Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Sejak menerima undangan pernikahan Dirga, Anya langsung pulang ke Bandung begitu saja yang nyaris membuat orang tua dan kakak laki-lakinya terkejut karena kedatangan perempuan itu. Meski keluarga Anya sempat curiga karena perubahan rencana Anya, tetapi tidak dari satupun dari mereka membahas alasan Anya tiba-tiba muncul malam itu di Bandung. Dan salah satu dugaan terkuat Zidan, kakak laki-laki Anya ini ada hubungannya dengan mantan kekasih adiknya yang akan menikah dalam waktu dekat. Lingkup pertemanan Zidan yang luas membuatnya tidak sulit mendapatkan informasi soal laki-laki kurang ajar yang sudah menyakiti adik perempuannya itu.

Anya sendiri bukannya belum move on. Demi apapun di hatinya sudah tidak ada sedikitpun lagi rasa cintanya untuk Dirga. Tetapi meski sudah tidak cinta, bukan berarti Anya bisa baik-baik saja mendengar laki-laki yang dulu pernah hampir menikah dengannya itu kini sudah menemukan penggantinya. Mengapa Dirga yang secara teknis sudah menghancurkan hati Anya dan menyakitinya justru bisa lebih dulu menjalani kembali kehidupannya dan menikah.

Bukankah itu tidak adil? Bahkan Anya di sini ditinggalkan dengan trauma hingga sulit untuk jatuh cinta lagi, lelaki itu justru sudah siap untuk membangun kehidupan barunya.

Tapi Anya jelas bukan pulang ke Bandung untuk mendatangi undangan tersebut apalagi menghancurkan acara pernikahan mantannya itu. Selain tidak sudi bertemu dengan keluarga Dirga yang sudah menyakitinya itu, Anya juga tidak mau dianggap menyedihkan di sana. Anya hanya pulang karena sadar dirinya butuh healing dan rumah adalah salah satu tempat Anya untuk mendapatkannya. Meski risikonya adalah cepat atau lambat, Anya harus berhadapan dengan tante-tante cerewetnya dan ditanya soal pernikahan.

Dan inilah harinya. Setelah satu minggu menyembunyikan keberadaannya di Bandung, pada akhirnya keberadaan Anya terendus juga oleh tante-tantenya. Yah mau bagaimana lagi, rumah mereka memang tidak terlalu jauh dan meski Anya menghabiskan satu minggu hanya di dalam rumah saja, kedatangannya itu akhirnya ketahuan juga.

Siang ini, tante-tante Anya pun sudah mengabarkan soal niat mereka yang akan berkunjung dan makan siang bersama. Anya sudah siap-siap untuk kabur, tapi sayangnya tante-tante Anya datang lebih cepat dari waktu yang mereka infokan karena sudah memiliki 'firasat' bahwa keponakannya itu pasti akan kabur.

Maka ketika Karlina—ibunya—membuka pintu kamar Anya untuk meminta Anya menemui tante-tantenya, perempuan itu memasang wajah memelas. "Mi, bilang aja atuh Anya lagi sakit. Males ketemu."

Karlina menggeleng. "Kamu mau sampai kapan ngindarin bibi-bibi kamu sendiri, udah sana temuin aja. Makin dihindarin malah makin pusing, udah hadapin aja."

Akhirnya Anya hanya bisa pasrah saat menghadapi tante-tantenya yang langsung menyapa Anya dengan heboh begitu perempuan itu menghampiri mereka di ruang tamu. Pipi Anya habis diciumi kiri dan kanan dengan gemas.

Seperti biasa, obrolan basa-basi tentang betapa makin cantiknya Anya mulai dilemparkan. Namun kemudian disusul dengan komentar bahwa tubuh Anya terlihat lebih kurus dari yang terakhir mereka lihat.

"Atuh Nya, jangan kurus-kurus ih kamu. Udah cantik yang waktu terakhir ke sini tuh, sekarang lihat nih... meuni tulangnya sampai nonjol!" Komentar pertama diluncurkan.

Tante kedua Anya lalu ikut menyahut, "Iya bener. Omong-omong sekarang gimana, neng? Udah ada belum gantinya si Aa yang dulu?" Dibanding komentar, tante Anya yang kedua memilih langsung melemparkan boomerang.

Anya baru akan menjawab namun tante ketiganya lebih dulu melemparkan serangan, "Kalau belum ada juga, mau nggak dikenalin sama Bibi bungsu? Bibi bungsu ada calon yang cocok buat kamu..."

Anya memaksakan sebuah senyuman, menahan sekuat diri untuk tidak menggertakan giginya. Sabar Zevanya, sabar... "Nggak usah, Bi, Anya belum mikirin ke sana."

"Heh, jangan gitu, geulis! Kamu tuh kan bentar lagi tiga puluh tahun, di sini coba lihat, mana ada umur segitu belum nikah. Atau minimal punya pacar. Mau aja ya Bibi kenalin? Baik kok anaknya, kasep."

"Emang siapa, Cu?" tanya tante kedua Anya pada adiknya itu. "Ada gitu?"

"Itu lohhh si Aslan! Anaknya Pak Haji Dani. Kemarin si Pak Haji lagi ngobrol-ngobrol sama Aa, terus katanya Dani lagi nyari calon."

"Si Aslan bukannya nggak mau sama perempuan yang kerja di Jakarta? Katanya kalau udah kerja di Jakarta gaya hidupnya suka hedon."

Anya nyaris tersedak. Bukan soal merasa tersindir, tapi justru ingin tertawa karena bisa-bisanya ada laki-laki yang berpikir sesempit itu. Belum resmi dikenalkan saja Anya sudah ilfeel duluan.

"Halah, mau-mau aja tapi pasti dia. Atuh Anya mah geulis, sekali ngeliat juga nggak bakal mikir lagi kerja di mana."

"Anya emang sekarang kerjanya lagi di mana? Masih di tempat yang dulu tea? Yang perusahaan sabun itu?"

"Life Care, Bi." Anya menyahut singkat. Malas menjelaskan perihal perusahaannya yang bukan hanya perusahaan sabun tetapi juga berbagai brand produk kebersihan lain. "Tapi sekarang udah nggak," lanjut Anya.

Karlina yang juga baru bergabung di ruang tamu bersama Anya dan tiga saudara perempuannya itu menatap putri satu-satunya itu dengan tatapan terkejut. Pantas saja Anya hanya menjawab singkat saat ibunya itu bertanya mengapa Anya tidak pulang ke Jakarta untuk bekerja dengan jawaban bahwa dirinya cuti.

"Kamu bilang cuti?"

"Kemarin memang cuti, tapi sekarang resign." Anya lalu bangkit dari duduknya dan mengucap permisi pada ketiga bibinya tersebut untuk kembali ke kamar. "Anya masuk dulu ya Bi, mau mandi." Dan tanpa menunggu reaksi dari ketiga tante dan juga ibunya, Anya langsung melesat pergi.

Sejujurnya sampai tadi malam, Anya masih belum juga memutuskan soal rencana resignnya tersebut. Masih banyak pertimbangan yang Anya pikirkan, apalagi Anya juga harus memikirkan apakah ada pekerjaannya yang mungkin belum beres dan bisa ditinggalkan jika Anya resign begitu saja.

Tapi semakin Anya menghabiskan waktunya di rumah saja, semakin Anya merasakan bahwa kehidupannya di Jakarta saat ini tidak bergerak maju. Anya hanya berjalan di tempat, membiarkan waktu terus bergerak sedangkan dirinya tidak sekalipun beranjak.

Bahkan kecerewetan ketiga bibi Anya soal pernikahan semakin menyadarkan Anya kalau dirinya bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya saat ini.

Anya akhirnya membuka laptopnya yang bahkan tidak tersentuh selama seminggu belakangan. Membuka account emailnya yang sudah dipenuhi banyak pesan soal pekerjaan. Termasuk surat peringatan karena Anya yang mengambil cuti sembarangan tanpa izin.

Kini Anya semakin yakin untuk mulai mengetik surat pengunduran dirinya. Anya bahkan sudah tidak peduli lagi kalau dirinya bahkan harus dipecat karena sikap tidak profesionalnya. Anya sendiri sudah muak dan ingin segera keluar dari gelembungnya.

Jadi setelah menekan tombol kirim, Anya langsung membuka sebuah website travel, secara random mencari rekomendasi tempat berlibur sementara yang bisa dijadikannya tujuan untuk self-healing. Dari villa di daerah pegunungan hingga resort pinggir pantai masuk ke dalam list Anya yang ia namai self-healing project.

Tapi tangan Anya akhirnya berhenti mengulirkan kursor pada salah satu resort pinggir pantai yang lokasinya tampak baru untuk Anya. Bukan di Bali seperti resort lain yang masuk ke listnya. Resort itu berada di Pulau Wijaya yang Anya ketahui adalah pulau pribadi milik konglomerat Wijaya.

Anehnya, resort dengan nuansa kayu yang tampak teduh meski berada di pinggir pantai itu benar-benar mengunci perhatian Anya begitu saja. Anya sepertinya sudah menemukan tujuan barunya.

Healing Getaway at The Surya Resorts. 20% Off and many special promos for this month! Book yours, now!

Tanpa pikir panjang, Anya langsung menekan tanda booking untuk resort tersebut. Dan tidak tanggung, Anya langsung menekan untuk 3 months stay di sana. Anya bahkan tidak peduli dengan jumlah yang harus dibayarnya. Anya masih punya uang tabungan pernikahan di rekening bersamanya dengan Dirga dan Anya akan menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dan memanjakan dirinya.

Saat selesai bertransaksi, pintu kamar Anya diketuk dan kepala Zidan, kakak laki-lakinya menyembul. "Nya, lagi sibuk?" tanya Zidan. "Idih, ngapain senyum-senyum?"

Anya yang suasana hatinya kini sedang sangat bagus menggeleng dan justru semakin tersenyum. "Mau ngapain?" tanyanya sambil menutup layar laptop.

"Ngobrol, yuk? Sama Mami-Papi juga. Ada yang mau diomongin."

***

"Mas Arya, tadi ada telpon dari Ibu Shinta, katanya sore ini beliau mau ke sini. Minta dijemput ke dermaga, kalau nggak dijemput Ibu ngambek."

Arya tertawa mendengar informasi dari pegawai perempuannya tersebut. Lelaki yang sedang sibuk memisahkan daun basil itu menganggukan kepala, "Kalau gitu nanti tolong konfirmasi sama asistennya Mama saya, ya, mereka flight yang jam berapa jadi biar saya jemput ke bandara aja langsung."

"Baik, Mas."

"Thank you, Vega." Arya tersenyum lembut pada perempuan yang hari itu mengenakan blouse santai berwarna biru muda.

Meski Arya sudah menjadi atasannya selama hampir setahun belakangan ini, Vega masih saja terpesona setiap lelaki bertubuh tegap itu melemparkan senyum. Bahkan seterik apapun matahari di luar sana, senyuman Arya memiliki daya magis yang seolah membawa kesejukan pada siapa saja yang melihatnya.

Oke, berlebihan memang, tetapi Vegalia hanyalah wanita normal pada umumnya yang tidak mungkin tidak lemah akan sosok makhluk Tuhan yang indah berupa Aryadi Surya Wijaya itu. Sudah tampan, bertubuh seksi, lembut, ramah dan jangan lupa skill memasaknya yang sudah tidak bisa diremehkan. Meski Arya punya kekurangan yaitu pembawaannya dan ucapannya yang terkadang terkesan lebih tua dari usianya, nilai plus lelaki itu jauh lebih dominan. Jadi jangan salahkan kalau perempuan yang usianya hanya dua tahun di bawah Arya itu naksir pada lelaki yang juga dulu merupakan kakak tingkatnya di kampus meski secara teknis mereka tidak benar-benar saling kenal saat masih kuliah.

"Ada lagi, Vega?" tanya Arya karena sadar perempuan berambut panjang itu masih tidak kunjung beranjak dari tempatnya. Seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak kunjung melakukannya.

Vega memasang senyuman canggung, "Uhm, Mas Arya...udah lunch?" tanyanya ragu. Pipinya sudah semerah tomat sepertinya. Padahal Vega yang biasanya bukanlah tipikal perempuan malu-malu seperti ini.

Arya seperti tersadar bahwa kini sudah masuk jam makan siang. Lelaki itu melirik ke jam tangan di pergelangannya. "Ah, hampir aja saya lupa. Yaudah kamu telfon asisten Mama saya nanti aja habis lunch." Arya lalu kini benar-benar meninggalkan keranjang berisi daun basil yang sedang dipetikinya.

Meski kini Arya secara teknis adalah bos di resort tersebut, dibanding duduk diam di ruang kantornya, lelaki itu masih saja senang turun tangan langsung ke dapur untuk memasak atau sekadar menyiap-nyiapkan bahan masakan seperti yang dilakukannya saat ini. Arya mencuci tangan sebelum kemudian berjalan menghampiri Vega, "Mau lunch bareng?" tanyanya yang membuat Vega hampir saja berteriak tidak menyangka.

Dan tentu saja tanpa membuang waktu, Vega langsung menganggukkan kepalanya excited. Dan meskipun yang Arya maksud dengan makan siang bersama adalah makan di kantin karyawan bersama-sama dengan karyawan lainnya dan bukan makan berdua saja, Vega tetap menganggap ajakan Arya hari ini adalah salah satu pertanda baik. Yah, semoga.

***

"PERJODOHAN?"

Zidan yang hendak menyuap makanan ke mulutnya mengurungkan niat begitu mendengar teriakan adiknya tersebut. Sepertinya membicarakan soal ini saat makan memang bukan ide yang bagus.

"Anya dengerin—"

"Mi, Pi, kalian tahu sendiri berapa lama Anya dulu pacaran sama Dirga sampai akhirnya tunangan tapi ujung-ujungnya gagal juga. Apalagi ini lewat perjodohan!" Anya tidak membiarkan orang tuanya memberikan penjelasan. Anya pikir dia hanya perlu mendengar soal desakan untuk menikah dari tante-tantenya saja, tetapi kini kedua orang tuanya tidak ada bedanya dengan mereka. "Lagian ini bukan zaman Siti Nurhaliza main jodoh-jodohan!"

"Siti Nurbaya, anjir—"

"DIEM DEH A'ZIDAN! MAKAN AJA HABISIN!" Anya membentak kakak laki-lakinya yang kemudian langsung menutup mulutnya rapat. Adik perempuannya itu kalau sudah murka bisa lebih galak dari macan sekalipun. Dan Zidan tidak mau terkena amukannya.

Karlina mengehela napas, "Mami sama Papi tahu betapa terlukanya kamu karena Dirga, tapi kami juga khawatir lihat kamu yang jadinya terus menutup diri terus. Kalau nggak ada usaha untuk disembuhin, ya lukanya nggak akan sembuh."

"Anya juga lagi nyembuhin—"

"Dengan menutup diri kamu dari berhubungan serius dengan orang lain? Itu bukan nyembuhin, kamu hanya menghindar, Zevanya." Kini Hardian, Papi Anya yang mulai angkat bicara. Pria paruh baya bersuara lembut itu akhirnya mengambil porsinya.

"Ya tapi nyembuhinnya bukan dengan cara jodohin." Suara Anya semakin mengecil. Nadanya tidak lagi membentak karena protes. Karena Anya mulai sadar jika memang tujuan orangtuanya sama sekali bukan bermaksud buruk.

"Kami nggak minta kamu untuk langsung menikah kok, kenalan dulu aja. Kalau cocok, ya itu balik lagi ke keputusan kamu," terang Karlina meyakinkan. "Setidaknya coba saling mengenal dulu, ya?"

Anya menusuk-nusuk potongan daging empal di atas piringnya yang makanannya nyaris tak tersentuh. Mendadak kehilangan selera makannya. "Enam bulan lagi."

Karlina, Hardian dan Zidan refleks melemparkan tatapan bingung mereka kepada anggota keluarga termudanya. "Maksudnya?" tanya Karlina bingung.

"Enam bulan, Anya butuh waktu enam bulan untuk menerima perjodohan itu."

"Kenapa harus enam bulan?" tanya Zidan ikut penasaran dengan maksud adiknya. "Kamu mau pergi ya, Nya?"

Tembakan sang kakak tepat sasaran. Anya nyaris tersentak karena tebakan kakaknya itu sangat tepat sasaran. Lalu ia memandangi wajah keluarganya satu persatu sebelum akhirnya menganggukan kepala. "Iya, Anya mau refreshing dulu, liburan."

"ENAM BULAN?" Kini giliran Karlina yang menaikkan nada bicaranya. "Kamu mau liburan ke mana selama itu, Anya?" tanyanya tidak habis pikir.

"Ya...ke mana aja. Sesuai hati Anya mau."

Zidan hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban adiknya tersebut.

"Jadi kamu juga sengaja resign karena ini?" tanya Karlina lagi. Masih tidak mengerti dengan jalan pikiran putrinya.

Anya mengangguk. "Nanti habis balik dari liburan ini, niatnya Anya mau kerja di pabrik Papi aja. Tapi karena Papi sama Mami juga udah ada rencana mau jodohin Anya, yaudah, nanti balik dari liburan... Anya terima perjodohan itu dan nikah."

"What?" Zidan menatap adiknya itu setengah tidak percaya. Anya yang dia kenal bukan tipikal perempuan yang mudah pasrah. Terbukti dengan betapa keras kepalanya Anya dulu mempertahankan hubungannya dengan Dirga meski sudah ada red flag dari keluarganya. Jadi, mendengar jawaban pasrah adiknya itu benar-benar membuat Zidan shock.

"Ngg—" Karlina menghentikan ucapannya ketika tangan suaminya menyentuh pelan lengannya. Lalu pria yang sudah dinikahinya puluhan tahun itu menggelengkan kepala, memberi tanda untuknya tidak melanjutkan ucapannya dan mengambil alih.

"Memang Anya mau pergi liburan ke mana? Sudah ada tujuannya?" tanya Hardian lembut.

Anya mengangguk. "Untuk tiga bulan pertama Anya mau stay di resort pinggir pantai di Pulau Wijaya. Tapi tiga bulannya lagi nanti belum tahu, mungkin pindah tempat."

"Pulau Wijaya?" Hardian memastikan. "Anya yakin mau pergi sendirian selama itu?"

Anya menatap balik Papinya dengan pandangan sangat yakin. "Yakin, Pi, Anya kan udah dewasa. Selama ini Anya juga di Jakarta sendirian..."

"Jakarta-Bandung itu masih deket, ini udah beda pulau loh. Kalau ada apa-apa nggak bisa semudah dan secepat itu kayak waktu kamu di Jakarta."

Anya sekali lagi mengangguk mantap. "Anya udah mikirin risikonya. Termasuk Anya udah nyari tahu soal lingkungan di resort itu juga dan meski itu pulau pribadi, fasilitas umum di sekitarnya juga lengkap. Jarak dari pulau utama juga nggak jauh jadi nyebrangnya nggak sampai lima belas menit."

Melihat keseriusan anak gadisnya tersebut, Hardian dan Karlina tidak bisa mengatakan tidak. Apalagi mengingat apa yang sudah dilalui putrinya itu membuat mereka semakin tidak tega. Selama ini Anya sudah mencoba menunjukkan dirinya baik-baik saja dan kembali menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Tetapi jauh di dalam itu, keduanya sadar Anya hanya sedang berpura-pura baik-baik saja. Orang tua mana yang ingin melihat putrinya menjalani hidup dengan berpura-pura? Jadi yang bisa mereka lakukan saat ini adalah memberi support atas keputusannya. Dan mungkin, Anya memang membutuhkan liburan itu untuk menyembuhkan dirinya.

"Ya sudah, tapi selama pergi kamu tetap harus keep in contact sama kami. Nggak boleh kayak dulu di Jakarta."

Anya mengangguk cepat. "Iya Pi! Anya janji!" serunya antusias.

"Tapi gimana kalau selama liburan ini kamu coba kenalan juga sama yang mau dijodohin sama kamu, Nya. Lewat chat aja, ngobrol saling kenal dulu."

"Nggak mau!" Anya menyahut dengan cepat gagasan dari ibunya tersebut. "Anya nggak mau direcokin sama laki-laki selama liburan ini."

"Termasuk Papi sama A'Zidan?"

"Kecuali Papi, kalau A'Zidan tergantung kondisi."

"Dih, nanti kangen!"

Anya hanya bisa memeletkan lidah pada kakak laki-lakinya tersebut. Padahal usia mereka berdua sudah tidak lagi anak-anak, tetapi saat bersama kelakuan keduanya bahkan lebih kekanakan dibanding anak Zidan yang berusia tiga tahun.

"Terus kapan rencana berangkatnya?" tanya Hardian lagi pada putrinya. Karlina dan Zidan juga ikut memandang Anya, menunggu jawabannya.

Anya lalu memasang cengiran tidak berdosa, "Besok..."

"ANYA!"

***

Setelah mendarat di bandara, Anya sudah disambut oleh shuttle car dari resort yang menjemputnya siang itu. Karena Anya memang mengambil flight terpagi dari Bandung menuju ke Kepulauan Riau sebelum kemudian menyebrang lagi dengan kapal boat shuttle menuju Pulau Wijaya.

Seperti yang sudah Anya baca dari review di blog-blog travel, waktu yang dihabiskan Anya untuk menyebrang dari pulau utama ke Pulau Wijaya tidak sampai lima belas menit. Katanya shuttle boat milik Pulau Wijaya juga standby selama 24 jam bolak-balik sehingga pengunjung resort tidak perlu takut kesulitan menyebrang.

Anya disambut dengan kalung bunga dan welcome drink sesampainya di lobby resort yang asri dan teduh tersebut. Aroma wewangian di lobby resort mengingatkan Anya pada tempat spa yang membuatnya langsung merasa relax meski baru sampai di lobbynya saja.

Karena Anya datang pagi, lobby yang ruangannya ditata dengan konsep open space itu tampak sepi. Hanya ada seorang laki-laki terlihat di balik meja resepsionis. Awalnya, Anya memang berniat untuk belanja dan keliling di pulau utama dulu sebelum kemudian menuju resort menjelang waktu check in yaitu pukul dua siang. Namun karena Anya sudah terlanjur tidak sabar untuk menuju resortnya, jadilah Anya di sini sekarang.

"Permisi?"

Lelaki yang semula memunggungi Anya itu menoleh. Setengah terkejut akan kedatangan Anya sebelum kemudian menyatukan kedua tangannya di depan dada sebaga gesture ucapan selamat datang. "Selamat datang di The Surya Resort. Ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.

Anya sempat sedikit terkejut melihat wajah lelaki yang mungkin bekerja sebagai receptionist itu memiliki wajah agak kebaratan. Tampan. "Saya mau early check in, bisa?"

"Baik Bu, sebentar saya cek dulu ya ketersediaannya. Apa sebelumnya sudah booking?" tanyanya ramah.

Anya mengangguk. "Sudah, saya book buat long stay."


Lelaki itu lalu mengetikkan sesuatu di keyboard. "Atas nama siapa, Bu?" tanyanya lagi.

"Zevanya Giani."

Lalu lelaki itu memerika bookingan Anya pada komputer. Mengecek ini itu termasuk soal ketersediaan kamar karena Anya yang akan early check in. "Untuk type kamar yang Ibu pesan masih disiapkan. Menunggu kira-kira lima belas menitan apa tidak apa-apa, Bu? Nanti sambil menunggu dari kami ada complimentary food and drink di longue kami."

Anya mulai menoleh ke sekeliling. Dari lobby saja suara deburan air laut sudah terdengar memanggil-manggil. Sekalipun Anya menunggu hingga satu jam bahkan tidak masalah karena Anya bisa sambil melihat-lihat sekeliling. "Iya nggak masalah," jawabnya.

Lelaki dengan name tag Gavin yang tersemat di dada kirinya itu mengangguk lalu langsung mengurus data-data terkait check in Anya. "Boleh pinjam KTPnya, Bu?"

Anya pun menyerahkan tanda pengenalnya itu kepada Gavin. Lelaki itu lalu menyerahkan selembar dokumen yang perlu Anya isi dan tanda tangani.

"Ini kupon untuk makan dan minum di longue kami ya, Bu Zevanya. Nanti saat kamar sudah siap, kami akan infokan. Untuk barang bawaan Ibu boleh dititip di sini sementara jika Ibu bersedia. Longue kami ada di dekat pool, Ibu bisa jalan dari sisi kiri lobby nanti ada tanda arahnya."

"Okay, thank you." Lalu Anya langsung bergegas pergi menuju arah yang ditunjukkan staff resort bernama Gavin tersebut. Saking tidak sabarnya, Anya bahkan lupa tidak memasukkan kembali KTPnya yang masih ada di meja resepsionis.

Sayangnya, Gavin juga tidak menyadarinya karena posisi KTP Anya tergeletak terhalang oleh tumpukan pamflet resort. Sampai kemudian ada orang lain yang tidak sengaja menemukan KTP itu saat hendak menghampiri Gavin.

"Vin, ini KTP tamu? Ada yang early check in?"

Gavin yang semula sedang sibuk dengan layar komputernya tersentak mendengar pertanyaan tersebut dari laki-laki yang bukan lain adalah bosnya. "Eh Mas Arya, hah KTP?" Gavin mengernyit sambil memandang kartu tanda pengenal di tangan Arya. "Lah iya, punya tamu yang tadi. Jatuh itu Mas?"

Arya menggeleng. "Ini, ketinggalan di samping sini. Tamunya mana?" tanyanya sambil menoleh kiri dan kanan karena tidak menemukan siapapun di lobby tersebut.

"Lagi di longue soalnya kamarnya belum ready. Nanti saya balikin KTPnya Mas, sekalian infoin waktu kamarnya ready."

Arya mengangguk. Lalu menyerahkan kembali benda berbentuk persegi panjang tipis itu kepada Gavin namun tangannya berhenti sejenak. Lelaki itu memerhatikan kembali KTP tersebut atau lebih tepatnya foto di KTP tersebut.

Ini kan...

"Mas?" tegur Gavin yang membuat Arya tersentak dan buru-buru kembali menyerahkan KTP tersebut. "Ahiya Mas ke sini ada apa? Ada yang bisa dibantu?"

Arya baru ingat tujuannya menghampiri Gavin. "Nanti malem ngisi live music lagi, ya? Tamu-tamu pada suka sama suara kamu."

Gavin mendelik. Sekilas, orang lain akan menganggap Gavin tidak sopan. Tetapi hubungan antara karyawan dan bos di resort ini memang tidak seperti pada umumnya di mana tidak ada hierarki antara staff bawahan dengan atasan. Semua meski bekerja secara profesional tetapi juga seperti keluarga. Tidak heran lingkungan kerja di resort ini menjadi sangat nyaman sehingga hasilnya pun baik.

"Lama-lama saya beneran resign jadi receptionist terus fulltime jadi penyanyi aja deh!"

Arya tertawa, "Jangan dong, kami masih butuh wajah ganteng kamu buat nyambut para tamu yang dateng." Tentu saja ucapan Arya ini hanya candaan saja.

Gavin hanya menggeleng tidak habis pikir. Lalu bunyi telpon berdering dan memutus obrolan mereka. Informasi dari cleaning service mengenai kamar milik Anya yang sudah selesai dibersihkan. "Okay, thank you," ucap Gavin sebelum menutup telpon.

"Kamarnya udah ready?" tanya Arya penasaran.

"Iya, nih. Nitip bentar, Mas, mau ngasih tahu orangnya dulu."

Gavin sudah bersiap untuk keluar dari meja receptionistnya sebelum Arya menghentikan langkah lelaki itu. "Sini, saya aja yang kasih tahu orangnya. Orangnya lagi di longue, kan? Pakai baju apa?"

Meski sedikit bingung, Gavin menganggukan kepala, "Baju pink, rambutnya—"

"Panjang, tubuhnya ramping, lumayan tinggi dan punya tatapan mata tajam, kan? I know."

Gavin ingin menyatakan kebingungannya namun Arya sudah lebih dulu menyambar KTP dan key card kamar di tangannya lalu pergi begitu saja ke arah longue.

Sambil berjalan menuju longue hotel, Arya memandangi sekali lagi kartu tanda pengenal di tangannya sambil mencoba mengucapkan nama itu dan menyesuaikan dengan indranya. "Zevanya Giani," ucapnya.

***

"Ibu Zevanya Giani?"

Anya yang sedang mencocol potongan kentang gorengnya ke saus berhenti ketika mendengar namanya dipanggil. Ketika mendongak, sesosok laki-laki tampan mengenakan polo shirt menjulang di hadapannya. Anya bertanya-tanya dalam hati kenapa ada banyak sekali pria tampan yang bekerja di resort ini, sih? Tetapi tentu saja Anya dengan cepat bisa mengatur ekspresi.

"Iya, saya, ada apa ya?"

"Ini saya mau infokan kalau roomnya sudah avail dan juga mau mengembalikan KTP Ibu, ketinggalan di meja receptionist." Arya menyerahkan kunci kamar yang berupa kartu beserta kartu tanda pengenal Anya kepada pemiliknya.

"Ah—thank you," ucap Anya sambil menerima kedua kartu tersebut. "Kamar saya di sebelah mana, ya?" tanya Anya lagi setelah melihat kartu kamarnya.

"Nanti saya—kami antar ke kamar, Bu."

Anya mengernyit bingung. Kalau memang mereka akan menunggu Anya untuk mengantarnya ke kamar, kenapa harus menghampiri Anya langsung ke sini? Kan bisa menunggu Anya yang kembali ke lobby sekalian mengambil barang-barangnya. Tetapi mungkin itu kebijakan resort yang tidak Anya mengerti.

Lelaki berdada bidang dan bertubuh tinggi itu lalu tersenyum sebelum kemudian pamit dari hadapan Anya. Anehnya, Anya seperti pernah melihat lelaki itu meski Anya tidak bisa mengingatnya dengan jelas.

"No, Anya, lo ke sini bukan mau cari cowok." Anya menggelengkan kepala pelan, mencoba mengenyahkan apapun yang ada di kepalanya itu dan kembali fokus pada makanan di hadapannya. Tanpa sadar kalau ada seseorang yang senyum-senyum sendiri di buatnya.

"Mas Arya!" Arya tersentak ketika Gavin memanggilnya. "Idih, ngapain sih Mas senyum-senyum sendiri?" tanya lelaki itu penasaran. Sejak tadi, bosnya ini sudah bersikap tidak jelas. Dan Gavin sendiri memang termasuk orang yang kepoan, jadi semakin berisiklah lelaki itu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arya.

Arya berdeham, mencoba mengatur ekspresinya yang bahkan tidak ia sadari telah menjadi lebih sumringah sejak berbicara langsung dengan Anya di longue tadi. Arya mengingat Anya dan semakin yakin setelah bicara langsung dengannya, suara Anya masih sama seperti yang pernah didengarnya dulu. Bedanya, rambut Anya sekarang jauh lebih panjang dibanding waktu itu. Tetapi cantiknya, jelas masih sama. Atau malah jadi lebih cantik?

"Idih, ditanya bukannya jawab malah makin senyum-senyum." Gavin akhirnya hanya menggelengkan kepalanya, menyerah menggali info dari atasannya tersebut dan memutuskan kembali bekerja.

"Vin, di kamar tamu tadi... dikasih welcome cake?"

Gavin yang sedang menatap layar komputer mengalihkan tatapannya pada Arya dengan dahi mengernyit. "Tamu tadi? Yang Ibu Zevanya itu?" tanya Gavin meyakinkan. Padahal memang belum ada tamu lain lagi yang check in setelah Anya, tetapi tidak ada salahnya kan Gavin meyakinkan kembali.

"Iya. Beliau long stay kan di sini?"

"Iya. Tapi kan cake biasanya dikasih buat yang wedding atau honeymoon sama ulang tahun..."

"No, give her one too."

"Satu slice?" tanya Gavin lagi setengah tidak yakin.

Arya tersenyum kecil. "Nope, but a whole cake."

"Hah?"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro