30. (十八)
Kini di hari libur, rumah Hinata Shouyo kembali diramaikan oleh kehadiran anak-anak yang segera beranjak dewasa.
Hitoka Yachi, Yamaguchi Tadashi, Tsukishima Kei berkumpul seperti waktu-waktu lalu mereka yang biasanya. Entah menghabiskan dengan bermain game konsol, membaca komik, bermain permainan menyenangkan yang lain, atau memainkan permainan yang bahaya. Misalnya sengaja mencari babi liar di sekitar rumah Hinata. Namun tentu saja hal ini hanya dilakukan oleh anak-anak laki, walau Yamaguchi sendiri sering ketakutan.
Sekarang, mereka sedang beradu game konsol. Hinata dan Tsukishima masih serius bermain, bahkan mereka sampai mengeluarkan suara-suara tertentu saking bersemangatnya, terkhusus Hinata Shouyo. Yamaguchi yang tadi ikut bermain match tapi kini kalah, sedang memerhatikan permainan Tsukishima saja melalui konsolnya. Sementara itu, Yachi Hitoka sedang duduk manis sambil membaca sebuah komik shoujo. Dia satu-satunya perempuan yang ada di sini sekarang.
Dan karena hal itu, Hitoka jadi merasa agak bosan. Soalnya teman-temannya yang lain bermain diluar kesukaannya. Dia tidak akan sebosan ini, jika [full name] ada di sini sekarang. Namun karena hal tersebut tak bisa terjadi, Hitoka jadi menghela napas dan menurunkan bukunya.
"Hei, [name] pergi ke rumah sepupunya berapa lama, ya ..." Celetuk anak gadis satu-satunya di antara mereka tersebut.
Karena yang dua lain sedang sibuk menekan-nekan konsolnya, maka Yamaguchi yang hanya memerhatikan jadi meresponnya.
"Kenapa, Hitoka?" Tanyanya sambil mengalihkan pandangan ke arah sang lawan bicara.
"Gak papa ... Sepi kalo gak ada [name] ..." Keluh Hitoka menidurkan kepala di meja lantai Hinata.
Mendengarnya, Yamaguchi tersenyum maklum. Setelah itu melirik kedua temannya yang lain. Sepertinya maksud sepi dari Hitoka adalah untuk dirinya sendiri yang tak punya teman sepermainan. Kalau keadaan sekarang, sih, justru kayaknya gak ada [name] adalah hal yang paling ramai. Karena Hinata dan Tsukishima bisa bebas melemparkan kalimat-kalimat ejekan begitu saja.
"Em ... Kayaknya besok senin juga udah balik, deh? [Name] cuman berkunjung di hari weekend doang. Iya, kan, Tsukki?"
Tsukishima Kei, anak yang dipanggil saat ini benar-benar sedang kelewat fokus dengan permainannya. Pertanyaan Yamaguchi yang diterpa angin, direspon oleh yang bertanya sendiri dengan senyum sweatdrop.
Anak laki-laki yang paling dulu lebih mengenal Tsukishima itu menatapi satu persatu temannya. Lalu mendesah kecil sendiri.
Sepertinya memang kehadiran [full name] itu sudah menjadi bagian penting bagi mereka. Entahlah sejak kapan.
***
"Tobiooo! Aku beli eskrim mochi sama kak Miwa ... Kamu mau enggaa?"
Suara seorang anak gadis melengking menyapa sebuah rumah setelah sesaat ia memasukinya. Anak itu langsung berjalan ke sofa, dan menaruh plastik belanjaan di atas meja.
Sementara satu sosok yang tadi ikut memasuki rumah bersama sang anak gadis, langsung berlalu pergi ke arah dapur. Dia Miwa Kageyama, kakak dari Tobio.
[Full name] duduk di sofa, lalu membuka plastik dan kotak es krim tersebut sambil menunggu Tobio datang. Matanya berbinar begitu melihat banyak bulatan mochi yang berwarna lucu saling berjejer rapi.
"Kamu memanggilku, [name]?"
Anak gadis menoleh, mendapati kakak sepupunya itu sedang berjalan menghampirinya.
"Kamu kayaknya kalo ke sini jadi sering beli es krim mochi, deh?" Ujar Tobio begitu melihat apa yang dibeli adik sepupunya tersebut. Detik berikutnya ia ikut mendudukan diri di sofa lain.
"Ini enak tau, Tobio. Kamu juga suka, kan ..."
Tobio itu tidak menyanggah. Bahkan kini sambil mengambil satu es krim mochi, dalam maniknya juga tersorot rasa tertarik walau tak sampai berbinar cerah seperti [name].
Kedua anak tersebut kini menikmati masing-masing mochi yang berisi es krim dengan warna yang berbeda tersebut. [Name] digigitan pertama bahkan sampai memejamkan mata karena rasa dingin es krim mengenai giginya.
"Es krim ini bisa gak ya, aku bawa buat oleh-oleh untuk yang lain ..." Ujar [name] setelah membiarkan es krim dingin meleleh sendiri dalam mulutnya.
"Hah? Oleh-oleh buat siapa?" Tanya Tobio, "jangan-jangan buat anak-anak nakal itu lagi?"
"Ih Tobio, udah aku bilang berapakali mereka itu gak nakal ..."
"Tapi yang kacamata sama yang paling pendek itu nyebelin banget, tuh."
"Engga, kok. Sebenernya mereka baik ... Apalagi Kei."
"Gak, dia nyebelin."
"Ih!"
Tobio ambil es krim mochi yang kedua. Anak lelaki itu sempat bingung memilih warna, namun pada akhirnya ia mencoba warna biru.
"Ngomong-ngomong, Tobio ..."
Karena yang dipanggil sedang menggigit mochi, maka Tobio jawab dengan deheman.
"... Menikah itu apa?"
Setetes es krim jatuh melalui celah mochi yang masih digigit oleh Tobio. Sang empunya sendiri kini melirik adik sepupu yang tiba-tiba menanyakan hal seperti itu.
Sebelum menjawab, Tobio selesaikan gigitan pada mochi yang memelar itu dengan rapi, "Kenapa kamu tanyain hal itu?"
[Name] mengambil tisu. Dia mengelap tangan yang tadi tertetes oleh es krimnya sendiri lalu mengelap juga bekas tetesan Tobio di meja, "Gak papa ..."
Tobio kali ini memerhatikan [name] guna mencari maksud dengan lebih jelas.
"Hanya saja, Kei bilang itu tapi aku kurang ngerti ..."
Kini dahi Tobio mulai mengkerut.
"Maksudku, menikah itu seperti apa yang dilakuin papa dan mama, kan?" [Name] menatap Tobio dengan wajah bingungnya, "... Tapi kenapa Kei tiba-tiba ingin seperti itu ..."
"Ingin apa?"
"Menikahiku."
Perempatan-perempatan kekesalan sontak muncul memenuhi dahi Tobio, "Apa-apaan?!"
"Itu dia yang aku gak ngerti ... Dia minta aku supaya cepat besar, lalu ingin menikahiku ... Untuk apa ..." [Name] mengulang semua kalimat yang waktu itu dilontarkan Tsukishima Kei.
Namun, berbeda seperti [full name] yang berwajah bingung. Wajah Kageyama Tobio saat ini sangat terlihat kesal.
"Menikah apanya ... Jangan nikahi dia!"
***
Pagi hari yang cerah kembali menyinari hari. Menemani murid sekolah dalam kegiatan belajarnya. Walau di dalam sebuah gedung, langit yang bersinar biru tetap masih bisa dipandangi. Sambil melamun, sambil memangku dagu, dan sambil menerbangkan pikiran.
Hari yang cerah, membuat kesuntukkan dalam kelas terkurangi. Murid-murid bisa belajar sambil berbagi keceriaan seperti hari yang menemaninya saat ini. Hingga akhirnya, waktu tak terasa sudah berlalu.
Bel pulang kembali berbunyi berulang-ulang di setiap waktunya. Murid-murid kembali berhamburan setelah tadi pagi berbondong-bondong memasuki kelas.
Kini kelas-kelas kembali sepi, tetapi halaman sekolah berubah ramai. Ruang-ruang klub penuh oleh aktivitas menyenangkan. Kursi-kursi halaman terduduki oleh murid-murid. Dan lapangan dipenuhi orang yang berlarian.
Lembayung kembali menyapa di jam yang sama. Di keadaan yang sama, yaitu saat [full name] menunggu teman-temannya untuk pulang bersama seperti biasa.
Yamaguchi Tadashi sampai lebih dulu. Mereka melempar senyum, lalu menunggu lagi hingga Hitoka Yachi menyusul datang. Mereka berbagi sedikit cerita sampai orang ketiga, Hinata Shouyo terlihat sosoknya. Lalu jadi terasa lebih ramai karena Hinata itu pasti punya banyak cerita yang bisa ia ceritakan dengan semangat, punya banyak cemoohan pada Tsukishima Kei yang baru terlihat sejak beberapa menit menunggu.
Seperti biasa, pembicaraan mereka kini malah makin tak beraturan. Hinata meledek, Tsukishima pun membalas. Yamaguchi merespon sedikit, dan Hitoka melerai walau tak di dengar. Maka di saat seperti inilah peran [name] bermain. Dengan omelan kecil, walau Hinata tak efektif diredakan, tapi Tsukishima selalu berhasil. Mereka akhirnya lebih terarah. Tsukishima yang tadi terus mengucapkan ejekan dan sarkas, kini jadi agak lembut saat berbicara dengan [name]. Membuat anak gadis itu tertawa kecil, atau kembali bertanya dengan wajah polosnya.
Namun di tengah itu, senyum [name] perlahan memudar. Saat ditemukannya sebuah eksistensi di lapangan besar.
Sedang dalam posisi bersiap hingga berikutnya tongkat baseball di tangannya terayun dan menimbulkan suara tepak yang nyaring.
Liziaslav Kanbara bernapas berat setelah satu pukulan tersebut. Sejak tadi berlatih, peluh tak heran membasahi pelipisnya. Matanya menyipit menatapi hilangnya bola.
Dan [name] yang memperhatikan itu semua jadi memandang lurus. Pikirannya mengulang memori saat weekend waktu lalu ke rumah Kageyama Tobio dan bercerita di sana.
"[Name], denger. Kamu jangan menikah sama orang itu."
"Menikah itu hanya untuk orang yang suka sama suka, saling mencintai."
"Aku masa bodo mau dia menyukaimu atau engga, tapi jangan menikah sama dia."
[Full name] bergerak menatapi Tsukishima diam-diam. Ia masih tidak mengerti tujuan anak itu membicarakan hal tersebut. Apalagi, Tsukishima juga tidak memberi penjelasan setelahnya.
Hal yang anak gadis itu pikirkan adalah ... Apakah alasan Tsukishima Kei tiba-tiba bicara ingin menikahinya itu karena anak laki-laki itu menyukainya? Atau hanya iseng?
Hal lain yang tak bisa anak gadis itu pungkiri untuk dipikirkan ...
"Percuma aku mengkhawatirkanmu ..."
Liziaslav Kanbara.
Padahal Tsukishima pikir anak berhelai salju itu menyebalkan. Tapi ternyata, Lizie itu peduli. Bahkan mengkhawatirkan Tsukishima Kei.
Semua pikiran-pikiran itu, tanpa sadar membuat [full name] perlahan-lahan jadi mengerti. Tentang apa yang sebelum ini belum bisa ia pahami sama sekali.
Yaitu mengenai perasaan manusia.
.
.
.
fin.
Karena ini chapter terakhir jadi lupa apdet minggu kemaren, yaampun maaf ya temen temen :')
Anw, sampe sini dulu yaa. Terimakasih banyak bagi yang sudah membaca!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro