
Chapter 9 Part 3
Upacara pembukaan berlangsung dengan cepat. Kemudian, kami diarahkan untuk memasuki bangunan asrama. Seorang staf asrama yang ramah menyambut kami di lobi bangunan.
Dia mempersilahkan kami untuk memilih kamar asrama yang akan kami tempati sekaligus teman untuk sekamar dengan kami. Tentu, aku memilih Gen sebagai teman sekamarku.
Kami mendapatkan kamar di lantai dua bangunan. Di dalam kamar, aku menaruh koper yang kubawa ke lantai, dan menggantungkan jaket yang kupakai di dalam lemari.
Sementara itu, Gen menaruh sebuah laptop dan buku majalah ke atas meja belajar. Aku juga tidur – tiduran sebentar di tempat tidur untuk merasakan seberapa nyaman kasur di kamar ini.
Selanjutnya adalah acara pembagian kelas yang dilaksanakan di lobi bangunan sekolah. Lagi – lagi aku beruntung. Aku sekelas dengan Gen, yaitu di kelas 1B.
Kelas 1B terletak di salah satu lorong di lantai satu bangunan sekolah. Lorong yang lainnya adalah ruang guru dan beberapa jenis laboratorium, sebuah fasilitas yang wajib ada di sekolahan pada umumnya.
Ruang kelas 1B terletak di antara dua ruang kelas yaitu kelas 1A dan 1C, yang sama – sama akan ditempati oleh murid baru.
Di setiap kelas inilah, akan dilaksanakan acara perkenalan. Tapi, dilihat dari suasana akademi ini, pasti akan memakan waktu lama untuk bisa mengenali teman – teman sekelas.
Di kelas 1B, acara perkenalan dipimpin oleh si walikelas, seorang pria muda dan tinggi yang berusia sekitar dua puluhan yang bernama Pak Steven, atau begitulah kami harus memanggilnya.
***
Mencari bangku di kelas adalah hal yang mudah bagiku. Pertama, tempat itu harus bebas dari gangguan oleh anak lain. Kedua, aku dapat melihat dan mendengar apa yang terjadi di depan kelas dengan optimal saat duduk di tempat itu.
Dan ketiga, syarat optional, yaitu harus dekat dengan seseorang yang kukenal—sebutan mudahnya adalah sahabatku—yaitu Gen.
Di ruang kelas ini, satu – satunya bangku yang memenuhi ketiga syarat itu adalah sebuah bangku yang terletak di pojok kanan—jika dilihat dari depan kelas—belakang kelas.
Aku duduk di bangku ini, dengan Gen duduk di bangku sebelah kananku, dan seorang anak perempuan yang tidak kukenal duduk di bangku depanku.
Pak Steven berdiri di depan kelas. Pandangannya menyapu seisi kelas. Dia berseru, "Karena ini adalah hari pertama, ayo perkenalan dulu!" Kata – kata, "Siapa yang mau maju duluan?" menyusul seruan itu.
Sungguh perkataan yang menakutkan. Menyambutnya, aku duduk diam sambil meletakkan kedua lengan di atas papan meja yang berada di depan dadaku. Lengan kananku berada di atas lengan kiriku.
Pak Steven tiba – tiba menjadi sedikit cemas. Dia mondar – mandir di depan kelas, mungkin sedang memikirkan sesuatu.
"Ah iya, nanti tolong ceritakan bagaimana kalian bisa diundang ke akademi ini," sahut Pak Steven.
Tiga menit kemudian, Gen yang duduk di sebelah kananku berdiri dari bangkunya. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas sambil berkata, "Saya dulu pak!"
Pak Steven mengangguk senang. Saat Gen dalam perjalanannya menuju ke depan kelas, Pak Steven berkata, "Kau anak yang itu ya?" Gen pun mengangguk menjawabnya.
Tampaknya Gen dan Pak Steven sudah saling mengenal. Apa hubungan mereka berdua? Saudara kah? Atau tetangga? Wajar saja kalau begitu.
Di depan kelas, Gen melepaskan pandangannya ke seisi kelas. Mau – tak mau, seisi kelas seolah – olah teralihkan perhatiannya untuk memperhatikan Gen yang sedang berdiri di depan.
"Perkenalkan, nama saya Gen Revival. Tahun ini, saya akan berumur empat belas tahun. Saya datang ke akademi ini karena diundang oleh Pak Steven," kata Gen memperkenalkan dirinya.
Pak Steven kembali mengangguk. Sekarang, aku tahu bagaimana mereka berdua bisa saling mengenal. Pasti menyenangkan rasanya diundang oleh seseorang yang dikenali.
Tapi, aku diundang oleh seorang yang tidak kukenal. Dia adalah anak yang tidak pernah kulihat sebelumnya di sekolah. Kupikir, dia disuruh oleh kepala sekolah, untuk memberikan surat keterangan mutasi.
Memang, masalah yang tidak ingin kuingat itu pasti membawa dampak besar di SMPku. Apalagi, kepada mereka. Baguslah aku bisa menjauhi mereka, kali ini untuk selama – lamanya.
Kulihat Gen kembali duduk di bangkunya. Dia menoleh ke kiri, mengajakku berbicara saat Pak Steven berkata di depan, "Terima kasih, Gen. Baiklah, siapa selanjutnya?"
"Jadi kau sudah kenal dengan Pak Steven?" aku menoleh ke kanan sambil berbisik.
"Ya. Dialah yang mengundangku," jawab Gen, juga sambil berbisik.
Beruntung dia tidak menceritakan bagaimana dia bertemu Pak Steven dan berkenalan dengannya. Karena aku yakin, cerita itu tidak akan cukup untuk dijelaskan hanya dalam satu bab saja.
"Majulah Clone," bisik Gen tiba – tiba.
"Hah? Kenapa?" aku pura – pura bingung karena aku tidak mau maju untuk memperkenalkan diri, atau setidaknya aku akan maju terakhir saja.
"Santai saja. Pak Steven tidak galak. Anggap saja seperti bapakmu sendiri," Gen membalas dengan memberi perumpamaan yang salah.
Bapakku adalah orang yang galak, begitulah kata tetangga dan aku juga merasakannya sendiri. Di depannya, aku seperti tidak boleh melakukan sebuah kesalahan dan apa yang kulakukan harus sesuai dengan ekspektasinya.
"Sudahlah maju saja," kata Gen terus menghasutku.
Dia belum menyerah. Dia menyambung hasutan itu dengan perkataan, "Lihatlah! Pak Steven menunggu lama di depan kelas. Ini tidak akan selesai kalau tidak ada yang mau maju."
Lama – kelamaan, hasutan itu menggangguku. Satu – satunya cara menghilangkan pengganggu ini adalah denganku maju ke depan dan mulai memperkenalkan diri.
Kuakui kalau hasutannya berhasil. Tanpa kusadari, aku mengangkat tangan kananku. Di depan sana, Pak Steven sudah melihatnya. Dia mengangguk senang, sama seperti sebelumnya.
Apa susahnya memperkenalkan diri. Aku hanya perlu maju, dan mengatakan namaku saja kan? Dalam satu menit ini akan berakhir.
Aku tiba di depan kelas. Gawat! Dugaanku salah. Aku lupa siapa namaku! Dimana alamat rumahku? Kenapa aku ada disini? Tapi yang terpenting, apa yang harus kukatakan di sini?
Lihat, anak – anak di depanku sedang sibuk sendiri, Ada yang sedang menunduk memandangi ponsel yang dia pegang, ada dua anak yang saling berbicara satu sama lain, dan ada juga yang sedang melamun memikirkan entah apa.
Aku mencoba menggerakkan mulutku yang gemetar. Tapi, semakin aku mencoba, seluruh tubuhku—mulai dari kepala hingga kepala—malah ikut gemetar.
"Hmm ... nama ... ku ... Clone ..., Clone Spi ... Clone Spiral, ya! Clone Spiral!" suara yang terbata – bata keluar dari mulutku.
"Aku tinggal di perumaha ... umurku dua belas tahun, tapi nanti umurku tiga belas tahun," kata – kata itu meluncur dengan sendirinya. Bahkan aku bingung, apa "nanti" yang kumaksud.
"Hmm lalu ...," aku kehabisan kata – kata.
Aku mendongak ke atas, memandang langit – langit ruangan. Sepertinya, aku melupakan sesuatu. Apa ya...?
Pak Steven yang sejak tadi menonton dari sebelah kananku berkata, "Sudah selesai?" Perkataannya barusan mengingatkanku akan hal yang sedang kulupakan.
Lalu, aku berkata, "Aku datang di sini ... aku diundang ke sini saat terkena sedikit masalah di SMP." sambil menggerakkan kepala dari posisi mendongak ke posisi menunduk.
Aku melangkahkan kakiku empat puluh enam langkah ke depan, dan tiba di samping bangkuku. Masih sambil menunduk, aku membalik badan ke arah kanan. Lalu, aku melangkah dua kali ke samping kiri.
Sekarang, posisiku berada di antara sebuah meja dan kursi. Aku membengkokkan kedua lutut ke belakang sehingga badanku menjadi posisi duduk.
Aku duduk di dudukan kursi yang berada di belakang kedua pahaku. Masih sambil menunduk juga, aku memegang masing – masing samping dudukan kursi dengan meluruskan kedua tangan di samping badan.
Berapa lama aku berdiri memalukan di depan sana? Dua ... tidak ... pasti lebih dari lima menit. Aku tidak mengitungnya dengan stopwatch yang terpasang sebagai salah satu fitur jam tangan digital yang kupakai.
Setelah itu, anak – anak yang lainnya bergantian maju ke depan kelas. Saat itu, aku baru tahu bahwa sebagian besar dari mereka bernasib hampir sama denganku. Mereka diundang ke akademi ini setelah mengalami kejadian menarik.
"Salam kenal, namaku Syco Net. Tahun ini, aku akan berumur tiga belas tahun. Hobiku adalah membaca buku, terutama novel bergenre misteri. Aku didaftarkan oleh kakakku di akademi ini," kata anak perempuan yang tadi duduk di depanku, saat dia memperkenalkan dirinya.
"Namaku Tech Logic, Terima kasih!" kata seorang anak berwajah malas dengan headphone menutupi kedua telinganya.
Pak Steven terkejut. Dia pun menyahut, "Sudah itu saja?" Anak itu—namanya Tech—tidak mendengarnya dan terus berjalan menuju bangkunya.
Aku menoleh kepadanya. Kulihat dia duduk di kursi sebelum kemudian mengambil ponsel yang terletak di atas meja di depannya. Aku tidak peduli dengan merk ponsel itu, tapi ponsel itu mungkin speknya lebih bagus dari ponsel milikku.
Tech memiringkan ponselnya sembilan puluh derajat hingga berorientasi landscape, sebuah orientasi yang biasa digunakan saat seseorang sedang bermain game di ponselnya.
Melanjutkan perkenalan di depan, ada anak lain yang juga sudah mengenal Pak Steven selain Gen. Anak itu berbadan tinggi. Dia berdiri tegak—seperti sikap siap upacara—saat berdiri di depan kelas.
"Namaku Trail Zone. Umurku tiga belas tahun. Aku diundang oleh Pak Steven, pada tahun lalu tanggal sembilan September saat ada festival olahraga di alun – alun kota!" katanya.
Lalu, dua anak perempuan maju bersamaan. Mereka saling berpegangan tangan di depan kelas. Sepertinya, mereka berdua adalah sahabat baik.
"Aku Proty!" kata anak perempuan yang berdiri di sebelah kiri.
"Dan aku Rite!" kata anak perempuan yang berdiri di sebelah kanan.
"Kami berdua diundang saat tak sengaja terlibat kasus teror bom di Great Mall!" kata keduanya secara bersamaan.
"Salam kenal!" kemudian keduanya membungkuk bersamaan, meski yang bernama Rite badannya membungkuk lebih rendah dari Proty.
Perkenalan kedua anak itu seolah pembawa acara di pertunjukkan di panggung. Bedanya, di panggung biasanya pembawa yang satunya adalah laki – laki.
Setelah mereka berdua kembali ke bangkunya masing – masing, yang ternyata mereka duduk bersebelahan, seorang anak laki – laki dengan rambut acak – acakan berjalan ke depan kelas.
"Perkenalkan, namaku Pulse Ren. Umur empat belas tahun. Jaket yang kupakai ini, adalah Clothes of Chaos terkuat," dia mulai memperkenalkan dirinya.
Dari semua anak, hanya dia yang menyebutkan tentang Clothes of Chaos di dalam perkenalannya.
"Lalu, soal bagaimana aku diundang kesini ... sebenarnya aku adalah anak yang 'agak' nakal. Jadi, aku akan menceritakan sedikit tentang ...," sambungnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro