Zafran dan Si Kembar
Warning! Baca di kala senggang.
3.000 kata akan menghabiskan 10 menitmu untuk membaca.
___Selamat Membaca____
Sabtu pagi tidak biasanya setelah gym, Zafran sudah tampak rapi dengan pakaian kasual. Hanya menggunakan kaos dan celana pendek berpadu sneakers tentu saja membuat usia tak tampak mendekati tiga puluhan.
“Pagi, Ma,” sapa Zafran pada Karin di meja makan.
“Pagi, Zaf. Ayo temani Mama sarapan.”
“Melly kemana Ma?” Zafran bertanya karena di meja makan hanya ada ibunya saja. Anak kedua Karin tahu jika sang papa ada pertemuan komite pengusaha di Palembang.
“Tidur di kamarnya. Dia barusan pulang dari rumah sakit tadi habis subuh,” jawab Karin. Mata perempuan yang lebih dari setengah abad itu memicing penampilan putranya. “Pagi bener mau jalannya, Zaf.”
“Iya, Ma. Janjian pagi biar nggak panas-panas banget.”
Tangan Zafran mengambil dua slice roti kemudian menambahkan selada, telur, keju, sosis, saus dan mayonais sebagai isian.
“Jangan cuma jalan doang. Sekalian belanja hantaran lamaran. Bertamu tangan kosong kan nggak sopan!”
Zafran yang akan menggigit sandwich jadi urung. Dia ingat jika tanggal pertunangannya sebentar lagi. Selanjutnya proses akan semakin cepat dia akan membina rumah tangga. Duda tersebut baru saja bertemu dan menghabiskan waktu bersama kembar, masih menginginkan waktu itu tidak terbagi lagi dengan keluarga baru yang akan ia miliki. Bahkan dengan keluarganya yang sekarang saja, Zafran enggan berbagi Aam-Iim.
“Hmm ... nanti Zafran bilang ke Tita, Ma.”
“Kalian sebentar lagi menikah. Jadi waktu jangan cuma jadi berdua terus, ajarin Tita terkait waktu bersama keluarga. Jangan sampai setelah menikah denganmu dia jadi canggung kalau bersama kita.”
“Mana mungkin gitu sih, Ma. Keluarga kita dan Tita sudah kenal lama.”
“Iya, itu dulu. Setelah kalian milih tinggal di luar negeri kan semua bisa saja berubah. Individualis kan bisa anak seolah nggak butuh orang tua dan saudaranya.”
“Zafran pergi dulu, Ma,” kata Zafran tanpa menghabiskan roti miliknya. Dia paling malas disindir seolah keluarga tidak penting karena tujuh tahun telah melakukan pelarian ke negara orang.
Weekend sedikit membuat jalanan ibukota legang di pagi hari. Waktu yang ditempuh lebih sedikit dibandingkan kemarin petang waktu orang pulang kerja. Tiga puluhan waktu tempuh kali ini.
Ketika sampai di rumah Almira, kembar sudah menunggunya di kursi teras rumah. “Appaaa ...” girang Aam dengan langsung berdiri menyambut ketika mobil Zafran berhenti.
Zafran keluar dari balik kemudi. Dia pun berlutut untuk memeluk anaknya yang penuh binar. Setelah mengecup puncak kepala Aam, bocah tujuh tahun itu salim kepadanya.
Di sisi Aam, Iim sudah antre. Karena anak tersebut tidak seekpresif sang adik, sehingga lelaki menjelang tiga puluhan itu memilih menunggu apa yang dilakukan Iim. Yah, meski kecewa karena anaknya mengulurkan tangan untuk salim tidak mendekapnya juga. Namun, Zafran tanpa permisi tetap melabuhkan ciuman.
Ketika Zafran kembali berdiri, ia dikejutkan sosok yang berada di ambang pintu. Piyama rayon motif dengan jilbab segi empat. Tampa polesan riasan wajah, yang membuat Zafran seolah salah fokus. Dia seakan bukan bertamu, melainkan pulang. Sama seperti sebelum tujuh tahun lalu.
Ketika lelah dari kampus atau kantor KG Group, di apartemen Zafran bertemu Almira. Berpakaian rumahan yang terlihat segar selepas mandi untuk menyambutnya. Semua penat seakan gugur, berganti bahagia dan bermakna telah berusaha keras demi Almira.
“Mau langsung berangkat, Zaf?” tanya Almira membuyarkan nostalgia Zafran.
“Kamu tidak mempersilakan aku masuk dulu?” Tanya Zafran. Hal ini karena dia menangkap nada Almiara seakan berkata agar tidak terlalu lama di rumah itu.
“Ada perlu apa di dalam? Rumah sebelah enggak ada orang. Dan dengan status kita, aku takut ada fitnah.” Wajah Zafran seakan kaku untuk menarik sudut bibirnya. Ia merasa seakan diusir secara halus.
Almira merasa tidak enak hati terlampau jujur. Apalagi sang mantan kini terdiam. “Kamu duduk di teras saja, aku ambilkan minum di dalam.”
Almira segera berlalu untuk menghidari gesture tidak nyaman. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar membawa secangkir minuman berkafein.
“Aduh, Kakak lupa masukin minyak telon lagi. Abang tolong ambilin dong!” Terdengar suara Aam yang ketika Almira sudah bergabung di teras melihat anak lelaki enam tahun itu mengecek persiapan di dalam tasnya.
Sedangkan Iim yang dimintai tolong tidak juga bergerak. Menatap dengan kernyitan pada kembarannya.
“Kakak ...” panggil Almira membuat Aam memandang Almira dan menyadari keberadaan sang ibu. Segala pergerakan kecil seperti tangan yang menggaruk kepala bagian samping, kemudian pergi ke dalam untuk mengambil kebutuhan yang tertinggal. “Ini Zaf, adanya kopi susu.”
“Kenapa dengan Aam?” Zafran membuka suara setelah menerima kopi dari uluran tangan Almira. Dia yang sedaritadi hanya memperhatikan bagaimana Aam yang membongkar dan menunjukkan barang-barang yang dibawanya. Namun, ketika Almira yang memanggil namanya mengisyaratkan peringatan membuat anak lelaki itu seperti tertangkap basah.
“Aku tidak membiasakan mereka menyuruh orang selama bisa dilakukan sendiri meski terselip kata 'tolong'. Enggak baik, Zaf. Nanti kebiasaan bossy dan nggak mandiri.”
Zafran yang tidak menanggapi membuat Almira mengalihkan perhatian pada Iim yang sejak bangun tidur banyak diam daripada biasanya. “Perlengkapan Abang udah semua?”
“Sudah! Baju renang, baju ganti, handuk, bekal, sudah di dalam tas semua, Anya.”
Almira mengangguk. Jika Aam menyiapkan perlengkapan P3K seperti obat masuk angin dan minyak telon yang harus dii bawa, maka Iim yang menyiapkan bekal untuk keduanya. Sedangkan yang bersifat pribadi seperti pakaian keduanya siapkan masing-masing.
“Anya nggak ikut kita aja? Enggak bosen di rumah sendirian?” Pertanyaan Iim dijawab gelengan.
“Oh ya, Al. Abang sama Caca kemana?” Zafran pun turut penasaran ketika diingatkan bahwa Almira sendirian.
“Ke rumah Caca. Sabtu waktu untuk keluarga Caca, Minggunya waktu bersama keluarga Abang.”
Zafran mengiyakan. Dulu saat weekend dua minggu sekali pasti ke rumah mama-papanya.
Aam sudah kembali membawa telon yang langsung di simpan dalam tas miliknya. “Appa, Kakak sudah siap berangkat!” lapor Aam yang mencanglongkan tas di punggung.
“Kamu beneran tidak ikut, Al?” Kini Zafran yang bertanya. Lelaki itu sudah siap membawa kedua buah hatinya mengnikmati waktu daddy and son.
“Tidak, Zaf.”
“Kamu percaya aku bawa anak-anak?” tanya Zafran lagi.
“Aku yakin kamu tidak akan membiarkan hal buruk terjadi dengan mereka. Untuk apa aku khawatir?” Zafran menganggukkan kepala.
“Aku mau beberes saja mumpung anak-anak sama kamu,” lanjut Almira yang tidak sepenuhnya cara halus untuk menolak. Karena jika ada anak-anak dan tidak ada para papi, ibunya dan Caca yang membantu menjaga tentu saja ia harus melibatkan kembar untuk membantunya, dan itu akan memakan waktu lebih lama. Jika kondisi sepi anggap saja ini kesempatannya ngurus tempat tinggal.
Alasan lain Almira menolak adalah perihal keetisan dan menghindari fitnah. Jika kembar dan Appa mereka bersama sepanjang hari orang akan menyadari karena tidak ada mantan anak. Sudah kewajiban dan hak Zafran memberikan perhatian, kasih sayang dan waktu untuk anak mereka. Namun, dirinya dan Zafran tidak ada hubungan apapun. Kecuali kerjasama mendampingi tumbuh kembang buah hati. Tidak perlu ikut dalam rencana quality time mereka, yang akan beranggapan bahwa dia dan Zafran ada kode-kode rujuk. Almira tetap harus menghargai posisi calon istri Zafran yang juga sahabat adiknya, Alvindra.
“Oke. Sebelum pergi mana ciuman untuk Anya?” tanpa diminta dua kali si kembar langsung mencium bersamaan pipi perempuan yang melahirkan mereka.
Setelah berpamitan dengan Almira, kembar dan Zafran masuk ke mobil. Ketiga lelaki yang mempunyai pahatan paras yang sama membelah jalanan Jakarta menuju bangunan pencakar langit yang dulu pernah Zafran huni bersama Almira.
“Memangnya gedung ini punya kolam renang, Pa?” Aam langsung bertanya saat baru saja turun dari mobil. Ia mengamati gedung bertingkat namun tidak terlihat megah.
“Ada, kalian ikuti Appa saja.”
“Kenapa kita tidak ke waterboom saja, Pa?” Aam yang tidak puas dengan jawaban Zafran kembali bertanya.
“Kalau Sabtu-Minggu banyak pengunjung, Kak. Di sini kan cuma penghuni saja yang bisa menikmati fasilitas kolam.”
Zafran tidak menyampaikan kalau dia sudah menyewa kolam renang tersebut untuk mereka bertiga saja. Karena tidak ingin ada yang mengganggu kesempatan kebersamaan bapak dan anak. Fasilitas kolam yang memang bisa disewa untuk yang terdaftar punya unit apartemen di gedung tersebut. Baik untuk yang mau privat poll atau acara menggunakan tema outdor pinggir kolam.
“Appa tinggal di gedung ini?” tanya Aam penuh rasa ingin tahu.
“Tidak! Appa punya unit saja di sini.” Sekali lagi tidak Zafran jabarkan kalau unit yang dimaksud adalah tempat tinggalnya dan Almira. Dan akan ia wariskan untuk si kembar. Sepertinya bapak dua anak itu harus mengagendakan ketemu notaris untuk mengurus perihal pembagian waris. Mumpung belum menikah, akan lebih mudah memberikan hak si kembar.
Anak-anak Zafran yang sangat menyukai olahraga air ketika melihat kolam netra bocah-bocah tersebut berbinar. Setelah dari ruang ganti untuk berpakaian renang mereka sudah pandai berenang langsung menceburkan diri ke kolam. Bahkan keduanya langsung balapan. Tentu saja bola mata bapak si kembar itu membelalak. Karena kedua putranya tanpa pemanasan langsung menceburkan diri.
Kondisi kolam renang yang di desain khusus hunian, tentu saja tidak ada seluncuran atau wahana kolam. Namun, sekadar pelampung untuk bersantai di atas air tersedia.
“Yey ... aku yang menang,” teriak Aam untuk sesi pertama balapannya dengan saudara kembarnya. Zafran yang melihat ekspresi dan kemampuan buah hatinya dengan olahraga di air itu menggeleng serta berbangga diri.
“Ayo lagi! Kali ini Abang yakin pasti menang,” jawab Iim yang tidak terima karena kalah.
Zafran yang sudah selesai melakukan streaching pun ikut turun ke kolam. Ia tidak langsung berenang, melainkan berdiri di pinggiran sambil menjadi wasit untuk dua buah hatinya yang berlomba.
“Abang yang menang!” teriak Zafran memberi tahu siapa yang lebih dulu sampai di ujung kolam.
“Satu sama.” Aam mengatakan skor. Meski berumur tujuh tahun, sportifitas, jujur dan berlapang dada menerima kekalahan sudah tertatam pada karakter kembar.
Setelah perlombaan dua sesi tersebut, anak-anak Almira naik ke pinggiran kolam. Duduk dengan kedua kaki masih terendam.
“Jago banget berenangnya. Siapa yang ngajarin?”
“Papiii ...,” jawab dua bocah tersebut dengan bersemangat.
Intonasi yang terdengar bahwa anak-anaknya bangga pada ‘papi’ menyentil perasaan Zafran sebagai bapak biologis. Pikirnya jika waktu tujuh tahun tidak terbuang dengan perpisahan mungkin dirinya yang akan anak-anaknya sebut dengan bangga karena menjadi coach renang si kembar.
Iim yang merasa bahwa dirinya menunjukkan sikap antusias kembali ke wajahnya yang biasa saja. “Papi Rafly yang ngajarin kami.”
Nada Iim yang datar dengan ekspresinya yang tertangkap basah karena sudah mulai terbiasa atas kehadiran Zafran mampu menarik sudut bibir duda beranak.
Tangan Zafran terulur mengusap surai yang basah si sulung. Betapa beruntungnya dia mempunyai keturunan dari perempuan yang dilengkapi kebaikan hati. Tidak membenci Zafran atau menghasut anak-anak untuk tidak menerima kehadirannya. Tujuh tahun tidak bersama dengan buah hati yang tidak diketahui, dirinya menjadi asing bagi si kembar sudah sewajarnya. Dan bisa saja kan Almira semakin menjauhkan dia dari Iim dan Aam. Tetapi semalam justru merekomendasikan agar membawa kembar berenang. Pasti akan mudah membangun keakraban.
“Kalau hari libur biasanya Papi Rafly. Papi Alvindra juga sering ngajarin kami. Apalagi kalau ke rumah Ibu, pasti kita berenang bersama Papi Rafly dan Papi Alvindra.” Aam yang merasa iri karena tangan Zafran masih terparkir di kepala Iim berusaha mencuri atensi.
Cara bocah yang mendapat panggilan kakak tersebut berhasil. Alis Zafran menukik ketika mendengar sebutan ibu dari mulut Aam. “Ibu?”
“Appa tidak mengenal Ibu?” Zafran menggeleng. “Kok bisa?”
“Siapa Ibu?”
“Harusnya sih kami panggil nenek. Cuma terbiasa ikut Anya, Papi Alvindra, Papi Rafly dan Mami Cha panggil ibu, kita ikut panggil ibu.” Aam menjelaskan dengan menggebu.
“Tante Mitha?” tanya Zafran. Seketika itu iya ingat panggilan Alvindra pada ibunya dan juga semalam pun Iim dan Aam juga menyebut panggilan ibu.
“Appa kok panggil Tante? Kenapa tidak ikut panggil ibu seperti kita?” Sekali lagi sikap penyanggah Aam keluar.
Zafran yang bingung menjawab memutar keras pikirannya. “Hmm ... siapa yang berani balapan renang sama Appa?” Kalimat tersebut yang akhirnya keluar untuk membuat Zafran mengalihkan topik pembicaraan. Lelaki itu masih kaku berkomunikasi dengan anak, takut jika terjadi salah ucap.
Beruntung ajakan itu ditanggapi positif. Bapak dan anak itu akhirnya berkompetisi renang, antara Iim dan Aam berada di atas pelampung kemudian di dorong Zafran, hingga adu pernapasan siapa paling kuat dengan lama menyelam.
Keseruan bapak dan anak itu tanpa terasa sudah dua jam lebih berendam dalam air. Karena kolam renang terbuka, selawat sebentar lagi zuhur menggema. Kembar merasa bahwa dia mereka sudah terlalu lama berada di kolam dan harus segera menyelesaikan kegiatan tersebut. Belum lagi perut kembar sudah merasa sangat lapar.
Aam yang berada di atas pelampung meminta dorong pada Zafran untuk membawa ke permukaan. Di saat itu Iim justru memilih untuk berenang.
“Terus Appa ... dorong, dorong. Sebentar lagi sampai,” teriak Aam pada papanya.
“Nakal banget sih nggak mau berenang sendiri.” Mendengar cibiran Zafran Aam semakin terbahak.
“Pa ... Amm, to ... long.”
“App ... Pa ...”
Keseruan saling menimpal perkataan membuat Zafran dan Aam tidak mendengar suara timbul-tenggelam Iim yang meminta tolong. Bapak dan anak itu masih bercanda hingga netra Aam lebih dulu melihat kondisi Iim. “APPAAAA ABAAANG TENGGELAM,” teriak Aam ketakutan hingga tidak terpaku di tempat.
“Kakak naik ke permukaan,” suruh Zafran yang langsung mendorong pelampung agar ke pinggir kolam. Kemudian Zafran menghampiri anak yang lain yang berada di tengah kolam dalam kondisi berusaha berenang namun tidak bisa.
Ketika tangan Zafran berhasil memeluk Iim, bocah tujuh tahun tersebut terbatuk sembari menahan sakit pada betis dan paha yang tegang di dalam air. Matanya yang dipejamkan erat demi menahan nyeri karena sendi-sendinya tegang.
Sekilas mengamati ekspresi anaknya, semakin cepat membawa Iim ke pinggir kolam dimana putranya yang lain menunggu dengan cemas.
“Abang kenapa?” tanya Aam dengan ekspresinya yang hampir saja menangis. Dia langsung berlutut samping Iim yang didudukkan Zafran. Sementara bapak si kembar langsung memeriksa kaki yang di pegang Iim.
“Kakak minta tolong ambil air minum dan handuk untuk Abang.”
Tanpa membantah, Aam melakukan apa yang diperintahkan Appanya. Anak lelaki segera berlari ke tempat duduk dimana ransel milik Iim berada.
Sembari menunggu Aam membawa permintaannya, Zafran dengan perlahan dan telaten memberi pijatan pada kaki anaknya yang tegang.
Ketika Aam kembali membawa dua tas canglong dengan gopoh. Milik iim diserahkan ke Zafran
Lelaki dewasa yang menerima ransel si sulung langsung membongkar. Diambilkan botol minum yang sekalian dibukakan sebelum diserahkan ke Iim. Zafran pun mengeluarkan handuk, mengeringkan seluruh tubuh anak pertamanya.
Sembari Zafran yang sibuk mengurusi abangnya, Aam juga menbongka tas pribadinya. Mencari P3K yang ia siapkan. “Appa ini telonnya.”
Zafran menuangkan telon ke tangannya dan menyerakan kembali minyak yang di botol pada Aam. “Kakak langsung pakai handuknya, juga bauri pakai minyak,” perintah Zafran sembarui melumuri badan dan betis Iim dengan telon. Bapak dua anak itu kembali memberi pijatan ringan pada betis kecil yang sudah berkurangan ketegangannya.
“Tolong, jangan bilang Anya, papi atau siapapun kalau Abang mengalami keram hari ini,” pinta Iim.
Pijatan Zafran berhenti. Alisnya pun menukik mendengar permohonan anak pertamanya. Namun, tatapan meminta lengkap dengan telapak tangan yang menangkup membuat Zafan mengangguk.
“Anya pasti tahu kalau kami melupakan pemanasan, kelamaan di air dan tidak minum.” Iim mengabsen kesalahannya hari ini di dalam air.
Aam yang mengambil duduk di sebelah kakaknya juga ikut menangkupkan tangan. “Jangan bilang, ya, Appa. Nanti Anya melarang kami sebulan nggak boleh berenang.”
Zafran menyipitkan mata dengan ujung bibir tertarik ke atas. Permintaan sederhana, kepolosan setiap kata-kata yang keluar membuat Zafran tidak mampu mendeskripsikan perasaannya. Yang jelas bahagia masuk pada salah satu rasa yang menyelusup di hati. Permohonan pertama yang mudah untuk ia kabulkan, tentu saja akan Zafran lakukan. Terlebih lagi lelaki itu tidak diminta berbohong. Hanya tidak mengatakan. Anggap saja itu bagian diplomasi atau dari kata bijak diamnya adalah emas untuk sang buah hati.
Zafran pun mengangguk selanjutnya merangkul dan membantu memapah ke tempat pembilasan.
Di area ruang ganti, Zafran mengatur tempartur air pada dua bilik untuk digunakan anaknya-anaknya. Sedangkan dia nanti akan membersikan diri di kamar mandi unitnya. “Suhu air sudah Appa atur. Abang bisa sendiri?” Iim mengangguk dengan pertanyaan ayah biologisnya.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, tiga lelaki yang berhubungan keluarga itu masuk ke unit apartemen Zafran. Di dalam kamar bekas Zafran dan Almira saat mereka masih berumah tangga ketiga manusia itu bersantai. Bedanya, semua atribut yang mengisahkan orang tua si kembar sudah dibersihkan.
Di atas karpet tepat bawah televisi anak-anak memakan bekal makanan yang dibawakan Almira. Sungguh menggiurkan melihat bekal yang Almira bawakan untuk sang buah hati. Serundeng daging dan udang diwadahi rantang Tupperware beserta nasi yang mengepul. Selain air putih, anak-anak membawa susu coklat yang ditempatkan di termos.
Untuk melengkapi menu yang Almira bawakan, Zafran memesan online kwetiau goreng dan juga gurame asam manis untuk menemani makan siang mereka.
Setelah mengisi perut anak-anak Zafran berkata akan salat. Dengan berbagai drama yang berkata akan salat nanti saja kata Appa mereka tetap berakhir dua anak kembar itu yang salat berjamaah. Si kakak yang menjadi imam. Meski salat Zuhur tidak terdengar bacaan, sebagai lelaki baligh hati Zafran merepih. Dia gagal menjadi teladan untuk putranya. Jika tidak ingin kejadian siang ini terulang, Zafran harus segera belajar tuntunan salat lagi. Untuk mengingat bacaan-bacaan yang lupa-lupa ingat untuk dilafalkan.
Kegiatan mereka selanjutnya adalah kembali bersantai dengan menikmati tayangan kartun bus. Mungkin karena kelelahan dan juga efek habis makan, Aam ketiduran.
Kini tinggal dua lelaki berbeda generasi yang masih terjaga. Dan si anak yang telah distigma Zafran lebih pendiam dari Aam beberapa kali tertangkap mencuri pandang.
“Appa ...,” panggil Iim akhirnya. Sepenuhnya Zafran memberikan atensi pada sosok yang memanggilnya.
“Terima kasih Appa,” ucap Iim. Anak lelaki yang lahir lebih dulu dibanding Aam tersebut kemudian berdiri dari duduknya dan semakin mendekat pada Appanya. Lengan kecilnya terulur membelit leher Zafran. “Abang bahagia bertemu Appa. Abang juga sayang Appa.”
Tindakan dan ungkapan yang tidak terduga membuat Zafran menghangat. Tangannya pun ikut melekap dengan erat tubuh kecil itu, cairan asin di mata tanpa terasa ikut berproduksi. “Terima kasih, Nak. Kasih sayang Appa juga besar untuk Abang.”
Setelah pelukan dilepas, kini berganti bapak dan anak itu tidur dengan bantal yang sama di samping Aam. Sambil menikmati tayangan kartun. Tidak seberapa lama juga, Abang mengikuti jejak adiknya yang tertidur.
Setelah benar-benar dipastikan bahwa sudah pulas, Zafran mulai memindahkan kembar ke kasur. Agar tidur terasa lebih nyaman dan tubuh mereka tidak pegal parah. Mengingat hari ini mereka telah melakukan olahraga air cukup lama.
Zafran menyelimuti dua anak lelaki dengan genetik wajah yang dominan seperti pada keluarganya. Mengamati dalam damai istirahat malaikat-malaikat kecil tersebut. Buah hati yang dikenalnya beberapa hari benar-benar menenangkannya. Kemudian ponselnya yang sempat dilupakan, memunculkan kedip, menarik perhatiannya. Betapa terkejutnya ia terdapat banyak pesan masuk dari Karin.
Zaf!
Keluyuran saja! Cepat pulang. Seragam buat acara sudah datang. Kita juga cari lagi seserahan yang mau dibawa.
Zafran tertegun. Waktu bersama anak-anak membuat ia lupa bahwa akan memulai episode baru dengan Tita. Bisakah ia membatalkan, persahabatan dengan banyak pihak menjadi ancaman. Lantas bagaimana caranya berbicara dengan Tita? Terlebih lagi dengan si kembar? Zafran tidak punya keahlian berbicara dengan bahasa anak.
Tangan Zafran terulur untuk mengusap ubun-ubun kedua putranya. Kemudian melabuhkan kecupan. “Meski Appa nanti menikah, kalian jangan menjauh dari Appa.”
Jum'at, 17 September 2021
Ikut senang nggak, Iim mulai menerima keberadaan Zafran?
Kalau Ri sih senang. Mengurangi jumlah anak yang mengalami fatherless.
Oh iya. Aku sudah ada 4 cadangan part, dan masih berproduksi chapter. Kalau di hari Jum'at lupa update, colek, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro