Part 15
Sherina merasa ini adalah momen yang tepat untuk mendekati Ray. Baginya, diberi izin untuk menumpang dan diantar pulang sudah menjadi kemajuan yang besar.
Ray tidak berbicara selama perjalanan, kentara sekali kalau dia tidak bisa diusik. Suasana hatinya tidak sedang baik-baik saja jika ditilik dari kernyitan dalam sepasang alis alisnya, seolah-olah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
"Ray, gue rasa gue punya sesuatu yang bisa bikin perasaan lo jadi lebih baik." Sherina membuka pembicaraan sambil tersenyum, memperlihatkan sepasang lesung pipi yang menambah kecantikannya.
Ray hanya menggerakkan bola mata ke sisi kanan, terlihat terlalu mager untuk menggerakkan kepala sebagai wujud kesantunan, tetapi kepalanya tertoleh sepenuhnya dengan ekspresi kaget sekaget-kagetnya saat mendengar pengakuan Sherina setelahnya.
"Jujur, gue denger semua pembicaraan kalian di tepi hutan tadi." Sherina berterus terang. "Gue tau gue bukan siapa-siapa, gue masih belum ada hak buat mengatur lo karena status gue masih calon tunangan, tapi ada satu hal yang gue yakin bisa lo manfaatkan untuk saat ini."
Sherina terdiam sejenak dan ekspresinya lebih serius saat berbicara lagi, "Caranya adalah dengan meresmikan pertunangan kita."
Ray terkejut, tetapi tidak menghalangi Sherina untuk terus berbicara selagi hujan mulai turun. Bunyi rintik yang mengenai bagian atap mobil terdengar seperti irama yang melatarbelakangi suaranya.
"Pertunangan ini nggak semata demi kepentingan warisan doang, tapi juga demi membuang perasaan lo ke Tinky karena cepat atau lambat... kalian akan sama-sama terluka jika terhanyut terlalu lama. Gue bersedia bantuin lo."
Sherina teringat akan ucapannya pada Jemmy ketika cowok itu bertanya tentang apa rencananya setelah mendengar pembicaraan antara Ray dan Tinky.
"Gue bakal meresmikan pertunangan gue sama Ray dan lo harus nyatain perasaan lo, Jem. Setidaknya meski Tinky nolak lo, dia akan sadar kalau lo jauh lebih baik ketimbang Ray. Faktanya, mereka nggak bakalan bisa bersama meski saling menyukai."
*****
Mobil yang ditumpangi Jemmy dan Tinky telah sampai di halaman kediaman Brayden Nathaniel. Gadis itu berbalik untuk pamit usai menutup pintu, tetapi rupanya cowok itu ikut turun.
"Nggak usah nganter," kata Tinky. "Thanks traktirannya, ya."
"Ada yang mau gue sampaikan." Jemmy berkata sambil memutari bagian belakang mobil untuk menghampiri gadis itu. Suasana tiba-tiba saja terasa kaku sebab Tinky tidak terbiasa dengan ekspresi serius Jimmy. Jika saja hari belum malam dan cuacanya tidak dingin, gadis itu sudah pasti menyuruh cowok itu untuk tidak mengajaknya bercanda. Angin malam membuatnya ingin segera masuk ke dalam rumah.
Namun ternyata, Jemmy tidak cukup bersikap lain dari biasanya sebab dia juga bersikap gentleman dengan menyampirkan almamater seragamnya ke punggung Tinky, sukses membuat gadis itu terbengong-bengong. Keduanya sampai tidak sadar kalau sedari tadi Ray sudah berdiri di balik pilar terdekat untuk mendengar semua pembicaraan mereka.
"Lo tadi nanya, siapa yang akan gue pilih jika gue adalah Peter Pan. Sesuai cerita dongeng, Peter seharusnya milih Wendy karena mereka sama-sama manusia. Tapi kalau lo nanya cerita versi gue, gue bakal memilih cewek yang selalu berada di samping gue. Itu lo, Tinkerbell.
Lo ingat nggak waktu gue menawarkan diri jadi Peter Pan?" lanjut Jemmy seraya mempertemukan dua sisi jaket agar Tinky tidak kedinginan. "Gue akan menjadi satu-satunya yang membahagiakan lo di saat semua orang membuat lo menderita."
Jemmy tersenyum tipis. Meskipun demikian, tetap saja ekspresinya berbeda dari biasanya. Tatapan jenaka yang biasa dia tunjukkan telah hilang seolah-olah cowok itu memiliki alter ego. "Sejak saat itu sebenarnya... gue udah sadar kalau gue suka sama lo. Jadi, gue nggak ingin cuman menjadi Peter Pan yang berteman dekat, tapi lebih dari itu. Yuk, Tinky, kita ciptakan dongeng sendiri. Yang mana hanya ada kita berdua, tanpa perlu memasukkan tokoh Wendy di dalamnya."
"Lo bakal terluka, Jemmy." Tinky tampak sangat merana ketika mengatakan hal itu. "Gue udah lelah banget, jadi gue nggak berharap ada korban selain gue."
"Makanya lo butuh gue," hibur Jemmy, lagi-lagi menarik sudut bibirnya. "Asal lo bersedia, gue bakal bahagia banget. Itu murni kemauan gue dan gue yang akan menanggung konsekuensinya. Jadi plis, terima gue. Gue janji bakal bahagiain lo semaksimal mungkin."
"Ta-tapi, Jem—–"
"Lo berhak egois, Tink. Lo berhak bahagia. Ketika nggak ada yang peduli sama lo, lo bisa fokus ke orang yang lebih peduli. Dan itu adalah gue."
Pandangan Tinky spontan mengabur. Sejujurnya, dia menangis bukan semata-mata karena penghiburan Jemmy, melainkan karena sesesak itu untuk mengasihani hidupnya yang begitu menyedihkan.
Sebab bahkan untuk egois saja, dia harus diingatkan oleh orang lain.
Jemmy beringsut mendekat. Awalnya, dia berniat menepuk bahu Tinky selayaknya sosok sahabat yang menampung curahan hati, tetapi semua terjadi begitu saja sesaat setelah mengulurkan sebelah tangan.
Tindakan itu refleks seolah ada yang menyihir tangannya untuk mendorong bagian belakang kepala Tinky ke arahnya, mengayunkannya ke sisinya untuk disandarkan ke perpotongan lehernya.
Sama halnya dengan sosok lain yang berdiri di balik pilar. Gerakannya juga refleks, yang mana buku-buku jarinya langsung memutih gara-gara mengepalkan tangannya terlalu kuat, yang sepaket dengan tatapan tajam seolah ingin menerkam sepasang muda-mudi di hadapannya.
*****
Sejak kejadian malam itu, Ray bertekad untuk menjalankan rencananya. Tentu saja tujuannya adalah menggagalkan misi Tinky dan Bella dengan mengubah isi warisan. Fakta Brayden terlalu cepat menikahi wanita simpanannya padahal Leyna belum lama meninggal, juga keikutsertaan Bella dalam semua bisnis yang terlalu cepat dari seharusnya jelas memancing kecurigaan Ray sehingga dia mencari tahu sendiri.
Maka, ketika Ray sudah resmi menentukan tanggal pertunangan tiga hari pasca kejadian malam itu, Brayden yang pertama mencari dan melabraknya.
"Apa-apaan kamu, Ray?!" bentak Brayden sembari menunjukkan koran yang memaparkan berita pertunangan Ray dan Sherina dalam satu halaman penuh. Para reporter jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengekspos berita tersebut. Bahkan tanpa Ray minta, berita itu sudah menyebar luas ke media lainnya.
"Jadi, Papa baru tau?" tanya Ray sinis. "Bukannya Papa juga menginginkan pertunangan ini? Mengapa sekarang Papa menentangnya?"
"Kamu tau sendiri, Papa tidak pernah mengatur itu! Sedari awal mamamu yang merencanakannya! Apa kamu nggak sadar dengan apa yang kamu lakukan ini? Hah?!"
"Ironisnya, Papa baru nyari aku setelah denger kabar kayak gini," jawab Ray dingin. "Lain kali tampaknya aku perlu manfaatin media lain biar bisa berbincang dengan Papa."
"Ray, itu bukan masalah penting. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus membatalkan pertunangan ini kalau kamu nggak mau nyesel nantinya!"
Ray tertawa keras meski kesannya jadi aneh karena sarat akan kegetiran dan ada intonasi penuh ejekan di dalamnya. "Papa udah dicuci otak sama Tante bernama Bella rupanya. Aku paham, sih, soalnya anaknya juga hebat dalam mencuci otak orang sampai-sampai aku hampir terjerumus sama buaiannya. Aku hampir jatuh cinta sama dia. Awalnya aku sengaja biar Papa sama Tante itu syok, tapi aku nggak mau lagi memainkan permainan seperti itu. Aku nggak akan sudi berbagi warisan yang menjadi hak aku. Lagi pula, warisan itu peninggalan Mama kalo Papa udah lupa."
"Kamu akan menyesal, Ray, setelah tau kebenarannya," kata Brayden, terlihat letih saat mengatakan kalimat itu. "Papa ingin menjelaskan semua kenyataannya, tapi kamu nggak pernah mau mendengar dan percaya. Bahkan Papa sudah pernah menunjukkan bukti."
"Justru inilah kebenarannya," kilah Ray keras kepala. "Ini udah jadi keputusan aku, sama seperti keputusan Papa yang akhirnya lebih milih Tante Bella daripada darah daging Papa sendiri!"
"RAY!" teriak Brayden, emosinya memuncak.
"APA?" tantang Ray, ikut-ikutan meraung. "MEMANG GITU, KAN, KENYATAANNYA? MAKANYA AKU NGGAK AKAN BIARIN RENCANA KALIAN JADI KENYATAAN!"
"ASAL KAMU TAU YA, RAY! JUSTRU WARISAN ITU NGGAK AKAN BISA DIPERTAHANKAN KALAU BUKAN KARENA TINKY!"
Ray tertawa getir lagi mendengar itu. "Tinky? Emangnya dia bisa apa?! Bukannya yang bisa dia lakuin cuma godain aku?"
Brayden menampar Ray dengan kekuatan penuh hingga membuatnya terhuyung. Dia masih beruntung sebab ada sofa di belakangnya sehingga dia jatuh dalam keadaan terduduk setelah ditampar.
"Tutup mulutmu, Ray! Walau Tinky melarang Om mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang udah dilakukan Tinky sama kamu, Papa nggak peduli lagi! Papa harus bilang semuanya sekarang!"
Ray menyentuh pipinya yang memerah. Alih-alih menyadari sesuatu yang mungkin bisa menyadarkannya, cowok itu malah terdistraksi oleh denial usai ditampar oleh Brayden gara-gara membela orang lain. "Oh... ada rahasia lagi? Rahasia apa memangnya, Pa? Apa tentang rencana yang udah disusun Tinky sejak dulu? Itu sebabnya dia dekatin aku waktu SMP!"
"DIAM KAMU! ASAL KAMU TAU, JUSTRU TINKY YANG BUKAN SIAPA-SIAPA MALAH—–"
Ada seseorang yang berlari mendekat dengan napas terengah-engah. Dia adalah Tinky yang menarik lengan Brayden dan menahannya. "Plis, Om. Jangan katakan yang sebenarnya."
Tinky sudah tidak menangis lagi, tetapi nada bicaranya terdengar serak. Dia berusaha berbicara dengan Brayden melalui mata, lalu menggeleng berkali-kali.
"Kenapa, Tinky? Kamu yang akan menderita kalau terus kayak gini! Ray harus tau yang sebenarnya!" hardik Brayden dengan dengkusan keras, jelas tidak habis pikir dengan Tinky yang juga keras kepala.
"Kalian bisa lanjutin. Dan lo nggak perlu pura-pura panggil Papa dengan sebutan 'Om' di depan gue," Ray memotong pembicaraan mereka dengan nada datar sebelum meninggalkan ruangan dengan hentakan kaki yang seharusnya tidak perlu.
"Aku nggak pantas buat dia, Om. Dia punya Sherina dan dia pantas untuk Ray," jelas Tinky selepas Ray pergi.
"Ternyata kamu punya perasaan yang sama dengan Ray," kata Brayden sembari menghela napas. "Siapa bilang kamu nggak pantas buat dia? Kamu lebih dari pantas buat Ray karena kamu jauh lebih melindungi dia daripada Om. Andai Ray tau yang sesungguhnya...."
"Itu nggak bisa mengubah kenyataan yang sebenarnya tentang kami saudara seayah, Om."
"Tapi kenyataan yang asli adalah kalian nggak ada hubungan darah sama sekali," kilah Brayden dengan tatapan penuh simpati pada Tinky. "Kamu suka sama Ray dan Om yakin Ray juga suka sama kamu. Lalu, apa lagi yang menghalangi kalian? Kalau kamu khawatir sama status sosial, Om sama sekali nggak peduli dengan hal itu. Seperti yang Om bilang, kamu lebih dari pantas untuk Ray. Kalo nggak ada kamu, entah bagaimana nasib dia."
Tinky hendak menyanggah, tetapi niatannya terhenti begitu saja saat mendengar lanjutan kata-kata Brayden. "Om sudah pernah menyesal karena menikah dengan wanita yang nggak Om cintai. Jadi, Om nggak mau kalian mengalaminya juga."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro