Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8: Buronan Level SS

20 Oktober 2011

Orang lain mengetahuinya sebagai buronan level SS, julukannya Deadly Painter yang berarti pelukis mematikan, dengan bounty sebesar $1.000.000.

Selebaran poster buronannya bertebaran dimana - mana, mulai dari tiang listrik hingga tembok ruko. Mereka yang pernah melihat sekilas poster itu pasti tahu seperti apa wajahnya.

Sedihnya, tidak ada yang tahu nama aslinya. Hal itu membuat Picto Kira-nama asli Deadly Painter-merasa kesal. Apalagi orang - orang yang takut kepadanya dan berusaha menjauh setiap berpapasan dengannya menambah kekesalan Picto.

Tunggu, kenapa dia bisa berjalan di kota hingga berpapasan dengan banyak orang dengan tenang? Yang lebih penting lagi, kenapa orang - orang takut kepadanya? Padahal, tampangnya biasa saja, tidak sangar sama sekali.

Picto, tubuhnya kurus tinggi. Postur badannya bungkuk, mungkin terkena kelainan kifosis. Saat berjalan, dia selalu menundukkan kepala. Tatapan matanya seperti orang baru bangun tidur.

Wajahnya bersih, tidak terlihat jenggot, kumis, bahkan jerawat. Rambutnya pendek rapi, seperti seorang mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi.

Pertanyaan itu terulang kembali. Kenapa orang - orang takut padanya? Jawabannya adalah karena Spirit Ability dari Clothes of Chaos yang dipakainya. Orang - orang menyebutnya sebagai kutukan pelukis.

Kutukan pelukis, rumornya adalah kutukan yang dimiliki oleh Picto. Konon katanya, jika Picto melukis lukisan tokoh nyata, tokoh di dalam lukisan itu akan dikutuk dan dikabarkan meninggal sesaat setelah lukisan itu selesai.

Oleh karena itulah orang - orang menjauhinya. Mereka takut jika Picto melihat dan melukis mereka di atas kanvas yang biasa dibawa Picto di pelukannya.

***

Sebuah kerumunan manusia berjalan di atas trotoar di pinggir jalan raya. Mereka mempercepat langkahnya saat berjalan melewati seorang gelandangan yang duduk dengan menekuk kedua lututnya dan bersandar di tembok di pinggir trotoar.

Itulah Picto. Dia duduk dengan menyangga sebuah kanvas dengan kedua lututnya. Tangan kanannya bergerak lincah memainkan kuas yang ujungnya bercat hitam. Dia sedang melukis tokoh yang akan dia kutuk.

Di atas kanvas tampak lukisan pria berkulit sawo matang. Tampak kerutan di wajahnya dan sebagian rambutnya sudah memutih. Pria itu sedang tersenyum dengan tangan kanan membengkok di depan perut. Jari jempol di tangan kanan itu sedang terangkat.

Dia memakai kemeja, celana panjang, dan sepatu kulit berwarna hitam. Terdapat jas putih di balik kemejanya. Dan dasi berwarna abu - abu bertengger di kerah jas putih itu.

"Akhirnya selesai juga," pikir Picto sambil mengusap dahinya dengan punggung tangan kanan.

Lalu Picto menggerakkan tangan kanannya itu ke bawah. Di lantai sebelah kanannya, terdapat sebuah palet berisi cat bermacam - macam warna. Ada merah, kuning, coklat, putih, dan hitam.

Dia mencelupkan kuas yang dipegangnya dengan tangan kanan di cat merah di palet. Lalu, dia kembali mengangkat tangan kanannya hingga sejajar dengan bahu secara horizontal.

"Sekarang matilah!" Picto berseru dalam hati sambil menggoreskan kuas yang bercat merah itu ke lukisan di kanvas di depannya.

Cat merah menggores lukisan tepat di bagian dada pria yang memakai kemeja itu.

Lalu Picto menurunkan tangan kanannya sambil berbisik, "Spirit Ability." Dia melepas jari - jarinya yang memegang kuas itu. Kuas itu terjatuh menghantam palet.

Jeda lima menit. Picto menghembuskan nafasnya sambil mengamati orang - orang yang lewat di depannya. Dia berpikir, "Orang - orang ini, mereka tidak bilang, 'permisi' saat lewat di depanku." sambil kesal.

Dua menit kemudian, suara, "Kau disini rupanya, Picto." terdengar dari sebelah kirinya. Picto terkejut dan menoleh ke kiri, asal suara itu.

Di sebelah kirinya berdiri seorang remaja laki - laki berusia tujuh belas tahun. Rambutnya pirang dan poninya yang panjang menutupi sedikit kedua matanya.

Dia memakai celana jeans yang kebesaran. Bajunya tidak terlihat, ditutupi oleh sebuah jaket kain yang tipis berwarna putih. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket itu.

"Cih", Picto mendengus kesal saat melihat remaja itu.

"Apa yang kau inginkan dariku, Line," sambungnya.

Remaja yang dipanggil Line itu menjawab, "Jangan marah, Picto. Aku datang untuk memberimu sesuatu." Dia menekuk kedua lututnya, membuat badannya turun hingga sejajar dengan Picto yang sedang duduk.

Bawah badannya hampir menyentuh tanah dan kedua tumitnya menyentuh tanah. Dengan kata lain. Line sedang dalam posisi berjongkok.

Line memiringkan badannya ke kanan untuk mengintip lukisan yang terlukis di atas kanvas di depan Picto. Dia bertanya, "Siapa yang sedang kau lukis?"

"Yang pasti bukan urusanmu," jawab Picto ketus.

"Benarkah?" balas Line tidak percaya.

Dia menggeser kedua telapak kakinya ke kanan sehingga membuat pusat berat badannya berputar ke kanan. Tetap dalam posisi jongkok, tubuhnya berputar menghadap kepada Picto.

Kemudian dia mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku jaket dengan kedua telapak tangan menggenggam. Line meluruskan kedua lengannya ke depan dan menunjukkan genggaman itu pada Picto.

"Apa lagi?" tanya Picto tanpa menoleh.

Line memasang wajah ceria sambil berkata, "Pilih yang mana? Kiri atau kanan?"

Picto tahu maksudnya. Line memintanya untuk memilih genggaman tangan mana yang harus dia buka duluan. Genggaman tangan kanan, atau genggaman tangan kiri. Pilihan ini sepertinya tidak berpengaruh terhadap kelanjutan cerita di bab ini.

Tapi, Picto terlalu kesal untuk meladeni Line. Bahkan, dalam hatinya dia berharap agar Line pergi saja dari tempat ini.

Dengan malas Picto balas bertanya, "Apa untungnya aku menjawab itu?"

Line menggelengkan kepalanya dua kali. Dia pun membalas, "Kau tahu, biasanya orang suka menyuruh temannya untuk memilih antara kabar baik dulu atau kabar buruk dulu."

Picto mengabaikan perkataan Line. Dia mengayunkan tangan kirinya ke atas kanvas di depannya. Kelima jarinya memegang bagian atas kanvas itu. Matanya menatap wajah sosok yang dilukisnya.

Picto mendengus kesal. Lalu, dia berkata, "Kanan dulu!" tanpa menoleh. Dia berpikir kalau tangan kanan biasanya membawa berita baik.

"Selamat! Kau benar!" Line berseru senang seolah bisa membaca pikiran Picto.

Line membuka genggaman kedua tangannya dan menunjukkan kalau sebenarnya dia tidak menggenggam apa pun.

"Sudah kuduga," pikir Picto.

Line menarik lengan kananya ke belakang jaket yang dipakainya. Dia menggerakkan lengan kanannya sedikit ke depan hingga telapak tangan kanannya masuk ke dalam saku jaket di sebelah kanan.

Setelah meraba - raba saku jaket itu, dia menarik tangan kanannya kembali ke luar. Kelima jari kanannya menggenggami sebuah benda berbentuk tabung yang berwarna putih lusuh.

Line menggerakkan tangan kanan yang memegang benda itu lurus sejajar dengan bahu ke samping kanannya. Line pun menoleh ke kanan dan melihat kalau Picto masih memandangi lukisan di depannya.

"Ini dia!" Line berseru senang.

Picto masih mengabaikannya. Dia duduk mematung dengan pandangan lurus ke depan. Matanya tidak berkedip sejak dua menit yang lalu.

"Kau melamun ya?" kata Line mencoba mengagetkan Picto.

Picto mengayunkan tangan kirinya ke samping-meraih benda yang dipegang oleh Line-sambil berkata, "Tidak!" Kata - kata, "Aku tidak melamun." menyambung perkataan itu.

Line memutar lehernya kembali menghadap ke depan sambil berkata, "Baiklah kalau begitu." Line melepaskan jari tangan kanannya yang menggenggam benda itu. Sekarang, ganti jari tangan kirinya Picto yang menggenggamnya.

"Apa ini?" tanya Picto ketus, masih menatap lukisan di depannya.

"Lihat berita utama di koran itu. Kau yang melakukannya kan?" jawab sekaligus tanya balik Line.

Picto menaruh benda yang disebut gulungan koran itu di lantai di sebelah kanannya. Lalu, dia memegang kanvas di depannya dengan kedua tangan. Tangan kiri memegang bagian kiri kanvas dan tangan kanan memegang bagian kanan kanvas.

Lalu, Picto memutar kedua kakinya ke samping dengan arah yang berlawanan, sehingga kedua betisnya saling menyilang satu sama lain. Kedua lutut dan samping luar kaki menyentuh tanah.

Picto memutar kanvas yang dipegangnya sembilan puluh derajat berlawanan arah dengan jarum jam. Kemudian, kanvas itu dibawa dengan kedua tangan ke samping kirinya.

Dia menaruh kanvas itu dengan menjepitnya di antara lengan atas dan samping badan.

Lalu, Picto menggerakkan tangan kanannya ke samping untuk memegang koran yang tadi ditaruhnya di lantai di sebelah kanannya.

Kemudian, Picto mengangkat tangan yang memegang koran itu sedikit ke atas. Dia menggerakkan tangan itu hingga tiba di depan kakinya yang sedang dalam posisi bersila.

Koran itu ditaruhnya di atas lantai di depannya. Seharusnya, koran itu berbentuk persegi panjang. Namun, koran yang dipegang Picto itu berbentuk tabung karena koran dalam kondisi tergulung.

Picto membuka gulungan koran itu. Di halaman depan koran, terdapat headline dengan ukuran font delapan belas yang bertuliskan, "BREAKING NEWS!" Di sebelah kananya terdapat tulisan, "Kematian Walikota yang Misterius" dengan ukuran font enam belas.

Di bawah headline itu terdapat foto seorang pria yang sedang berdiri di atas panggung. Tulisan berukuran font sepuluh yang mengatakan, "Walikota kota" terdapat di bawah foto.

Picto memfokuskan pandangannya ke paragraf di bawah foto. Dia menggerakkan mulutnya yang ditandai dengan kedua bibirnya yang bergerak ke atas dan ke bawah. Picto sedang membaca berita utama di koran itu.

"21 Oktober 2013. Sehari tidak muncul di depan publik, walikota kota ditemukan tergeletak di rumahnya dalam keadaan sudah tak bernyawa. Penyebab kematiannya masih belum diketahui. Sekarang, mayatnya sedang dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan proses otopsi."

Picto berpikir kalau sudah terlambat bagi polisi untuk mengotopsi si walikota ini. Lalu, dia berkata, "Terima kasih sudah membawa koran dari masa depan ini" dengan mengecilkan suara.

Di sebelah kirinya, Line meninggalkan posisi jongkok dan memasuki posisi berdiri. Dia menghadap ke depan, melihat kerumunan manusia yang berlalu - lalang.

"Tapi, apa kau tidak bosan menjalani kehidupan seperti ini? Hanya berdiam diri sambil 'mengutuk' orang lain yang mengganggumu," tanya Line tiba - tiba, dengan nada serius.

Picto menggulung kembali koran yang tadi dia pegang. Kemudian dia mendongak ke atas sambil berkata, "Entahlah ...."

"Mungkin kau benar," sambungnya.

"Aku bosan. Terus hidup dalam putus asa. Aku sudah kehilangan tujuan hidup gara - gara orang itu!" suara Picto menjadi semakin keras saat dia berkata, "... gara - gara orang itu!"

Gulungan koran yang masih dia pegang dengan tangan kanan menjadi korban amarahnya. Dia mengayunkan tangan kanan itu ke depan dengan kencang, membuat koran kehilangan momentum dan terlepas dari pegangannya.

Koran itu melayang sepuluh sentimeter tingginya dari tanah. Sedetik kemudian, dia mendarat di atas jalan raya. Sebuah mobil melaju di jalan raya dan melindas koran itu hingga tak bersisa.

Line tersenyum sinis saat melihatnya. Lalu dia berkata, "Kalau kau bosan dengan kehidupanmu yang sekarang, ikutilah apa yang tertulis di undangan ini."

"Dengan mengikutinya, kehidupanmu mungkin akan berubah lagi," Line melempar amplop berbentuk persegi panjang dengan lebar enam sentimeter dan panjang delapan sentimeter ke samping kanan.

Amplop mendarat di titik silang kedua kaki Picto.

"Undangan apa ini?" tanya Picto dalam hati.

Dia memegang bagian kanan amplop dengan jari jempol dan telunjuk kanannya. Kemudian, lengan kanan yang memegang amplop itu dia naikkan hingga berada di depan wajahnya.

Samar - samar terdengar suara, "Omong - omong, aku juga mendapatkan undangan itu." dari kiri Picto. Saat Picto menoleh ke kiri, dia tidak melihat siapa pun di sana.

"Cih! Datang tiba - tiba dan pergi tiba - tiba," dia mencibir.

Tidak perlu berlama - lama lagi, Picto membuka amplop itu dengan merobek bagian atasnya. Dia mengeluarkan secarik kertas yang terlipat rapi dari dalam amplop. Lipatan kertas itu dibuka dan Picto segera membaca isi undangan itu.

"Kepada Picto Kira, buronan level SS, di tempat.

Pertama - tama, maaf atas kelancanganku. Aku mengirimkan undangan ini setelah membuat pertimbangan yang matang. Aku hanya ingin mengatakan satu hal! Temui aku! Jam 9 pagi di bangunan kosong di distrik 10.

Sekian, terima kasih. Kau akan segera mengetahui namaku nanti."

***

Pukul 09.00

Pertanda yang mengatakan bahwa seseorang sedang berada di distrik 10 adalah sebuah hutan kota seluas seratus lima puluh hektar yang terletak di sebelah timur jalan raya.

Di sepanjang keliling hutan kota terdapat pagar pembatas setinggi satu setengah meter berwarna merah kecoklatan. Pagar ini membatasi area hutan dengan jalan raya dan pemukiman warga di sekelilingnya.

Di salah satu titik di pagar, terpasang papan pengumuman yang bertulisan, "Hutan Kota. Dilarang membuang sampah sembarangan di sepanjang area ini!"

Dari jalan raya, tampak puluhan bangku kayu yang berjajar di bawah pepohonan rindang di dalam hutan kota. Di samping setiap bangku terdapat sebuah tempat sampah berwarna hijau dengan simbol daur ulang di badannya.

Tak tampak dari luar, dan tak diketahui banyak orang, jauh di dalam hutan kota terdapat sebuah bangunan angker. Hanya mereka yang berani menjelajahi hutan kota yang pernah menemukan bangunan angker itu.

Sebenarnya, itu hanya bangunan biasa. Hanya saja, siapa pun yang menemukannya pasti sedang tersesat di dalam hutan kota. Karena itulah bangunan ini disebut angker.

Bangunan itu memiliki dua lantai. Dindingnya berwarna putih dan atasnya tidak beratap. Ada banyak celah lebar di dinding yang seharusnya merupakan tempat memasang jendela dan pintu.

Bangunan hampir roboh karena tiang penyangganya sudah hancur. Bagian depan bangunan terlihat miring ke kanan karena sebagian tanah di bawahnya amblas.

Picto tiba di halaman depan bangunan. Disana, dia tidak sendiri. Ada lima orang lain yang juga datang ke tempat ini. Picto tahu kalau mereka adalah buronan sama seperti dirinya.

Shad Lack, seorang pria tinggi dengan rambut disemir merah berdiri menyandar di dinding bangunan sambil menghisap rokok. Dia memakai jaket hitam dan kemeja putih di baliknya.

Blast Snip, seorang wanita berambut ponytail berwarna coklat. Dia memiliki sepasang mata yang berbeda warna, mata kiri berwarna coklat dan mata kanan berwarna merah.

Visty Blade, remaja perempuan dengan rambut hitam yang terurai panjang, berdiri di sebelah kanan Blast. Dia memakai pakaian serba hitam dengan masker hitam menutupi mulutnya.

Blaz Flar, seorang remaja laki - laki dengan wajah mengantuk dan memiliki kantung mata kehitaman di bawah kedua matanya. Hanya dia buronan yang tidak memakai jaket.

Dan yang terakhir yaitu seorang remaja laki - laki yang sudah dikenal Picto, yang tak lain adalah Line. Dia berjongkok di tanah sambil menundukkan pandangannya.

"Hei kalian!" tiba - tiba Picto berteriak.

Teriakkan itu membuat orang - orang di depannya menoleh ke belakang. Mereka pun menatap Picto dengan tatapan yang mengancam.

"Aku tidak tahu permainan macam apa yang kalian mainkan! Tapi, salah satu di antara kalian pasti orang yang mengundangku kesini, kan!" sambungnya.

Shad menjatuhkan rokoknya ke tanah, lalu diinjaknya rokok itu dengan kaki kanan. Blast mengeluarkan kacamata bundar dari saku jaketnya yang kemudian dia pakai di depan matanya.

Visty menggerakkan tangan kanannya membentuk posisi horizontal di depan dagu. Dan Blaz membuka mulutnya lebar - lebar, menguap.

Kemudian, terdengar suara, "Kau salah!" dari dalam bangunan. Perkataan, "Bukan mereka yang mengundangmu, tapi aku!" menyusul suara itu.

Sontak para buronan memutar kepalanya, mencari sumber suara. Tak lama mencari, dari celah yang paling lebar di lantai dua bangunan terlihat sosok pria berjubah hitam.

Sebuah topeng putih menutupi wajahnya. Dia berjalan ke ujung lantai agar orang - orang di halaman dapat melihatnya. Dari balik topengnya, dia menurunkan pandangannya, melihat ke bawah.

Orang - orang, kecuali Line dan Shad mendongak ke atas.

"Masuklah! Akan kuceritakan semuanya di dalam!" perintah pria berjubah itu sambil berteriak.

Picto mulai melangkahkan kakinya-mengikuti orang - orang lain di depannya yang sudah berjalan duluan memasuki bangunan itu-sambil mendongakkan kepala.

Di dalam bangunan, mereka berkumpul di sebuah ruangan luas yang mungkin merupakan ruang tamu. Ruangan ini gelap, satu - satunya sumber cahaya adalah cahaya remang - remang yang berasal dari celah lebar di dindingnya.

Perasaan Picto mengatakan kalau dia menginjak sesuatu di lantai. Picto pun menundukkan kepala, melihat ke bawah. Di atas lantai, tersebar puing - puing berupa puluhan batu bata.

Kemudian, dari atas sebuah tangga yang terbuat dari bata, sosok pria berjubah hitam itu muncul. Dia melangkah, menginjak satu per satu anak tangga di depannya.

Terdengar suara dentuman saat kaki pria berjubah hitam menginjak sebuah anak tangga. Suara itu terdengar, begitu seterusnya hingga dia sampai di dasar tangga.

Orang - orang, termasuk Picto memandang pria itu. Pandangan mereka bergerak turun, mengikuti langkah pria itu ketika menuruni tangga.

"Selamat datang!" teriak pria berjubah hitam sesampainya dia di dasar tangga.

Tiba - tiba, Picto, Line, Pulse, dan Shad, laki - laki yang hadir di tempat ini, matanya membelalak bersamaan saat mereka mendengar teriakan itu.

"Suara itu ...," Picto merasa familiar dengan suara yang dia dengar.

"Apa - apaan itu?" pikir Line dan Shad secara bersamaan.

Dari balik topeng putihnya, pria berjubah hitam itu tersenyum. Dia memperkenalkan dirinya dengan berkata, "Namaku Ward Cime. Aku memakai sebuah jaket di balik jubah ini, yang tak lain adalah Clothes of Chaos."

Orang - orang terkejut dengan memberikan reaksi yang berbeda. Pulse berkata, "Jadi dia juga pakai itu ya?" dalam hatinya.

"Clothes of Chaos ini memberiku kekuatan yang aneh, yaitu untuk mengubah identitasku. Karena itulah, aku yang sebenarnya perempuan dapat terlihat sebagai laki - laki dilihat dari luar," jelas pria ... maksudnya, wanita itu.

"Apa yang kau inginkan dariku!" Picto berseru memotong penjelasannya.

Ward mengangkat tangan kanannya ke atas. Jarinya yang menggenggam mulai bergetar. Jari telunjuknya bergerak membuka dari genggaman, menunjuk langit - langit bangunan di lantai satu.

Ward berseru, "Tujuanku hanya satu!" Seruan itu dilanjutkan dengan, "Yaitu mengadakan perjanjian dengan kalian!"

Shad mendekatkan sebuah puntung rokok ke depan bibir. Dia memasukkan tangan kanannya ke saku jaket, mencari korek api untuk menyalakan puntung rokok itu.

"Kita akan membentuk sebuah organisasi, kelompok, atau apa pun itu kalian menyebutnya!" Ward masih berseru.

Blast memperbaiki posisi kacamatanya sambil berkata, "Tapi untuk apa? Kau bahkan sampai mengundang kami, para buronan di kota."

Dari balik topeng, Ward menurunkan pandangannya. Dia juga menurunkan tangan kanannya yang tadi terangkat, hingga berada di depan dada. Posisi jari telunjuknya kini menunjuk orang - orang yang hadir.

Menurut orang - orang, Ward sekarang terlihat seperti sedang menunduk. Dengan suara seperti orang sedih, dia berkata, "Aku tahu, kita sudah dikucilkan oleh masyarakat, mengalami diskriminasi oleh mereka."

"Tapi, apakah kalian akan berdiam diri saja? Terus ditindas oleh mereka. Tidak! Kita tidak bisa diam saja! Kita harus melawan mereka! Dengan apa? Kalian pasti tanya begitu."

"Benar!" tiba - tiba Ward berseru menjawab sendiri pertanyaan itu sambil kembali mengangkat tangan kanan seperti pada delapan paragraf sebelum ini.

"Sebuah kebetulan kalau kita semua memiliki Clothes of Chaos! Dengan kekuatan dari Clothes of Chaos inilah, kita akan menunjukkan pada dunia! Dan suatu saat, mereka pasti akan mengakui kita!"

Seketika, seisi ruangan menjadi ramai. Blaz dan Blast bertepuk tangan. Mereka berdua berpikir, kalau Ward akan menjadi penyelamat buronan seperti mereka.

Visty, sejak awal tadi pikirannya melayang kemana - mana. Meskipun begitu, dia sudah menanamkan keyakinan pada dirinya kalau Ward adalah sosok yang mencurigakan.

Shad terbatuk - batuk setelah menghisap rokok. Dia melempar puntung rokok itu ke lantai. Dalam hatinya, dia berkata, "Ini menarik juga, Line."

Di sebelah kirinya, Line yang sedang dalam posisi jongkok sudah membaca isi hati Shad. Dia pun membalas, "Benar kan, apa kataku."

Sementara itu, Picto mengepalkan kedua tangannya di samping badan. Keringat dingin mengalir dari ubun - ubun, menuju ke seluruh badannya.

"Mendapatkan pengakuan dengan Clothes of Chaos? Jangan bercanda! Semua yang kurasakan, keberadaan Clothes of Chaos hanya akan membawa kehancuran dan ketidakadilan!" Picto berseru marah di dalam hatinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro