Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 8

Satu-satunya yang Tinky pikirkan ketika melihat telur itu adalah dia harus menyelamatkan seragamnya. Maka dari itu, secara mengesankan, dia berhasil kabur secepat kakinya mampu berlari, memilih untuk meninggalkan bangkunya di lapangan.

Prioritasnya kini berganti pada pilihan menyelamatkan seragam mahalnya.

Gea kesal karena rencananya tidak berhasil. Setengah dari teman-temannya berusaha mengejar Tinky sembari melempar telur semampu mereka, tetapi sayangnya, tak ada satu pun yang tepat sasaran. Langkahnya begitu cepat, menyalip ke sana kemari di antara pepohonan hingga mereka kewalahan.

Tidak ada yang menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan dan terbahak karenanya. Kemudian setelah yakin gadis itu bisa mengatasi situasi tersebut, dia berbalik dan kembali ke kelas.

"Tepat seperti penilaian gue, Tinky memang menarik," puji Jemmy sembari melangkah ke bangkunya selagi Ray menunjukkan ekspresi kaget meski dia berusaha menutupinya.

"Emangnya kenapa?" tanya Reno, teman sebangku Jemmy.

"Lo lihat aja sendiri. Bentar lagi dia balik," jawab Jemmy misterius, mengundang rasa kepo sementara guru yang mengajar di depan tampak tidak suka karena acara mengajarnya diinterupsi.

Pintu belakang kelas terdorong dari luar dan Tinky masuk. Napasnya terengah-engah, dia tampak berusaha mengatur napas sebisanya.

Suaranya terdengar parau sewaktu berbicara. "I'm sorry, Ma'am. My chair was stolen and I—–"

"That's okay. Please stay calm," potong Bu Kelly dengan nada prihatin. "I know what's going on since everybody's talking about it. You must be very exhausted. Please go back to your seat."

Namanya saja sekolah internasional, jadi kurikulumnya mengacu pada sistem pendidikan yang mengharuskan penggunaan bahasa Inggris. Meski mereka juga diwajibkan berbicara bahasa Inggris di luar pembelajaran, tetap saja masih ada sebagian yang belum terbiasa dan  cenderung nyaman menggunakan bahasa ibu.

Walau penyampaian Tinky tidak malu-maluin, tetap saja dia jadi malu karena tidak berhasil menyelamatkan bangku dan bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Gadis itu berjalan ke bangku kosong lain dan sekali lagi mengharapkan respons baik dari penghuni di sebelahnya, tetapi sayangnya tidak berhasil menarik empati mereka.

"Angkut aja bangkunya ke tempat elo," kata salah satu siswa, membuat Tinky mendengkus sementara Madam Kelly telah melanjutkan pelajaran ke forum diskusi. Pada sesi ini, murid-murid diharuskan untuk mengeluarkan pendapat dan berbagi.

Tinky bersusah-payah menarik dan mendorong bangku tersebut, tetapi malah dihadiahi ekspresi risihnya Ray. Oleh karenanya, mau tidak mau, dia menarik bangkunya menjauh dan harus puas dengan menyendiri di sana.

Setidaknya gue bisa nyelamatin seragam mahal ini.

*****

"

SIALAN! KENAPA, SIH, RENCANA GUE BISA GAGAL?!" teriak Gea sekeras-kerasnya, berhasil membuat teman-temannya terlonjak kaget.

"Maafin kita-kita ya, Gea. Kita udah berusaha, tapi tetap aja nggak berhasil. Larinya cepat banget kayak—–"

"Hush!" potong teman di sebelahnya, secara refleks memberi tatapan penuh peringatan karena takut kata-katanya akan memancing emosi sang ketua geng.

Namun untungnya, ada salah satu anggota geng yang menemukan sebuah ide jika ditilik dari seringai yang dia tunjukkan. Lantas tanpa menunggu lebih lama, dia segera mengutarakannya dengan berbisik ke telinga Gea. Sepertinya, ide tersebut akan berhasil karena Gea tersenyum kembali setelah mencak-mencak tidak jelas.

"Bagus! Ayo kita siapin minumannya!"

*****

Bus jemputan yang dinanti Tinky telah tiba dan seperti biasa dia segera naik, tetapi gadis itu tidak sadar bahwa selama sepersekian detik momen berjejeran di antara penumpang lain, ada seseorang yang diam-diam membuka tas punggungnya dan menukar botol di dalamnya dengan botol yang sama persis, bahkan termasuk isinya.

Sang pelaku tersenyum setelah berhasil melakukan misinya dan dengan tawa yang tak bersuara, dia mengirim pesan ke ketua gengnya dengan ekspresi puas.

Tinky sampai di rumah dengan langkah yang diseret. Meski dari luar terlihat kuat, sejujurnya setiap sel dalam tubuhnya telah memberi sinyal untuk menyerah dan dia berharap bisa dipindahkan ke sekolah lain meski di sisi lain dia juga yakin tidak akan ada sekolah yang 'menerima'-nya. Siapa, sih, yang tidak mengenal Brayden Nathaniel? Lagi pula, yang namanya anak haram tetap saja negatif di mata orang-orang.

Tinky duduk di salah satu kursi berlapis perak dan langsung dihadapkan dengan aneka makanan di atas meja. Makanan yang selama ini disuguhkan padanya selalu mahal dan mewah, tetapi dia tidak pernah bahagia. Yang ada, Tinky jadi kangen dengan meja makannya yang kecil dan makanan sederhana yang disantapnya berdua dengan Bella.

Kini, yang ada di hadapannya adalah meja berukuran lima kali lebih panjang dan tidak ada siapa-siapa yang menemani kecuali asisten rumah tangga yang berderet dari sisi kanan-kiri. Bella jarang berada di rumah karena membantu bisnis Brayden. Walau tidak berpendidikan tinggi, wanita itu termasuk cepat tanggap dalam mempelajari sesuatu sehingga Brayden merasa tertolong. Selain itu, statusnya yang sudah menjadi istri tentu mempermudah segalanya.

Tinky segera menghabiskan makan siang yang dirasanya tidak berselera. Semakin hari porsi makannya semakin sedikit. Sungguh ironis, padahal makanan di depannya berlimpah.

Ray masuk ke ruang makan, tetapi langsung berekspresi datar saat melihat Tinky ada di sana. Saking terburu-burunya karena tidak enak jika Ray harus pergi dan melewatkan makan siang, Tinky memilih menenggak minuman manis dari botol yang sempat dia keluarkan dari dalam tas alih-alih air putih di meja makan.

Yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Gadis itu terhuyung dan ambruk di depan Ray yang spontan merasa kaget dengan hal itu. Sisa minumannya tumpah ke lantai sementara salah satu asisten rumah tangga memeriksa keadaan Tinky, lalu curiga dengan minuman tersebut.

"Ya, ampun! Kenapa Nona minum minuman kayak gini?" tanya asisten tersebut, tetapi sia-sia saja sebab Tinky sudah tidak sadarkan diri.

"Kenapa dia?" tanya Ray.

"Sepertinya Nona minum minuman beralkohol tinggi, Tuan. Mungkin Nona langsung ambruk karena batas toleran alkoholnya terlalu rendah."

"Kalian boleh pergi!" perintah Ray yang membuat asisten itu terkejut atas perintah yang tidak disangka-sangka.

"A-apa?!" gagap asisten itu, tetapi segera meninggalkan lokasi usai ditatap galak oleh Ray.

Ray sendiri tidak mengerti mengapa bisa memberikan perintah demikian. Kesannya malah jadi seperti dia yang bertanggung jawab atas Tinky. Namun, di saat cowok itu sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan, ekor matanya menangkap sekelebat bayangan dari luar jendela dan sosok itu sedang membawa kamera.

Kamera? Otak Ray berpikir keras, lalu muncul sebuah asumsi dari dalam otaknya; bahwa ada yang sengaja menukar minuman Tinky dan mengambil kesempatan ketika dia mabuk. Orang tersebut pastilah berharap agar Tinky melakukan hal yang kelewat batas agar bisa menjadikannya viral.

Ray segera mengambil kesempatan meninggalkan lokasi ketika mata-mata tersebut masih bersembunyi dengan cara membopong Tinky, lalu takjub sejenak saat menyadari kalau berat badan gadis itu lebih ringan dari dugaannya. Tidak hanya itu, Ray juga merasa tindakannya melampaui perintah di otak. Mengapa dia harus repot-repot menolong cewek yang dia benci setengah mati?

Apakah ini masuk akal? Ray bertanya-tanya selagi membawanya ke kamar Tinky dan membaringkannya di atas kasur. Lagi-lagi dia terpana sendiri karena untuk pertama kalinya, dia masuk ke dalam kamar cewek. Meskipun demikian, tatapannya tetap diedarkan ke seluruh ruangan sebelum akhirnya tersita sepenuhnya pada sebuah pigura di atas nakas. Foto tersebut memuat Tinky bersama Bella dan meski Ray menatap benci, tanpa sadar dia nengakui kalau senyuman Tinky sangat cantik di dalam foto itu.

Ini otomatis mengingatkannya pada masa-masa di SMP. Meski Tinky cenderung kalem dan tidak banyak berbicara, gadis itu sering menunjukkan senyumannya. Lantas, perhatian dan kesabarannya secara perlahan sempat mengisi kekosongan dalam hatinya. Sebenarnya....

Sebenarnya Ray mengakui kalau dulu dia sempat mempunyai perasaan khusus pada cewek bernama Tinky Michiru sebab ganya dia yang bersedia duduk bersamanya di saat yang lain takut menghadapinya selama tiga tahun berturut-turut. Hanya dia yang berusaha menguatkan hati untuk mengajak bicara, padahal emosinya sering meledak-ledak. Dan hanya dia yang berusaha untuk ceria ketika cowok itu sering melampiaskan emosinya.

Itulah sebabnya, kebenciannya pada Tinky meledak lebih parah dari yang seharusnya saat dia merasa dikhianati. Saat dia mendengar sendiri kalau Tinky Michiru adalah saudari tirinya. Kenyataan tersebut membuatnya hancur karena itu berarti... mereka mempunyai ikatan darah karena papa mereka adalah pria yang sama.

Papa mereka adalah Brayden Nathaniel.

Ray mungkin bisa membuang perasaan itu dengan gampang sebab rasa sukanya belum terlalu dalam dan ketimpangannya sangat jauh dari rasa benci. Namun... mengapa sekarang setelah melihat cewek itu mabuk dan tidak sadarkan diri seperti ini, dia malah....

Mata Tinky terbuka perlahan dan dalam sekejap matanya berhasil membuka maksimal. Ray memutuskan untuk segera pergi sebelum gadis itu menyadarinya, tetapi lensanya sudah telanjur menangkap bayangan cowok itu.

"Eh... ada si Ray," sapa Tinky yang masih mabuk. Dia mencekal pergelangan tangan Ray dan tanpa aba-aba, dia tersenyum manis.

"Oh, iya... gue mabuk," lanjut Tinky yang mulai meracau nggak jelas. "Karena nggak mungkin Ray bisa ada di sini, di kamar gue."

Ray melepas cekalan Tinky dan tidak berkata apa-apa, tetapi gadis itu mencekal pergelangan tangannya yang lain, membuat cowok itu melongo dengan keagresifannya.

"Mumpung gue masih mabuk, biarkan gue menikmati momen ini," kata Tinky sambil tersenyum lebih lebar. "Plis... jangan bangunkan gue. Gue belum mau bangun dulu. Gue takut ke sekolah besok. Me-mereka ngejar gue terus. Ray, apa yang harus gue lakukan? Ini jauh lebih sulit daripada menghabiskan tiga tahun sebagai teman sebangku lo. Gue lebih suka lo yang buli gue daripada mereka. Karena... karena...."

"Karena apa?" bisik Ray pelan, tetapi tatapannya seolah pedang yang menghunus netra Tinky.

"Karena...." Pelupuk mata Tinky mulai penuh dengan air mata dan secara tidak terduga, dia turun dari kasur sebelum mendekati Ray untuk memeluknya. Bahkan tanpa sungkan, dia menyandarkan wajahnya ke bahu cowok itu.

"Karena gue suka sama lo," ungkap Tinky. Sebenarnya jika dalam keadaan sadar, kesannya jadi konyol karena alasan gadis itu ingin dibuli adalah karena dia suka pada Ray. Namun, entah mengapa kata-kata tersebut seolah magis yang mampu membuat Ray merasakan hawa panas dari dalam dirinya, bersamaan dengan perasaan seolah-olah dia sedang melewatkan salah satu anak tangga ketika berlari.

Mereka berpelukan cukup lama dan yang paling Ray tidak mengerti adalah... dia membalas pelukan itu.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro