Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. (十七)

Seorang anak gadis menatapi sebuah pintu dengan terdiam. Walau dalam hati agak bingung bagaimana bersikap, tapi dari tatapannya, keraguan sama sekali tak terlihat. Begitu pun tangannya yang kini sedang menggenggam sebuah bingkisan dengan tenang.

"Kei, ini ada temanmu menjenguk ..."

Sang anak gadis mengerjap dengan pandangan lurusnya menatapi pintu di hadapan. Begitu orang dewasa di sebelahnya bergerak untuk kemudian membuka pintu, anak itu dapati sebuah pemandangan.

Tsukishima Kei yang sedang duduk bersila di atas kasur sambil membaca sebuah komik.

"Kamu ..." Anak lelaki itu bergumam. Saling menatapi lawan sepantarannya masing-masing.

"Silakan duduk, ya. Kei sudah mendingan, kok. Dua hari sudah cukup untuk istirahat. Besok sepertinya dia sudah bisa masuk lagi," Jelas wanita paruh baya tersebut, "tante ke bawah dulu, ya."

Sesaat setelah orang dewasa yang tak lain adalah ibu dari Tsukishima Kei tersebut berpamit lagi ke luar kamar dan menutup pintu, sang anak, Tsukishima Kei mengerutkan keningnya.

"Ngapain ... Kamu ke sini mau nagih jadwal piketku?" Judes Tsukishima tiba-tiba. Tidak ada basa-basi sopan terlebih dulu. Tentu saja. Baginya, Sang Petugas Kebersihan yaitu Liziaslav Kanbara itu tidak perlu diajak baik-baik.

"Apa sih, sakit apanya. Kamu izin sekolah cuman buat bolos, heh?" Lizie tampak mendengus. Dia dengan tatapan lurusnya yang tadi, sudah berubah menjadi tatapan malas. Berikutnya anak gadis tersebut melangkah menghampiri meja kecil di samping kasur Tsukishima dan menaruh bingkisan di atasnya, "repot-repot guru mengkhawatirkanmu. Ternyata kamu lagi baca komik."

Tsukishima melirik sebal, "Ya maaf, deh. Kamu bisa langsung pulang lagi, kok. Aku gak minta dijenguk juga."

Kini Lizie yang melemparkan tatapan jengkel, sebelum sedetik berikutnya kembali dihapusnya, "Kamu sakit demam, doang?"

"Kalau tau kenapa tanya."

"Heh, aku kira babak belur lagi di pukuli kakak kelas."

Menurunkan komik dan memindahkan atensinya, Tsukishima mendelik, "Maumu apa ke sini?"

Lizie membalas dengan gerakan matanya yang menunjuk arah bingkisan di atas meja, "Disuruh."

"Dari banyaknya orang kenapa kamu?" Tsukishima kembali mengangkat komik dan memfokuskan atensinya ke sana.

"Entah."

Lizie menggulirkan pandangannya ke arah lain. Kini jadi menelusuri isi dari kamar Tsukishima.

Meja belajar, rak-rak dinding yang dipenuhi patung-patung dinosaurus, ada beberapa pula gambar-gambar dinosaurus, dan satu yang paling menarik.

Ada sebuah gantungan bulan sabit yang seluruh bagiannya dipenuhi oleh glitter emas yang berkilauan. Di bagian tengah bulan itu terdapat bintang kecil yang menggantung dengan kilauan yang sama. Benda yang terlihat seperti gantungan kunci itu di gantung pada sebuah paku tunggal. Tepat di atas meja belajar.

"Udah, kan? Kamu di suruh anterin bingkisan doang?"

Lizie tersentak begitu suara sang pemilik kamar tiba-tiba kembali terdengar. Lizie menggerakan kepala ke arah satu-satunya eksistensi manusia di sana. Ternyata Tsukishima itu sedang meliriknya seperti tadi.

"Kamu bisa pulang kalo emang gak ada hal penting lagi," Ujar Tsukishima tersebut. Tampaknya masih terus mengusir tamu yang datang untuknya.

Tapi alih-alih pergi, Lizie malah membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa buku catatan, "Guru-guru juga memintaku memberitahumu tentang tugas-tugas rumahan yang disuruh."

Tsukishima menatapi buku-buku tersebut. Berikutnya beralih menatap sang pemilik dengan wajah datarnya.

"Terimakasih. Tinggalkan aja di situ, nanti aku cek sendiri."

"Gak,"

Tsukishima yang tadi ingin kembali membaca komiknya jadi tertahan karena jawaban tersebut. Akhirnya anak lelaki itu kembali menatap teman sekelasnya.

"Perhatikan dulu. Ada beberapa yang harus aku jelasin karena ini catatanku sendiri."

Baik Lizie maupun Tsukishima kini sedang beradu dengan tatapan datarnya masing-masing. Namun di antara itu, Tsukishima lah yang lebih dulu kalah. Anak lelaki itu membuang napas dan beraut malas. Lalu dengan terpaksa bangkit dari kasurnya, membalikkan komik sebagai batasan sampai dimana ia baca, Tsukishima pun turun dari kasur.

Lizie menatapi hal tersebut, dan baru menyadari ternyata ada cukup banyak komik yang berantakan di atas kasurnya. Ada pula satu komik lain dengan posisi terbalik seperti komik yang habis Tsukishima baca.

"Langsung aja. Kalau caranya aku bisa mikir sendiri," Ucap Tsukishima. Kini sudah mendudukan diri di sisi lain meja Lizie. Ia tampak bertingkah ogah-ogahan.

Lizie menatapi Tsukishima yang tidak menatapnya dan hanya memandang buku-buku dengan malas. Sesegera itu pula anak gadis itu beralih ke bukunya dan menjelaskan satu persatu buku catatannya.

"Ngomong-ngomong," Lizie membuka percakapan kembali setelah beberapa menit waktunya ia habiskan untuk menjelaskan tugas rumahan, "waktu itu kamu yang duluan memulai atau kakak kelas itu?"

Tsukishima mendelik, alisnya bertekuk satu karena tidak suka dengan pertanyaan tersebut, "Memang itu urusanmu?"

"Konyol kalau kamu yang mulai duluan tapi akhirnya babak belur sendiri," Balas Lizie. Seperti biasa, anak gadis itu mencari celah untuk mengejek Tsukishima.

"Sok tau."

"Benar, kan? Kamu pasti yang mendatangi mereka karena gak suka cewekmu diganggu."

"Udah kubilang kamu sok tau."

"Heh, lalu kamu yang didatangi dan dipukuli?"

Tsukishima terdiam.

"Menyedihkan."

"Kamu mending pulang, deh. Udah selesai, kan?" Ucap Tsukishima jengkel. Mengusir dengan lebih kasar karena sedari tadi tak pergi-pergi juga.

"... Kamu suka, kan, sama anak itu?"

"Huh?"

"[Full name]."

Walau Tsukishima berwajah jengkel, dan terlihat makin jengkel sekarang, tapi Lizie bisa temui ada semburat merah tipis di pipinya.

"Kamu bisa gak, cukup nyebelin dengan ambilin barang-barangku aja?"

"Nyita barang-barangmu itu tugas sekolah."

"Cih, petugas kebersihanku sejak dulu gak ada yang senyebelin kamu."

"Tapi kamu ditolak, kan?"

Jeda selama beberapa detik karena memang ada perbedaan topik, Tsukishima detik berikutnya menggebrak meja.

"Apa sih maumu?" Tanya anak lelaki tersebut. Tak mengerti tujuan Liziaslav Kanbara dengan topik yang tak jelas ini.

"Hanya berniat menohokmu ..."

"Cih."

"Biar kamu sadar diri," Lizie langsung menyunggingkan senyum merendahkannya. Dibalas penuh oleh Tsukishima dengan raut marah di wajahnya.

"Kuulangi sekali lagi. Lebih baik kamu pulang karena udah gak ada urusan lagi," Tegas Tsukishima, kini makin memerintah agar tamunya ini cepat pergi dari kamarnya, "kamu bisa bawa bukumu. Aku bisa pinjam yang lain."

Dapat perlakuan seperti itu, Lizie perlahan mengubah senyum ejekannya menjadi senyum yang tak terdefinisikan. Berikutnya anak gadis itu bangkit, "Oke."

Lizie melangkah menuju pintu kamar, namun sebelum ia benar-benar pergi dari sana, anak gadis itu sempat berhenti tanpa menoleh dan berucap, "Bukuku pakai aja. Tapi kalau kamu membuangnya, aku gak akan maafin kamu."

Dengan itu Lizie kembali melanjutkan langkah untuk pergi dari kamar tersebut. Saat ia bergerak untuk membuka pintu, gumaman kecil lolos dari mulutnya, "Percuma aku ngehawatirin kamu ..."

"A-ah, Kak Lizie ...?"

Lizie membelalakan mata terhadap apa yang ada di balik pintu.

[Full name] yang sedang membawa nampan berisi mangkuk bubur dan dua gelas air minum.

Kaget dengan hal tersebut, Lizie pun tampak panik dan berlalu begitu saja melewati [name] yang berwajah bingung.

Saat sosok Lizie sudah tak terlihat dalam pandangan, [name] kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Di mana Tsukishima Kei terlihat duduk di bawah kasurnya dan sedang bergerak mengambil komik miliknya yang tergeletak di atas kasur.

"Kak Lizie menjengukmu?" Tanya [Name] tersebut, masuk dan menutupi pintu kamar dengan badannya sendiri. Menghampiri Tsukishima kemudian menaruh nampan di atas meja.

"Ya begitu, lah."

"Kok sebentar sekali?"

"Malas sekali kalau dia berlama-lama di sini."

Membuang napas, [name] menggeleng-geleng. Ia tau kalau Tsukishima ini memang sebal dengan teman sekelasnya yang itu, tapi tak menyangka tingkahnya jadi seperti anak kecil. Apalagi jika sambil mengerucut dengan wajah sebal seperti sekarang, "Kamu ini, Kei. Dia udah repot-repot menjengukmu, loh."

"Aku kan gak minta dijenguk?"

Membuang napas lagi, [name] berucap, "Ya udah, makan dulu buburnya, Kei. Abis itu minum obat lagi."

Melihat Tsukishima masih membaca komiknya, [name] pun ikut mengambil lagi komik dengan posisi terbalik yang sempat ia tunda untuk menyiapkan makan sang anak bungsu di bawah bersama ibu Tsukishima.

Kini mereka kembali dengan aktivitas mereka sebelumnya. Membaca komik bersama. [Name] sudah ada di sini sejak bel pulang sekolah berbunyi. Ia yang izin pulang ekskul lebih cepat langsung mampir ke rumah Tsukishima untuk menjenguknya. Kini sudah hampir malam, dan [name] tak sadar dengan itu.

Tsukishima menutup komiknya. Namun karena belum selesai, ia melipat ujung kertas. Lalu menaruh komiknya di atas kasur bersama komik-komik lain yang berantakan. Anak lelaki itu kemudian menatap mangkuk bubur di hadapannya.

"Kamu sendiri engga makan?" Tanya Tsukishima. Sepertinya ingat setelah pulang sekolah itu [name] belum makan apa-apa lagi, dan ini sudah menjelang malam.

"Nanti aja, Kei. Aku makan di rumah," Jawab [name]. Matanya masih bergerak menatapi gambar komik.

"Ck, kamu harus makan juga. Sejak istirahat kamu pasti belum makan lagi, kan?"

[Name] dengan mudah menggeleng. Namun pelan karena ia sedang fokus dengan bacaannya.

"Tuh, kan."

Tsukishima mendesah kecil menatapi [name], berikutnya mendorong mangkuk buburnya jadi ke tengah di antara mereka, "Ayo makan bareng. Aku akan ambil sendok lagi."

[Name] dengan respon agak lambatnya ingin mencegah, namun Tsukishima terlanjur sudah pergi keluar kamar. Akhirnya, anak gadis itu hanya membuang napas, lalu kembali membaca bagian komiknya.

Begitu Tsukishima kembali tak hampir duamenit, [name] langsung berucap, "Kei, buburnya kan buat kamu."

"Kamu juga harus makan," Tsukishima kembali mendudukan diri. Seraya itu ia menyodorkan sebuah sendok, "nanti aku sembuh, kamu yang sakit?"

"Nanti di rumah aku juga makan, kok," Walau agak ragu, [name] tetap mengambil sendok tersebut.

"Ya gak papa. Di sini makan, di rumah nanti juga makan lagi," Balas Tsukishima sambil mulai menyendoki bubur dan memakannya.

"Nanti aku kekenyangan ..." [Name] perlahan-lahan juga ikut mengarahkan sendok ke mangkuk bubur yang sama. Tapi ia tak langsung menyendoknya, melainkan menatapi Tsukishima yang sedang menikmati makanannya lebih dulu.

"Gak papa," Tsukishima balas menatapi, sambil menelan ia menyendok kembali bubur, lalu berucap, "makan yang banyak, supaya kamu cepat besar."

[Name] kini menatapi sendok Tsukishima.

"... Biar aku bisa menikahimu."

Sunyi tiba-tiba. [Name] yang daritadi hanya memerhatikan bubur jadi mengerjap, "Eh?"

Tsukishima bergerak mengambil gelas air, lalu menegaknya.

"Kamu ngomong apa, Kei?" Tanya [name], memastikan hal yang kurang ia pahami tadi.

Menaruh kembali gelas, Tsukishima kembali menyendok buburnya, "Gak papa."

Tentu saja itu membuat [full name] jadi berwajah bingung. Sambil memikirkannya, anak gadis itu menatapi yang sedang makan.

Ternyata ia baru menyadari, bahwa pipi Tsukishima Kei entah kenapa seperti berwarna merah.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro