Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4

Suara musik yang memekakan telinga menyapa indra pendengaran Anya sesaat dirinya memasuki kelab malam. Lampu gemerlap yang memusingkan mata turut serentak meramaikan suara. Orang-orang kelebihan energi yang memang datang untuk bersenang-senang tampak bercampur aduk di lantai dansa. Sedangkan di sisi lain dari tempat hiburan itu diisi orang-orang yang asyik bersantai dengan teman-temannya melingkari meja dengan minuman memenuhinya.

Anya datang sendirian, jadi otomatis tujuannya langsung ke arah bar yang untungnya malam ini tidak ramai. Mungkin karena ini sudah jamnya orang-orang asyik berdansa. Anya memesan minuman dengan alkohol rendah, menolak kehilangan kesadaran terlalu banyak karena ia sadar jika dirinya datang seorang diri dan akan berbahaya untuknya jika ia mabuk sendirian.

Jika dulu selalu ada teman-teman Anya yang siap menemaninya dan menjaganya saat mabuk di kelab malam, kini sahabat-sahabatnya itu mungkin sedang asyik bercengkrama dengan suami dan keluarga masing-masing di rumah.

Dimulai dari Ivanka, Gisella hingga Nadira. Semuanya sudah mulai menjalani kehidupan dewasa mereka yang selayaknya. Sedangkan Anya masih terluntang-lantung tanpa arah pasti. Anya kadang bertanya, apa memang benar tujuan akhir setiap manusia adalah membangun keluarga? Lalu bagaimana dengan mereka yang memang tidak ingin menikah? Apa mereka juga merasakan perasaan gundah dan kesepian seperti yang tengah dirasakannya saat ini meski secara teknis, dirinya sedang berada di tempat ramai.

Jawabannya jelas tidak. Orang yang benar-benar tidak ingin menikah mungkin sedang menjalani hidupnya baik-baik saja meski sendirian. Atau mungkin dengan hewan peliharaan. Atau bisa juga hanya hidup berdua dengan orang tuanya, it doesn't matter. Yang menjadi alasan Anya merasakan hampa dan kesepian adalah karena di dalam benaknya, Anya masih menginginkan sebuah pernikahan. Anya masih diam-diam berharap jika kelak ia juga akan menikahi dengan laki-laki yang tepat. Entah kapan.

Saat Nadira sahabatnya yang juga memiliki kebiasaan bergonta-ganti pacar sesering ganti baju sebelum akhirnya menjatuhkan hatinya pada suaminya saat ini mulai serius akan hubungannya, Anya sesungguhnya sudah mulai merasa ditinggal. Meski dirinya juga ikut senang, tetapi hati kecilnya tidak bisa berbohong kalau ada rasa iri yang ikut timbul di sana.

"Hai, sendirian?" Seorang laki-laki menyapa Anya sehingga membuat perempuan itu sempat berjengit kaget dari tempatnya. Karena terlalu sibuk melamun, Anya sampai tidak sadar ada seorang laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya. "Boleh gue join?" tanyanya lagi karena Anya tidak kunjung menyahuti sapaannya.

Saat suasana hati Anya bagus, perempuan itu pasti tidak berpikir panjang untuk meladeni. Apalagi laki-laki yang menghampirinya ini secara fisik cukup menarik—jelas bukan tipikal jamet tidak jelas. Plus, laki-laki ini mendekatinya dengan cara yang sopan. Masih menjaga jarak dan tidak melemparkan tatapan mesum seperti laki-laki di club pada umumnya.

"Sorry, udah mau balik." Anya bahkan belum menyentuh minuman yang dipesannya sebelum kemudian membayar minuman itu dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan penuh gemerlap tersebut.

Di perjalanan menuju ke parkiran, Anya berpapasan dengan banyak sekali orang yang sepertinya baru saja tiba dan akan memulai malam mereka. Sedangkan Anya, perempuan itu memutuskan untuk pulang karena moodnya berubah begitu saja.

Petugas parkir bahkan terlihat melempar tatapan bingung pada perempuan yang mengendarai mobil berwarna putih itu karena karcis parkirnya bahkan menunjukkan bahwa perempuan itu belum ada satu jam berada di sana. Ibaratnya, masih terlalu sore untuk pulang dari sebuah night club. Tapi Anya tidak peduli.

Setelah pintu palang parkiran dibuka, Anya menginjak pedal gas mobilnya membelah jalanan ibu kota di pukul sebelas malam tersebut. Namun bukannya langsung pulang, Anya mengarahkan mobilnya menuju salah satu gerai restoran cepat saji yang memang searah dengan rumahnya.

Anya memesan satu paket burger lengkap dengan kentang goreng dan cola. Ditambah satu paket ala carte nugget, chocopie serta ice cream. Seharusnya Anya tidak perlu jauh-jauh pergi ke night club jika makanan cepat saji ini lebih efektif untuk menaikkan moodnya. Jadi dengan setengah tidak sabar, Anya langsung membawa semua pesanannya kembali ke apartmentnya.

"Sabar ya kalian, dikit lagi sampai," ucap Anya pada paperbag berisi pesanannya itu yang ia letakkan di kursi penumpang di sebelahnya. Anya mungkin perempuan yang kesepian, tetapi bukan berarti Anya tidak bisa mencari kebahagiaan.

***

Weekend ini, seperti biasanya Anya bangun siang. Apalagi semalam ia begadang karena keterusan marathon serial TV sambil memakan burgernya. Anya baru sadar jika dirinya sudah menghabiskan hampir delapan episode malam itu dan memutuskan tidur.

Anya sedang mengecek isi kulkas untuk mencari sarapan—atau lunch karena jam juga sudah hampir setengah dua belas siang ketika ponselnya berdering. Anya baru mengecek ponselnya sejak bangun dan nyaris tersedak karena menemukan ada lima notif missed call dari ibunya.

"KAMU BARU BANGUN YA?" Semprot sang ibu ketika Anya mengangkat panggilan. "Ieu teh anak gadis kumaha sih, jam segini baru bangun? Gimana mau dapet jodoh?"

Secara refleks Anya menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar suara ibunya yang menggelegar. Meski Anya harusnya sudah terbiasa dengan kerewelan dan suara cempreng sang ibu, perempuan itu tetap masih terkejut juga. "Aduh Mi, kuping Anya sakit ih..."

"Iya udah besok kamu pulang sini ke Bandung, Mami anterin ke THT."

Anya mendengus. "Kuping Anya sakitnya gara-gara suara Mami, tau, meuni riweuh pisan. Santai aja gitu loh Mami, ini hari Sabtu."

"Iya makanya. Ini udah Sabtu lagi, terus janji kamu mau pulang belum kamu laksanain. Kamu emang nggak sayang ya sama Mami? Nggak kangen?"

Anya memutar bola matanya. Tidak heran jika dirinya juga memiliki sedikit jiwa drama queen. Semua itu ternyata memang keturunan dari ibunya sendiri. "Yaudah minggu depan Anya pulang..."

"Nggak-nggak! Nggak minggu depan, tapi hari ini. Entar biar Mami suruh Aa kamu jemput!"

"Mi, jangan lahhh. Kasihan A'Zidan bolak-balik jemput Anya. Apalagi weekend pasti macet. Lagian ini udah siang, Mi, besok Minggu malem Anya udah harus balik Jakarta. Nanggung..."

"Ya kamu mau dijemput dari pagi kamunya nggak bangun ditelponin!"

Anya menghela napas. Meski ibunya itu cerewet, Anya juga jadi merasa bersalah karena terdengar jelas bahwa ibunya itu merindukannya. Sejak kegagalan hubungannya dengan Dirga, Anya memang sebanyak mungkin menghindari Bandung. Selain karena terlalu banyak kenangan di kota itu saat masih bersama Dirga, kota itu juga yang menjadi saksi dari berakhirnya hubungan mereka dengan cara yang menyakitkan.

Dan juga, Anya malas saat harus menghadapi bibi-bibinya yang memang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tua Anya. Apalagi kalau bukan untuk memberondongi Anya tentang kapan secepatnya mencari pengganti Dirga hingga ikut campur untuk menjodoh-jodohkan Anya dengan kenalan mereka.

"Iya Mi, Anya janji minggu depan pulang. Kali ini beneran, Mami boleh marah ke Anya kalau Anya nggak pulang lagi minggu depan."

"Yaudah ya, Mami pegang janji kamu!"

Lalu setelah bercakap-cakap ringan di mana Anya menanyakan kondisi kesehatan ibunya itu dan masakan apa yang dimasaknya hari ini, sambungan pun berakhir. Anya bisa kembali melanjutkan weekendnya hari itu dengan suasana yang cukup baik.

Aneh memang, meski ibunya itu cerewet dan terkesan galak, Anya justru merasakan comfort dari obrolan singkat mereka tadi. Memang definisi rumah yang sebenarnya itu adalah di mana ada ibu berada. Setidaknya untuk Anya.

Karena suasana hatinya cukup baik, Anya memutuskan untuk pergi belanja ke supermarket di bawah gedung apartementnya untuk membeli beberapa bahan masakan. Mendadak Anya jadi ingin makan pasta. Pakai bumbu instan sih, tapi kan tetap saja butuh effort memasaknya. Jadi setelah berkaca dan merapikan sedikit penampilannya yang hari itu hanya mengenakan t-shirt oversize yang dipadukan dengan legging, Anya pun bergegas pergi.

Setelah belanja singkat, Anya juga menyempatkan diri mengambil paket di mailbox dan menemukan ada beberapa buah paket belanjaan yang ia beli dari e-commerce, Anya bahkan lupa barang apa saja itu saking seringnya ia belanja online. Namun ada yang menarik perhatian Anya karena selain beberapa bungkus barang belanjaan online dan surat tagihan kartu kredit, Anya juga mendapatkan sebuah amplop berwarna lilac yang ternyata berisi undangan.

Tentu saja reaksi Anya ketika melihatnya adalah mengernyitkan dahi. Karena seingat Anya, tidak banyak orang yang tahu alamat apartment Anya kecuali mereka memang cukup dekat dengannya. Dan sejauh Anya ingat, tidak ada orang terdekat Anya yang akan menikah dalam waktu dekat dan mustahil jika Anya tidak tahu sebelumnya.

Amplop itu tidak menuliskan nama mempelai di luarnya selain hanya motif cantik dari dried flower dan nama Anya yang dicetak di tepi undangan. Jadi ketika Anya sampai kembali ke dalam apartmentnya, dengan penasaran Anya membuka undangan tersebut untuk melihat siapa orang yang baru saja mengirimkannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro