Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 - Zafran

Zafran dongkol karena merasa diabaikan istrinya. Lelaki yang semester empat itu memilih menyalakan laptop. Menonton pertandingan bola yang sebenarnya tidak ia suka. Namun karena suara penyiar pertandingan yang tidak henti, dan volume suara besar, berharap bisa mengganggu fokus Almira. Namun demi apapun Zafran semakin memberengut karena perempuan yang baru dinikahinya beberapa bulan seolah tidak peka dengan sikapnya yang minta diperhatikan. Almira justru memasang earphone sambil melanjutkan tugas kuliah di atas ranjang mereka. Terlanjur badmood Zafran mematikan laptopnya dan berbaring memunggungi pemilik hatinya.

“Kenapa sih Zafran? Kok daritadi asem banget ekspresinya?” tanya Almira.

Kenapa? Kenapa? batin Zafran nyin-nyir. Pikirnya apakah Almira melupakan tiga jam lagi dirinya bertambah usai? Kok tidak ada tanda-tanda ada sesuatu yang spesial? Padahal sejak tiga tahun lalu, saat wanitanya masih jadi sosok ditaksir, dia tidak pernah lewat memberi hadiah ulang tahun. Perbuatan yang tidak mendapat balasan di setiap hari kelahirannya. Namun, apakah sekarang sebagai pasangan sah, tetapkah tidak ada surprise brithday untuknya? Minimal dapat ucapan pertama sebelum Yang lain. Sepertinya semua hanyalah tinggal harap, Almira tidak ingat atau bahkan tidak tahu tanggal berapa Zafran berada di dunia?
“Ngantuk aja,” jawab Zafran sekenanya kemudian memunggungi perempuan yang lebih sibuk dengan keyboard.
Perasaan lelaki di akhir belasan tahun itu semakin tak karuan karena pengabaian. Rasa risau membuat Zafran ketiduran.

Cup.

Merasa ada yang mencium, mata Zafran terbuka. Samar-samar netranya menangkap sosok Almira yang tersenyum. Tidak biasanya wanitanya memulai kontak fisik lebih dulu, dan jarak mereka yang dekat membuat lelaki yang setengah sadar itu ingin merengkuh, mencumbu.

“Zafran, bangun dong.” Alunan lembut suara Almira.

Ketika kesadaran salah satu pewaris perusahaan KGlass terkumpul dirinya pun ingat sedang merajuk pada sang pendamping hidup. Namun hanya suguhan senyum teduh, tak bisa menyembunyikan buncah perasaannya yang bahagia. Mengkal hati Zafran menguap entah kemana.

Zafran hanya mengangkat sedikit kepala, bibirnya dan Almira bertabrakan. Hanya kecupan, kemudian dijatuhkan lagi ke atas bantal.

Perbuatan yang tidak diperkirakan Almira. Tentu saja membuatnya terkejut dan terdiam seperkian detik.

“Ada apa kok bangunin aku?” Pertanyaan Zafran yang mengingatkan perempuan Almira akan tujuannya.

Almira duduk di pinggir kasur. Suaminya sedikit bergeser memberi ruang. Ketika tangan si wanita terjulur ke nakas, Zafran baru menyadari di sana terdapat satu potong red velved dengan topping stroberi beserta satu lilin kecil. Senyum kecil di bibirnya terbit, apalagi penglihatannya sempat melirik jam bahwa hari baru saja berganti.

“Selamat ulang tahun, Appa,” kata Almira dengan panggilan sayang mereka, Appa-Anya. Panggilan yang dipersiapkan jika keduanya mempunyai anak.
Deretan gigi ditampakkan Zafran. Tangan lelaki berulang tahun itu pun mengusap tengkuk. Sungguh istrinya membuat terbang dan salah tingkah. Bersamaan rasa salah karena sempat berburuk sangka kalau tidak tahu atau tidak mengingat harinya melihat dunia. 

“Kok cuma cake sih, bukan tart?” tanya Zafran.

“Tart lebih mahal, lagi pula siapa yang akan makan?”

Di acak surai istrinya. Antara gemas dan tak habis pikir. Iya, dirinya bukan penyuka buah berwarna merah itu, itu kesukaan Almira. Tapi kan bisa pesan yang dua varian rasa bisa, kenapa Almira tidak melakukannya?

“Udah, ah, Zaf. Tiup lilinnya, keburu mati ini,” protes Almira  jengah ketika pria yang mengijab-sah dirinya merusak tatanan rambut.

“Make a wish, dulu,” kata Almira lagi saat Zafran mau meniup lilin.

“Semoga Zafran dan Almira menjadi pasangan selamanya. Baik di dunia dan akhirat.” Tangan Zafran yang menengadah ditangkupkan ke wajah. “Sudah boleh tiup sekarang?”

Almira mengangguk. Setelah proses tiup lilin, Zafran menggunakan garpu kue untuk memotong red velved dan menyuapkan pada wanita pilihan hatinya. Istrinya pun membalas dengan menyuapi toping buah yang hanya tumbuh di dataran tinggi. “Enggak Al, aku nggak suka stroberi, kamu aja yang makan,” tolak Zafran.

Si perempuan berdecak, “Nggak suka kan? Bukan nggak mau! Ayo makan!”

Melihat wajah masam istrinya, Zafran membuka mulutnya. Menerima suapan buah yang sebelumnya di tolak. “Gimana rasanya?” tanya Almira.

“Gimana lagi kalau nggak manis-asem?” sewot Zafran karena berpikir itu pertanyaan retorik. Atau ia sedang dikerjain?

“Itu nantinya kehidupan pernikahan yang kita jalani, Zaf. Akan ada manis-asem, walau saat melihat tampak luar indah, menggoda. Merahnya seolah mengundang untuk berani mencicipi.”

Alis lelaki yang memilih menikah muda terangkat satu. Duduk Zafran sudah tegak kalau dia menunggu apa maksud tujuan Almira. Istrinya itu suka membuka prolog obrolan yang perlu komunikannya tafsir kemana arah pembicaraan.

“Lambang cinta itu seringkali merah, sama seperti stroberi. Kita berani mencicipinya. Asam-manis itu yang akan kita rasakan. Begitu dengan pernikahan kita yang didasarkan cinta. Kuharap kamu menerima semua rasa itu, tidak hanya menerima salah satu itu dalam kehidupan kita,” kata Almira.

Zafran langsung merengkuh wanitanya. Almira bicara apa tentu saja dia tidak akan bersikap oportunis dengan mengharap bahagia saja dalam ikatan sakral mereka. Dia akan terima asam-manis, pahit atau rasa apapun di pernikahannya. Seperti doa yang barusan dipanjatkan. Pasangan hingga merenggang nyawa yang terus berlanjut menjadi pasangan di hidup setelah kematian. “Anya, kamu nggak perlu khawatir itu. Aku akan melewati semua rasa pernikahan hanya sama kamu. Istrinya Zafran, Almira Annadira.”

“Oh ya, Zaf, kamu protes karena cake.” Almira mendangakkan kepalanya. Posisinya tidak bisa menggerakkan tubuh leluasa.

“Kamu benar, siapa yang akan memakannya,” jawab Zafran yang kembali menekan kepala Almira agar menempel ke dadanya kembali.

“I ... ih, bukan itu. Duitku banyak terkuras beli hadiah buat kita. Jadi aku cuma bisa beli cake.” Tangan Almira memukul pelan pundak suaminya. Kemudian menarik diri dan membuka laci, mengambil satu boks jam tangan merek internasional.

“Kamu beli jam tangan mahal ini, Al?” Mulut Zafran menganga tak percaya. Brand itu tidak asing, sampai sekarang masih memakainya. Tapi itu barang lama yang ia beli sebelum menikah. Sekarang, uang yang dimiliki bukan buat foya-foya tapi nafkah keluarga.

“Pakai uangku sendiri, kok. Tabunganku sebelum menikah dan juga abang Rafly masih kasih uang jajan.” Buru-buru Almira menjelaskan saat melihat wajah pasangannya seperti tidak suka. Dirinya takut, sang suami berpikir merusak anggaran keuangan  yang sudah keduanya atur. Bersikap boros pada nafkah materi pemberian Zafran.

“Aku bingung mau kasih hadiah apa sama kamu, Appa. Karena aku sering lihat kamu pakai jam, kenapa tidak aku belikan ini buat kamu, buat kita,” lanjut Almira.

“Kita?” konfirmasi Zafran.

“Iya, lihat nih, ini tuh couple. Aku mikir sejak sebulan lalu mau ngasih apa ke kamu. Karena kamu berharga, nggak salah ngasih yang berharga, walau harus nguras cuanku, sih. Tapi ... Zaf, jam ini kan simbol waktu, moment terjadi, pengingat, apalagi ya?” Almira terus mengingat apa aja yang identik dengan yang berhubungan jam tangan. “Sudah itu saja. Aku ingin jam tangan ini menjadi pengingat semua peristiwa yang kita lewati atau canangkan, Zaf. Belum lagi berdetaknya kan di nadi kita, biar irama antara detak kisah dengan nyawa kita.”

Zafran menutup boks Fossil yang cukup lama dipandanginya. Jam tangan yang sudah berhenti berdetak sejak dia menginjakkan kaki di bandara Jhon F. Kennedy. Tujuh tahun berlalu, jam tangan mewah itu tetap tidak ganti baterai dan dibiarkan tersimpan pada tempatnya. Satu-satunya simbol kenangan yang terbawa ke Negeri Pengasingan.

“Tuhan tidak mengabulkan doaku di ulang tahun ke sembilan belas,” gumam Zafran.

Bel apartemen Zafran berbunyi. Mengalihkan ratapan mengenaskan yang ditujukan pada dirinya sendiri. Namun siapakah yang bertamu dini hari begini?

Meski enggan Zafran tetap berjalan membukanya. Karena tamu kurang kerjaan itu akan merusak telinga atau belnya yang dipencet berulang, terkesan brutal. Kekesalan pun tak bisa ditutupi.

“Surprise ...,” kata perempuan yang saat Zafran membuka pintu.

Sembur makian yang akan terlontar tertahan di kerongkongan. Apalagi paras ayu tamunya ini menimbulkan simpul bahagia. Di tangan wanita itu membawa black forrest dengan lilin angka tiga puluh. “Happy Brithday, Zaf.”

“Tita!” Geraman Zafran masih terdengar walau samar. Sisa kekesalannya masih ada. “Kenapa pencet bel brutal? Kamu kan tau sandinya!”

“Sengaja! Mau bikin kesel,” kata Tita dengan merapatkan tubuhnya pada Zafran. Kemudian mencium kedua pipi serta bibir pria yang bertambah usia. “Selamat ulang tahun sayang. Semoga Tuhan kasih kebaikan buat hidup kamu.”

Zafran merengkuh tubuh Tita dan mendaratkan kecupan di kepala kekasihnya. “Masuk, yuk!” Tita mengangguk.

Di sofa tamu hunian Zafran Tita meletakkan kue yang dibawanya. “Lilinnya udah mati, Zaf. Bentar aku nyalakan dulu.”

Memperhatikan bagaimana cekatan pacarnya menyalakan lilin serta menyodorkan dihadapan sebagai formalitas Zafran langsung meniup. “Ih, kok langsung tiup, sih. Kan belum berdoa,” protes Tita.

“Sudah.” Jawaban untuk membuat perempuan dihadapannya diam. Karena sebenarnya untuk apa berdoa, jika permintaannya tidak Tuhan kabulkan.

“Kamu berdoa ap–, ponselmu bunyi, Zaf.” Pertanyaan Tita berhenti karena dering panggilan yang menginterupsi.
“Mama, v-call.” Zafran menunjukkan layar dengan foto kontak. Kemudian menggeser ikon menerima panggilan.

“Halo, Mama. Sehat?” sapa Zafran saat layar menampakkan wajah ibunya.

“Halo, Zaf. Selamat ulang tahun, Zafran. Mama sehat, kamu baik-baik di sana? Kapan pulang? Udah tujuh tahun loh, nggak pulang. Masa iya, kami terus yang jengukin kamu ke sana? Apa nggak kasihan sama Mamanya harus duduk di pesawat belasan jam. Mau alasan apalagi? Magister udah, doktoral udah, mau nunggu apalagi di negara orang? Jauh dari keluarga pula. Eh ada Tita di sana?”

Zafran mengulum senyum saat ibunya berbicara tanpa henti. Dirinya duduk di samping sang kekasih dan mengarahkan layar untuk dilihat berdua. Saat itu Karin menyadari kalau putra keduanya tidak sendiri. Namun ada Tita yang duduk bersandar di pundak anaknya.

“Halo, Tante,” sapa Karin. “Iya, nih lagi ngerayakan ulang tahun Zafran, nih,” lanjut pacar Zafran.

“Di sana dini hari, kan? Kamu di apartemen Zafran? Cuma berduaan?” tanya Karin melotot, terkejut.

“Apa sih, Ma. Kita nggak ngapa-ngapain. Zafran juga nggak mungkin ngerusak Tita. Apalagi kalau di sini itu berdua se atap biasa. Beda kultur, Ma.” Zafran memutar bola mata malas.

“Kamu itu, nggak mau tahu! Pokoknya kalian berdua harus segera pulang ke Indo dan menikah!” tegas Karin.

“Ma!”

“Tante ....”

Bersamaan Zafran dan Tita protes akan keputusan perempuan yang nampak di layar ponsel.

Zafran makin sebal saat Karin memanggil-manggil nama Reyhan –Kakaknya— untuk memberi tahu kalau dirinya berduaan dengan Tita di apartemen. Panggilan video dengan terpaksa Zafran putuskan sepihak.

“Sorry, ya, Ta. Untuk reaksi Mama barusan.” Zafran merasa bersalah karena mamanya.

Berbeda dengan Tita yang justru berpikir berat. “Zaf, apa kita akan begini saja?”

Zafran terdiam memandang kekasihnya yang lima tahun mendanpingi. Pria yang sudah pernah menikah tersebut paham kemana arah pertanyaan Tita. Duda yang awalnya merasa baik-baik saja dengan hubungan mereka, sekarang mulai ikut memikirkan kelanjutan keduanya.

“Apa kamu menginginkan menikah?” tanya Zafran hati-hati.

“Aku pikir semua perempuan ingin menikah,” lirih Tita.
Keduanya hening dengan pemikiran masing-masing. Sudah saatnya kah keduanya melangkah ke hubungan lebih serius.

“Kalau begitu bersiaplah! Kita akan pulang, aku akan melamarmu.”

Mata Tita membulat mendengar tutur Zafran. “Zaf, jangan spontan ambil keputusan!”

Zafran menggeleng. “Kita tidak bisa begini terus kan? Aku pernah menikah karena cinta, akhirnya kandas. Mungkin karena kita sahabatan sejak kecil, saling memahami juga, pernikahan bukanlah ide buruk.”

Perasaan Tita yang masih gamang mengedarkan pandangan ke arah sembarang. Saat matanya melihat boks jam tangan di atas meja. “Zaf, dapat hadiah dari siapa?”

Zafran langsung merampas sebelum Tita berhasil membuka. Lelaki itu kemudian meninggalkan sahabat yang jadi pacar dengan masuk ke kamar. Menyimpan jam tangan pemberian Almira agar tidak ada yang menjangkaunya. Zafran belum siap jika benda itu mengorek pertanyaan yang semakin menguatkan fakta dirinya gagal move on.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro