Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[12] Pelukan

"Kalau sudah sarapan jangan lupa matikan kompornya! Aku berangkat."

"Eh, eh tunggu!!"

(Y/n) yang hendak menutup pintu tertahan kala melihat sosok Tsukasa sedang berlari mendekat ke arahnya.
Ia lantas hanya berdiri mematung dihadapannya, tak melakukan apapun, terdiam seraya menatap wajah gadisnya dengan hangat.

(Y/n) yang melihat itu setengah heran setengah salah tingkah. Hati gadis mana pula yang tak luluh kala ditatap dengan maniknya. Manik kuning cerah nan bulatnya.

Senyuman yang mengembang, menghangatkan dada. Rona-rona tipis di pipinya.

Dan sepasang gigi taring mini yang mencuat di sudut bibir yang mengurva.

"A-apa?" (Y/n) berusaha mengontrol nada bicaranya. Berusaha terlihat baik-baik saja padahal hatinya sudah porak poranda. Bahkan pembuluh darah di hidungnya siap pecah kapan saja.

Tsukasa masih tersenyum hangat, bedanya kali ini ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mengisyaratkan sesuatu yang sudah jelas sebenarnya tapi (y/n) berpura-pura tak mengetahuinya.

"Apa? Es krim nya ada di kulkas. Oh! Atau kau ingin menggendongku sampai sekolah?" Goda sang gadis dengan senyuman licik.

"Ish." Kedua tangannya ditarik kembali, terlipat kini di dada bidangnya. Ia memajukan bibirnya sambil memandang ke sisi lain. Lihatlah! Terlihat lucu dan imut. Seperti balita yang merajuk, tak dibelikan mainan di pasar malam.

"Apa yang kau inginkan Tsukasa?" (Y/n) memutuskan untuk berhenti menggoda, sebelum Tsukasa berbuat lebih jauh lagi dengan kadar gulanya.

Kalimat itu berhasil membuat Tsukasa kembali menatapnya. Tertawa. Sebelum akhirnya, tanpa persetujuan darinya, Tsukasa mendekap lembut tubuhnya.

Sejujurnya (y/n) ingin sekali melawan sebab takut kegiatan ini akan terlihat oleh tetangganya. Namun, perlakuan ini sungguh membuatnya nyaman. Terlebih saat tangannya dengan lembut mengusap punggung dan surai (h/c) nya yang tergerai.

Ia tak ingin lepas. Sungguh biarkan begini saja.

"Semangat belajarnya ya." Tsukasa berkata lembut.

(Y/n) memejamkan lensanya, menghirup lebih dalam aroma tubuh Tsukasa yang mirip dengan bubblegum. Kegiatan ini membuainya. Membawanya berlabuh jauh dalam kenyamanan. Begitu menyenangkan.

"Ya udah aku bolos aja hari ini." Celetuk (y/n) dalam dekapan.

"Heh!" Tsukasa menyentak disertai sentilan pelan yang ia daratkan tepat di dahi gadisnya.

Kali ini ekspresinya berubah. Tidak ada balita meminta mainan tadi, terganti dengan raut muka ibu rumah tangga yang mengetahui anaknya belum mengerjakan PR musim panas.

Garang. Namun tak tega menatap wajah memelas anak bungsunya.

"Aduh, kan cuma bercanda." Jarinya terangkat mengusap dahi.

"Iya tau, aku bercanda juga." Entah apa yang dipikirkan oleh Tsukasa, sampai-sampai tangannya juga ikut-ikutan mengusap dahi milik (y/n).

Jarinya mendominasi untuk beberapa saat. Hingga pada akhirnya ia menyingkirkan jari mungil (y/n), menggenggam nya, mengambil alih sepenuhnya dahi milik gadisnya.

Wajah Tsukasa mendekat, lebih spesifiknya bukan wajah, tetapi bibirnya. (Y/n) yang tak ingin kegiatan ini menjadi omongan tetangga pun berusaha mendorongnya. Namun apa daya. Tubuh mungilnya tak kuasa.

(Y/n) spontan memejamkan mata kala merasa angin hangat berhembus di dahinya. Menerbangkan helaian poni yang sudah ditatanya rapi-rapi.

"Wush~ sakit pergilah jauh-jauh~" Tsukasa berceloteh ria, masih sibuk meniup-niup dahinya.

Aduh, apa yang harus (y/n) katakan untuk menghentikan kegiatan ini. Rasanya begitu nyaman, tak rela untuk berpisah. Ia gundah sejenak. Memikirkan cara terbaik untuk menghentikannya. Tapi apa?

Diam-diam tangannya meraba di udara, lantas beralih meraba baju dan pinggang hingga berakhir mendekap.

Mendekap erat tubuh Tsukasa.

"E-eh!?" Tsukasa terkejut sekaligus senang melihat pacarnya memiliki inisiatif untuk memulai pelukan.

"Hst diam!" (Y/n) menyentaknya.

Sesuai perintah, Tsukasa pun tak menjawab. Hanya tersenyum seraya membalas dekapan. Sesekali mengusap dan menghirup aroma shampo yang melekat pada rambut gadisnya.

"Cepat pulang ya pacar." Ucapnya pelan di telinga.

"Haha, siap pacar."

🌹🌹

Manik kuningnya yang cerah menilik sejenak ke arah jendela. Menatap siluet awan jingga yang indah, terbias cahaya mentari yang beranjak meninggalkan porosnya. Elok. Memanjakan matanya setelah sekian lama berkutat dengan angka-angka.

Bel penanda akhir pelajaran hari ini akan berdenting beberapa menit lagi. Sayang, rasa detik merangkak pelan meniti waktu. Begitu lambat terasa. Jam di dinding teronggok sepi, tak minat untuk ia tengok. Percuma pikirnya. Pasti di angka itu-itu saja.

Ia tenggelam dalam indah pemandangan kota tersiram jingga sang raksasa siang. Tak menggubris ocehan guru di depan kelas. Mau mulutnya sampai berbusa menjelaskan pun Amane tak hiraukan.

Amane memilih hanyut dalam pikiran.

Tangannya terangkat untuk mengusap wajah dan poninya. Bernapas gusar, berharap beban dipundaknya bisa sedikit berkurang. Atau tidak pergilah dari otaknya sejenak. Ia lelah berpikir dan terus berpikir.

Sayangnya semua itu sia-sia.

Kepala tertunduk, menepikan buku yang berserakan lantas menidurinya. Meletakkan kepala yang terasa berat oleh pikiran sejenak. Sambil menatap senja ia bertanya, apa keputusan nya benar?

Tangan diam-diam merogoh laci meja, menarik selembar kertas yang ia sembunyikan dan membacanya.

"Mau pulang bareng aku nggak?"

Matanya berlinang tanpa sadar. Berusaha meredam tangis meski ia tau, itulah satu-satunya cara untuk meluapkan beban dalam dirinya.

Entah mengapa, ketenangan akan ia rasa kala air mata mewakilkan rasa kecewanya.

"Ya, karena bel pulang akan berbunyi 5 menit lagi, saya persilahkan kalian untuk berkemas sebelum pulang."

Air mata yang hampir tumpah ia usap segera. Mendongak. Beralih menatap jarum jam yang sudah bergerak dari posisinya.

Ia merasa lega. Sebab selepas ini ia bisa menangis sepuasnya di kamar. Tangan mulai bergegas mengemasi buku, pensil dan alat-alat yang tergeletak di atas meja. Sebelum akhirnya,

"Amane."

Di tengah-tengah sesi berkemas, seseorang memanggil namanya. Suara gadis. Tapi bukan Mirai apalagi (y/n).

"Ya? Ada perlu denganku Nada?" Ucap Amane tanpa memandang wajahnya.

"Aku di titipi ini." Tangan gadis itu terulur, meletakkan secarik kertas di atas mejanya.

Melihatnya, ada selintas harap jika kertas itu (y/n) tujukan khusus untuknya, seperti pekan-pekan sebelumnya, kala gadis itu masih sering mengirim surat ajakan setiap senja pulang sekolah.

"Dari siapa?" Amane menilik sejenak surat di mejanya, lantas beralih menatap wajah gadis sekelasnya tersebut.

"Wali kelas. Perihal alpha Tsukasa. Dari kemarin ia tidak masuk bukan?"

Ucapan gadis itu menghancurkan harapannya. Ia rasakan hatinya berdenyut nyeri. Menyendu. Maniknya menatap sendu punggung gadis berambut (h/c) didepannya.

Gadis itu seolah tuli, tak lagi peduli dengan segala urusan Amane. Terkadang ia rindu. Rindu gadis di depannya itu berceloteh tak jelas, berteriak kala ia berulah dan terus mengusilinya.

Sekarang tak lagi ada. Semua tak lagi sama. Serasa orang lain yang merasuki tubuhnya. Dia berubah.

"Terima kasih, Nada."

"Euhm sama-sama."

Kring!!

Denting bel pulang pun berbunyi, nyaring, menggema pada setiap sudut gedung sekolah. Mengalahkan ramainya hiruk pikuk murid di setiap kelas.

Usai sudah pelajaran hari ini.

Dan usai pula hari tanpa saling menyapa. Antara mereka. Lagi dan lagi. Entah sampai kapan. Entah kapan waktu berbaik hati menyatukan mereka kembali.

Lamunan terusik, kala mendapati diri tengah di dekati oleh seorang gadis. Manik ungu yang manis dan lembut. Serta senyuman yang selalu mengembang di wajah cantiknya.

Gadis itu, Mirai.

"Amane mau pul-- AA."

Amane yang melihat gadis itu segera menyingsing tas nya, keluar seraya menggenggam lengan sang gadis, mengajaknya bersama.

"A-Amane!! Pelan-pelan!!"

Tentu saja Amane tak menggubrisnya. Terus berjalan. Menggebu menapaki lantai dan berakhir pada atap sekolah yang lenggang.

Hanya mereka berdua. Dibawah sorot mentari senja yang menjingga.

Angin semi yang sedikit menghangat meniup surai mereka. Lembut mengusap kulit. Saling bertatapan.

Mirai tertegun. Sorot manik Amane nampak berbeda kala itu. Terkesan tegas, tersirat dari tatapan manik kuningnya. Kala itu ia tak dapati hangat dari tatapan lensanya. Tak seperti biasa.

Ini membuat jantungnya berdebar.

Amane menggeram dalam suara bariton yang rendah. Menyesuaikan nadanya. Mempersiapkan pita suaranya.

Ia menepis kata ragu jauh-jauh dari hatinya. Mau tak mau. Suka tak suka. Maka hari ini pasti datang.

"Mirai, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu."

______________________________________

Ga capek apa tengkar sama Amane? :(
Sampai ketemu di chapter selanjutnya!

Sincerely🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro