Chicken Katsu And Probably You
Segelas kopi hitam yang sudah berubah dingin itu tergeletak di atas meja. Waktu telah menunjukkan nyaris tengah malam, namun penghuni di dalam ruangan itu masih enggan untuk beranjak dari tempat ia duduk. San menghela napas, lehernya sakit dan matanya sedikit berkunang-kunang. Mungkin ia harus berhenti sekarang, tubuhnya sudah mencapai batas lelah maksimum.
"Sir, Anda ingin pulang sekarang?"
San mendongak, menatap sekretarisnya yang kini berjalan memasuki ruang kerjanya. "Pekerjaan saya masih banyak." Pandangan San kembali menatap tumpukan kertas di atas meja.
Tidak ada jawaban dari sang sekretaris, membuat San kembali mendongakkan kepala. "Jika kau ingin pulang, pulang saja."
"Saya akan tetap di sini."
"Ini sudah malam, kau perlu istirahat."
"Begitu juga dengan Anda, Sir."
San tersenyum, tipikal Jung Wooyoung sekali. Keras kepala dan selalu mengedepankan San ketimbang dirinya sendiri.
"Baiklah." Pada akhirnya San berdiri lalu mengambil jasnya, "Kau membuatku menyerah, Wooyoung."
Wooyoung tersenyum, ia selalu punya cara untuk membuat San jatuh pada perkataannya.
*****
"Bagaimana harimu?"
"Baik dan berjalan lancar, Sir."
"Glad to hear that."
Keduanya duduk bersisian di dalam mobil yang dikendarai Pak Kim, supir pribadi San. Seharusnya, Wooyoung dan Pak Kim sudah pulang sejak tadi tetapi mengingat San yang masih bekerja membuat keduanya harus tetap tinggal lebih lama.
"Saya pinjam bahumu sebentar."
"Apa--"
Detik berikutnya, bahu Wooyoung terasa berat dengan kepala San yang bertumpu di atasnya. Wooyoung menoleh, wajah San tampak lelah dengan kerutan di dahi dan matanya yang terpejam. Choi San, pribadi yang sangat sulit untuk diraih, tipikal workaholic yang ambisius sehingga membuat dirinya jarang beristirahat dengan maksimal. Namun karena kehadiran Wooyoung, San menjadi pribadi yang gampang dibujuk walau harus sedikit berdebat terlebih dahulu.
Bilang dirinya lancang, namun jemari Wooyoung terangkat untuk mengelus singkat helaian rambut San. "Sleep well." Bisik Wooyoung kemudian menarik kembali tangannya, tanpa ia sadari bahwa Pak Kim diam-diam melihat semuanya.
*****
Choi Industries adalah perusahaan pertambangan bijih besi dengan Choi San menjabat sebagai CEO-nya. San tidak merintisnya dari awal, perusahaan ini ada berkat ayahnya. Sebagai anak tunggal, ia harus mengambil alih Choi Industries ketika ayah jatuh sakit dan hingga saat ini San telah menjalankan perusahaan tersebut dengan baik.
Sejak San menjabat sebagai CEO, ia mempunyai banyak sekretaris yang datang dan pergi secara silih berganti. Sebagian mengundurkan diri karena tidak mampu mengimbangi permintaan San yang terkadang cukup merepotkan, tetapi kebanyakan pergi karena San yang tidak tahan. Kinerja mereka tidak sesuai dengan apa yang San mau, lambat dan tidak cermat.
Sampai ia bertemu dengan Jung Wooyoung. Lelaki itu rajin, tapi yang paling penting adalah ia selalu mengedepankan San di atas segala-galanya. Ia meyakinkan San untuk selalu makan sayur, minum vitamin, bahkan Wooyoung mempunyai daftar makanan favorit dan makanan yang dibenci oleh bosnya itu. Terbukti dengan kinerjanya yang apik membuat Wooyoung telah bertahan di Choi Insudtries selama kurang lebih enam tahun, ia tidak keberatan untuk bekerja lebih lama di sana dan San tidak berniat untuk menggantikan Wooyooung dengan siapapun.
"Anda memanggil saya, Sir?" Wooyoung yang baru akan menyantap makan siangnya dikagetkan oleh panggilan telepon dari San, membuat dirinya cepat-cepat masuk ke dalam ruangan bosnya.
"Ya." San menunjuk kursi di depannya, "Take a seat.''
Padahal Wooyoung ingin menghabiskan makan siang bersama Yeosang dan Mingi tapi tidak mungkin untuk membantah perintah San. Maka Wooyoung mengambil kotak bekalnya lalu duduk di hadapan bosnya itu.
"Sejak kapan kau bawa bekal?
"Sejak tiga hari yang lalu karena saya sedang ingin berhemat."
San mengangguk-angguk lalu menunjuk kotak bekal milik Wooyoung, "Itu chicken katsu kan? Saya boleh coba?"
"Silahkan." Wooyoung mendorong kotak bekalnya ke hadapan San.
Keduanya bertatapan dan Wooyoung kembali melirik kotak bekalnya. "Anda masih ingin mencobanya, Sir?"
"Maksud saya suapi."
Wooyoung melongo. "P-pakai sendok saya?"
San mengangguk.
"Tapi sendoknya bekas mulut--"
"Bukan masalah untuk saya." San sedikit mencondongkan tubuhnya dengan alis terangkat. "Ayo suapi."
Ini jelas aneh. Bosnya itu adalah seorang clean freak, tapi sekarang San tidak keberatan menggunakan satu sendok yang sama dengan sekretarisnya.
"Buka mulut Anda, Sir."
"Aaaaaaa..."
Wooyoung tersenyum, apalagi ketika San menerima suapannya dengan mata berbinar. "Bagaimana?"
Kedua jempol San terangkat ke udara, "Enak!"
Sepertinya mood San sedang baik, ia jarang sekali bertingkah seperti ini. San selalu menyendiri dan cuek kepada semua orang termasuk pada Wooyoung. Ia sendiri heran kenapa bisa bertahan selama enam tahun di perusahaan ini.
"Thank you, Sir."
"Oh ya, saya ingin memberitahu kalau besok pagi saya akan berangkat ke Jepang."
"Mendadak sekali?"
San menggeleng, "Sudah saya rencankan sejak seminggu yang lalu tapi saya sengaja tidak memberitahu siapapun."
"Kenapa?"
"Karena saya ingin berangkat sendiri."
Selama enam tahun Wooyoung bekerja untuk San, ia selalu mengekor kemana pun bosnya pergi. Mulai dari Jakarta, Dubai, New York, dan kota-kota mancanegara lainnya, entah itu perjalanan bisnis maupun pribadi. Namun kali ini, San sengaja tidak mengajak sekretarisnya. Hal ini memicu tanda tanya besar dalam kepala Wooyoung.
"Jepang kan dekat, lagipula hanya untuk dua hari. Saya akan baik-baik saja di sana. Kau akan tetap mengatur jadwal saya dari sini, oke?"
Wooyoung mengangguk.
"Good, Jung Wooyoung memang yang terbaik."
Mau tidak mau, Wooyoung tersenyum mendengarnya. "Saya akan ikut mengantar Anda ke bandara--"
"Saya akan diantar sendiri oleh Pak Kim, kau tidak perlu ikut."
"Kenapa?"
San mengalihkan pandangannya lalu menghela napas. "Karena saya tahu pertahanan saya akan goyah dan berakhir mengajakmu ke Jepang."
Chicken katsu di lidah Wooyoung mendadak terasa hambar.
*****
Katakanlah Wooyoung bodoh tapi ia tidak bisa fokus bekerja seharian ini. San belum menghubunginya sama sekali, bahkan ketika jam menunjukkan pukul delapan malam dan Wooyoung sudah terduduk di sofa apartemennya, masih belum ada kabar dari bosnya itu.
Ini bukan pertama kalinya San pergi ke Jepang tapi ini pertama kalinya San pergi ke Jepang tanpa ditemani sekretarisnya. Wooyoung tahu betul bahwa San bukan manusia sembarangan. CEO Choi Industries tersebut benci keramaian, ia tidak suka sayuran apalagi wortel, ia tidak suka mandi dengan air dingin. Dua hari? Di Jepang? Bagaimana San akan bertahan hidup tanpa Wooyoung? Terdengar sepele memang, tapi bisa dibilang Wooyoung lah separuh napas San. Bosnya itu benar-benar pemilih akan segala hal, maka Wooyoung harus selalu berada disisinya sebagai penetral.
Terlalu lama berkutat dengan pikirannya, membuat Wooyoung tidak sadar bahwa terdapat dua panggilan tak terjawab di ponselnya. Dari San. Panggilan ketiga barulah Wooyoung menjawabnya dengan senyuman.
"Selamat malam, Sir."
"Selamat malam, Wooyoung, apakah kau sudah tidur?"
"Belum," Wooyoung berdeham singkat lalu melanjutkan, "How's your day?"
"Cukup baik, cuaca di Jepang tidak jauh berbeda dengan di Korea jadi saya rasa saya akan baik-baik saja di sini."
"Glad to hear that, Sir."
"Oh iya, menu makan siang saya tadi adalah chicken katsu."
"Bagaimana rasanya?"
"Biasa saja, masih lebih enak buatanmu kemarin."
Normalkah bahwa detak jantung Wooyoung berdetak tak karuan saat ini? "Terima kasih, Sir. Kapan-kapan, akan saya buatkan chicken katsu lagi."
"Promise me, Wooyoung."
"I'm promise."
Terdapat jeda diantara keduanya, walau Wooyoung masih ingin berbincang lebih lama namun tak bisa dipungkiri bahwa San harus segera beristirahat. "Sir, you should go to bed now."
"I know." Suara San terdengar lelah, "Goodnight, Wooyoung. See you soon."
"Goodnight, Sir, sweet dreams."
"You too."
Panggilan telepon terputus dengan senyum tipis yang masih bersarang di bibir Wooyoung. San baik-baik saja, membuat sekretarisnya itu dapat menghela napas lega. Lusa nanti, San akan pulang. Wooyoung jadi tidak sabar.
*****
Cuaca di Jepang sedikit lebih panas ketimbang di Korea Selatan, membuat San harus menyeka peluhnya setiap beberapa menit sekali. Dirinya terjebak di dalam kafe selama hampir lima belas menit, sendirian dan putus asa. San kira dengan menuruti perintah ibunya ia akan bahagia dan baik-baik saja tetapi ternyata ia tersiksa.
Seminggu yang lalu, ibunya menelepon pagi-pagi sekali. San yang masih setengah sadar berusaha mencerna informasi yang ibunya utarakan. Ketika otaknya berhasil memproses omelan sang ibu, San langsung menolak mentah-mentah.
"Aku belum siap, Bu."
"Ibu tidak menyuruhmu untuk buru-buru menikah kok! Cukup temui saja ia di Jepang, hidupmu perlu diisi dengan asmara, San."
Ibu selalu begitu, batin San.
Tak terhitung berapa banyak wanita yang dikenalkan oleh sang ibu pada dirinya, namun San selalu menolak mentah-mentah. Ibunya khawatir, San nyaris berumur 34 tahun dan belum memiliki pasangan hidup.
"Lakukan ini demi ibu, ya?"
Pada akhirnya San mengiyakan, menjadi anak kesayangan satu-satunya membuat San tak tega untuk menolak permintaan sang ibu.
Jadi, San memutuskan untuk pergi ke Jepang sendirian. Ia tidak mungkin mengajak sekretarisnya perihal masalah seperti ini. San harus berlagak baik-baik saja tanpa Wooyoung, dan itu cukup menyiksa. Namun ketika mendengar suara sekretarisnya saat ia menelepon semalam, San tahu ia mampu bertahan sedikit lebih lama. Besok ia akan kembali ke Seoul, San jadi tidak sabar.
"Sudah lama menunggu?" Seorang wanita cantik datang dan mendudukkan diri di hadapan San.
"Tidak juga." San buru-buru membungkukkan badan, "Maaf, aku tidak bisa berbahasa Jepang."
Wanita tersebut terkekeh, "Bukan masalah, aku menguasai tiga bahasa termasuk bahasa Korea, jadi santai saja padaku."
San tersenyum lantas mengulurkan tangan kanannya, "Choi San, kau pasti sudah tahu dari ibuku kan?"
"Tentu saja." Wanita itu membalas uluran tangan San, "Uchinaga Aeri atau kau bisa memanggilku Giselle agar lebih mudah diingat."
"Aku suka Giselle."
Hening.
"Maksudnya, aku suka nama Giselle sebagai nama panggilan...agar...mudah diingat, maaf."
Giselle terkekeh sampai kedua matanya menyipit, "Tidak apa-apa, tidak perlu meminta maaf."
San benar-benar bodoh dalam urusan seperti ini, ia tidak pandai membangun relasi dengan orang lain--kecuali dengan investor yang akan bekerja sama dengan perusahaannya--tetapi dengan wanita dan hal asmara, pengetahuan San benar-benar nol.
Seorang pelayan datang dan menyajikan dua piring cake berwarna coklat dengan whipped cream di atasnya, juga segelas kopi dingin dan green tea.
"Kafe ini terkenal dengan carrot cake-nya yang enak, jadi aku pesan untuk kita berdua. Tidak apa-apa kan?"
Tidak, ini sangat buruk.
"Ya, tentu."
"Ini green tea untukku dan iced americano untukmu."
San berusaha tersenyum untuk menghargai teman kencannya yang sudah memesankan semua hidangan ini.
Giselle memotong kuenya dengan garpu kemudian menjejalkannya ke dalam mulut, "Enak, ayo dicoba."
Tangan San sedikit bergetar saat menyuapkan potongan cake tersebut ke dalam mulutnya.
"Bagaimana? Enak kan?"
San mengangguk sambil bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan muntah di hadapan Giselle.
*****
Satu hal yang terlintas dipikiran San ketika sampai di hotel adalah sekretarisnya. Ini sudah larut dan pasti Wooyoung sudah tidur, tapi San sangat ingin berbincang dengannya. Kepala San sedikit pening akibat bir lokal yang ia nikmati sejam tadi, San tidak mabuk, tapi nyaris.
"Halo?"
"Hei." San tidak bisa menahan senyumnya ketika mendengar suara Wooyoung. "Maaf mengganggumu malam-malam begini."
"Tidak apa, Sir." Wooyoung berdeham sejenak kemudian melanjutkan, "How's your day?"
"Kinda bad kinda good, I don't know." San terkekeh ringan, "Tadi saya bertemu dengan seseorang dan ia memberiku sepiring kue wortel."
"Sir, Anda benci wortel."
"I know, saya nyaris muntah saat mengunyahnya tadi, tapi tidak masalah, saya bisa mengatasinya dengan baik."
"I hate it when you lie."
San terdiam.
"Cuaca di Jepang lebih panas ketimbang di Korea, Anda menyantap kue wortel padahal Anda membencinya. Anda tidak baik-baik saja."
"I know." Suara San berubah lirih, "I hate it when I lie too." San menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang, "I wish you were here."
"I'm here, Sir. I'm always here."
"Thank you, besok bisa jemput saya di bandara?"
"Bisa, Sir. Nanti saya akan hubungi Pak Kim--"
"Hanya kau, tanpa orang lain."
Situasi ini menyulitkan diri Wooyoung, seketika ia merasa begitu gugup. "Alright, Sir, see you tomorrow."
"Okay." Sebelum San menutup teleponnya, ia kembali memanggil sekretarisnya. "Wooyoung."
"Yes, Sir?"
"Sweet dreams."
Di ujung sana, pertahanan diri Wooyoung sudah runtuh sepenuhnya.
*****
Sesuai perintah bosnya ditelepon kemarin, kini Wooyoung tengah berdiri di depan pintu kedatangan penumpang di bandara. San sempat mengabarinya bahwa ia sedang mengambil koper dan sebentar lagi akan keluar.
"Jung Wooyoung."
San berdiri di hadapannya dengan balutan kaos hitam polos, ripped jeans dan sneakers. Serius bosnya ini sudah menginjak kepala tiga? Kenapa terlihat seperti anak kuliahan?
"Sudah menunggu lama?"
"Belum, Sir." Wooyoung bergerak untuk mengambil alih koper digenggaman San. Keduanya berjalan menuju ke parkiran dengan San mengikuti Wooyoung dari belakang.
"Saya sudah menyiapkan pakaian Anda di jok belakang. Jika Anda ingin berganti baju di--"
"Pakaian? Untuk apa?"
Wooyoung menatap San yang terduduk di kursi depan saat ini, "Tentu saja untuk bekerja. Jam dua nanti akan diadakan rapat--"
"Wooyoung."
"Yes, Sir?"
"Cancel everything."
"C-cancel? I'm sorry but we have to--"
"Runaway with me, Wooyoung." San tersenyum tipis sambil mengusak surainya, "Kau mau kan?"
"Alright, Sir." Pada akhirnya Wooyoung mengangguk sebagai jawaban, ia mendudukkan dirinya dengan benar di kursi pengemudi dan segera mengendarai mobil sedan tersebut. "Where do you wanna go?"
San tampak berpikir sejenak lalu berkata, "Ini sudah hampir jam makan siang, so what about lunch? Saya sedang ingin makan makanan Jepang."
"Anda baru pulang dari Jepang."
"I know, I think I miss Japan already."
San sudah berkali-kali pergi ke Jepang tapi baru kali ini ia merasa begitu bahagia. Diam-diam, Wooyoung melirik bosnya yang berada di sebelahnya itu. San tersenyum dengan pandangan menerawang ke depan.
Apakah perjalanan kemarin begitu berkesan bagi bosnya? Tapi San bilang bahwa ia tidak baik-baik saja selama berada di Jepang? Wooyoung jadi penasaran.
*****
Pemandangan Jung Wooyoung saat ini adalah seorang CEO perusahaan bijih besi bernama Choi San yang tengah meniup kuah ramen dengan memakai celemek bermotif lebah dan pipi menggembung. Percaya atau tidak, San hanya menunjukkan dirinya yang seperti ini di hadapan Wooyoung.
"Kemarin saat ke Jepang, Anda membawa celemek?"
San menggelengkan kepala, "Lupa."
Bosnya itu ceroboh, sehingga bila makan sesuatu yang berkuah harus menggunakan celemek karena nanti akan menyiprat kesana kemari. Namun San hanya memakainya ketika sedang makan makanan berkuah dengan Wooyoung, lagipula San selalu memesan private room sehingga tidak ada yang dapat melihat pemandangan memalukan tersebut kecuali sekretarisnya.
"Maka dari itu saya tidak berani makan ramen selama di Jepang, tidak mungkin saya merengek meminta celemek pada pelayan di sana."
"Lain kali ajak saya, Sir."
"Baiklah, lagipula kemarin berjalan dengan lancar dan baik-baik saja kan?"
"The company? Yes. My Boss? No." Wooyoung meletakkan sumpitnya di atas meja, "Bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Sure."
"Saya tidak menemukan adanya bukti kerja sama dengan investor yang berasal dari Jepang, saya juga yakin bahwa Anda tidak mungkin mengunjungi suatu proyek sendirian."
San mengelap bibirnya dengan tisu, "Apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan, Wooyoung?"
"Anda pergi ke Jepang bukan untuk perjalanan bisnis, itu sebabnya Anda tidak ingin mengajak saya?"
Hening beberapa detik sampai akhirnya San mengangguk, "Ya."
"Thank you for answering my question."
Wooyoung meraih sumpitnya dan kembali mengunyah ramen dengan pikiran berkecamuk. Bosnya itu nekat pergi sendirian ke luar negeri dengan suatu alasan pribadi. Kira-kira apa yang San sembunyikan dari Wooyoung?
*****
Sehabis makan siang, San mengeluh bahwa ia lelah sehingga meminta Wooyoung untuk mengantar dirinya pulang ke penthouse. Penthouse milik San, tidak mungkin milik Wooyoung, dapat menyewa apartemen sempit di tengah kepadatan kota Seoul saja sudah membuat Wooyoung bersyukur setengah mati.
"Biar petugas keamanan yang membawa kopernya." Cegah San ketika Wooyoung hendak mengangkat koper San dari bagasi mobil.
"Tidak apa, Sir, lagipula ini cukup ringan."
Bosnya itu memilih diam dan melanjutkan langkahnya, begitu juga dengan Wooyoung yang mengekor dari belakang. Keduanya terdiam di dalam lift, Wooyoung sih tidak ambil pusing, ia sudah cukup sering diabaikan San, ditinggal ke Jepang saja dapat Wooyoung atasi dengan baik.
"Biar saya yang membawanya, kau boleh kembali ke kantor." Ucap San.
"Baiklah."
"Terima kasih sudah menjemput dan makan siang bersama saya hari ini."
"Bukan masalah, Sir."
Wooyoung hendak pamit dan berbalik ketika San bergerak maju dan merengkuh tubuhnya. Mereka berdua bahkan masih berada di koridor alias tidak masuk ke dalam penthouse San.
"I'm sorry I couldn't tell you the reason why I went to Japan, I just don't know how."
Just tell me. Don't make it complicated.
"It's okay, Sir."
Wooyoung dapat mendengar San terkekeh lemah, "Thank you and I miss you, Jung Wooyoung."
I miss you too, Choi San.
Maka Wooyoung mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya lebih dalam pada bahu San. Wooyoung tidak ingin memikirkan apapun saat ini, satu hal yang ia sadari bahwa dirinya juga tidak baik-baik saja selama San pergi.
*****
Karena hari ini San kembali masuk kerja seperti biasa, Wooyoung berencana untuk membuatkan bekal chicken katsu kesukaan bosnya itu. Wooyoung bangun lebih pagi untuk memasak ayamnya terlebih dahulu, kemudian menaruhnya di kotak bekal dan menghiasnya dengan tomat ceri yang dibentuk menyerupai bunga. Wooyoung jadi senyum-senyum sendiri saat melihat hasil karyanya.
Selesai melipat sebuah notes kecil untuk San, Wooyoung segera mengemas kotak bekalnya dan berangkat dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
*****
Kenapa istirahat makan siang lama sekali?
Wooyoung tidak bisa duduk dengan tenang dan berkali-kali melirik kotak bekal yang berada di dalam laci. Tadi pagi saat bertemu dengan San di lift, Wooyoung tidak bisa menahan senyumnya dan membungkuk terlalu semangat pada bosnya itu. San sampai keheranan sendiri, tetapi ia balas tersenyum dan menepuk bahu Wooyoung singkat.
Wooyoung berjengit ketika merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana. Alarm yang ia setel sebagai pengingat akan jam makan siang. Sudah waktunya. Dengan penuh semangat, Wooyoung bangkit dari tempat duduknya. Tangannya hendak meraih kotak bekal di laci ketika sebuah suara mengusiknya.
"Permisi, apakah kau sekretarisnya Choi San?"
Wooyoung menatap wanita cantik dengan senyum manis itu. "Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"
"Boleh temani saya untuk masuk ke ruangan San? Oh, saya bukan orang asing, saya kerabat Choi San."
"Sudah membuat janji sebelumnya?"
Wanita itu menggeleng.
Walaupun Wooyoung sedikit ragu, namun ia tetap menyanggupi permintaan wanita tersebut. Wooyoung meraih kotak bekalnya lalu masuk ke dalam ruangan San. "Sir, ada tamu."
"Siapa?" Kedua mata San terbelalak ketika wanita itu memasuki ruangannya. "Giselle? What are you doing here?"
"Aku pikir pertemuan kita di Jepang kemarin terlalu singkat, jadi aku memutuskan untuk mengunjungimu di Korea." Giselle tersenyum lalu merentangkan tangannya, "Are you gonna hug me or not?"
San terkekeh, tanpa ragu ia maju dan memeluk Giselle dengan erat.
Dan melupakan kehadiran Wooyoung yang masih menggenggam kotak bekalnya.
*****
Terhitung sudah dua batang rokok yang Wooyoung hisap saat ini. Ia bukan perokok, hanya saja pikirannya sedang kalut sekarang. Wooyoung sedang menyendiri di parkiran basement. Setelah kehadiran wanita yang ia ketahui bernama Giselle tersebut, keduanya langsung pergi meninggalkan kantor.
Hanya San dan Giselle, tanpa ditemani Pak Kim maupun Wooyoung.
Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Jadi wanita itu yang menjadi alasan bosnya pergi ke Jepang sendirian dan tidak ingin mengajak Wooyoung? Sejujurnya, Wooyoung tidak marah, ia juga tidak berhak. Wooyoung hanya heran kenapa San tidak memberitahu alasan yang sebenarnya.
Ini sudah pukul tujuh malam dan keduanya belum kembali. Wooyoung bangkit dan menepuk-nepuk singkat celana hitamnya lalu melangkah masuk ke dalam. Ia akan pulang lebih dulu, karena untuk mengabari San pun percuma. Bosnya itu pasti sedang sibuk sekarang.
*****
Meja Wooyoung sudah rapi ketika San sampai di kantor.
Pasti Wooyoung sudah pulang, batin San. Lagipula ini sudah larut dan tidak mungkin Wooyoung menunggu San hanya untuk berpamitan. Tapi kan Wooyoung bisa menelepon? Ah, mungkin Wooyoung takut mengganggu. San menggelengkan kepalanya untuk menepis berbagai pemikiran tak masuk akalnya. Ngomong-ngomong, San bisa saja langsung pulang ke penthouse namun ia harus mengambil beberapa berkas pekerjaan yang belum selesai dan berniat menyelesaikannya di rumah.
"Sir, Anda belum pulang?"
San menoleh, mendapati Kang Yeosang tengah berdiri di belakangnya. "Belum, kau sendiri belum pulang?"
"Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai."
Pandangan San jatuh pada benda di genggaman Yeosang, kotak bekal berwarna merah tersebut tampak familiar.
"Oh ya, tadi siang Wooyoung memberi saya kotak bekal ini. Katanya, ia ingin makan di luar jadi saya disuruh menghabiskan makan siangnya. Tapi saya sadar kalau ada catatan ini di dalam tas pembungkusnya. Saya tidak tahu apa isinya tapi di sini tertulis untuk Anda."
San meraih notes kecil yang terlipat itu, memang benar catatan tersebut ditujukan untuknya. "Terima kasih, Yeosang. Kau boleh pergi."
Yeosang pamit dan berlalu dari hadapan San, sementara lelaki Choi tersebut masih bergeming di tempatnya. Dengan perlahan, San membuka notes yang terlipat itu.
To : Choi San
Kemarin saya sudah berjanji untuk membuatkan chicken katsu favorit Anda. Saya yakin ini akan menjadi menu makan siang yang enak, I hope you like it.
ps : saya bangun jam 5 pagi untuk membuat ini lho :D
From,
Jung Wooyoung.
San terdiam di tempat ia berpijak, pikirannya melayang pada kejadian siang tadi. Ia sempat melihat sekilas saat Wooyoung membuka pintu ruangannya, terdapat kotak bekal berwarna merah itu di genggamannya, kemudian Wooyoung mengantar kepergian San dan Giselle masih dengan menggenggam erat kotak bekalnya.
Jung Wooyoung hanya ingin memberinya hadiah dan kini San dirundung rasa bersalah. San menghela napas berat, Wooyoung pasti marah padanya. Terlebih sekretarisnya itu sudah tahu Giselle lah penyebab San pergi ke Jepang sendirian.
Sejenak San memandangi meja Wooyoung yang sudah rapi, lampunya juga sudah dimatikan. Rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya, jadi ia berbalik dan melangkah ke dalam lift, melupakan berkas-berkas pekerjaannya yang belum selesai dan masih berserakan di atas meja. Untuk saat ini, San hanya ingin segera pulang.
*****
Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian chicken katsu dari Wooyoung yang tak tersampaikan pada San, sudah tiga hari pula Giselle berada di Korea. San cukup kelimpungan dengan kehadiran wanita itu, bukan dalam artian tidak suka, hanya saja San harus keluar kantor hampir setiap saat agar tidak terlihat berduaan dengan Giselle di hadapan Wooyoung.
San seperti sedang menjaga perasaan ya? Kenapa pula ia repot-repot melakukan hal itu? Wooyoung kan hanya sekretarisnya.
Berbanding terbalik dengan isi pikirannya, San benar-benar menjaga perasaannya atau lebih tepatnya menjaga perasaan Wooyoung. Setelah kejadian chicken katsu kemarin, San langsung pergi ke kafe terdekat di pagi buta untuk membelikan Wooyoung cokelat panas dan croissant. Hitung-hitung sebagai bentuk permintaan maaf, untung saja Wooyoung menerimanya dengan senyum dan memaafkan bosnya, membuat San dapat menghembuskan napas lega. Sudah dibilang Jung Wooyoung itu tidak pernah marah, ia memang sekretaris yang baik.
"Sir, siang ini saya akan makan di luar bersama Yunho."
San mengerutkan kening menatap kepala Wooyoung yang menyembul dari balik pintu ruangannya. "Lunch with me." San merapikan kertas-kertas di mejanya. "Hari ini saya tidak bertemu dengan Giselle, saya punya banyak waktu luang untuk makan siang."
"Tidak bisa, Sir. Saya sudah berjanji dengan Yunho."
"Oh, baiklah."
Wooyoung membungkuk sebentar lalu menutup pintu ruangan San, sementara bosnya itu masih terdiam ditempatnya.
Jadi seperti ini ya rasanya ditolak?
Choi San rasa ia harus melewatkan makan siang, suasana hatinya sedang buruk dan menyibukkan diri dengan pekerjaan menjadi opsi terbaik untuk saat ini. Namun itu semua hanya wacana karena Ibunya datang untuk berkunjung dengan senyum yang siap menghabisi San.
"Apa yang Ibu lakukan di sini?"
"Apakah Ibu tidak boleh mengunjungimu?''
San menghela napas, ia tahu Ibunya hanya akan bertanya tentang kelanjutan hubungannya dengan Giselle.
"Jadi, apa kesanmu terhadap Giselle? Ia wanita yang baik bukan?''
"Ya." San menatap Ibunya yang kini duduk manis di atas sofa. ''Tapi aku--"
"Shhh, tidak ada tapi. Kau dan Giselle sudah sangat cocok dari segi fisik, penampilan dan jika kalian menikah akan sangat menguntungkan keluarga kita. Giselle adalah wanita terpandang, kau tidak ingin mengecewakannya kan?"
Darah San mendidih dalam sekejap, tapi ia berusaha menahannya.
"Kau sudah semakin tua, kau butuh pendamping hidup untuk menjalankan perusahaan ini. Giselle adalah pilihan terbaik.''
"Bagaimana denganku?''
Nyonya Choi mengerutkan dahi, "Apa maksudmu?''
"Apakah ibu sama sekali tidak memikirkan perasaanku? Ibu tidak berpikir akankah aku bahagia jika aku menikah dengannya?''
"Tentu saja kau akan bahagia--''
"DARI MANA IBU TAHU?'' San meninggikan suaranya padahal ia tidak bermaksud begitu. "Aku bahkan tidak menyukai wanita.''
Nyonya Choi terdiam, ia menatap San dengan pandangan terkejut dan kedua mata terbelalak. "San, kau... kau tidak menyukai wanita?"
Gelengan singkat San berikan sebagai jawaban.
"Sejak kapan?''
"Sudah lama."
"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya?"
San mengusap wajahnya dengan kasar. "Saat itu, Ayah sedang jatuh sakit. Aku tidak mungkin mengatakan hal sensitif seperti ini saat situasi keluarga dan perusahaan tidak stabil. Jadi aku menyimpannya sendiri. Itu sebabnya aku selalu menolak untuk menemui wanita pilihan Ibu karena aku tidak tertarik dan selamanya akan tetap begitu. Aku setuju untuk menemui Giselle karena aku tidak tega untuk mengecewakanmu lagi, tapi aku mohon jangan lakukan hal itu lagi, Bu. Terimalah diriku apa adanya."
Hening melanda, San tidak berani menatap Ibunya tapi ia tahu wanita itu beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan San sendirian tanpa berkata apa-apa.
*****
"Kau banyak melamun tadi."
Suara lembut Giselle memecah keheningan di dalam mobil tersebut.
"Apakah ada masalah di kantor? Belakangan ini kau terus meninggalkan kantor karena harus pergi keluar denganku."
"Aku baik-baik saja," San melanjutkan, "Kantor juga tidak ada masalah, jangan menyalahkan dirimu."
Keduanya kembali diam, Giselle ingin bertanya lebih banyak namun ia tahu suasana hati San sedang buruk. Saat makan malam bersama orangtua San tadi, Giselle lah yang lebih banyak bicara ketimbang lelaki Choi itu. San hanya mengangguk dan menjawab seperlunya ketika sang ayah atau ibu bertanya, sisanya Giselle yang mencairkan suasana.
Dengan pandangan kosong dan banyak melamun seperti itu San masih pantas berkata bahwa dirinya baik-baik saja?
Mobil San berhenti di depan hotel tempat Giselle menginap. San hendak turun namun pergerakan tangan Giselle menahannya.
"San."
"Hmm?"
"Apa kau terbebani dengan kehadiranku?"
"Tidak sama sekali, kenapa kau bertanya seperti itu?" San menatap Giselle yang kini tersenyum tipis.
"Tidak apa, tapi bolehkah aku bertanya sesuatu?"
San mengangguk.
"Apa tiga hal yang kau sukai di dunia ini?"
"Tiga hal yang aku sukai? Well, itu mudah. Roti bakar dengan madu, ketika saham perusahaan sedang profit, dan..."
Jung Wooyoung
San tidak mampu mengucapkannya.
"Aku tidak termasuk dalam tiga hal itu kan?"
Netra San meredup ketika menatap sosok Giselle di hadapannya. Astaga, apakah San baru saja mengharapkan keberadaan Wooyoung?
"Giselle, aku.."
"Sssttt, jangan meminta maaf. Itu bukan salahmu." Giselle mendekatkan wajahnya, "Can I kiss you?"
Lalu bibir keduanya bertemu, San membalas pagutan Giselle sambil merapal permintaan maaf di dalam hati. Ia memberi Giselle harapan namun berakhir menyakiti wanita itu.
"Kejarlah hal terakhir yang belum sempat kau sebutkan tadi." Bisik Giselle sambil menjauhkan wajahnya.
"I will."
Giselle tersenyum lalu melangkah keluar dari dalam mobil San, tak lupa melambai singkat dan menyuruh San untuk berhati-hati saat menyetir.
San mengangguk dan segera melajukan mobilnya menuju destinasi berikutnya, apartemen Wooyoung.
*****
San pernah ke apartemen Wooyoung sebanyak dua kali. Jadi ia sedikit lupa unit nomor berapa yang sekretarisnya itu tempati. Ingin menelepon tapi ini sudah larut malam, San jadi tidak enak sendiri. Haruskah ia pulang? Tapi Giselle menyuruh San untuk mengejar hal yang ia sukai. Dengan kepercayaan diri yang masih tersisa, San mengetuk pintu bernomor 16 di hadapannya. Semoga saja ini unit milik Wooyoung, tapi San akan bilang apa jika bertemu Wooyoung? Ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih--
"Sir, apa yang Anda lakukan di sini?"
Wooyoung berdiri di depan San dengan balutan piyama biru dan rambut yang sedikit berantakan.
"Kau sudah tidur?"
Wooyoung mengangguk.
"Ah maaf, harusnya saya tidak ke sini." San terlihat salah tingkah, "Lebih baik saya pergi, maaf karena mengganggu malam-malam begini."
"Sir." Wooyoung menahan pergelangan tangan San, "Tell me, what's wrong?"
"Nothing."
"Saya tahu Anda berbohong. Please tell me what happened--"
"Saya tidak menyukai Giselle."
Kedua tangan San terkepal dan keringat mulai membanjiri tubuhnya.
"Saya pergi ke Jepang karena permintaan Ibu saya untuk menemui Giselle di sana. Kami mengobrol dan Giselle memberi saya kue wortel lalu setelah itu saya pulang tetapi Giselle menyusul saya ke Korea. Selama beberapa hari ia di sini, saya berharap kalau saya bisa membalas perasaanya. Saya berharap bahwa saya bisa menyenangkan hati ibu saya dengan makan malam bersama, tapi ternyata saya tidak bisa melakukannya."
Napas San hampir putus tetapi ia harus melanjutkan ucapannya, "Sejak pergi ke Jepang sendirian, saya terus menerus memikirkan sekretaris saya, tetapi lagi-lagi saya mengecewakannya. Saya terus menyalahkan diri sendiri perihal chicken katsu yang belum sempat saya nikmati."
"Sir, I don't know what are you talking about."
Haruskan San memperjelas semuanya?
"I like you, Jung Wooyoung. I really do."
Akhirnya terucap juga.
"I'm sorry if I disappoint you--"
San tidak dapat melanjutkan perkataannya karena Wooyoung telah lebih dulu memeluknya. Kedua tangan Wooyoung melingkar sempurna di leher San, begitu juga dengan tangan San di pinggang Wooyoung.
"You never disappoint me, Sir."
Mata Wooyoung tampak berkilau ketika mereka bertatapan, membuat San membubuhi satu kecupan singkat di dahinya.
"Thank you, Wooyoung."
*****
Dua gelas teh hijau yang terhidang di atas meja menjadi pendamping obrolan pada sore hari yang sejuk itu. Tuan Choi menatap putra satu-satunya sambil berdeham. "Kau bertengkar dengan Ibumu?"
San menggeleng. "Kami hanya berbeda pendapat."
"Karena kau yang ternyata penyuka sesama jenis?"
Terdapat keheningan selama dua menit sebelum San mengeluarkan suara. "Apakah Ayah kecewa?"
Tak disangka, Tuan Choi menggeleng. "San, jika suami istri sudah berkomitmen untuk memiliki anak, mereka harus siap dengan berbagai kemungkinan yang akan datang. Entah anak itu terlahir cacat fisik, mental, atau penyuka sesama jenis."
Jemari San digenggam dengan lembut. "Jadi, jika kau bertanya apakah Ayah kecewa jawabannya adalah tidak. Menjadi penyuka sesama jenis tidak akan mengurangi nilaimu sebagai anak Ayah yang berharga."
"Bagaimana dengan perusahaan?"
"Itu tidak akan berefek apa-apa, kinerjamu lah yang diuji. Kau harus membuktikan bahwa kau pantas untuk menjalankan Choi Industries."
San memang sudah berumur tiga puluhan tapi sekarang ia kembali menjadi seperti remaja yang menangis di pelukan sang Ayah, tangisan yang sudah lama ia pendam.
"Ibumu hanya terkejut, beri ia waktu dan ia akan kembali seperti semula. Kau mengerti?"
San mengangguk dan menyeka air matanya dengan saputangan.
"Jadi, siapa pria beruntung yang memenangkan hati anakku?"
"Jung Wooyoung."
"Sekretarismu?"
"Ya." San enggan menatap sang Ayah karena ia sangat malu.
"Cinta lokasi, eh?" Tuan Choi terkekeh lalu menyeruput teh di dalam cangkir. "Kapan-kapan, bawa ia ke sini. Aku harus banyak mengobrol dengannya."
San membuang muka, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.
*****
"Kau berjanji akan pulang ke rumah?"
"Iya, Bu. Astaga, aku bukan anak kecil!"
Nyonya Choi mendecih, lalu meletakkan sebuah kotak berwarna hitam di atas meja kerja anaknya. "Berikan pada Wooyoung."
"Huh? Sebuah dasi? Kenapa Ibu tidak memberikannya sendiri?"
"Ibu belum sedekat itu dengannya! Maka dari itu bawa ia ke rumah agar Ayahmu juga bisa mengakrabkan diri dengan Wooyoung."
San memutar bola mata. "Ya, ya baiklah." Tapi kemudian merengkuh tubuh Ibunya. "Terima kasih, Bu."
Nyonya Choi tersenyum, ia balik memeluk putra tunggalnya sambil menepuk punggung San beberapa kali. Setelah itu, ia beranjak pergi dari dalam ruangan San.
"Wooyoung pasti akan ditanyai macam-macam." San bergumam sambil memencet nomor Wooyoung pada telepon.
"Anda memanggil saya, Sir?" Tahu-tahu Wooyoung sudah berada di hadapan San dalam kurun waktu singkat.
"Kau berhutang satu ciuman padaku."
Ah ya, peraturan baru sejak keduanya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih adalah Wooyoung dilarang untuk memanggil San dengan embel-embel 'Sir' jika mereka sedang berdua. Itu membuat San risih dan jika Wooyoung melanggarnya, ia berhutang satu ciuman pada San.
"Maaf, hanya saja Nyonya Choi baru keluar dari ruangan ini dan--"
"Wooyoung."
"Yes, Sir?"
San mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. "Dua ciuman."
"Astaga." Wooyoung menepuk bibirnya dua kali lalu menatap kekasihnya. "Yes, San?"
"Kosongkan jadwalmu malam ini." Sang CEO menarik tubuh Wooyoung agar semakin menempel padanya. "Aku ingin melakukan sesuatu denganmu."
"Seperti apa?"
"Hanya makan malam." Jemari San bergerak halus pada leher Wooyoung, membuat pria itu merinding. "Tapi sehabis itu, kita bisa melakukan yang lain."
Wooyoung tahu San mengerjainya, mereka tidak pernah terlibat kontak fisik lebih dari sekedar ciuman di bibir. Namun San kerap menggodanya seperti ini dan jujur Wooyoung tak bisa menyangkal bahwa dirinya juga ingin.
"San, jangan menggodaku seperti itu." Wooyoung mendorong dada kekasihnya agar menjauh dan San tertawa.
"Bercanda, tapi maukah kau menginap di rumahku malam ini?"
Wooyoung berpikir sejenak sembari menikmati kedua lengan San yang kini merengkuhnya, sesekali menggoyangkan tubuh Wooyoung ke kanan dan kiri.
"Baiklah, sekarang lepaskan aku karena aku masih harus mengerjakan--"
Cup!
"San, kita sedang berada di kantor!"
"Lalu, kau akan melakukannya jika kita tidak berada di kantor?" San lagi-lagi memberi tatapan konyol itu. "Kau berhutang satu ciuman lagi padaku."
Wooyoung tak sempat protes karena San telah lebih dulu menciumnya, ia menahan tubuh Wooyoung agar sang kekasih tak menghindar. Lagipula mana mungkin Wooyoung melakukan itu, ia dengan cepat terbuai pada ciuman San yang kini berubah menjadi lumatan lembut. Telapak tangan Wooyoung membelai anak rambut di leher San, membuat sang kekasih menciumnya semakin dalam, menjangkau setiap jengkal bibir Wooyoung untuk menyalurkan rasa cintanya.
"Sannie.."
Ciuman keduanya usai ketika Wooyoung berucap sambil mengatur napas, ia memejamkan mata sejenak ketika San mengecup dahinya.
"What's for lunch?"
"Aku membuat chicken katsu untuk kita berdua."
San tersenyum, "And for dinner?"
"How about we make some chicken katsu at your house?"
Keduanya terkekeh, tapi itu adalah fakta bahwa San dapat mengonsumsi chicken katsu buatan Wooyoung setiap harinya karena ia sungguh tergila-gila dengan menu olahan ayam buatan kekasihnya itu.
"I can't wait to go home." Ibu jari San mengusap pipi Wooyoung. "With you."
"Me too."
"I wanna kiss you again." San bergumam di depan bibir Wooyoung.
"You can't do that because first, I have to call you 'Sir'. Second, we're still at the office so what if someone--"
"Shut up and let me kiss you."
Sepersekian detik kemudian, bibir keduanya telah kembali bertemu. Kali ini, San mengangkat tubuh sang kekasih ke atas meja kerjanya agar ia dapat mendekap Wooyoung lebih leluasa tanpa melepas ciuman mereka. Sejenak, San melupakan perkataan ibunya tentang membawa Wooyoung ke rumah mereka, tapi itu dapat San urus nanti. Saat ini, biarkan ia mencumbu kekasihnya terlebih dahulu, dan Wooyoung bisa merasakan San tersenyum di sela-sela ciuman itu.
Ciuman manis yang sudah lama mereka impikan sejak enam tahun yang lalu.
---------------- Fin ------------------
A/N :
Kembali lagi pada another book yang aku diemin sejak berbulan-bulan yang lalu. Buku ini udah ditulis sejak bulan April 2021, tapi baru bisa terealisasikan sekarang.
Rencana awalku jelas bikin buku panjang ya kayak buku Playing With Fire, tapi ternyata tidak semudah itu dan berakhir buku ini berdebu di draft. Terlalu sayang untuk didiemin membuatku memutuskan untuk menulis ulang buku ini dalam bentuk oneshot panjang dan aku puas banget karena akhirnya ide SanWoo ini tidak berakhir sia-sia.
Terima kasih untuk yang sudah mau baca dan meninggalkan jejak 💖
-yeosha
Gambaran Wooyoung dan San waktu pulang ngantor 🤩
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro