[14] Langkah Terbaik
Pupil keunguan miliknya melebar sempurna, bergetar, ketakutan menatap senyuman penuh arti pemuda di hadapannya.
"M-m-maksudmu Amane?"
Lidah yang tiba-tiba kelu dipaksa berkata, mengungkapkan apa yang kini menjadi pertanyaan besar dalam kepalanya. Pertanyaan atas maksud dari penghinaan yang baru saja pemuda itu utarakan.
"Kamu pasti gak sebodoh itu buat nelaah apa omonganku barusan kan." manik kuning manisnya menyala dalam sorot jingga. Menakutkan.
"H-ha--"
Mulut sang gadis kembali dibungkam, kala Amane, sang pemuda menyingkap lembut poni di dahinya.
"Bukankah ini terlihat manis, pelacur?" ucapnya dengan seringai lebar.
"Benarkan?"
PLAK!
"KAU MENGHINAKU, AMANE!" gadis bernama Mirai itu menepis kasar tangan sang pemuda. Sorot tajam dan napasnya menderu, pertanda pitam kini naik hingga ubun-ubun.
Amane menyeringai tajam dalam diam, sorot manik kuningnya terasa menikam.
"Gadis pelacur seperti mu memang cocok dengan Tsukasa yang sama-sama tak beradab."
Tangan Amane beralih merogoh saku celana yang nampak mengembung dari awal mereka bertemu, menarik sesuatu, lembaran, lantas dengan cepat menghamburkan nya di udara.
Itu Uang!
"Itu bayaranmu untuk jadi teman semalam Tsukasa kemarin."
Mirai bergetar menatap lembaran uang itu terbang tertiup angin. Melambai-lambai seakan memaksanya untuk mengejar, menangkap dan memilikinya.
Kurva mengembang indah, bibirnya bergetar sedikit, kemudian mulai terbuka membentuk seringai, makin lama makin lebar dan akhirnya meledak dalam tawa terbahak-bahak.
Mirai menatap tajam kala telinganya mendengar suara tawa lepas dari sang pemuda. Lihatlah! apa yang orang gila ini tertawakan, begitu lepas seakan ada yang lucu dari dirinya. Begitu menyebalkan.
"LIHAT LAH! PELACUR INI TERLIHAT SEPERTI BABON!"
Bibir bawah digigit kasar olehnya, menahan luapan amarah kala pemuda itu kembali memanggilnya demikian. Tak henti menghinanya.
"JAGA UCAPANMU AMANE!"
"HAHAHA!! Sungguh maafkan aku. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya."
Tangan kini mulai dilayangkan, membidik pipi kanan mulus milik sang pemuda yang lenggang. Sayangnya, naluriah Amane yang peka untuk menghindar membuatnya lolos dari hantaman.
Bersamaan dengan itu, Amane dengan sigap menangkap lengannya, menjinjingnya tinggi-tinggi hingga sang gadis terjatuh dalam dada bidangnya. Berdebam. Membuatnya mau tak mau mendengarkan detakan jantung pemuda yang berirama indah. Lembut mengisi rongga telinganya.
Sang Yugi Amane tersenyum puas. Menunduk menatap wajah cantik Mirai yang mendongak galak ke arah wajahnya.
"Aku ingin memberikanmu sebuah kejutan hebat Mirai, kau ingin lihat?"
Luapan amarah Mirai mereda seketika, drastis. Lepas ia mendengar begitu lembut suara Amane menyapu rongga telinganya, membisikkannya dengan penuh kehangatan, membiarkan detakan jantung mereka bermain indah, hanya berbatas daging dan kain, berirama senada lembut balut kasih.
Dalam keterbuaian itu.
Amane
Menusuknya.
"ERGH--"
Kurva indah melengkung sempurna pada wajah manisnya, puas menatap derai darah segar yang menetes memenuhi lantai. Mengotori bajunya. Terciprat menodai sepatu putihnya.
Mirai tergeletak seketika. Gadis itu berteriak pilu dalam batin. Mulutnya terkunci. Tenggorokannya terasa kering dan panas bersamaan. Ia ketakutan. Menyaksikan darah yang mengalir deras dari perutnya yang berlubang. Tersengal-sengal napasnya. Menatap memelas wajah Amane yang merona di bawah sorot jingga.
Ia menggeram dan berniat untuk menggapai kain celana Amane. Ia harus bangkit. Ia harus mencekiknya.
Kendati lubang di tubuhnya dengan cepat menguras habis darahnya.
Ia terjatuh kembali. Bercumbu dengan darah yang nampak seperti lautan gelap tak tersiram purnama malam.
Indah.
Manik memburam. Melemas. Ia rasa haus saat itu. Panas. Seluruh badannya memanas dalam teduh manik kuning Amane menatapnya. Tak ada sendu. Nampak anutsias menanti.
Menanti ajalnya.
🌹🌹
Dengan lampu yang remang-remang menyala kala mentari membiarkan dirinya terenggut gelap. Membiarkan kegelapan merengkuh bumi berteman rembulan dan gemintang, gadis itu, mati-matian menahan isakan pilunya.
Ia duduk terdiam meratapi dinding gerbong kereta yang lenggang. Menikmati kesakitan perlahan-lahan menggerogoti hatinya. Rasanya ada seuatu yang hilang dari dirinya. Direnggut paksa. Sesuatu yang seakan membawa seluruh bahagianya.
Kosong.
Kehampaan itu menenggelamkannya.
Sendu tatapannya, meredup kilau sorot maniknya. Seluruh pemandangan kota bak monokrom hitam putih. Tak menarik dan tak lagi indah.
Semuanya sama. Ditatapnya nanar campur sendu.
Ia menarik seragam roknya kuat-kuat, menggigit bibir bawahnya kala air mata kembali berusaha menerobos pertahanannya. Ia tak sudi menangis. Tak ada yang sudi menangis untuk manusia sampah seperti Tsukasa.
Sudah.
Biarkan berakhir saja. Semuanya. Terpaksa dengan sangat ia akhiri semua cerita ini.
Tak mungkin ia paksakan dirinya untuk tak pergi. Tak sanggup jika suatu hari nanti, kejadian seperti ini akan terulang kembali. Menyakitinya lagi.
Walau sesungguhnya, dalam lubuk hati terdalamnya, dirinya ini teramat sayang pada Tsukasa. Dan sejujurnya ia menyadari, tiada mudah baginya melupakan semua, menghapus segala bayang kasihnya.
Tak mudah pula bagi dirinya untuk tak membencinya.
Ia tak kuasa menerima ini. Menerima pengkhianatan cinta yang seakan merobek seluruh rasa di hatinya. Cukup tau. Cukup sekali merasa. Kini semuanya sudah berakhir. Biarkan seluruh cinta dan kenangan indah bersamanya, perlahan termakan waktu. Terkubur luka. Hanyut bersama air mata.
Ah, kurang ajar kau Tsukasa.
"TERNYATA GERBONG TERAKHIR LAH YANG PALING SEPI."
Ia mendecih pelan. Melirik sinis ke arah lelaki paruh baya yang tengah mengenakan jas lengkap dan perut buncit nya. Mengapa ada saja orang gila yang mengganggu. Semakin memperkeruh moodnya saja.
Lelaki itu terus berjalan ke belakang gerbong, lantas berbalik lagi ke depan, terus seperti itu selama beberapa saat. Cengengesan, menatap balik mata-mata yang tengah menatap nya jengkel. Ditengah kejengkelan tersebut, (y/n) entah mengapa mencium bau bensin yang menyengat di sekitarnya.
Ia segera menoleh kesana kemari. Begitu pula penumpang lainnya. Ternyata mereka juga mencium hal yang sama.
Gadis itu mengusap kasar pipinya, mengelap seluruh sisa air mata yang tak sengaja turun dari maniknya. Menghirup ingusnya, lantas mulai merangkak dari kursi nyamannya.
Betapa terkejutnya ia, kala menyaksikan koper yang tengah dibawa pria itu mengeluarkan sebuah cairan, mengalir deras membasahi lantai gerbong. Bau bensin yang menyengat seketika menyeruak, bersamaan dengan rasa terkejutnya itu.
"Hei apa yang kau bawa itu?!" seorang lelaki lain berani menegur. Menarik kasar bahu pria berjas itu. "Hei?!!"
"JANGAN MENGGANGGU!!!"
Lelaki di hadapannya jatuh terduduk, terkejut, lantas segera mundur beberapa langkah darinya. "A-APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak lelaki itu panik.
"HA? KAU TAK BISA MELIHAT KOREK DI TANGANKU INI?"
(Y/n) terkejut dan segera berdiri dari duduknya. Teriak histeris beberapa wanita dibelakangnya memperkeruh keadaan, semakin menegangkan.
"Hentikan itu!!! Kau bisa membakar habis gerbong ini!!!"
"MEMANG ITU YANG AKU INGINKAN."
Jantung seketika memburu pada porosnya. Degupnya begitu sakit menghantam dada. Napasnya tersengal, padahal ia hanya berdiri terpaku pada tempatnya.
"MERUNDUK KALIAN SEMUA!! ATAU TIDAK AKAN AKU HANGUSKAN SEISI GERBONG INI!!"
______________________________________
Aku lagi writer block :(
Jadi kayak ancur gitu tulisanku gak sih? :( syedih ಥ_ಥ
Tapi kalau dibiarin ntar gini teruss (T_T)
TERIMA KASIH BANYAK YANG MAU BACA SAMPAI AKHIRR (๑´ლ'๑)フフ♡
LUP YU❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro