[11] Perjanjian
Malam itu...
"Amane Amane!! (y/n)!! Gadis itu!! Kenalkan padakuu~"
Amane yang tengah duduk santai di ruang tengah tersedak donat dalam kunyahannya. Dengan terburu-buru ia menenggak segelas air sebelum atensinya beralih menatap heran ke arah Tsukasa yang baru saja turun dari tangga.
"Ha? Maksudmu?" Tanya Amane.
"Iyaa, cewek di kelas mu yang manis itu." Jawabnya.
"Serius kamu?"
"Serius Amane!!" Ujar Tsukasa. Kakinya melangkah mendekat untuk ikut serta bersantai, menghempaskan dirinya di sofa kosong sebelah Amane.
"Dia cantik banget." Tangan Tsukasa di letakannya di atas dahi. Terpejam matanya, membiarkan kepingan memori tadi sore membawa pikiranya berlabuh dalam indah sosoknya. Sosok gadis yang berhasil mencuri atensinya dalam sekejap.
Meski atensi secerah mentarinya hanya bersitatap sejenak dengan manik cantik miliknya, itu sudah lebih dari cukup untuk menaikkan frekuensi debaran jantungnya.
Angannya masih membawanya terbang dalam kegelapan.
Ia ingat. Kala bibir ranum itu mengurva, memperjelas rona kemerahan di kedua sisi pipinya. Ia tau jika gadis itu tersenyum bukan untuknya. Dan bukan untuk siapa-siapa pula.
Hanya sekadar tersenyum mendengar canda gurau dari teman perempuannya, Mirai.
Aduh, mana Tsukasa tau jika teman gebetannya bisa secantik itu.
Tak lama maniknya terbuka, menarik kembali kedua sudut bibirnya yang sempat mengurva, memutuskan untuk menyudahinya saja, menghindari otaknya berhalusinasi lebih jauh lagi.
Ia menilik sejenak ke atap-atap rumah, berpikir. Ia harus punya alasan yang jelas untuk membujuk Amane. Tak mungkin hanya dengan kata penasaran akan meruntuhkan tembok gengsi dalam hatinya. Tapi apa?
Apa Tsukasa harus melibatkan kata-kata berlumuran madu dalam alasannya?
Coba saja.
"Dia anak baik bukan? Aku ingin mengenalnya. Siapa tau kebaikan dia bisa nular ke aku juga,"
Tsukasa menjeda ucapannya, menarik napas.
"Ya, siapa tau aku bisa berubah nantinya."
Yeah, bualan manis pun tak terelakkan.
Alis Amane bertaut. Kalimat itu berhasil mengubah seluruh mimik wajahnya.
Otot disekitar rahangnya melemas, terbuka mulutnya. Maniknya mendelik. Memandang heran campur tak percaya, diumpamakan kini ia tengah menatap komet Neowise atau C/2020 F3 yang langka, yang hanya melintas 6.800 tahun sekali. Di depan matanya. Di pelupuk manik kuning cerahnya.
Ha? Yang benar saja. Ini Tsukasa si Playboy bak serigala berbulu domba berkata ia akan berubah?
Huh.
Mana mungkin Amane akan percaya.
Hampir saja Amane menolak, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan terlintas cepat di kepalanya. Amane melirik sekotak donat di atas meja, mulai menelisik,
Bagaimana kalau dia serius?
"Memang dianya mau sama kamu?" Amane berkata ringan, tangannya kembali memasukkan sebuah donat ke mulutnya, menggigitnya dan beralih menatap Tsukasa.
"Kalian aja beda kelas." Lanjutnya.
"Ya itu! Kan ada Amane!!" Tangan Tsukasa dengan cepat merebut donat bekas gigitan Amane ke mulutnya, "Deketin dong~" Ucapnya dengan mulut penuh gula donat.
Amane hanya mengeleng-geleng ringan, "Apasih untungnya buat aku?"
"Emang kakak lupa seberapa sering kakak dituduh keluar malam, padahal yang keluar itu aku?"
DEG!
Amane bungkam seribu bahasa.
Ia ingat.
Ia ingat kala anak-anak berandalan itu memukulinya, berkata bila ia telah merebut pacarnya. Berkata bila ia adalah alasan putusnya hubungan mereka dengan kekasihnya.
Dan berkata jika setiap malam ia selalu mengajak pacaranya jalan-jalan di kota.
"Kak kok diem?"
Amane tersadar dari lamunan, kembali mengambil napas. Hampir. Hampir saja api dendam yang sudah susah payah ia padamkan bergejolak kembali. Hampir. Hampir saja sumbunya kembali tersulut.
"Kak?"
Amane menoleh dengan sigap, "Ya?"
"Jadi, mau ya?" Yakin Tsukasa padanya.
Amane membeku dalam sepersekian detik. Masih berpikir. Sebaiknya di jawab apa tawaran Tsukasa ini. Tak mungkin juga ia menolak hanya karena Amane dan (y/n), gadis incarannya sudah sering bercengkrama bersama.
Menolak karena mereka teman yang cukup akrab.
Atau menolak sebab ia takut Tsukasa akan menghancurkan hatinya seperti gadis-gadis lainnya.
Andaikata dia serius akan berubah bagaimana? Ini menjebak. Amane bagai menemukan sebongkah benda dalam lumpur. Jikalau Tsukasa bersungguh-sungguh akan kalimatnya, maka bongkahan itu akan menjadi berlian.
Jika tidak.
Maka bongkahan dalam genggamnya hanyalah batu sungai tak bernilai.
Bagaimana ini?
Amane terpejam. Menyembunyikan manik kuning secerah hamparan bunga Tabebuya yang tersorot mentari di balik kelopak mata. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya tercetus sebuah jawaban dalam otaknya. Sudah ia putuskan.
"Ya. Akan ku dekatkan."
Dan dia pun menjadi orang yang Egois sejak malam itu.
【️flashback off】️
🌹🌹
Tok tok tok..
Bunyi ketukan pintu menghentikan kegiatan menyeduh teh yang sedang (y/n) lakukan di dapurnya. Siapa itu? Batinnya.
Dengan malas ia mulai berjalan mendekat ke arah pintu. Palingan ya tetangga, pikirnya. Keluar dengan rambut berantakan digulung ke atas plus setelan piyama biru miliknya tak akan jadi masalah kan?
"Ya! Tunggu sebentar." Teriak (y/n) dari dalam.
Ia tak ingin membuat tamunya menunggu, maka dengan bergegas ia menaiki tangga, menyambar kunci yang tergantung di kamar nya dan berlari kembali menuruni tangga.
(Y/n) melakukan itu semata-mata hanya untuk berjaga-jaga jika sewaktu ibunya pulang ke rumah, ia bisa masuk menggunakan kunci cadangan yang di pegangnya.
Kunci telah di masukkan. Memutarnya dua kali, dan pintu pun terbuka.
Lensa (y/n) tersentak akan sosok Tsukasa dengan penuh lebam di wajah dan tangannya jatuh seketika ia membuka pintu.
Dengan sigap ia maju, memeluk tubuh Tsukasa yang tertarik gravitasi dengan penuh kecemasan.
"Tsukasa!! Kenapa?! Apa yang terjadi?"
Tsukasa bergumam lemah dalam pangkuannya,
"Ahaha,, aku tak mengapa--"
"Apa maksudmu?! Seperti ini kau bilang tak apa-apa?!" Serobot (y/n) seraya menggendong tubuh dinginnya masuk.
Tsukasa terus merintih kala (y/n) tak sengaja menyentuh lebam di tangan dan tubuhnya.
Sungguh, begitu tersayat hatinya kala itu.
Dengan penuh hati-hati ia letakkan tubuh dingin itu di atas sofa. Lantas berlari pontang panting mengambil handuk kecil, alkohol, baskom, plester, dan apa saja yang bisa ia gunakan untuk mengobati Tsukasa, pacarnya.
"Tunggu sebentar biar aku obati itu,"
Ucapnya mencegah Tsukasa bertindak lebih jauh lagi dengan lebam dan luka-luka di wajahnya.
"Jangan kau sentuhi ituu.."
"Shh,," keluh Tsukasa saat kapas beralkohol di tangan (y/n) menyentuh lukanya yang terbuka.
"Kamu dari mana? Mengapa tak masuk sekolah? Lalu, dari mana kamu dapat luka-luka ini?" (Y/n)
panik bercampur cemas bertanya, Tsukasa kini nampak seperti tersangka.
Namun, bukannya dijawab olehnya, Tsukasa malah tertawa. "Jadi mama ku aja mau gak?" Guraunya.
"Gak usah bercanda ih, aku serius." Dengan geram (y/n) menekan salah satu lukanya dengan kapas.
"Ehh-urgh, sakit tau gak..."
"Ya siapa suruh bercanda."
Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya Tsukasa memutuskan untuk diam, melihat saja tangan lembut (y/n) mengobati luka di wajahnya.
" (y/n)." Panggil Tsukasa memecah kebeningan.
"Ya?"
(Y/n) mendongak, tepat setelah ia melepaskan kertas plester dari lemnya.
"Kenapa?"
"Bolehkah aku menginap disini?"
❀❀
Aku ga tau kenapa kudu ada spasi panjang di bagian terakhir wkwk
Chapter kemarin kalimat terakhir di Bold ga tau biar apaan :')
Jaa ne~
Sincerely🌸
Bonus pic bunga Tabebuya :v
Jariku terpeleset
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro