❬ 10 ❭ S e p u l u h
Part 10
*****
Aina kembali ke kamar Letta, dilihatnya gadis itu tengah berdiri menatap jendela. Aina tahu, Letta sedang memperhatikan kepergian Alva.
Terlihat senyum kecut menghiasi wajah cantik Letta, gadis itu benar-benar salah paham atas apa yang ia dengar dari mulut Alva.
"Ta ...," panggil Aina yang hanya dibalas deheman, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
"Lo harus dengar semuanya dari Alva. Lo mau hubungan yang udah kalian bangun hancur gitu aja cuma karena kesalahpahaman?" ucap Aina, mencoba meyakinkan Letta.
"Alva udah tunangan, dan apa yang harus gue pertahanin dari hubungan ini?"
"Enggak, Ta! Lo cuma salah paham, cewek itu emang tunangan Alva, tapi ...."
"Gue ngantuk, lebih baik lo pulang, Na. Makasih udah nemenin gue."
Letta naik ke kasurnya dan langsung menutup tubuhnya dengan selimut.
"Gue harap besok lo mau dengar semua penjelasan Alva, Letta." Aina beranjak pergi dari kamar Letta.
°°°°
Hari ini sebenarnya Letta tak ingin masuk kuliah, kepalanya sedikit pusing, juga ia sangat tak ingin bertemu Alva di kampus nantinya.
Namun, Letta berusaha untuk kuat, apapun yang terjadi antara dirinya dan Alva tidak seharusnya menjadi alasan ia bermalas-malasan untuk masuk kuliah. Seperti sekarang, Letta tengah mendengarkan dosen mata kuliah yang sedang menjelaskan.
Fokusnya sedikit terganggu akibat terus berpikir tentang Alva, Alva, dan Alva. Jika masalah ini tidak cepat diselesaikan maka akan terus menghantui otak Letta. Akan tetapi, Letta juga belum sepenuhnya siap bertemu Alva, kekesalan dan sakit hatinya masih terukir jelas.
Setelah berfikir beberapa saat, Letta memutuskan untuk menemui Alva. Hubungannya dengan pria itu harus segera ia akhiri.
"Charletta, berhenti melamun atau saya yang akan berhenti mengajar di kelas ini!" tegur dosen yang sedang menjelaskan.
Seketika seluruh atensi tertuju pada Letta.
"Maaf, Pak. Saya akan lebih fokus." ucap Letta. Inilah akibatnya jika masalah yang ada tidak segera diselesaikan.
°°°°
"Letta!" panggil seseorang dari arah belakang ketika Letta sedang berjalan menuju kantin kampus bersama Aina.
Letta jelas sangat hafal suara ini, suara Alva.
"Dengerin gue." Alva menarik lengan Letta karena tidak juga berhenti berjalan.
"Selesaikan masalah lo, Ta. Gue ke kantin dulu, bye!" seru Aina yang langsung pergi meninggalkan Letta dan juga Alva.
Letta menatap tajam kepergian sahabatnya itu.
"Lepas!" Letta mencoba melepaskan genggaman tangan Alva. Namun, nihil, genggaman Alva begitu kuat bahkan sedikit menyakiti lengannya.
"Dengerin gue dulu, Ta. Gue mohon."
"Apa yang harus gue dengerin, hah?! Gue harus dengerin fakta bahwa orang yang selama ini gue cintai ternyata udah punya tunangan? Selama ini lo nerima gue karena kasihan doang 'kan? Sekarang gue udah gak butuh rasa kasihan dari lo, Al. Mulai sekarang kita ...."
"Cukup!" Alva yang juga tersulut emosi, dengan cepat memotong omongan Letta, sebelum Letta mengakhiri ucapan dan juga hubungan diantara mereka.
"Dengerin gue, cewek itu emang tunangan gue. Gue sayang sama dia, sampai kapan pun itu," ucap Alva yang tanpa sadar membuat Letta begitu tersakiti.
"Al, kalau lo datang cuma buat nyakitin gue, lebih baik cukup sampai disini. Hati gue sakit, Al," lirih Letta.
Alva justru tersenyum hangat, lalu menggenggam kedua tangan Letta dengan lembut.
"Dia udah meninggal, Ta, tepat seminggu setelah kita tunangan. Dia mengidap penyakit kanker otak sejak lama, tapi dia gak pernah bilang ke gue. Bahkan, dia menolak untuk berobat. Gue sayang dia, dia cinta pertama gue. Tapi, lo sekarang di sini, lo berhasil buka hati gue yang sebelumnya cuma buat dia. I love you, Charletta."
Entah harus bahagia atau sedih, gadis itu menintikkan air matanya karena kebodohannya sendiri.
Jadi selama ini ia hanya salah paham? Dan ternyata masa lalu Alva terasa begitu menyesakkan, kemana saja ia baru tahu hal itu sekarang.
Letta masih diam mendengarkan penjelasan Alva. Membalas tatapan mata Alva.
"Lo percaya 'kan sama gue?" lanjut Alva menggenggam kedua tangan Letta.
Letta diam sejenak kemudian ia berbicara, "Maaf, gue enggak tau. Maafin sikap gue yang masih belum dewasa, seharusnya gue dengerin penjelasan lo dari awal, tapi di saat itu pikiran gue kacau. Gue minta maaf," balas Letta menyesal.
Alva bernafas lega, akhirnya Letta mau mendengarkan penjelasannya.
"Lo enggak salah, seharusnya gue lebih terbuka lagi sama lo," ujar Alva dengan senyuman. Lelaki itu kemudian memeluk gadis di sampingnya, "Makasih udh mau dengerin penjelasan gue."
"Gue juga makasih, karena lo udah mau terbuka sama gue," balas Letta mengurai pelukan mereka.
"Gue akan terbuka sama lo mulai sekarang. Gue enggak mau kejadian kayak gini terulang lagi. Cukup kejadian ini yang udh buat gue uring-uringan." Celetuk Alva terlihat lesu.
"Maaf," balas Letta menunduk.
Ia menatap tangannya yang masih setia di genggam oleh Alva.
Alva mengangguk membalas ucapan Letta.
"Pulang sekarang? Kelas lo udah selesai belum?" tanya Alva menatap mata Letta yang masih sedikit memerah.
"Kelas gue udah selesai, tapi Aina?" balas Letta balik bertanya.
"Dia di temenin sama Kenzo di kantin," balas Alva meyakinkan.
"Gue ngomong sama Aina dulu," sahut Letta kemudian mengutak-atik ponselnya dan mengirim pesan kepada sahabatnya.
Setelah selesai ia memasukan ponsel itu di tasnya dan kembali menata Alva yang menatapnya pula.
"Ayo pulang," ajak Letta. Mereka kemudian berjalan beriringan melewati koridor, sesekali berbincang dan tertawa bersama.
Setelah sampai di parkiran, mereka berjalan menuju mobil Alva. Lelaki itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Letta.
Letta yang di perlakukan seperti itupun tersipu. Ia tersenyum kepada Alva sebelum masuk ke dalam mobil.
"Makasih," ujar gadis itu kemudian masuk ke dalam mobil.
Alva mengitari mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Lelaki itu menoleh menatap Letta yang tengah sibuk membenahi letak tasnya.
Badan Alva condong ke depan menghadap Letta, menatap gadis itu sebentar kemudian memasangkan sealt belt, setelah di rasa sudah, ia kembali duduk seperti semula.
Jantung Letta berdegup kencang. Satu mobil dengan Alva saja ia sudah gugup dan sekarang dengan seenaknya lelaki itu memperlakukannya seperti itu, yang benar saja? Dan apa kabar dengan jantungnya sekarang.
Mobil Alva pergi meninggalkan area kampus untuk menuju ke rumah Letta.
Di perjalanan pun hanya hening, tak ada yang memulai percakapan, Alva yang sibuk menyetir dan Letta yang sibuk memandangi jalanan sesekali ia mencuri pandang kepada Alva.
Mobil hitam nan mewah itupun sampai di rumah Letta.
Alva turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Letta. Lagi dan lagi, Letta merasa seperti ratu yang di perlakukan baik oleh sang raja.
Letta keluar dari mobil Alva dengan anggun.
"Ayo masuk dulu," ajak Letta menatap Alva yang terkena sinar matahari.
"Ayo, gue mau mampir bentar," balas Alva kemudian mengikuti langkah Letta untuk masuk ke dalam rumah itu.
°°°°
Hari ini adalah hari terpenting bagi Letta dan Alva. Ya, hari ini adalah acara wisuda mereka. Setelah penantian bertahan-tahun, mereka akhirnya lulus juga.
Letta dan Aina tengah merias dirinya di kamar Letta.
Baju kebaya berwarna merah milik Aina dan biru yang dipakai oleh Letta membuat keduanya tampak sempurna hari ini. Setelah dirasa cukup, keduanya segera turun ke bawah untuk kemudian pergi ke kampusnya.
"Wah, cantiknya anak Ayah hari ini," puji Abirail membuat Letta tersipu malu.
"Makasih, Yah! Letta sama Aina pergi dulu, ya, udah hampir terlambat soalnya," ucap Letta lalu berpamitan pada ayahnya.
Dari rumah, Letta dan Aina pergi menggunakan taksi, padahal Alva memintanya untuk pergi bersama ke kampus mereka tetapi Letta menolaknya.
Pukul sembilan gadis itu sampai di kampusnya, terlihat begitu ramai. Nuansa baju kebaya dan jas yang beragam tampak di sana. Letta melangkahkan kakinya, mencari seseorang.
"Nyari siapa, hm?" Seseorang datang dari arah belakang gadis itu.
"A-Alva?" gugup Letta, Alva yang kini berdiri tegak di hadapannya.
Pesonanya yang luar biasa membuat jantung Letta berdegup kencang.
Laki-laki itu memakai kemeja putih dan celana hitam balutan jas dan dasi membuat siapa pun yang melihatnya akan terpana, bak melihat pangeran dalam cerita kerajaan.
"Iya gue tau, gue emang ganteng kok, liatinnya jangan sampai segitunya dong," ujar Alva membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
"Dih apaan sih, kepedean lo!" jawab Letta berbohong.
Ya, Letta berbohong tetapi manusia sejenis Alva yang tingkat kepedeannya terlalu tinggi membuat gadis itu harus sedikit berbohong.
Alva tertawa, "Yaudah, yuk, ke aula. Aina sama Kenzo udah di sana."
°°°°
Tiga jam berlalu, acara pelantikan kelulusan sudah selesai. Letta keluar bersama Aina dan Alva juga Kenzo.
Gadis itu masih tak percaya dengan apa yang ia dengar tadi. Bahwa dirinya adalah perih nilai tertinggi tahun ini.
Semua teman sekelasnya mengucapkan selamat, juga beberapa orang dari jurusan lain yang mengenal dirinya. Tak lupa juga ucapan selamat dari Aina, Kenzo, dan juga Alva.
Di luar ruangan, orang tua Letta sudah menunggu anak gadisnya itu dengan senyum yang merekah. Sontak saja Letta berlari memeluk keduanya lalu menangis.
"Ayah bangga sama kamu!" ucap Abirail dengan penuh rasa bangga terhadap putrinya.
Letta tersenyum, lalu memeluk sang Ayah, pria yang selama ini membesarkannya, "Makasih, Yah."
"Tuh, pacar kamu udah nungguin."
Letta melihat ke arah belakang, benar saja Alva tengah berdiri tersenyum melihat tangis bahagia keluarga Letta. Ia tak mau mengganggu, oleh sebab itu hanya menunggu.
Letta segera menghampiri Alva seraya tersenyum. Menerima sebuah buket bunga yang sangat indah dari kekasihnya itu.
"Oh iya, Ta. Gue mau ngomong sesuatu," kata Alva membuat Letta bingung.
Alva menarik kedua tangan Letta dan menggenggamnya, "Ta, gue ngga tau sejak kapan perasaan gue ini ada, mungkin saat lo ngasih coklat ke gue, atau saat pertama kalinya kita deket. Tapi yang gue tau, gue sayang banget sama lo, Ta. Gue ga mau kehilangan lo! Gue ga mau kehilangan orang yang gue sayang buat yang kedua kalinya. Ta, izinkan gue untuk selalu ada buat lo, saat lo senang maupun sedih, izinkan gue jadi bagian terpenting dalam hidup lo. Will you marry me?" ujar Alva, tersenyum hangat.
Mata Letta berkaca-kaca. Bahagia datang padanya bertubi-tubi hari ini. Bahkan ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun sekarang. Gadis itu memeluk Alva erat, mengangguk beberapa kali.
"Yes, I will," jawab Letta.
Alva mengeratkan pelukannya, mengangkat tubuh Letta lalu berputar.
Sontak semua mata tertuju padanya, juga beberapa dari mereka bertepuk tangan.
Aina datang bersama Kenzo. Gadis itu memeluk Letta erat. Lalu sebuah benda diberikan Kenzo kepada Alva kemudian ia berikan pada Letta.
Sebuah selendang mirip selendang wisuda dengan tulisan 'Calon Istri Alva' membuat semua orang yang melihat mereka iri.
Letta sendiri pun tak menyangka semua berjalan hingga kini. Bahagia tak terbendung di rasakan oleh gadis itu. Ini bukan akhir dari kisahnya, melainkan permulaan.
Awal dari kisah yang baru saja akan ia mulai. Bersama sahabatnya, keluarganya, dan tentunya sang kekasih yang akan menjadi calon suaminya.
Letta berjanji pada dirinya sendiri, untuk terus memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang ia sayangi. Seperti bulan, yang selalu memancarkan cahayanya diantara ribuan bintang-bintang.
'''-TAMAT-'''
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro