Chapter 9: Undangan ke Akademi
9 Januari 2013
Saat SMP, aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Itu karena sekolah SMPku terletak dekat dengan komplek perumahan tempat rumahku berada.
Sekolah SMPku adalah salah satu sekolah menengah atas yang terkenal di kota. Konon katanya, banyak orang tua yang berlomba – lomba memasukkan anaknya ke sekolah ini, termasuk orang tuaku.
Tapi, aku tidak merasa sekolah SMPku sebagai sekolah favorit. Atmosfer di sekolah ini terasa sama dengan di sekolah lain. Sarana dan fasilitasnya tidak lebih baik dari sekolah pada umumnya.
Selain itu, sumber daya manusia disana, seperti guru, karyawan, dan muridnya juga ... sepertinya aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut.
Kembali ke cerita, aku selalu berjalan kaki sendirian saat pulang sekolah. Bukan karena aku suka menyendiri, tapi karena teman – temanku rumahnya jauh di kota.
Beberapa diantara mereka pulang sekolah bersama –sama dengan menaiki angkutan kota. Ada juga anak kaya yang pulang sekolah dengan dijemput oleh orang tuanya menggunakan mobil.
Dan ada yang pulang menaiki sepeda motor pribadi. Aku pernah bertanya bukankah itu melanggar peraturan lalu lintas? Entah apa jawabannya karena saat itu dia langsung pergi meninggalkanku.
Meskipun begitu, aku punya banyak teman, yah mungkin bukan anak – anak yang sekelas denganku. Salah satu temanku adalah Gen Revival, biasa dipanggil Gen.
Aku sudah mengenalnya sejak aku berumur lima tahun. Dia adalah sahabatku dan kami selalu menjadi teman sekelas semenjak sekolah dasar, meski aku tidak sekelas dengannya di kelas dua ini.
Sekarang, aku tiba di depan halaman rumahku. Terdapat pagar besi berwarna hitam yang memisahkan halaman rumah dengan jalan di luar, tempatku berada.
Pagar itu terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama dibangun di atas tembok sepanjang kurang lebih tiga meter. Pagar ini tingginya sekitar tiga puluh sentimeter.
Bagian kedua terletak di sebelah, agak depan bagian pertama. Pagar ini panjangnya kurang lebih empat setengah meter dengan tinggi sama dengan total tinggi pagar bagian pertama ditambah tinggi tembok di bawahnya.
Terdapat sebuah benda semacam rel di bawah pagar bagian pertama. Rel itu terletak di sepanjang area cor – coran yang tidak ditutupi oleh pagar bagian pertama.
Pagar terpasang di rel itu dengan menggunakan semacam roda di bawahnya. Dengan begitu, pagar dapat dibuka dengan cara mendorongnya ke samping, di sepanjang rel, dan menutupi sedikit bagian pagar pertama.
Masih dalam bagian yang sama untuk mendeskripsikan pagar, aku berjalan ke pinggir pagar. Disana, ada semacam gagang, berukuran sedikit lebih besar dari gagang pintu, untuk membuka pagar.
Aku lupa menjelaskan kalau ternyata, pagar ini memiliki tiga bagian. Bagian ketiga adalah sebuah tiang besi dengan tinggi sama dengan pagar bagian pertama dan terletak di sebelah bagian pertama.
Di satu pertiga tiang dari bawah, terdapat sebuah slot, tempat menaruh ... menggantungkan gembok ... atau begitulah caraku menjelaskannya.
Di bawah gagang di bagian kedua pagar itu juga terdapat sebuah slot yang sama. Pagar ini dikunci dengan cara menggantungkan gembok di antara kedua slot itu.
Siang hari, pagar ini memang tidak terkunci karena ayah hanya menguncinya saat malam hari. Jadi, aku bisa meraih gagang pagar dan menariknya ke samping.
Tapi, pagar ini berat sekali. Aku tidak bisa menariknya hanya dengan tenaga biasa. Mungkin karena roda di bawahnya sudah berkarat, maklum jarang diberi oli. Memangnya oli bisa mencegah karat ya?
Dengan tambahan sedikit tenaga aku bisa membuka pagar ini. Terdengar suara seperti gesekan besi dengan tanah saat pagar sedikit terbuka.
Aku terus mendorong pagar sambil terengah – engah hingga pagar terbuka sekitar lima puluh sentimeter, terlalu lebar karena tubuhku kurus. Seharusnya sekitar empat puluh sentimeter saja.
Aku melangkahkan kaki memasuki halaman rumah yang lantainya terbuat dari beton. Lantai ini cocok digunakan untuk memarkirkan kendaraan.
Sebenarnya, aku mengatakan itu karena di halaman rumah inilah ayah memarkirkan mobil sedannya, kendaraan yang biasa kami naiki saat sedang jalan – jalan.
Halaman rumahku terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian yang pertama, aku tidak pernah menghitung luasnya. Bagian inilah yang lantainya terbuat dari beton.
Mobil sedan ayah terparkir di bagian yang ini. Sepeda motor ibu ditaruh di sebelah kanan mobil sedan itu. Badan sepeda motor agak miring ke kanan dan bawahnya disangga dengan satu standar.
Bagian kedua—sama seperti bagian yang pertama, aku tidak pernah menghitung luasnya—lantainya terbuat dari tanah. Tentu saja tidak tanah sepenuhnya karena rumput tumbuh di atas tanah itu.
Ibu pernah bilang kalau rumput ini memang sengaja ditumbuhkan. Namanya adalah rumput gajah. Di sisi lain, ibu juga bilang kalau ada rumput liar di atas tanah ini.
Kemudian, aku menjadi bingung. Kenapa ibu mengatakan dua hal yang saling berlawanan itu? Apa itu berarti ada dua jenis rumput yang tumbuh, rumput gajah dan rumput liar?
Yang pasti, selain rumput, ibu juga menanam berbagai jenis tanaman di atas tanah itu. Sebaiknya tidak perlu kusebutkan apa saja karena nanti ceritanya jadi panjang. Tapi di saat tertentu, aku melihat berwarna warni bunga yang tumbuh di halaman ini.
Gawat, ceritanya jadi teralihkan kemana – mana. Aku membalikkan badan sambil tetap memegang gagang di pagar itu dengan kanan.
Kemudian, aku mendorong pagar itu dengan sekuat tenaga ke arah yang berlawanan dengan sebelumnya untuk menutup pagar.
Suara gesekan besi itu kembali terdengar, disusul oleh suara besi menghantam benda keras. Oh bagus! Aku mendorong pagarnya terlalu keras.
Pagar itu menghantam tiang besi dan menimbulkan suara yang nyaring. Mungkin cukup nyaring sampai – sampai membuat tetangga penasaran dengan suara itu. Memalukan sekali.
Aku langsung membalik badan dan berjalan ke teras rumah. Teras rumah ini—sama seperti rumah umumnya—dinaungi oleh atap di atasnya. lantai teras terbuat dari keramik dan sedikit lebih tinggi dari lantai halaman.
Letak pintu rumah yaitu satu meter dari bagian terluar teras, dengan kata lain teras ini lebarnya satu meter. Repot sekali menjelaskannya.
Aku tiba di depan teras dan duduk di pinggirnya. Aku menurunkan pandanganku untuk memandang sepatu yang kupakai di kedua kakiku.
Sepatu ini ... aku sudah memakainya sejak kelas 1 SMP. Sepatu berwarna hitam ini—karena sekolah mewajibkan siswanya untuk memakai sepatu berwarna hitam—sudah sedikit robek bagian depannya.
Badan sepatu di bagian depan itu sudah tidak melekat dengan solnya. Jika dilihat, bagian depan itu terlihat seperti mulut menganga. Orang – orang menyebutnya, "Sepatu itu sedang kelaparan."
Aku mencoba mengingat – ingat kapan aku membeli sepatu ini. Sepertinya, umurnya baru satu tahun. Baru satu tahun dan sudah rusak seperti ini? Parah sekali.
Sial, aku juga menyadari kalau barang yang kupakai tidak pernah awet. Sepatu inilah salah satu buktinya. Selain itu, seragam ... ah aku tidak ingin mengingat – ingat barang itu.
Aku menaruh kedua tangan ke samping kaki kanan. Lalu, aku menggerakkan kedua tanganku sehingga kedua telapak tangannya memegang bagian belakang sepatu yang kupakai di kaki kanan.
Di bagian sepatu yang kupegang terdapat lubang tempat memasukkan kaki saat sedang memakai sepatu. Agar tidak membingungkan, aku menyebut bagian itu sebagai leher sepatu.
Aku menjinjitkan telapak kaki kananku. Dengan begitu, tumitku menjadi terangkat dan tidak menyentuh bagian bawah sepatu.
Aku mendorong leher sepatu dengan kedua tangan ke bawah. Bersamaan dengan itu, aku juga menarik kaki kananku ke atas.
Dengan melakukan dua gerakan yang arahnya saling berlawanan ini selama sekitar satu menit, telapak kaki kananku dapat keluar dari leher sepatu. Dari sudut pandang yang berbeda, sepatu itu terlepas dari telapak kaki kananku.
Kaki mulai keluar dimulai dari tumit dan mata kaki terlebih dahulu. Kemudian disusul oleh punggung kaki, telapak kaki, dan yang terakhir jari kaki.
Aku melakukan hal yang sama kepada sepatu yang kupakai di kaki kiriku. Kemudian, aku mengambil kedua sepatu itu dengan cara menjepit lehernya dengan jari – jari di tangan kanan.
Aku berdiri sambil memastikan kalau kedua kakiku menginjak lantai teras. Kemudian, aku balik kanan menghadap ke pintu rumah.
Aku berjalan ke depan pintu itu. Sebelumnya, aku sudah menaruh kedua sepatu di rak sepatu, suatu kegiatan yang mungkin tidak perlu kudeskripsikan bagaimana cara melakukannya.
Sesampainya di depan pintu, tangan kananku menggenggam. Aku mengangkat genggaman itu hingga sejajar dengan bahu.
Aku menggerakkan genggaman itu maju ke depan hingga menyentuh pintu. Terdengar suara ketukan saat genggaman itu menyentuk pintu. Kemudian, aku menggerakkan genggaman itu kembali ke belakang.
Nama lain dari apa yang kulakukan itu adalah mengetuk pintu. Kenapa aku melakukannya? Itu karena berbeda dengan pagar, pintu rumah biasanya terkunci saat siang hari.
Tiga kali mengetuk pintu, tidak ada jawaban dari dalam. Aku langsung melakukan serangkaian gerakan dengan tangan kananku untuk membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Aku merasa kalau hari ini tidak seperti biasanya. Karena biasanya, ibu datang ke depan untuk membukakan kunci pintu rumah sekaligus menyambutku pulang.
***
Di ruang makan, tidak ada makanan yang terhidang di atas meja makan. Aku juga tidak mencium bau gas yang berarti, kompor di sini juga belum dipakai dan berarti ibu belum memasak makanan.
Kemana semua orang? Aku menoleh ke kiri dan kanan, ternyata ada tembok di sebelah kananku. Dan aku hanya bisa melihat meja makan yang kosong di sebelah kiriku.
Mungkin semua orang sedang sembunyi atau semacamnya. Sambil tetap menoleh ke kiri, aku mengamati dengan cermat kolong di bawah meja makan.
Di bawah sana, terlihat puluhan, mungkin ratusan semut berbaris. Barisan itu berjalan menuju remah – remah makanan yang tercecer tak jauh di depannya.
Kenapa membahas semut? Aku harus mencari dimana orang – orang.
Kemudian, aku mengalihkan pandanganku menuju meja kayu tempat menaruh kompor. Meja itu terletak di belakang meja makan dan terdapat sedikit celah di antara keduanya.
Aku mengamati celah itu. Siapa tahu ada yang sembunyi di sana. Walau sepertinya tidak mungkin karena pasti akan langsung ketahuan karena celah itu tidak tertutup sepenuhnya.
Setelah yakin tidak ada yang bersembunyi di sana, aku memutuskan untuk berjalan beberapa langkah ke belakang, lebih tepatnya berjalan menuju ke ruang tamu.
Tadi aku belum mengamati dengan cermat di ruang tamu. Pasti ada yang bersembunyi di sana, atau setidaknya itulah yang kupikirkan.
Aku masih mondar – mandir ke depan dan belakang dari ruang tamu dan ruang makan saat terdengar suara seruan dari ruang keluarga yang terletak di paling belakang rumah.
"Clone, kesini sebentar!" kata seruan itu.
Aku segera mengetahui kalau itu adalah suara ibu. Sepertinya, atau ternyata, ibu sedang di ruang keluarga. Mungkin ayah dan Blade juga sedang disana.
Aku menjawab seruan itu dengan berkata, "Ada apa bu?" Lalu, aku berjalan ke depan. Ah iya, aku tersadar kalau aku masih berseragam sekolah dan memikul tas ransel di punggungku.
Tas ransel yang kupikul ini benar – benar berat. Saking beratnya, aku sampai membungkuk saat berdiri.
Saat berjalan juga, aku berjalan sambil terengah – engah dan sedikit oleng ke kiri dan kanan. Jarak yang kuambil saat melangkah semakin – lama semakin pendek.
***
Sepersekian detik saat kakiku menyentuh lantai ruang keluarga, tiba – tiba terdengar suara hentakan. Ayah berdiri dari kursi kerjanya sambil menatapku.
"Clone, kau tahu apa maksudnya ini kan!" ayah berseru marah.
Aku menggelengkan kepala dua kali. Apa yang aku, orang yang baru tiba di sini tahu tentang apa yang sedang terjadi di sini.
Ayah menghentakkan kakinya. Terdengar suara gemuruh seperti gempa. Seisi ruangan bergetar mengiringi amarah ayah.
Aku akan menceritakan sebisaku, seperti apa suasana di ruang keluarga saat ini. Seperti yang diketahui, ayah sedang berdiri di depan kursi kerjanya dengan marah.
Ibu duduk pasrah di lantai di sebelahnya ayah. Dia menunduk, mungkin tidak sanggup untuk meredam amarah ayah.
Sementara itu, aku tidak melihat Blade di ruang ini. Mungkin dia sedang di kamarnya, mengurung diri agar tidak terseret masalah juga.
"Ayah sudah mendengar semuanya dari kepala sekolah!" ayah kembali berseru.
Aku kembali menggeleng, kali ini sambil menunduk. Ayah jadi menyeramkan saat sedang marah. Lagipula apa yang dari kepala sekolah?
Kemudian pipi kiriku terasa panas. Bersamaan dengan itu, terasa sesuatu yang seperti menusuk dadaku. Tusukan itu membuat tubuh gemetar.
Aku tidak berani memandang wajah ayah dan ibuku. Rasa panas di pipiku menjalar ke seluruh wajah. Aku tahu ada hal buruk yang terjadi.
Atau jangan – jangan, ini soal masalah yang barusan kualami? Ah sial! Kenapa masalah itu terdengar oleh kepala sekolah? Dan sekarang orang tuaku terkena akibatnya.
Ayah mendengus kesal sambil berkata, "Barusan kepala sekolah menelpon. Dia bilang kau terkena masalah parah. Satu – satunya hukuman yang pantas adalah mengeluarkanmu dari sekolah!"
Kemudian aku mendengar suara langkah kaki yang bergemuruh. Aku tahu ayah sedang berjalan mendekatiku.
Lima langkah kemudian, ayah berhenti. Dia tiba di depanku yang tak berdaya. Mungkin, ayah menunduk untuk melihatku.
"Kau tahu apa maksudnya ini kan!" ayah menyerukan kembali pertanyaannya di awal tadi.
Ayah berseru marah tepat di depanku. Suaranya yang keras membuat telingaku tuli untuk sementara. Tidak sampai tuli sebenarnya, hanya sedikit berdenging.
Ayah terdiam, menunggu jawaban, lebih tepatnya pembelaan dari terdakwa, yaitu aku. Sementara itu, aku mencoba berpikir bagaimana cara keluar, atau paling parah, lari dari masalah ini.
Keluar dari sekolah? Aku tidak tahu apakah ini kabar baik atau buruk. Tapi sepertinya kabar ini sedikit mengecewakan orang tuaku, mungkin teman – teman dan guruku juga.
Aku ingin menggunakan saja kekuatan aneh yang barusan kudapatkan. Bodoh sekali! Aku memikirkan cara yang buruk, benar – benar buruk.
Tapi aku tidak boleh menggunakan cara itu. Aku tidak boleh melawan orang tuaku. Durhaka itu namanya. Tapi bukannya yang di awal tadi namanya juga durhaka?
Aku teringat sesuatu. Benar, surat itu. Jika aku menunjukkan isi surat itu kepada ayah, mungkin aku bisa sedikit mengalihkan pembicaraan ini.
Lama menunggu, ayah pun berseru, "Ayah hanya ingin jawaban! Cuma itu!"
Aku menghela nafas. Kemudian, aku memasukkan telapak kananku ke saku jaketku yang di sebelah kanan. Aku menggoyang – goyangkan telapak tanganku di dalam saku jaket.
Dua menit kemudian, aku meraba sesuatu yang agak kasar. Sesuatu itu sepertinya berbentuk persegi panjang. Keempat sudutnya yang lancip hampir melukai jariku.
Aku memegang sesuatu itu dengan tiga jari, jari jempol di depannya, jari telunjuk, dan jari tengah di belakangnya.
Aku menarik tangan kananku ke atas agar sesuatu yang kupegang itu tertarik keluar dari saku jaket. Pelan – pelan aku menggerakkan tangan kananku agar sesuatu itu tidak lusuh terhimpit kain jaket.
Kemudian, aku mengayunkan tangan kananku sedikit ke depan dengan membengkokkan siku agar sesuatu yang kupegang itu terlihat di depan pandanganku.
"Ada yang memberiku surat. Mungkin ini adalah surat mutasi dari kepala sekolah," kataku sambil melihat sesuatu yang kupegang itu.
Mulai dari titik ini, sesuatu itu akan kusebut surat. Surat itu berupa kertas berukuran A4 yang dilipat sebanyak dua kali, kini menjadi satu seperempat dari bagiannya.
Aku menggerak – gerakkan kedua tangan untuk membuka lipatan surat itu. Saat lipatannya terbuka, tampak kertas yang berukuran A4 itu.
Terdapat alur bekas lipatan di atas kertas itu. Tapi, itu bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah teks yang tercetak di atas kertas surat ini.
Aku mulai membaca tulisan itu, "Kepada Clone Spiral. Kami sudah mengamatimu sejak lama dan mengetahui bahwa kau memiliki jaket yang berbahaya itu.
Kami memberimu surat ini untuk memberimu dua pilihan, bergabung di akademi, atau menyerahkan jaket itu. Tapi sepertinya, kau hanya punya satu pilihan yaitu bergabung di akademi. Itu karena kau sudah mendapat surat mutasi dari sekolahmu. Oleh karena itu, datanglah ke akademi besok.
Disini, kau direhabilitasi bersama pemilik jaket berbahaya yang lainnya. Informasi selengkapnya lihat pada lampiran. Tertanda, pengurus Academy of Super Ability."
Aku menarik nafas panjang. Kesepuluh jariku bergerak bersamaan untuk kembali melipat surat itu seperti semula. Apakah rencanaku berhasil?
Aku masih tidak berani untuk menaikkan pandanganku. Jadi, aku hanya menebak – nebak kalau sepertinya ayah sedang mengangguk sambil mencoba menenangkan diri.
"Clone!" tiba – tiba terdengar suara yang mengagetkanku.
"Serahkan surat itu. Ayah akan membacanya sendiri," sambung suara itu.
Sambil tetap menunduk aku menjulurkan tangan kanan—yang memegang surat itu dengan jari jempol dan telunjuk—ke depan.
"Ini ayah—," kataku tertahan.
Aku melirik sedikit ke atas dan melihat bahwa surat itu sudah tidak berada di tanganku. Ayah pasti mengambilnya barusan.
Kemudian, terdengar suara langkah kaki lima kali, untungnya tanpa disusul suara gemuruh, yang berarti rencanaku berhasil.
Aku menarik nafas lega. Perlahan – lahan, rasa panas di kepalaku mulai menghilang. Aku bahkan memberanikan diri untuk menaikkan pandangan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro