Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28

Sebuah botol berisi minuman soda ditempelkan ke pipi Ray yang pada saat itu sedang bersandar di salah satu pilar gazebo. Efek dingin dari botol tersebut sukses membuatnya tersentak sementara Tinky, si pelaku, tertawa geli melihat reaksinya.

"Lo bikin gue hampir jantungan tahu nggak, sih!" Ray misuh-misuh, tetapi dia menerima botol itu dengan senang hati selagi Tinky duduk di sebelahnya. Gadis itu juga memegang botol yang sama dan keduanya menenggak minuman soda dalam durasi yang hampir bersamaan.

"Lo sendiri yang beri perintah buat ngambil minuman soda," protes Tinky balik. "Untungnya, lo nggak nyuruh gue ambil alkohol karena lo harus berhenti minum minuman itu mulai dari sekarang."

"Makanya gue nyuruh lo ngambil soda," timpal Ray. "Soalnya gue mau minum sama lo. Nggak bisa bayangin, deh, kalau misalkan kita mabok bareng."

Ucapan Ray terdengar begitu santai, tetapi berhasil membuat jantung Tinky berdetak tidak stabil dan rona merahnya muncul sebab tiba-tiba teringat akan kenangan yang cukup memalukan. Ray memilih berpura-pura untuk tidak tersenyum karena lagi-lagi sama seperti yang telah terjadi di masa lalu, dia merasa tidak setega itu untuk menertawakannya.

Saking salah tingkahnya, Tinky menenggak soda terlalu banyak dari seharusnya sampai-sampai lupa kalau air soda bisa membuatnya bersendawa jika meminumnya dengan terburu-buru seperti itu. Lantas seperti yang bisa diduga, gadis itu bersendawa keras.

Itu adalah situasi memalukan lain yang terjadi dan Tinky menyesal mengapa semua hal yang memalukan harus diketahui oleh Ray. Cowok itu tidak tahan dan akhirnya tertawa lepas. Tawanya terdengar sulit dihentikan jika ditilik dari sebelah tangan yang memegangi perutnya yang mulai sakit.

"Lo seneng banget kayaknya," sindir Tinky, lama-lama mulai kesal.

"Lo... lo lucu banget. Makanya gue betah duduk sama lo waktu SMP. Gue suka ekspresi lo yang malu-malu begitu."

"Tapi rasanya dulu lo nggak ketawa sekencang ini, deh!" Tinky berkomentar sinis. "Apa karena dulu lo jaim?"

Ray mengangguk. Tawanya mulai mereda. "Dulu gue nggak tega, sih."

"Jadi, sekarang tega?" tanya Tinky, lantas mencubit pipi Ray dengan geram meski dia tidak mengandalkan kekuatan saat melakukan itu.

"Karena lo cewek gue. Bukannya sikap jaim udah harus dihilangkan, hm?" tanya Ray balik, tersenyum terlalu lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. Hal tersebut membuat Tinky seketika membeku, tetapi pada detik berikutnya, senyumnya ikut mengembang walau masih sarat akan ekspresi malu-malu.

Ray memegangi pergelangan tangan Tinky yang jemarinya menempel di pipinya yang otomatis membuat cubitan itu terlepas. "Thanks, Tink, udah hadir dalam hidup gue. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah mati sedari dulu. Lo udah nyelamatin nyawa gue berkali-kali."

Tatapan Ray menyorot tajam. Tinky sebenarnya merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu, tetapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Entah karena firasat Tinky sekuat itu atau dia terlalu hebat mengenal Ray sehingga bisa melihat tatapannya yang tersirat akan sesuatu, entahlah. Yang jelas, hari ini cowok itu terlihat berbeda dari biasanya.

"Ada sesuatu yang terjadi, Ray?"

Ray tersenyum. "Lo tahu banget, Tink. Apa karena lo terlalu mencintai gue?"

Tinky melepaskan genggaman Ray pada pergelangan tangannya dan dia terlihat kesal. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Lo harus ngasih tahu yang sebenarnya."

"Gue hanya menyesali perbuatan gue, Tink. Ke lo, Papa, dan... hmm... Tante Bella."

Tinky tampak terkejut dengan kata terakhir Ray, tetapi gadis itu sengaja diam agar Ray menjelaskan semuanya.

"Dari awal, gue percaya Papa yang jahat karena selalu bersikap dingin ke Mama. Begitu gue tahu kalau Papa dan Mama menikah karena dijodohkan, gue tanya sama Mama. Mama bilang Papa udah punya wanita lain dan berencana untuk memulai kehidupan baru setelah bercerai. Salah paham itu semakin parah waktu gue denger lo adalah anak dari Papa sama wanita itu—–yang artinya adalah lo saudari tiri gue.

Sekarang setelah tahu kebenarannya, gue jadi nyesel karena udah bersikap jahat sama kalian," lanjut Ray usai menghela napas super berat. "Posisi Tante Bella ternyata juga sama dengan lo; menanggung semua hinaan, padahal itu semua demi melindungi warisan gue."

Ray merogoh ponsel dari saku celana dan menyerahkannya pada Tinky setelah mengusap layarnya selama beberapa saat.

Ternyata yang ingin Ray perlihatkan adalah sebuah video, tepatnya seperti rekaman CCTV yang di dalamnya ada Brayden dan seorang pria yang tidak Tinky kenal.

Dari tatapan bingung yang Tinky tunjukkan, Ray menjelaskan. "Itu rekaman di kantornya Papa. Lo bakal paham setelah denger pembicaraan mereka."

"Gimana perasaan lo setelah nonton ini, Ray?" tanya Tinky begitu video tersebut berhenti di titik akhir. "Gue yakin papanya Gea nggak main-main soal ini. Mungkin aja ini lebih berbahaya dari rencana Gea."

"Gue bukan mengkhawatirkan rencananya karena gue sama sekali nggak takut."

"Ray...."

"Alih-alih takut, gue lebih memilih untuk menyalahkan diri sendiri, Tink. Selama ini gue merasa gue benar, tapi ternyata salah besar. Jadi, gue punya rencana untuk menyerahkan warisan karena gue nggak berhak pertahanin ini. Gue—–"

"Seperti yang Om Brayden bilang dalam rekaman itu, Ray. Ini bukan semata-mata soal warisan. Yang ada malah hanya akan membuatnya semakin buta dan tamak. Lagian, gue melindungi lo bukan untuk mendenger ini dari mulut lo, Ray, asal lo tahu aja."

Tinky tiba-tiba berdiri, merasa agak sakit hati. Namun sebelum dia beranjak untuk meninggalkan gazebo, Ray menahan tangannya.

"Tink, gue bukan bermaksud—–"

"Lo paham nggak, sih, apa poin pentingnya?" tanya Tinky dingin. "Ini bukan saatnya buat lo menyalahkan diri sendiri! Apa lo pikir dengan menyerahkan warisan itu, semuanya akan beres? Nggak bakalan, Ray! Gue sadar waktu nonton rekaman itu! Semua tragedi ini berawal dari ketamakan papanya Gea! Itu juga yang jadi awal penderitaan kita semua; mulai dari Mama yang harus berpisah sama Om Brayden, pernikahan yang dijodohkan, kepergian mama lo, perencanaan pembunuhan atas lo, dan sekarang apa lo akan menyudahinya hanya dengan menyerahkan warisan? Gue kecewa sama lo, Ray! Alasan sebenarnya gue melindungi lo adalah karena gue nggak bisa melihat lo menderita. Setelah kepergian Tante Leyna, dengan keadaan lo yang seperti ini dan atas kesediaan gue bersandiwara, seenggaknya gue bisa mengobati luka lo. Dengan berbohong, setidaknya kebencian lo bisa menggantikan rasa kesepian karena kehilangan.

Walau mama lo nggak sebaik yang lo percaya selama ini, seenggaknya lo punya kenangan indah bersama beliau," lanjut Tinky. Suaranya terdengar serak di kalimat terakhir karena seolah-olah ada sesuatu yang seret di tenggorokannya, tetapi jadi tidak berasa saat mendengar kata-kata Ray pada detik berikutnya.

"Gue... gue cuman nggak mau berpisah sama lo," bisik Ray. Air matanya kelihatan menumpuk di ujung sementara bagian putih di matanya telah memerah. "Itu satu-satunya alasan mengapa gue berencana menyerahkan warisan itu."

Itu mungkin adalah alasan yang sederhana, tetapi kejujuran tersebut berhasil menghujam dada Tinky hingga terasa sesak. Kesalahpahamannya ternyata berlebihan. Ternyata... dia hanya menginginkan sesuatu yang sederhana.

Sesederhana pada fakta tidak ingin berpisah dengannya.

Tinky mendekati Ray, bermaksud mengelus puncak kepalanya sebagai usaha untuk menghibur, tetapi yang terjadi adalah Ray menarik bagian belakang pinggangnya untuk mengajaknya berpelukan. Posisinya cukup intens karena dia masih duduk di tepi gazebo, sedangkan Tinky sudah telanjur berdiri sejak tadi.

Pelukan keduanya terkesan menimpang, tetapi bagi Ray, ini lebih dari cukup karena dia bisa memeluk sekeliling pinggang Tinky sebebasnya dan aroma tubuh gadis itu terasa lebih kentara dibandingkan kedekatan mereka sebelumnya.

Mereka menangis bersama. Itulah sebabnya, keduanya tidak sadar bahwa sedari tadi Brayden menyaksikan dari jauh. Sebenarnya dia hendak menemui Ray untuk meminta salinan rekaman, tetapi niatnya jadi tertunda saat mendengar percakapan mereka.

Rupanya Ray sudah mengetahui rekaman itu. Wajar saja, mengingat kamera tersembunyi adalah rencana Ray sejak awal dengan tujuan untuk memata-matai Brayden. Meskipun demikian, sejujurnya Brayden tidak ingin Ray menonton isi rekaman itu agar tidak terlibat dalam urusannya.

Sebab Brayden khawatir kalau-kalau Ray mengulangi kesalahannya di masa lalu, ketika dia memilih untuk meninggalkan wanita yang dicintainya untuk kepentingan orang lain.

Namun setelah mendengar pernyataan Ray pada Tinky, Brayden jadi lega.

Ray berbeda darinya.



Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro