinga Nayoung. "Beraninya kau menyebut Pak Kim dengan 'pria itu', bagaimana pun juga dia dosen. Aih, Kwon. Suasana hatimu—"
"Ehm, nona-nona di belakang sana. Bisa bagikan pada kami tentang apa yang kalian diskusikan di sana?"
Seisi kelas yang berisi lebih kurang empat puluh orang itu lantas mengikuti arah spidol Namjoon yang lurus ke pusat keributan yang mengganggu konsentrasinya menerangkan materi. "Sepertinya pembahasannya lebih menarik daripada gugus fungsi poliester yang saya gambar di sini," ujarnya datar namun tajam, diikuti beberapa ketukan peraduan antara spidol dan papan tulis yang cukup membuat seisi ruangan diam tak berkutik seakan terintimidasi oleh Namjoon.
"Pfftt.."
Namun suasana tegang itu tak berlangsung lama ketika tutup dari spidol yang dipegang Namjoon terlempar entah ke mana, sehingga mata yang sebelumnya fokus menatap dua gadis di ujung sana pun beralih ke ujung spidol tanpa penutup itu.
"Ehm! Fokus semua!" Mendengar suara tawa yang mulai terdengar seperti efek domino, Namjoon lantas kembali ke mode serius dan menaruh spidol itu ke tempatnya. Menggelikan sekali bahwa ia menunjukkan sisi cerobohnya di hari pertama mengajar. Namjoon memiringkan kepalanya sejenak sebelum kembali menghela napasnya.
"Karena sepertinya kalian bosan dengan materi saya, mungkin akan lebih seru jika kita bermain sedikit kuis." Salah satu sudut bibirnya tertarik sembari jemarinya mendorong bingkai kacamatanya yang sempat melorot di tulang hidungnya ketika mendengar keluhan-keluhan para mahasiswanya.
Sementara itu, Nayoung dan Yebin mendapat tatapan membunuh dari beberapa pria yang duduk di depan mereka. Sepertinya mereka tidak menduga akan ada kuis dadakan di seperempat awal materi. Kedua gadis itu tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa mengedikkan bahu lalu mengambil kertas kosong dan alat tulis dari tas mereka.
*****
MOODBREAKER OF THE DAY
Kim Namjoon : sombong, jahat, tukang mabuk, tidak punya hati!
Han Chaeyeon : penjilat, palsu, bermuka dua, brengsek!
Jeon Jungkook : ......?
Pulpen yang digenggam Nayoung terangkat ketika nama Jungkook tertulis di atas kertas di buku mungil tersebut. Ia berhenti membuat tulisan seakan sedang memikirkan kata-kata apa yang bisa menggambarkan seorang Jeon Jungkook. Matanya terpejam bersama jarinya yang tak bisa diam dan membuat titik-titik dari ujung pulpen tersebut. "Ah! Sialan!" Sampai akhirnya tiba di saat ia frustrasi lalu menutup buku tersebut dan menindihnya dengan pulpen di atasnya.
"Hei, ini bukan hutan. Kau mau menjadi pusat perhatian, sementara kau benci akan hal itu?"
Melihat pria dan wanita menghampirinya, Nayoung buru-buru menarik buku dan pulpen tersebut dari meja dan menaruhnya ke kursi sampingnya. "Maaf, Jangjoon. Aku mengejutkanmu sepertinya."
Kedua alis Jangjoon naik bersama dengan bibirnya yang mencebik. "Setidaknya kain pakaianku dapat sedikit oleh-oleh air kimchi," sahutnya hiperbola. Sementara Yebin di samping pria itu menghela napas pasrah kemudian meletakkan nampan makannya lalu duduk di hadapan Nayoung yang juga diikuti oleh Jangjoon.
"Astaga, makananmu masih perawan." Jangjoon yang memang selalu berhasil membuat Nayoung naik darah dengan tingkah menjengkelkan itu melotot ketika sadar makanan di seberangnya masih tertata rapi. "Kalau tidak mau, sini berikan padaku."
"Enak saja!" Tangan Jangjoon yang mulai nakal itu gagal meraih nampan makanan tersebut karena pemiliknya sudah lebih dulu merampasnya dan memberi bonus pukulan di punggung tangan pria itu.
"Sepertinya kau tidak boleh mengganggunya hari ini, Jangjoon." Yebin menarik kerah baju bagian belakang Jangjoon, agar pria itu kembali menegapkan punggung.
Meski banyak pertanyaan di kepalanya, Jangjoon memilih untuk diam dan menikmati makan siangnya, membiarkan Nayoung larut dalam pikirannya lagi setelah menyuap sesendok nasi.
Sementara itu, bersama dengan irama kunyahannya Nayoung mengingat-ingat kembali bagaimana dosen baru bermarga Kim itu kembali membuatnya diam telak sekaligus malu ketika pria itu mencegatnya saat akan keluar dari kelas setelah sesi kuliah selesai. Oh bahkan ia ingat sekali kata tiap kata yang keluar dari mulut pria itu.
"Kalau kau belum cukup pintar untuk bisa menjawab kuisku, sebaiknya jangan membuat masalah, Nona Kwon Nayoung."
Oh sungguh Nayoung ingin sekali menenggelamkan diri saat itu juga. Andaikan itu terjadi di saat hanya ada mereka berdua, mungkin ia tidak akan segila ini ketika kalimat tajam Namjoon terngiang-ngiang di kepalanya.
Coba sekarang katakan, siapa yang akan baik-baik saja ketika diperlakukan seperti itu di hadapan banyak orang yang berlalu lalang di dalam ruangan? Ya, meski itu sudah akhir sesi kuliah, tapi tetap saja, kuping orang-orang itu tidak tuli bukan?
"Nayoung, Nayoung! Hei, kunyah makananmu!" Jangjoon melambaikan tangan di hadapan wajah Nayoung, namun tak dijawab oleh gadis itu. Merasa usahanya sia-sia, tangannya pun jatuh kembali ke samping tubuhnya bersama punggungnya yang bersandar.
"Kau benar-benar menyebalkan, Nayoung. Jangan karena kau salah paham pada Jungkook, aku jadi kena getahnya." Jangjoon menyumpit dadar dagingnya dengan kasar sebelum memasukkannya ke mulut. "Lagi pula, itu adalah sesuatu yang berlebihan saat kau menganggap dia pacaran dengan Chaeyeon, padahal mereka sering menghabiskan waktu bersama karena mereka menjadi anggota tim riset Profesor Nam."
Lalu kepalanya miring sejenak dengan mata mendelik, seakan sadar pada sesuatu. "Dan hei, kenapa kau marah? Apa kalian pacaran?"
"Apa? Kau—uhuk!"
Terima kasih pada Jangjoon, butiran nasi menghujani wajahnya sendiri—meski beberapa butir sedikit mengenai Yebin. "Hei, Kwon Nayoung. Kau jorok sekali!" seru Yebin, yang membuat seisi kantin merasa tertarik untuk melihat pertunjukan sembur menyembur kunyahan nasi dari Nayoung sebagai akibat atas dirinya yang tersedak tadi.
Sementara Jangjoon yang masih mematung kaku itu mencubit butiran-butiran nasi yang menempel di dahi dan pipinya. "Nayoung, kau sudah sikat gigi 'kan pagi ini?"
Setelah tegakan air minumnya turun ke dari tenggorokan, Nayoung meletakkan botol minumnya ke meja bersama dengan matanya yang mendelik tajam mendengar pertanyaan Jangjoon.
Meski masih salah tingkah dan malu karena menjadi pusat perhatian, ia masih mencoba untuk bersikap seolah baru saja menelan nasinya—padahal nasinya hilang keluar dari mulutnya. "Jangan bicara omong kosong, Lee Jangjoon, Baek Yebin. Aku tidak sejorok yang kalian kira."
Merasa berbelas pasang mata memfokuskan pandangan padanya, Nayoung melihat ke sekelilingnya sebelum punggungnya menegak kaku ketika pandangannya bertemu dengan sepasang bulan sabit yang tak asing baginya.
Dari semua kantin, kenapa dia harus makan di sini?
Kepalanya menggeleng pelan lalu kembali beralih pandang ke orang-orang lain yang menatapnya dengan berbagai ekspresi: jijik, menahan tawa, heran, dan ekspresi lain yang tidak bisa ia amati satu persatu.
"Apa yang kalian lihat?! Telan nasi-nasi kalian itu!" serunya dengan suara meninggi yang sumbang di akhir, yang lagi-lagi membuat beberapa orang yang ia bentak tadi tertawa pelan.
"Hei, diam kalian! Mau aku pukul hah?!" Kepalan tinju Nayoung mencuat namun ditahan Yebin, dan gadis itu pun menekan bahu Nayoung untuk kembali ke kursinya. Sementara orang-orang itu tidak memberi perhatian lagi pada Nayoung.
Sebenarnya Jangjoon dan Yebin masih terkejut akan sikap Nayoung barusan. Yang mereka tahu selama ini adalah Nayoung paling menghindari situasi untuk marah di depan umum, mengingat ia punya citra yang cukup baik sejak masih aktif di organisasi kampus.
"Jangan hanya karena sekarang jam kuliah mahasiswa baru, kau jadi bisa berteriak-teriak seperti di hutan. Bagaimana jika ternyata ada senior atau dosen juga di sini? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bagaimana orang-orang akan menilaimu?" ucap Yebin dengan nada yang terdengar gugup. Tentu saja, Nayoung yang tadi seperti bom waktu, dan itu menyeramkan.
"Sudah bukan waktunya mengkhawatirkan citra. Aku lelah." Tanpa rasa bersalah pada Jangjoon, Ia kembali menyumpit acar lobak lalu mengunyahnya. "Kau tidak lanjut makan, Jangjoon?" tanyanya pada pria itu, ya meski ia tahu apa yang akan Jangjoon lakukan selanjutnya.
"Sudahlah, Nayoung. Jangan basa-basi denganku. Aku maafkan kau kali ini. Berikan kupon gratis Americano atau Latte, maka aku akan anggap ini tidak pernah terjadi." Pria itu mengangkat nampannya.
"Baiklah," sahut Nayoung cuek sebelum Jangjoon benar-benar pergi meninggalkan meja mereka.
Yebin menatap punggung Jangjoon yang mulai menjauh dan mengecil di pandangannya dan Nayoung yang melanjutkan makannya dengan damai itu bergantian. "Nayoung, kau yakin baik-baik saja? Kau baru saja membuat seisi kantin membencimu." Yebin terlihat jauh lebih panik daripada si pemilik masalah, Kwon Nayoung. "Kau punya masalah etika hah?"
"Apa-apaan. Bahasamu aneh sekali."
Yebin tidak kuasa menahan rasa jengkelnya dan memilih untuk ikut melanjutkan makannya, meski ia sudah—setengah—tidak nafsu makan. Sebenarnya ia merasa kasihan jika Nayoung ditinggal sendirian dalam situasi seperti ini, tapi sepertinya gadis itu yang justru seperti tidak tahu diri.
"Kalau kau mau pergi lebih dulu, silakan saja. Aku baik-baik saja, Yebin."
Benar, 'kan?
"Hai, boleh kami bergabung?"
Baru saja Nayoung ingin berdamai dengan emosinya yang meluap-luap akibat rasa malu bertubi-tubi hari ini, suara lemah lembut yang ia kenal sebagai milik Han Chaeyeon itu membuatnya menoleh dan mendongak. Dan ia pun menemukan Chaeyeon berdiri di sampingnya dan diikuti Jungkook yang mengambil tempat duduk Jangjoon tadi. Dan alhasil kini mereka kembali duduk berhadapan dan bertukar pandangan.
Boleh aku pergi dari sini?
Tapi lagi-lagi hati dan mulut Nayoung bertolak belakang. Tanpa menatap tas yang berada di kursi sampingnya, Nayoung menarik benda itu ke pangkuannya agar Chaeyeon bisa duduk di sampingnya. "Duduklah," ucapnya masih dengan senyum canggung yang tak pernah ia tunjukkan pada Chaeyeon sebelumnya. Tentu saja, ia merasa canggung dan merasa bersalah karena telah menuduhkan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi di antara dua orang tersebut.
*****
"Abaikan saja dia, Joon." Minhyuk menepuk lengan Namjoon pelan, meminta pria itu untuk melanjutkan makan siangnya setelah kehebohan yang dibuat salah satu mahasiswa di kantin tempat mereka berada kini.
"Harusnya aku ajak kau ke restoran dekat halte kampus saja tadi," ucapnya lagi seakan menyesal pada keputusannya untuk mengajak rekan kerjanya itu makan di kantin yang biasanya hanya diramaikan dengan mahasiswa.
Minhyuk masih memandangi bagaimana gerak-gerik gadis bersurai hitam yang tiap helaiannya diikat sembarang itu. "Aku tidak percaya mahasiswa tua tingkat akhir seperti dia akan membuat onar." Kemudian matanya kembali menatap Namjoon. Benar saja, Minhyuk pun tidak menduga mahasiswa taat aturan seperti Kwon Nayoung yang ia kenal dari Profesor Jung itu bisa bersikap seperti preman di keramaian.
Sementara Minhyuk yang terdengar seperti dikhianati itu bergumam soal Nayoung, Namjoon menggulung mi sohun japchae* menggunakan sumpitnya dengan nikmat dan girang seakan gangguan di luar sana tidak membuat suasana hatinya memburuk sedikit pun.
(*makanan Korea berupa mi sohun yang dicampur dengan berbagai jenis sayuran dan daging sapi. Dimakan sebagai lauk. Sayuran yang digunakan biasanya sayuran yang sedang musim.)
"Ehm, enak sekali japchaenya, Hyeong. Mau cicip punyaku?"
"Kau masih punya selera makan setelah apa yang terjadi?" Minhyuk menatap sumpit berisi mi sohun yang disodorkan oleh Namjoon lalu menatap pria itu.
"Apa yang salah? Semua orang punya emosi yang perlu dikeluarkan. Buat apa di pendam-pendam? Jadi penyakit." Bahunya mengedik kemudian mengarahkan sumpit tadi ke mulutnya. "Ya sudah kalau tidak mau, buatku saja."
Kedua lengan Minhyuk terlipat dan tertumpuk di atas meja, ia mengabaikan makanannya dan kini hanya fokus melihat bagaimana lahapnya pria di hadapannya ini makan. "Kau baik-baik saja setelah ditinggal kekasihmu?"
"Aku tidak bilang aku baik-baik saja," jawab Namjoon tanpa berbasa-basi klasik seperti: aku baik-baik saja, waktu akan menyembuhkan.
"Baiklah," sahut Minhyuk paham. "Jadi kau menerima tawaranku sebagai pengalihan darinya?"
"Aku justru mengambil tawaranmu karena saran dari dia. Lagi pula, aku tertarik untuk memulai penelitian itu. This is the right time." Namjoon menegak air minumnya lalu menyeka bibirnya dengan punggung tangan. "Wah, ternyata rasanya masih seenak dulu. Kita akan sering makan di sini 'kan, Hyeong? Sering-sering traktir aku ya?"
"Tidak semudah itu. Kau masih harus membayar biaya mabukmu waktu itu."
"Apa?" Jangan khawatir, Namjoon tidak tersedak. Ia tahu Minhyuk akan menyinggung hal itu. Dan tentu saja ia sadar bagaimana memalukannya ia saat itu. "Apa mabukku separah itu?" tanya Namjoon, setidaknya ia ingin memastikan sekali lagi.
"Silakan hitung sendiri—kalau bisa. Dengan kadar alkohol dua puluh persen sojumu itu, kau menghabiskan lima botol sendirian tanpa sisa. Silakan pikirkan sendiri apa kau bisa pulang ke rumah tanpa membuat masalah waktu itu. Melihatmu bercumbu dengan botol soju membuatku bergidik ngeri. Untung saja kau tidak bercinta dengan kelima-limanya." Kalimat panjangnya Minhyuk akhiri dengan tawa cekikikan yang membuat Namjoon merasa tak nyaman dan memutuskan untuk menaruh sumpitnya ke atas meja.
"Diam, Hyeong!" Ingin sekali ia teriak, tapi Namjoon tidak akan seperti gadis yang barusan bertemu pandang dengannya. Tidak lucu ia membuat kegaduhan di hari pertamanya bekerja.
Minhyuk mengangkat kedua tangan di kedua sisi kepalanya. "Baiklah, baiklah. Ayo lanjutkan makan siang kita. Setelah ini aku akan mengenalkan gadis itu padamu." Dagu Minhyuk jelas tertunjuk ke arah Nayoung, gadis yang menjadi mahasiswa Namjoon pagi ini. "Dia adalah mahasiswa yang ditunjuk Profesor Jung untuk ikut dalam 'risetmu'." Kata terakhir Minhyuk diikuti dengan dua telunjuk dan jari tengahnya yang menekuk-nekuk.
Matanya lantas melebar mendengar ucapan Minhyuk.
Wah, dunia sempit sekali.
Ya, benar sekali. Dunia ini sepertinya terlalu sempit sampai gadis yang berurusan dengan insiden mabuk sampai urusan surat perjanjian kemarin ternyata adalah gadis yang sama, yang harus ia bimbing selama beberapa bulan ke depan.
Ia tidak tahu harus senang atau tidak saat ini. Di satu sisi ia ingin sekali memberi pelajaran pada gadis itu, tapi ia sudah cukup dibuat bergetar akibat apa yang dilakukan gadis itu di depan matanya tadi, yang membuatnya berharap agar tidak sering berurusan dengan gadis itu. Semesta tak mengabulkan harapannya ternyata.
"Astaga, apa lagi yang terjadi di sana?"
Mata Namjoon yang awalnya menatap kosong mangkuk nasi yang isinya sisa seperempat itu beralih ke arah pandangan Minhyuk menunjuk. Ternyata ke meja yang sama seperti tadi. Meja yang berada dua meter di serong kirinya. Ia menyaksikan bagaimana kasarnya tangan gadis yang ia kenal sebagai Nayoung itu membuat kegaduhan dengan kedua sumpitnya lalu pergi meninggalkan ketiga orang yang duduk bersamanya tadi.
"Hyeong, kau tidak perlu memperkenalkannya padaku." Namjoon tiba-tiba berdiri dari kursinya dan meraih ponsel serta dompetnya yang berada di atas meja setelah melihat Nayoung beranjak dari kursinya.
Minhyuk menatap Namjoon aneh, dengan sebelah alis yang terangkat. "Hah? Kau mau apa? Jangan bilang kau tertarik padanya."
"Kau pikir aku tertarik pada gadis pembuat onar yang menyemburkan nasi ke wajah orang? Aku punya metode lebih baik dan cocok untuk memperkenalkan diri pada gadis itu," sahut Namjoon cepat sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Minhyuk yang masih berusaha keras menikmati makan siangnya meski ia sudah dua kali kehilangan selera makan.
*****
Namjoon benar-benar mengikuti ke mana Nayoung pergi. Entah apa yang membuatnya begitu ingin ikut campur dengan masalah gadis itu saat ini. Mungkin ada pengaruhnya dengan apa yang terjadi di kelas hari ini? Di mana gadis itu tidak fokus pada kuliahnya? Ah tidak, rasanya terlalu berlebihan. Namjoon bukan guru konseling di SMA yang terlalu baik untuk menanyakan apa masalah yang dialami siswanya.
Mungkin bisa disebut sebagai pembalasan atas apa yang gadis itu lakukan padanya minggu lalu? Hm, mari sebut seperti itu saja untuk saat ini.
Jadi ia pun membuat sebuah alasan logis yang kebetulan sekali datang di waktu yang tepat.
Sementara itu, tak jauh dari tempat Namjoon berdiri, di salah satu tribun gedung olahraga, seorang gadis berkaos kuning dan celana jeans longgar yang menutupi kakinya itu sedang berdiri di tengah lapangan basket dengan bola basket yang berada dalam kungkungan kedua tangannya.
Oh dia atlet basket? Namjoon bersedekap dada memperhatikan gadis itu dengan alis yang naik sebelah.
Tiba-tiba tubuh gadis itu bergerak lincah melakukan pivot* meski ia bermain sendiri tanpa lawan, lalu kemudian berlari kecil mendekati ring sembari tangannya tetap menggiring bola dan kemudian melakukan lay up shoot** yang berhasil mengantarkan bola itu lolos dari ring.
(*gerakan memutar badan yang tumpuannya menggunakan salah satu kaki sebagai poros putaran setelah menerima bola dari rekan satu tim.)
(**salah satu teknik memasukkan bola ke dalam ring dengan melangkah dua langkah lalu melompat di dekat ring)
Hm, tidak buruk. Tapi gerakan tangannya tidak begitu alami untuk ukuran seorang atlet. Telunjuk Namjoon naik mengusap-usap cekungan di atas bibirnya sementara matanya semakin memicing memperhatikan gadis tersebut, terlihat begitu serius mengamati gadis itu bermain basket layaknya seorang agen klub basket yang sedang merekrut anggota untuk tim nasional. Ya anggap saja begitu.
Setelah mendapatkan poin berkat bolanya yang lolos dari ring, Nayoung kembali mengambil bola yang terpantul tersebut kemudian menggiringnya menjauhi area ring kemudian sampai di daerah three point* dan tubuhnya pun berhenti di sana. Dengan lutut yang sedikit menekuk, seakan siap melakukan tembakan jarak jauh tersebut, kedua tangannya yang berada lebih tinggi dari kepala itu melempar bola menuju ring.
(*suatu skor yang dicetak dalam permainan bola basket jika bola yang masuk tersebut dilempar di luar garis 3 angka, yaitu suatu garis lengkungan yang ditandai mengelilingi ring basket.)
"Ah! Sial!" Namun sayangnya kali ini lemparan tersebut meleset jauh melewati papan ring dan jatuh ke luar lapangan.
Merasa kesal dengan tembakannya yang tidak tepat sasaran membuat Nayoung semakin marah dan memilih untuk mendudukkan dirinya di lapangan lalu merebahkan tubuhnya di sana.
"Harusnya aku fokus ke ring tadi," gumamnya sendirian seakan menyesali dirinya yang tak fokus barusan. "Tapi tujuanku main kemari 'kan memang ingin membuang semuanya," lanjutnya bermonolog. Kedua tangannya terlentang di kedua sisinya bersama pandangannya yang menatap langit-langit gedung.
Melampiaskan emosi dengan olahraga sudah jadi rutinitas Nayoung sebenarnya. Tapi basket menjadi hal baru yang ia pelajari sejak sebulan lalu. Biasanya ia akan berlari mengelilingi lapangan atau bermain badminton dengan Jangjoon. Lama-lama Nayoung bisa menjadi atlet profesional jika sering melakukannya.
Ya, terkesan mudah sekali menyulut api emosi Nayoung, semudah membuatnya cemburu melihat Chaeyeon yang tadi sibuk membicarakan soal Jungkook yang sudah mengantar-jemputnya selama seminggu lebih, sampai gadis itu berolahraga hampir setiap hari selama seminggu ini.
"Permainanmu tidak buruk juga untuk seseorang yang amatir. Tapi kau yakin baik-baik saja, langsung berolahraga setelah makan siang?"
Seingat Nayoung tidak ada jadwal latihan basket hari ini—setidaknya itu yang ia tahu dari sahabatnya yang dulu merupakan ketua klub basket, Lee Joonyoung. Jadi harusnya tidak ada siapa pun selain ia bukan? Tapi ia jelas-jelas tidak salah ingat tentang suara pria yang terdengar sangat dekat, bahkan rasanya seakan pria itu ada di atas tubuhnya.
Nayoung mencoba untuk membuka matanya, meski masih ada rasa takut bagaimana jika yang ada di hadapannya ini adalah anak-anak basket yang berencana ingin latihan. Eh, tunggu. Tapi bagaimana ia tahu jika ia baru habis makan siang. Jangan-jangan...
"Halo?"
"Sialan!"
Nayoung baru sadar jika selama sekian menit lamanya ia bermain basket, ia tidak sendirian di dalam gedung ini. Ada orang yang begitu penasaran akan dirinya. Hm, atau mungkin punya dendam pribadi yang sepertinya ingin dibalaskan sekarang juga.
TBC
AN :
Pak Joon be like : Ciluk ba!
Nayoung be like : e copot e copot!
Punten aing random hehe. Gimana gimana? Ada yang mau nemenin Nayoung main basket? Biar dapet lah dikit cipratan Bapak Dosen juga (kecipratan pinter juga begitu lho maksudnya) kkk~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro