BAB III - Amukan Si Kingkong
Sore yang gerah. Sudah seharian Arkhan mendekam di kamar. Kedutan di kepala memang sudah mereda, tapi suhu tubuhnya masih panas. Arkhan demam sejak semalam. Sarapan dan makan siang yang diantar Bi Sitha belum disentuh sama sekali. Dalam limbung, sempat-sempatnya lelaki itu berpikir soal korset yang ia post di Insta Story dua malam lalu. Sebab, setelah pulang dari acara itu, kesehatan Arkhan menurun. Ia sempat berpikir, apa jangan-jangan ia terkena Kutukan Korset Kingkong?
Udara di kamar pengap. Bau makanan mendominasi. Kendati masih lemah, Arkhan butuh udara segar.
Taman belakang rumah yang terlintas pertama kali di benak Arkhan. Susah payah laki-laki itu bangkit. Suara-suara di ruang keluarga mem-pause langkah Arkhan. Dia berhenti di anak tangga pertama.
"Kalau biaya untuk pesta itu Papa arahkan ke orang-orang yang lebih membutuhkan, pasti rumah tangga Ikbal dan Salsa akan lebih berkah ke depan."
Udara di sekitar Arkhan seperti disetrum. Praktis, lelaki itu merasa tersengat. Terlebih-lebih di dalam sana, pada hatinya.
Apa Ikbal bilang? Rumah tangga? Hebat! Kejutan tahun baru yang menyenangkan!
Setahun belakangan, Arkhan coba letakkan penyaring di gendang telinga agar tidak menangkap informasi-informasi seputar perkembangan hubungan Salsa dan Ikbal. Dia juga resmi menarik diri dari percintaan itu. Bukan apa-apa, Arkhan rasa andilnya hanya cukup sampai pada 'mengeliminasi' diri sendiri dari hati Salsa, lalu membuat gadis itu sadar akan posisi Ikbal.
Arkhan tidak punya tenaga ultra untuk menjadi Bapak Peri; membantu membereskan masalah demi masalah yang terjadi pada dua orang itu. Karena sebenarnya masalah utama saat ini adalah hatinya sendiri; perasaan yang baru tumbuh dan harus ia kubur dengan tangan sendiri.
Namun, sore ini, Arkhan mendapatkan kekuatan gaib. Lelaki itu mampu bertahan sepuluh menit; mencuri dengar obrolan yang berlangsung. Hingga derap langkah kaki menginterupsi. Arkhan kembali ke kamar. Agenda awal ingin mencari udara segar berubah menjadi menertawakan diri sendiri dalam pengap kamar.
Tua Bangka, jomlo, ditinggal nikah adik-adik, tidak punya kandidat potensial, tidak dekat dengan perempuan siapa pun. Adakah yang lebih lawak dari hidupnya saat ini? Dalam kegamangan, lelaki itu mengetik pesan untuk Zidan temannya. Arkhan butuh membersihkan pikiran di mana pun selain di rumah penuh cinta dan rona-rona sepasang calon pengantin di bawah sana.
***
"Saya sama Raihard, Zidan...," kalimat Gegap terputus, lelaki itu melambai excited pada Arkhan yang baru muncul di pintu masuk. "Nih, Arkhan baru sampai. Buruan kamu ke sini!"
"Siapa?" tanya Arkhan. Sebelum menempati sofa melingkar, matanya jalan-jalan terlebih dahulu ke seisi ruangan.
Satu jam lalu Arkhan janjian untuk berkumpul. Atas usulan Zidan, mereka di sini. Arkhan rasa ini tempat yang pas untuk menghilangkan mumet. Lihat, Barbie-Barbie hidup berkeliaran di penjuru area. Soal perempuan, selera Zidan memang patut dipuji.
"Akbar," jelas Gegap, masih memandangi layar ponselnya.
Alis Arkhan terangkat. "Akbar... ?" Ia mengingat-ingat.
"Ramadhan Akbar," Zidan menimpali. "Si pengantin viral."
Alih-alih mengerti, kerutan di kening Arkhan makin dalam. Praktis, Raihard menjelaskan versi lengkapnya bahwa Akbar yang dimaksud adalah teman SMA mereka. Setelah lulus kuliah, lelaki itu memang bekerja sebagai Chief Engineer di PT Freeport Indonesia di Papua. Dianggap tidak punya waktu mencari pasangan, Akbar dijodohkan dengan putri kenalan orangtuanya.
Akbar sempat pacaran beberapa bulan sebelum akhirnya mau menikahi wanita itu. Tapi, di menit-menit terakhir menuju akad, dia malah mencacati hari sakralnya itu dengan membuat kesalahan fatal.
"Biadab!" gumam Arkhan, spontan.
Teman-temannya tertawa, Arkhan gagal paham. Sebenarnya, apa yang harus ditertawai dari sikap kurang ajar itu? Jika dia menjadi salah satu keluarga atau teman si mempelai wanita, Arkhan pastikan akan memberikan tinju spesialnya untuk Akbar.
Sambil membaca menu, Gegap menyela, "Bukan biadab, Akbar hanya merasionalkan selera." Ia menyerahkan kembali buku menu setelah menyebut beberapa pesanan pada pelayan.
Zidan menambahkan, "Akbar Fetish pada perut ramping. Calon istrinya nggak bisa nawarin itu."
"Yea, size talks," tambah Raihard dalam tawa tertahan. "Penjunjung tinggi keseimbangan BMI."
Tersenyum simpul, Gegap merevisi, "Bukan size. Saya rasa ada beberapa laki-laki masih bisa menolerir soal 'size'. Hm, mungkin lebih ke..., kesehatan? Kalian tau, kan, obesites memengaruhi kesuburan."
Arkhan bisa menarik kesimpulan dari premis-premis yang disebar teman-temannya. "Sebesar apa?" tanyanya menyuarakan isi kepala.
Ada ledakan tawa tertahan di lingkaran sofa itu. Kecuali Gegap yang menanggapi dengan senyum kecil.
"Under 120-an kilo mungkin." Raihard yang menyahut sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi dia cantik. Saya serius. Dua kali lipat lebih manis dari Saviga. Dia juga pintar, kuat, nggak drama hanya satu Indonesia mandang dia sebagai korban. Gara-gara insiden ini, saya follow Instagram-nya." Gegap mengaku.
Arkhan geleng-geleng. Apa hanya dia yang tidak mengikuti perkembangan berita-berita hangat di luar sana Terakhir, Arkhan hanya dikirim video viral curhatan Mpok Alfa Mart.
Selebihnya, dia tidak tau apa yang sedang viral saat ini.
"Gue nggak tau apa-apa. Tapi, gue nggak sependapat sama aksi Akbar. Kalau dia nggak mau, dia bisa tolak dari awal. Bukan mala-" Arkhan tak jadi melanjutkan karena Zidan mendorong kakinya, lewat gerakan dagu, laki-laki itu memberi kode.
Berpaling, Arkhan menemukan seseorang laki-laki tampan sedang berjalan ke arah mereka. Hanya butuh semenit sampai laki-laki itu sampai di meja mereka, basa-basi ala bro dengan semua yang ada di situ.
"Loh." Melihat Arkhan, mata Akbar menyipit. "Ini Arkhanino? Ketua Osis kita?"
Arkhan tersenyum. "Apa kabar, anak Pramuka? Gila! Belasan tahun nggak ketemu, gue kira lo pindah ke Mars."
Mereka saling memberi rangkulan layaknya teman lama yang sudah tidak bertemu lama.
Curi-curi pandang, Arkhan melirik Saviga. Cantik. Tapi, tidak ada faktor 'wow'. Seketika laki-laki itu penasaran dengan wujud si mempelai wanita yang dikhianati Akbar demi Barbie hidup ini.
Seperti apa bentuknya?
Jika gegap sudah bilang cantik, Arkhan tak pernah meragukan pujian itu karena Gegap jenis laki-laki yang jarang memuji perempuan.
Arlhan abaikan sejenak rasa penasarannya dan tenggelam dalam orolan dengan tema menggali kenangan-kenangan masa sekolah.
***
"Hahahahah."
Tawa serak-serak basah Agatha siang itu menjadi himne selamat datang untuk Shalu. Gadis itu melambai pada teman-temannya yang duduk di meja paling sudut EB alias Elegant Bitchy. Restoran milik Jo. Seperti namanya, tempat itu elegant, pengunjungnya kebanyakan kaum 'nong': lesbong, lekong, endang begindang tapi juga banyak diisi manusia-manusia 'lurus' yang classy dan bermartabat-seperti kemauan Jo selama ini. Tak heran jika laki-laki kemayu itu langsung berdecak penuh cemooh ketika mendapati kostum yang dipakai Shalu sore ini.
"Yellow?" Jo dan Agatha kompak menyentuh blazer milik Shalu.
"C'mon kalian bukan Xanthophobia." Shalu menempati kursi di samping Glory.
"Remember, Honey." Jo memijat kening sulamnya. Putus asa melihat OOTD Shalu. "Kiblat lo Tara Lynn...."
"Bukan Meghan Trainor!" sambung Jo dan Agatha, kompak,
Shalu menampakkan ekspresi seperti sedang mencium bau tak enak. "Sory, salah kostum ya?"
Entah apa yang salah dengan penampilannya hari ini. Vest top putih gading dibungkus blazer kuning, juga hotpants berwarna senada, rambut sengaja diurai sementara wajah dibiarkan natural.
Dalam fashion, sahabat-sahabatnya adalah tim penilai kritis. Jika Glory yang diberi julukan saudara Kim Kadarshian itu dibebaskan memakai baju apa pun tanpa kritikan-karena tubuhnya memang sempurna-maka Shalu perlu dinilai Tim Sensor. Setiap akan berangkat kerja, OOTD-nya harus melewati uji kelayakan dari Jovanca.
"Nggak salah, Darling. Lo hanya kelihatan kayak Julia Roberts yang kejebak dalam cover Selena Gomes."
Lagi-lagi Jovanca mengkritik. Laki-laki feminim itu berhenti sejenak untuk meminta karyawannya membawa dua Strawberry Mojito, dan Green Tea Smoothies pada keempat temannya. Setelah itu, ia kembali fokus menatap Shalu yang bersandar malas-malasan di sofa melingkar itu.
"Lo tau, kenapa Akbar nge-dump lo demi Saviga?"
Shalu mengecek penampilannya sendiri. "Overweight, apa lagi?" jawabnya merana.
Agatha dan Jo kompak menggeleng. Sementara si polos Glory ikut-ikutan menebak, "Mungkin Saviga kayak Rapunzel? Sementara Lulu kayak Shrek versi cewek?"
Teman-temannya ngakak, wajah Shalu tertekuk masam.
"Karena ukuran cup Saviga, C?" Glory belum lelah berspekulasi.
"Glory sayang...," Agatha menyela, gadis tomboy hitam manis itu merangkul pundak si polos Glory, gemas. "Tampang, isi dompet, dada dan bokong adalah point bagus yang sudah Lulu punya. "Yang dia nggak punya hanya sex appeal."
"In other words, Gemi Shaluna terlalu 'Teeny Winny' untuk usia 29 tahun," tutup Jo sembari membenamkan kuku akriliknya di sela rambut.
Shalu menghela napas. Namun belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ya, setuju sama Jo. Pada usia tertentu, cowok lebih suka ngelihat boneka sex dari pada boneka Winnie The Pooh. Lo pasti paham apa yang kita maksud."
Glory terlihat bingung menanggapi komentar Agatha. "Mungkin karena Winnie The Pooh dirancang tanpa payudara?"
Pertanyaan Glory membuat Agatha dan Jo menghadiahi jitakan maut di kepala gadis itu. Sementara Shalu memutar mata, sebal.
"Bukan itu maksud kita!" Jo mulai geram hingga suara feminimnya hilang berganti suara maskulin.
Kalau saja tidak sedang berada dalam situasi serius, Shalu pasti sudah terpingkal-pingkal di lantai. Hanya saja gadis itu menahan diri karena takut disembur Jo.
"Ini tentang Saviga dan Lulu," lanjut Jo, masih emosi. "Jadi, Saviga itu punya 'sesuatu' yang bikin cowok-cowok dewasa potensial tertarik. Sementara Lulu hanya dipandang seperti boneka Marsha. Hanya lucu! Nggak ada daya tarik sex! Ngerti lo, Stupid?"
"Padahal, body Marsha nggak segemuk Lulu, loh, Jo." Lagi-lagi Glory bertutur, "Mungkin kamu bisa pakai Si Beruang sebagai perumpamaan?"
Bajingan! Fat shaming di mana-mana.
Shalu lelah. Saat pelayan datang membawa minuman, gadis itu menenggaknya sampai habis. Biarlah Agatha dan Jo yang dibuat hampir gila karena Glory. Shalu masih waras untuk tidak ikut menimpali Miss Tulalit itu.
"Udah, ya, ngomong sama lo gue gagal klimaks mulu." Jo berpindah di sebelah Shalu. "Intinya, Darling, kita harus bekerja keras bikin daya tarik sex lo keluar. Ini bukan menjurus ke ranjang aja, tapi penting untuk bikin cowok-cowok bertahan."
Ya, ya, terserah! Shalu capek.
Agatha dan Jo lantas mulai memberikan sederet tips-tips yang menurut Shalu sedikit gila. Di antaranya, Shalu harus sedikit 'berani dan terbuka' demi kantong rahim yang hampir expired. Resolusi tahun baru squad mereka kali ini adalah membuat Gemi Shaluna laku keras!
"Besok, gue temani lo belanja. Pertama, kita harus menukar isi lemari lo dengan sesuatu yang lebih sensual. Dan stop pakai baju kayak anak SD pergi les," Agatha memberi nasihat.
"Oke," sahut Shalu, menyelesaikan masalah. Sebelum ia bertanya, Glory sudah menginterupsi mereka semua dengan tamparan keras di paha Jo.
"Oh, My, God," seru gadis itu menutup mulutnya. Posisinya yang menghadap ke arah pintu masuk membuat gadis itu dengan mudah melihat siapa saja yang masuk keluar restoran itu. "Kalian ngundang Akbar sama Saviga ke sini?"
Spontan, Jo, Agatha dan Shalu menoleh, ketiganya tampak syok mendapati Akbar menggandeng manja lengan Saviga menuju ke salah satu sofa di sudut lain ruangan.
Oh, My... Shalu langsung merunduk. Lemas. Kenapa semua orang yang terluka selalu dipertemukan dengan sumber patah hatinya di saat dia sedang berusaha keras untuk lupa?
***
"So, Ar, lo udah punya berapa anak?"
Pertanyaan Akbar merangsang senyum Arkhan. "Dua," jawab lelaki itu. Dia sengaja menikmati ekspresi Akbar yang berdecak kagum lalu kemudian mematahkan kegembiraan itu dalam sekejap, "rencanananya," lanjut Arkhan dalam tawa tertahan.
"Bangsat gue kira beneran!" Akbar menonjok dada Arkhan pelan.
"Lo nggak tanya gue punya berapa anak?" tawar Zidan. Akbar lantas menggeleng sambil menyecap minumannya.
"Lo dan Raihard sama: biarin calon anak mati sia-sia di kondom, di kamar mandi, di panti pijat."
Gelak tawa mengudara. Hanya Gegap yang tersenyum. Mungkin karena tahu Gegap adalah duda ditinggal meninggal istrinya setahun lalu, tidak ada yang berani menanyakan topik sesensitif ini padanya.
"Gue dan Viga mungkin akan punya tiga anak." Akbar meremas tangan Saviga, wanita itu tertunduk malu-malu sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Tolong, Arkhan nyaris muntah. Dia ke sini untuk memerbaiki mood, bukannya menonton pemandangan yang membuatnya mual.
Menghindari satu pasangan kasmaran, malah berjumpa dengan pasangan alay lainnya. Ck!
Arkhan menggulung lengan kemejanya. "Gue ke toilet sebentar," pamitnya. Baru akan berdiri, mata Arkhan tak sengaja menangkap sesosok perempuan gemuk, setengah berlari ke arah sofa yang mereka tempati. Mata wanita itu tak lepas menatapi punggung Akbar. Dalam hitungan detik, tas sedang dalam tentengan wanita itu menimpuk keras batang leher Akbar.
"INI BUAT RASA MALU YANG LO KASIH KE GUE!"
Mata Arkhan membola. Bibirnya sedikit terbuka. Ini... keren!
***
"Heh," Agatha mencolek bahu Shalu yang masih coba merendahkan posisi duduknya karena tidak mau ketahuan berada di ruangan yang sama dengan Akbar dan Saviga. "Ngapain lo sembunyi? Mereka yang harus malu ngeliat lo di sini."
"Gue nggak ingin lagi ketemu mereka, Ta. Please, pelanin suara lo!"
Jo geram, "Brengsek, ngapain dia datang ke restoran gue?!" Laki-laki itu berdiri.
"Jo, Jo, please. Jangan samperin mereka. Biarin aja. Gue udah bahagia. Nggak perlu usik kehidupan mereka lagi."
Shalu mencegat. Wajahnya pucat kesi.
"Kayak gini kamu bilang bahagia?" Kali ini otak Glory bisa diajak memahami kondisi. "Kalau kamu bahagia, kamu harusnya ketawa saat liat mereka, bukan menghindar."
Briliant! Agatha nyaris sujud syukur, setidaknya Glory tidak memperkeruh suasana dengan otak setengah sendoknya. "Honey, dengar," suara Agatha mengintimidasi, "gue mau sekarang juga lo samperin dia dan keluarin semua unek-unek lo! Jangan sembunyi! Dia pantas diberi tendangan di selangkangan!"
"Gue nggak bisa!" tolak Shalu langsung. Shalu tau teman-temannya ini tidak akan bisa dibantah.
Jo tertawa, sarkastis. "Lo nggak ingat? Gimana sedihnya bokap lo? Gimana terpukulnya nyokap lo yang hampir diopname hanya karena nangis mikirin nasib lo? Itu semua gara-gara si brengsek itu!"
Diam, Shalu memijat pelipisnya. Terputar kembali masa-masa suram itu.
"Sebelum lo benar-benar move on dari dia, kasih dia satu persembahan terakhir!" Agatha mengompori lagi-lagi.
Glory menambahkan, "Aku inget banget, Tante Wina sampai mau pasang iklan perjodohan dengan iming-iming sebuah rumah mewah dan mobil buat laki-laki mana pun yang mau nikahin kamu dalam minggu itu juga, karena Beliu nggak mau bikin kamu lama-lama sedih."
Tangan Shalu terkepal. Matanya mulai mendanau. Dia akan lebih sentimental jutaan kali jika diingatkan tentang usaha bundanya mengembalikan kehormatannya waktu itu.
"Bokap lo bahkan sampai bermohon ke orangtua Akbar untuk-"
Ucapan Jo terputus, Shalu sudah bangkit, meraih tasnya di meja. Perempuan itu melangkah dengan tatapan kosong ke sofa yang Akbar tempati.
Sontak, wajah sedih Jo, Agatha dan Glory berubah menjadi cengiran culas. Mereka melirih kompak, "Pertunjukan dimulai!"
Hanya lima detik setelah itu, mereka mendengar teriakan Shalu menggema seantero ruangan.
***
"INI BUAT RASA MALU YANG LO KASIH KE GUE!"
Akbar kaget setengah mati. Batang lehernya kesakitan. Dia spontan berdiri, mengenali situasi. Tak hanya Akbar semua yang ada di situ terlonjak, mereka kompak bangkit, waspada.
"DAN INI BUAT AIR MATA NYOKAP GUE!" Kali ini, tas itu melayang tepat di wajah Akbar. Laki-laki itu tak sempat menghindar dan membiarkan wajahnya terhantam.
Saviga sudah berteriak panik, "Apa-apaan ini?"
Semua terjadi begitu cepat, karena kehabisan bahan, Si Gemuk merunduk lalu membuka stiletto-nya, Arkhan yang melihat itu langsung waspada. Jika Akbar berhasil menghindar, stiletto itu pasti mendarat salah kaprah menuju ke arahnya.
Beruntung, dua orang perempuan mendekat, seorang laki-laki yang sedikit melambai langsung menahan lengan si gemuk sehingga ia batal beraksi.
"Cukup, Darling. Mahkota lo bisa lepas."
Si gemuk masih mengamuk, Arkhan nyaris tertawa iba mendapati napas wanita itu yang tesengal. Persis seperti sapi yang mengamuk saat akan di sembelih di Hari Raya Kurban.
"Lulu?" desis Akbar setelah berhasil memulihkan diri. Kelaki itu berjalan dua langkah tapi si Hitam Manis langsung menginterupsi aksinya.
"Stop, atau selangkangan lo gue bikin babar belur sore ini."
Ancaman itu berhasil menyetop langkah Akbar.
"Apa-apaan kalian?" Saviga melipat kedua tangan, berusaha mengontrol emosinya, jelas dia tidak terima kekasihnya diperlakukan seperti ini. "Saya bisa melapor atas tuduhan penganiaya-"
"SHUT UP, BITCH!!"
Teriakan koor itu tak hanya membungkam Saviga, tapi juga membuat jatuh rahang-rahang pengunjung BE sore itu.
Arkhan apalagi, dia nyaris bertepuk tangan ketika squad si gemuk itu berlalu. Meninggalkan seisi ruangan yang dibuat syok oleh aksi mereka.
Sungguh ini di luar dugaan. Pertunjukan hebat itu meroketkan mood-nya. Arkhan membatin, tidak sia-sia dia datang di sini! Karena dia mendapatkan suguhan peristiwa menarik.
Tapi, sebentar..., Arkhan seperti mengenali siapa wanita gemuk itu. Dia itu kan...
"Kingkong pemilik korset!" seru Arkhan, tanpa sadar, kakinya melangkah membuntuti ke mana arah Si Kingkong pergi. Mungkin, Arkhan bisa menawari secangkir coklat panas karena berhasil membuat sorenya kembali indah?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro