Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

Intensitas sinar matahari hari ini tidak sebesar biasanya. Kwon Nayoung, gadis yang menjadi spotlight di sini, terlihat santai mengikuti kuliah kali ini. Syukurlah ia tidak perlu menyakiti matanya dengan sinar matahari yang biasanya diteruskan melalui kaca jendela di sampingnya.

Kali ini sinar itu tidak menghalangi jarak pandangnya ke layar proyektor di hadapannya sehingga ia bisa lebih berkonsentrasi. Ditambah dengan Power Point dari Profesor Nam yang hari ini cukup memanjakan matanya dengan nuansa elegan namun tidak berlebihan—tidak terlalu banyak tulisan dan hanya dipenuhi dengan gambar serta grafik.

Gadis bersurai hitam dan panjang melewati bahu itu memperbaiki letak kacamatanya agar tetap menggantung di hidung. Tidak lupa dengan bolpoin yang bergerak cepat di tangan kanannya, menuliskan beberapa poin penting dari kuliah hari ini—dengan catatan kaki di bagian bawah kertas bukunya—menunjukkan betapa detailnya seorang Kwon Nayoung ketika mencatat sesuatu.

Namun beberapa menit kemudian, kedamaian Nayoung ketika mengisi buku catatannya terusik oleh sebuah tangan besar yang merampas bukunya. Lantas ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.

Sementara si pemilik tangan perampas buku itu, yang duduk di sampingnya, menyalin tulisan di buku Nayoung tanpa rasa bersalah. "Matamu sebentar lagi keluar dari sangkarnya jika terus menatapku begitu," ujarnya sembari tetap menulis, kemudian kepalanya ia tolehkan pada Nayoung. "Tulisanku jelek sekali kalau harus mencatat secepat kau." Tangan pria itu terangkat dan memperagakan gerakan menulis yang lemah lembut di depan wajahnya. "Aku harus menulisnya perlahan namun pasti seperti menulis kaligrafi kuno zaman Joseon. Kau tahu, 'kan?"

"Makanya duduk di deretan paling depan, Lee Jangjoon." Gigi-gigi Nayoung terkatup rapat meski ia ingin sekali mengeluarkan bentakan pada temannya itu barusan.

"Tidak ada korelasinya duduk di depan dengan kecepatan menulis." Ia menjadi salah satu alasan mengapa suasana Nayoung menjadi kacau dalam hitungan detik. Namun ia sudah terlalu lelah meladeni pria yang tidak mau kalah seperti Lee Jangjoon. Sayangnya pria itu juga menjadi partner in crime-nya selama kehidupan perkuliahannya, Nayoung tidak ada pilihan lain selain berteman dengan pria itu. Dan duduk di samping pria itu salah satunya juga tanda kepasrahannya.

Nayoung memutar bola mata dan menumpuk kedua tangannya di atas meja. "Aku tidak tahu jika otak pintarmu bisa jadi barang loak beberapa saat. Tentu saja ada korelasinya, Bodoh!"

"Ssst..." Jangjoon meletakkan telunjuknya di bibir. "Baiklah, baiklah." Kemudian ia mengembalikan buku yang ia rampas tadi. "Aku sedang tidak ingin jadi sasaran Profesor Nam. Jadi sebaiknya simpan omelanmu untuk makan siang nanti hm?"

Benar juga. Lee Jangjoon adalah salah satu mahasiswa yang selalu jadi sasaran dosen untuk diberi pertanyaan atau sekedar berdiskusi. Bukan karena pria itu tidak memperhatikan kuliah, justru karena otaknya yang terlalu besar—dia pintar, intinya itu. Singkatnya, jika Lee Jangjoon sedang dalam mode normal, maka apa pun yang terucap dari mulutnya itu adalah ilmu pengetahuan serta wawasan baru.

Dan Nayoung adalah kebalikannya. Otak Nayoung tidak terlahir jenius seperti Jangjoon. GPA-nya hanya selisih 0,5 di bawah Jangjoon, namun kerajinan serta ketelatenannya bisa menjadi beberapa kelebihan Nayoung daripada Jangjoon. Maka tak heran tas kuliah Jangjoon lebih kecil ukurannya daripada tote bag ajaib milik Nayoung. Karena Nayoung akan membawa semua kelengkapan tulis menulis dan banyak buku catatan sementara Jangjoon hanya perlu membawa satu buku catatan kecil dan satu bolpoin.

"Omong-omong." Jangjoon kembali membuka perbincangan di sela-sela Nayoung yang melanjutkan catatannya sembari fokus menyimak mata kuliah. "Nayoung." Suara Jangjoon yang biasanya nyaring harus ia turunkan volumenya. Kali ini ia berbisik, dan sayang sekali temannya itu tidak mendengar.

Merasa ada sensasi aneh seperti menusuk-nusuk di lengannya, Nayoung melirik ke bahunya. "Apa lagi? Kalau ini bukan di kelas, aku sudah menyentil telingamu." 

"Kau tahu 'kan ini sudah masuk semester baru di tahun akhir." Jangjoon mengacak rambut bagian belakangnya. "Bagaimana perkembangan tugas akhirmu? Kau jadi ikut penelitian Profesor Jung?"

Tanpa memberi jawaban, bahu Nayoung terangkat.

*****

"Kau baik-baik saja, Nayoung?"

Kepalanya terangkat perlahan dan Nayoung pun terbangun dari tidur singkatnya ketika mendengar suara tidak asing berada disampingnya. Menyadari siapa yang memanggilnya, tubuhnya menegang kemudian ia memperbaiki letak duduknya.

"Oh, Jungkook. Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Nayoung sembari memperbaiki ikatan rambutnya.

Jeon Jungkook, pria yang kini duduk di samping Nayoung memangku dagunya dengan tangan yang diletakkan di meja, memandang Nayoung seakan-akan wanita itu hanya satu-satunya objek yang harus difokuskan saat ini. "Sejak kelas Profesor Nam selesai. Oh ya, apa yang terjadi denganmu dan Jangjoon? Wajahnya pucat sekali saat keluar kelas tadi."

Setelah mendengar kata Jangjoon, ekspresi wajah Nayoung yang awalnya nampak bersemangat karena Jungkook kembali murung. Dengan bibir yang sedikit maju, ia menjawab pertanyaan Jungkook sekedarnya. "Siapa suruh dia menggangguku di saat sedang sensitif?"

Dahi Jungkook berkerut heran bersama dengan bibirnya yang membentuk kurva senyuman. "Aigoo, sepertinya aku mengganggu waktumu, ya? Dasar anak kecil." Tangannya terangkat mengusap puncak kepala gadis di hadapannya. Sementara si pemilik kepala mematung sejenak setelah apa yang ia terima tadi.

Jeon Jungkook mengusap kepala Nayoung adalah sesuatu yang langka. Itulah mengapa Nayoung sempat mematung ketika pria itu berinteraksi sedekat ini. Namun bukan Kwon Nayoung jika tidak mampu menyembunyikan perasaan sebenarnya. Ya, meski tadi sempat mematung diam beberapa detik.

"Kau sudah tahu aku sedang sensitif untuk didekati, tapi kenapa mendekatiku?" Nayoung menghindari pandangan mata Jungkook. Takut hatinya tidak mampu ia kontrol.

Bukannya menjauh, Jungkook justru memperpendek jarak antara wajahnya dan wajah Nayoung. Ia menatap Nayoung dengan begitu intens. "Karena aku adalah kebalikan dari yang lain. Ketika yang lain takut mendekatimu, hanya aku yang berani melakukannya."

Nayoung memutar bola matanya. Ia ingin luluh dengan tatapan pria di hadapannya ini, namun sama sekali tidak bekerja saat ini. "Bisa belikan aku soda?" Ia mengalihkan pembicaraan, oh baiklah ternyata salah. Tatapan pria Jeon itu bekerja padanya.

"Baiklah, untuk Nayoung yang manis ini apa pun akan kulakukan." Jungkook mengacak-acak rambut Nayoung lagi untuk kedua kalinya hari ini. Kemudian pria itu berjalan keluar dari ruang kelas menuju mesin minuman tanpa mendengarkan reaksi Nayoung.

"Hei, Jeon Jungkook!" Gadis itu sudah terlanjur berteriak kencang padahal.

Jungkook terkekeh karena berhasil menjahili gadis itu. Sembari bersiul ia berjalan menuju mesin minuman, lalu memasukkan uang, kemudian memilih minuman yang akan dibelinya. Setelah mendapatkan minumannya, ia kembali ke ruang kelas yang hanya berjarak 10 meter dari tempat mesin minuman berada.

"Kau akan pergi bimbingan dengan Profesor Jung lagi hari ini?" tanya Jungkook sembari memberikan minuman pesanan gadis itu. "Mau kutemani? Kebetulan aku juga ingin menemui Profesor Nam untuk diskusi variabel."

Nayoung mengangguk. "Baiklah," jawabnya sekedar saja.

Melihat reaksi gadis di hadapannya ini, Jungkook merengut kesal kemudian menepuk bahu Nayoung pelan. "Hei, ayolah jangan hilang semangat. Kau pasti bisa! Ayo kita pergi makan ayam goreng setelah bimbingan. Aku akan menunggumu."

Nayoung akhirnya luluh dengan ajakan Jungkook. Ia selalu tidak berdaya ketika berhadapan dengan pria bermarga Jeon itu. "Baiklah. Aku memang ingin bercerita banyak hal denganmu." Kemudian ia memasukkan barang-barang di mejanya ke dalam tote bag kain berwarna hitam miliknya lalu berjalan keluar dari ruangan, tidak lupa bersama sekaleng soda yang dibelikan Jungkook barusan.

"Ayo!"

Jungkook tersenyum dan mengangguk kemudian berjalan beriringan dengan Nayoung sembari mengusap kepala bagian belakang gadis itu. Oh sudah berapa kali Jungkook membuat kupu-kupu di perut Nayoung terbang bebas hari ini? "Benar 'kan kataku? Hanya aku yang bisa melakukannya."

Nayoung berjalan cepat melewati Jungkook. "Tentu saja. Aku tidak punya alasan untuk marah padamu, Bodoh." Monolog Nayoung terdengar pelan dan lirih, berharap Jungkook tak mendengarnya.

***

Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Kim Namjoon baru saja selesai mandi. Dengan handuk yang melilit di pinggangnya, ia berjalan menuju lemari untuk mengambil setelan yang akan ia gunakan untuk bekerja hari ini. Setelah berpakaian dan menata rambut, ia pun segera bergegas mengambil tas ranselnya kemudian berjalan keluar kamarnya.

Syukurlah ia telah memasukkan roti ke dalam toaster sebelum pergi mandi tadi, jadi begitu ia selesai bersiap-siap ia hanya perlu mengambil roti dari dalam toaster kemudian melahapnya sembari terus berjalan menuju pintu keluar, dan tentu saja tidak lupa menggunakan sepatu pantofelnya. Rutinitas singkat seorang Kim Namjoon yang sungguh monoton ini telah ia jalani selama tiga tahun lamanya semenjak ia menyelesaikan studi strata duanya.

Sesampainya di kantor, Namjoon berjalan memasuki gedung setelah ia memarkir mobilnya di parkiran basement dan mulai menjalani aktivitas seperti biasa. Aktivitas seperti biasa yang sebenarnya padat jika dikerjakan hanya seorang diri. Namjoon bertanggung jawab atas kualitas produk, proses produksi, dan pengembangan produk sebelum dipasarkan. Jadi pemandangan yang cukup wajar jika Namjoon kerap melakukan perjalanan bolak-balik antara kantor dan pabrik yang berjarak dua jam perjalanan.

"Manajer Kim, hasil ujinya sudah keluar."

"Kau membawa hasilnya?" tanya Namjoon pada sosok yang masuk menemuinya ke ruangannya.

Wanita berambut lurus sebahu itu menggeleng cepat. "Sebenarnya formulasinya masih harus diperbaiki, Pak."

Namjoon mengerutkan dahinya. Mendengar jawaban yang tidak diinginkan membuat Namjoon ingin meledakkan marahnya saat itu juga, namun ia masih mampu menahannya. Mengingat wanita di hadapannya ini adalah karyawan baru yang mungkin akan langsung minta mengundurkan diri jika dia benar-benar membentaknya.

"Lalu untuk apa kau melaporkannya padaku?"

Yang ditanya oleh Namjoon sedikit tersentak ketika mendengar nada bicara atasannya yang meninggi tadi. Ia memperbaiki letak kacamatanya yang melorot sedikit di tulang hidungnya. "Kemarin Bapak meminta saya untuk melaporkan hasil uji produk serum yang akan diluncurkan."

Namjoon mengurut dahinya kemudian berdiri dari kursinya, gemas dengan pegawai yang tidak mampu mengikuti irama berpikirnya. "Lalu mana hasilnya? Kau membawanya atau tidak?"

Tanpa menjawab pertanyaan Namjoon, wanita itu membungkukkan tubuhnya cepat lalu beranjak pergi. "Maafkan saya, Pak. Akan saya minta hubungi tim di lab untuk mengirimnya."

"Apa?!" Namjoon tak habis pikir bahwa pegawai baru itu telah menguras emosinya di pagi hari. "Oh, sungguh aku ingin sekali memarahi Jung Hoseok sekarang juga. Kenapa memasukkan karyawan belum siap kerja ke departemenku?" Kemudian berjalan cepat keluar dari ruangannya, menyusul wanita tadi.

"Tunggu, tunggu. Berhenti!"

Tangan terampil wanita yang ditemui Namjoon itu berhenti mengetik di badan surel ketika mendengar suara sang manajer di belakang punggungnya. Kemudian ia berbalik dan berdiri di hadapan Namjoon. "Ada apa, Pak?"

Bukannya menjawab pertanyaan wanita itu, Namjoon melempar sebuah kunci mobil sembarang dan beruntungnya berhasil ditangkap oleh wanita di hadapannya. "Aku tidak butuh berkas-berkas yang datangnya pasti akan lambat itu. Lebih baik memastikannya sendiri." Namjoon berbalik menuju ruangannya kembali sementara pegawai itu berjalan mengikutinya.

Tiba-tiba langkah Namjoon terhenti bersama dengan jari telunjuk dan tengah yang teracung. "Ah, kau yang menyetir ya Nona Kang. Akan kutunjukkan bagaimana cara kerja di departemen ini."

Namjoon adalah sosok pekerja keras dan perfeksionis, membuat siapa pun yang menjadi bawahannya tidak akan bisa bekerja dengan santai. Tentu saja karena sifat manajer mereka yang otoriter. Meskipun hanya kesalahan kecil saja ia akan meminta pegawainya untuk mengulang pekerjaannya kembali.

Bekerja di industri kosmetik dan perawatan wajah membuat Namjoon sangat memperhatikan kualitas. Mengingat produk yang diproduksi adalah produk yang akan digunakan ke kulit manusia, sehingga ia tidak boleh melewatkan satu kesalahan sama sekali. Jika itu terjadi maka konsumen menjadi korban.

"Maaf, Pak. Saya belum mendapatkan lisensi untuk mengemudi. Saya baru kursus minggu lalu."

"Apa?"

Namjoon bersumpah akan mendatangi dan mendobrak meja manajer HR yang merekrut pegawai ini setelah dari pabrik.

***

"Latar belakang penelitianmu masih perlu diperbaiki, Nona Kwon Nayoung. Kau paham benar 'kan bagaimana bimbingan dengan saya? Saya ingin latar belakang yang runtut dari permasalahan umum hingga ke khusus. Perbanyak baca literatur lagi dan silakan di review ke saya dua hari lagi." Tangan wanita itu bermain—memukul lebih tepatnya—di atas meja, memperagakan sesuatu yang ia sebut sebagai runtut dan sistematis itu.

Demi menyenangkan sang profesor, Nayoung menuliskan semua petuah demi petuah dari wanita di hadapannya ini. "Baik, Profesor Jung. Akan saya tambahkan."

"Oh ya, dan satu lagi. Saya ingin menambahkan satu pengujian karakterisasi untuk sampelmu. Kau cari literatur yang berkaitan, okay? Hm minimal 10 jurnal untuk satu jenis karakterisasi. Tenggat waktunya sama ya?"

What?

Nayoung tak berdaya ketika pembimbingnya telah mengatakan kalimat saya ingin. Karena ketika beliau telah berkata seperti itu, maka harus dilakukan. Tidak ada tawar-menawar. Sebenarnya ia tidak mempermasalahkan penambahan pengujian sampel pada penelitiannya ini. Yang ia permasalahkan adalah batas atau tenggat waktu yang diberikan oleh pembimbingnya ini terlalu singkat untuk pekerjaan yang berat seperti membaca kemudian meninjau dan meringkas isi 10 jurnal dalam 2 hari saja. Artinya paling tidak ada 5 jurnal yang harus ia tinjau dalam sehari di sela-sela waktunya melakukan kerja paruh waktu.

"Baiklah, Profesor Jung." Namun sekali lagi, Nayoung tidak bisa semudah itu mengeluh dan merengek di hadapan wanita berkacamata itu.

Wanita yang dipanggil Profesor Jung itu kemudian meletakkan kacamatanya di meja lalu bersandar pada sandaran kursinya. "Kau sanggup mengerjakannya?" tanya beliau dengan santai, seakan tidak ada beban yang memberatkan bibirnya itu.

Meski Profesor Jung terkesan memberi pilihan, sebenarnya itu sama artinya dengan tidak ada pilihan dan Nayoung paham benar bagaimana harus menjawabnya. "Akan saya usahakan."

"Mari kerja keras bersama-sama, Nak. Ingatlah bahwa ini demi kebaikanmu juga." Tiba-tiba saja Profesor Jung jadi lembut, ia meraih tangan Nayoung dan menggenggamnya. Layaknya seorang ibu. Sial, Nayoung mudah goyah jika sudah seperti ini. Ia akan melupakan rasa kesalnya pada wanita yang sialnya sungguh awet muda sekali untuk ukuran seseorang yang berusia 45 tahun ini.

"Baik, Profesor Jung."

"Aku akan usahakan apa pun yang bisa kulakukan. Yang perlu kau lakukan adalah melakukan penelitianmu semaksimal dan sesempurna mungkin. Jika kesulitan katakan saja padaku."

Transisi emosi Profesor Jung benar-benar wajib diacungi jempol. Ia sengaja menggetarkan seorang Kwon Nayoung dengan omelan-omelan para ibu pada umumnya ketika anaknya melakukan sesuatu yang tidak benar, lalu secara tiba-tiba menggunakan bahasa yang santai dan bersikap layaknya seorang ibu bagi Nayoung. Sungguh pandai memainkan emosi orang.

Nayoung tersenyum saja menanggapinya. "Baik, Profesor Jung. Terima kasih untuk motivasinya."

"Jika memang perlu refreshing, kau bisa pergi jalan-jalan sebentar atau apa pun itu. Tapi jangan lupa kembali mengerjakan penelitianmu."

Sembari memasukkan notebook-nya ke dalam tas yang ada di bawah kakinya, Nayoung memutar bola matanya lalu tersenyum mendengar pembimbingnya kembali memberi nasihat-nasihat.

Kau mengalahkan ibuku untuk urusan mengomel, Profesor Jung.

*****

Namjoon meletakkan kunci mobilnya di atas meja lalu melepas jas yang ia kenakan untuk disampirkan ke sandaran kursinya. Tubuh remuknya ia lempar ke kursi empuk, menyempatkan diri untuk duduk santai sebelum melakukan kegiatan selanjutnya hari ini.

Meski ia pergi bersama seseorang, pada akhirnya rasanya sama seperti pergi sendiri. Ya, karena pegawai barunya itu belum terbiasa menyetir jarak jauh. Namjoon merasa tidak aman jika harus mempertaruhkan nyawanya di tangan sopir amatiran. Ayolah, dia masih punya banyak mimpi dan resolusi yang belum tercapai dalam hidupnya.

Setelah menyempatkan waktu lima menitnya untuk menarik dan menghembuskan napas, Namjoon bangkit dari kursinya dan mulai untuk mengerjakan sisa pekerjaan yang ia tinggalkan karena harus pergi ke pabrik barusan. Namun getaran ponsel di atas meja kerjanya kembali mengganggunya. Lantas ia menjawab telepon itu cepat dan berharap durasinya tidak akan lama.

"Namjoon!"

Dahinya mengernyit. Sosok yang asing namun di saat yang sama juga rasanya seperti pernah mendengar suara itu. "Maaf, dengan siapa saya bicara?"

"Wah, jahat sekali kau melupakanku. Aku Minhyuk. Kau lupa?"

"Ah!" Namjoon mengusap dahinya. "Sial, aku hampir melupakan suaramu, Minhyuk Hyeong!" Sosok yang ia panggil Hyeong itu sepertinya akan sebal karena dia dilupakan oleh Kim Namjoon.

"Kupikir kau jadi sombong setelah bekerja di perusahaan besar."

"Maaf, bukannya sombong. Tapi aku banyak menghubungi orang. Aku jadi tertukar suara si ini dan si itu."

"Itu namanya sombong, Anak Nakal! Sudahlah, aku ingin ke intinya saja. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu. Siapa tahu kau tertarik."

"Apa pun yang kau katakan biasanya menarik, Hyeong. Kau terkenal pandai menawarkan sesuatu dengan persuasif."

"Benarkah? Kalau begitu kau pasti akan tertarik."

"Entahlah. Coba saja bujuk aku jika bisa. Aku bukan Namjoon yang dulu. Kau harus bekerja keras membujukku."

Ternyata doa Namjoon tak terkabul. Perbincangannya dengan sosok bernama Minhyuk itu sepertinya akan berlangsung lebih dari satu jam lamanya.

***

Mata Nayoung tak dapat beralih dari satu kotak ayam goreng yang Jungkook bawa ke tempat mereka duduk. Entahlah, Nayoung tidak mau berpikir lebih jauh lagi penyebab ia bahagia saat ini. Apakah karena ia merindukan rasa ayam goreng berbumbu pedas kesukaannya, atau karena seorang Jeon Jungkook yang membawakannya.

"Hei, matamu tidak berair jika menatap selama itu hah?" Jungkook tertawa kecil dan mencubit pipi Nayoung ketika menyadari mata gadis yang duduk di depannya itu tak berkedip. Hidungnya ikut mengkerut karena saking gemasnya dengan gadis Kwon itu.

Fokusnya pun teralih dari ayam. Nayoung tersenyum lebar sampai gusinya terpampang nyata di sana ketika pipinya dicubit dengan gemas oleh Jungkook. "Oh, maaf. Aku tidak sabar untuk memakan ayamnya."

Jungkook ikut duduk di samping Nayoung kemudian meletakkan sekotak ayam goreng itu di pangkuan Nayoung. "Makanlah yang banyak." Setelah itu Jungkook mengeluarkan ponsel lalu dengan kedua tangan diarahkannya ke langit yang mulai menjingga. "Matahari sudah mulai terbenam ternyata." Ia bangkit dan berdiri membelakangi Nayoung yang tengah membuka kotak ayam goreng.

Jungkook penyuka pemandangan, terutama senja. Dan Nayoung selalu bersamanya ketika menyaksikan senja di atap gedung kampus mereka, ya meskipun terkadang tidak hanya mereka berdua saja—ada teman-teman di circle mereka yang juga suka mengabadikan momen senja. Biasanya Jungkook akan memotretnya dengan kamera, namun hari ini ia tak membawanya. Sehingga pria itu hanya mengandalkan ponselnya.

Berbeda dengan Jungkook yang mengabadikannya, Nayoung menikmati senja dengan membiarkan sinar jingga menghangatkan wajahnya sementara ia memejamkan matanya. Nayoung berpikir menikmati pemandangan tak harus selalu diabadikan. Sekedar memejamkan mata dan mensyukuri hidup yang telah teranugerahi oleh alam pun dapat menjadi self-healing untuknya.

"Apa kau sedang berdoa?" tanya Jungkook yang ternyata sudah duduk di samping Nayoung. Membuatnya membuka mata kemudian menoleh ke asal suara itu.

Kedua pasang mata mereka bertemu. Nayoung sempat merasakan napasnya terhenti ketika Jungkook menatap tajam sepasang hazelnya. Menyadari itu ia mengalihkan pandangan dari Jungkook kemudian menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan.

Namun lagi-lagi Jeon Jungkook membuat Nayoung terdiam ketika tangan Jungkook meraih kepalanya untuk kembali ke arah tatapan pria itu. "Tunggu sebentar," ucapnya.

Jarak pandang mereka memendek sampai rasanya Nayoung tidak ingin hembusan napasnya ini mengganggu momen yang intens ini. "Ternyata jika dilihat dari dekat matamu indah ya? Seperti menggunakan lensa kontak warna cokelat."

Nayoung merasa seperti kena jebakan Batman. Ternyata orang itu hanya sibuk memandangi matanya yang memang terbilang jarang di kalangan mereka karena memiliki iris berwarna cokelat terang.

Ia refleks mendorong dahi Jungkook untuk menjauh, menghentikan momen tatap-menatap sebelum jantungnya keluar karena tidak tahan untuk berdebar kencang terus. "Mataku berair karena bertatapan denganmu terus tanpa berkedip." Nayoung pandai mencari alasan karena memang matanya sedang berair. Sebuah pemilihan waktu yang tepat.

Jungkook terkekeh sambil mencubit pipi Nayoung. Ia memang selalu gemas dengan pipi Nayoung. "Benar 'kan? Aku pandai dalam kontes tatap-menatap." Jungkook tersenyum bangga akan dirinya sementara Nayoung mengusap-usap matanya.

"Pasti menyenangkan menikmati senja bersama orang yang kita sukai."

Nayoung menoleh pada Jungkook yang sedang mengamati senja dengan posisi duduk memeluk kedua lututnya. Jungkook menoleh ke arah Nayoung yang sedang menatapnya dan tatapan mereka pun kembali bertemu. "Benar 'kan?"

Merasa tidak enak jika pernyataan pria itu tidak ditanggapi, Nayoung pun tersenyum sembari mengangguk. "Ya, kau benar. Aku juga berharap bisa menemukan pria yang mau diajak bersepeda bersama, kalau perlu aku ingin mengendarai sepeda gandeng dengannya saat berkencan," ujarnya mengandai-andai sembari mendongakkan kepalanya sekitar 45 derajat menatap langit yang perlahan mulai meredup.

Selama 10 menit mereka menikmati suasana sore di pinggir Sungai Han tanpa ada perbincangan berarti. Jungkook sibuk dengan ponselnya—apa lagi kalau bukan memilih gambar yang ia potret barusan untuk diunggah ke media sosialnya—sementara Nayoung tidak melakukan apa pun selain menatap buku-buku jarinya kemudian kembali menatap hamparan rumput di hadapannya.

"Hei! Kalian asyik makan ayam goreng tanpa mengajak kami!"

Oh ya ampun, telinga Nayoung dan Jungkook hampir lepas dari tempatnya—jika itu memang bisa terjadi. Dan tanpa perlu menerka-nerka atau bertanya siapa pemilik suara melengking itu, mereka sudah tahu siapa orangnya. Nayoung dan Jungkook saling bertatapan seakan sedang saling bertelepati sebelum menyebut, "Lee Jangjoon." Kemudian menoleh ke belakang mereka.

Dan benar saja, Jangjoon datang bersama empat orang lainnya di belakang. Dan ia langsung menghambur dan menindih Jungkook sampai tubuhnya terbaring di rerumputan. Sementara dua wanita menghampiri Nayoung lalu mengambil beberapa potong ayam untuk mereka makan. Sedangkan seorang pria selain Jangjoon hanya diam berdiri di belakang teman-temannya yang tengah sibuk mengacaukan acara Jungkook dan Nayoung.

"Hei, Jangjoon. Kau akan membuat tubuh Jungkook remuk. Kalian berdua itu sama-sama berat." Pria yang diam tadi menarik Jangjoon dari atas tubuh Jungkook lalu menjitak kepalanya. "Ya ampun." Pria itu mengomel bak seorang ayah kemudian menepuk-nepuk punggung Jungkook yang penuh rerumputan.

Setidaknya hari ini Nayoung bisa sedikit bersantai dengan teman-temannya. Ya, meski sebenarnya ia berharap refreshing kali ini hanya bersama Jungkook. Tapi tidak masalah, toh mereka teman-teman terbaik Nayoung selama ini. Kehadiran mereka tidak mengurangi rasa bahagianya seperti saat bersama Jungkook, si ksatria hitam yang menyelamatkannya dari mabuk soju saat pesta penyambutan mahasiswa baru waktu dulu.

--

Bagaimana untuk chapter pertamanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro