Chapter 2 Part 2
Seorang wanita berusia dua puluhan memasuki area keempat alun – alun dari sebelah kiri tribun. Dia adalah seorang selebriti yang terkenal di kota. Orang – orang bersorak saat melihatnya.
Dia berjalan ke area kosong di depan tribun itu sambil melambaikan tangan kanan ke arah tribun. Sorakan itu menjadi semakin kencang.
Wanita itu menghampiri tiang mic yang berada di tengah area kosong. Dia memegang mic itu dengan kedua tangan dan menarik nafas panjang sebelum berbicara kepada mic.
"Walikota dan panitia yang kami hormati. Terima kasih juga kepada hadirin sekalian yang bersedia untuk datang pada malam hari ini!" suara di mic menggema di setiap sudut alun – alun kota.
"Malam ini, sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi kita untuk berkumpul di tempat ini! Tujuannya, yaitu untuk bersenang – senang dalam memperingati tahun baru!" sambungnya.
Sorakan dari tribun terdengar semakin keras dari sebelumnya. Aku sempat menoleh dan melihat orang yang duduk di sebelah kananku juga bersorak. Di depan sana, wanita itu terdiam selama terdengar sorakan.
"Apa dia sebegitu terkenalnya?" tanyaku dalam hati. "Aku tidak pernah mengikuti trend artis sebelumnya. Aku selalu melewatkan berita tentang artis yang kutemui di koran", pikirku sambil menghela nafas.
Dua menit kemudian, sorakan terhenti. Wanita itu kembali melanjutkan dengan berkata, "Sebelum itu, saya akan membacakan susunan acara pada malam hari ini."
"Acara pertama yaitu penampilan kebudayaan daerah. Kebudayaan yang akan ditampilkan pada malam hari ini diantaranya tari, musik, dan teater. Penampilan akan berlangsung selama kurang lebih tiga jam!"
Suasana di tribun hening saat ini, hanya terdengar sedikit bisikan dan rengekan dari anak – anak kecil. Orang – orang lain sedang menyimak dengan baik.
"... kemudian, saat tengah malam tiba akan ada peluncuran kembang api. Lalu acara terakhir yaitu doa bersama dan penutup," sambung wanita itu.
Dia menarik nafas panjang. Suara nafasnya terdengar dari dua buah pengeras suara di belakangnya. Suasana masih hening. Aku memperhatikan ke depan dengan penasaran.
"Pasti penampilan pertamanya tarian oleh Community of Traditional Dance," kataku dalam hati menebak – nebak.
Dia menghembuskan nafas. Kemudian, dia berseru, "Mari kita sambut acara pertama yaitu penampilan kebudayaan daerah!"
"Penampilan pertama pada malam ini adalah tarian eropa yang akan dibawakan oleh Community of Traditional Dance!" sambungnya. Suara tepuk tangan menyusul seruan itu.
"Wah," bisikku karena senang tebakanku benar. "Memang Community of Traditional Dance selalu mendapat giliran tampil pertama di setiap acara yang ada penampilannya," pikirku.
Wanita itu menjauhkan mulutnya dari mic. Dia sedikit mendongak ke atas sambil melambaikan tangannya ke arah tribun. Suara tepuk tangan menjadi semakin kencang.
Aku menoleh ke kiri dan melihat ayahku dan ibuku bertepuk tangan bersamaan. Adikku mengikuti tepuk tangan mereka. Aku juga ikut bertepuk tangan mengikuti mereka.
Wanita itu berjalan ke luar area keempat sambil tetap melambaikan tangannya. Suara tepukan tangan mengiringi langkahnya. Semakin dekat dia dengan bagian luar area, semakin kecil suara tepuk tangan yang terdengar.
Suara tepuk tangan lenyap saat dia keluar dari area ini. Orang – orang terdiam dan menunggu dengan sabar. Di sela sela keheningan terdengar suara rengekan anak – anak kecil.
Beberapa menit kemudian, dari tempat wanita itu keluar area, muncul dua barisan penari dari Community of Traditional Dance. Barisan pertama berisi penari laki – laki dan barisan kedua berisi penari perempuan.
Mereka berjalan cepat ke area yang dikelilingi oleh tribun. Sesampainya disana, barisan itu berpencar membentuk sebuah formasi segi empat sama sisi.
Kemudian, terdengar sebuah lagu berbahasa inggris dari dua buah pengeras suara di belakang mereka. Satu per satu dari penari itu mulai menari dimulai dari yang berdiri di paling depan.
Penari di belakangnya ikut menari beberapa detik saat penari di depannya mulai menari. Begitu seterusnya hingga semuanya menari bersamaan.
Suara tepuk tangan terdengar di saat – saat tertentu saat penari itu sedang menari. Suara yang terdengar bervariasi mulai dari kencang hingga bisikan.
Beberapa menit sebelum lagu itu selesai, formasi itu berpencar. Mereka berlari keluar dari area keempat. Penari laki – laki keluar dari sisi kiri sementara penari perempuan keluar dari sisi kanan.
Lagu berbahasa inggris itu berhenti diputar tepat saat semua penari sudah berlari keluar area. Kemudian, wanita selebriti itu kembali memasuki area.
Belum setengah acara, adikku kembali menguap. Dia menatap langit dan pikirannya mulai melayang kemana – mana. Kemudian dia menoleh ke kanan sambil merengek, "Lapar! Mau makan!"
"Ssst," bisik ibuku sambil mendekatkan jari telunjuk kanannya ke depan mulut. "Jangan berisik, nanti mengganggu orang lain," bisiknya membalas rengekkan adikku.
Aku mengangguk sambil tetap menatap ke depan. "Ibu benar. Kita tidak tahu apa perasaan orang lain. Apakah mereka terganggu oleh adikku atau tidak?" pikirku.
"Tapi aku mau makan!" adikku terus merengek. Ibuku menarik nafas panjang, menahan marah. Lalu, dia mengalihkan pandangannya ke depan.
"Ibuku gagal?" pikirku. Aku menghela nafas sambil melihat penampilan di depan yang sudah mulai menarik. Kali ini adalah penampilan band musik lokal yang membawakan sebuah lagu yang terkenal.
Ayahku menoleh setengah membungkuk ke kanan. "Adik mau beli camilan di pasar malam?" tanyanya setengah berbisik. Ini gilirannya untuk menenangkan adikku.
Adikku menoleh ke kiri. Dia mengangguk berkali – kali sambil menatap wajah ayahku dengan tatapan berharap.
"Boleh," jawab ayahku. Adikku akan berseru senang sebelum ayahku memotong seruannya dengan berkata, "Tapi harus ditemani oleh Mas Gen".
Aku yang mendengar pembicaraan mereka kemudian menjawab, "Tak apa – apa yah. Biar kutemani Sekalian mencari camilan."
Di saat itu juga, aku berpikir, "Rengekan adikku harus dihentikan agar tidak mengganggu orang lain."
Di depan tribun, band musik itu mulai memainkan intro lagu. "Sayang sekali aku harus melewatkannya," pikirku sambil berdiri dari tempat duduk.
Aku berjalan ke depan tempat duduk adikku. Kemudian, aku berkata, "Ayo dek." Adikku mendongak untuk menatap wajahku.
Dengan wajah senang dia melompat dari tempat duduknya. Adikku merasa kalau tempat duduk itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan, kakinya melayang di atas lantai saat dia duduk disana.
Aku berjalan di lantai tribun tanpa bersuara. Adikku berjalan di sampingku. Dia mendongak ke atas. Melihatku berjalan dalam diam, dia ikut terdiam.
***
Kami keluar dari area keempat dan menuju ke jalan setapak yang mengelilingi alun – alun. Sebuah stand bazar berjajar di sepanjang samping kiri kanan jalan setapak.
Stand bazar itu terdiri dari sebuah atap tenda yang ditahan oleh empat buah tiang di setiap pojoknya. Di bawah atap, terdapat dua buah meja yang disusun bersebelahan. Meja itu terletak di pinggir area yang berada di bawah atap.
Di atas meja terdapat barang – barang yang sedang dijual. Di beberapa stand, barang – barang ditaruh tengah area yang berada di bawah atap.
Di beberapa stand juga terdapat sebuah rak kayu yang terdapat barang – barang di dalam lacinya. Sementara itu, pemilik stand duduk di kursi kayu yang berada di seberang meja, di area yang berada di bawah atap.
Aku dan adikku berjalan di sepanjang jalan setapak. Adikku melihat ke sekeliling sambil menghitung jumlah stand bazar yang terlihat.
"Satu, dua, tiga, empat ...," adikku menghitung sambil sesekali menunjuk stand bazar itu.
Beberapa meter berjalan, di kiri kanan kami adalah bazar yang menjual souvenir dan pakaian. "Sepertinya kami salah area bazar," pikirku.
Aku terus berjalan ke depan dengan adikku di samping. Jalan setapak ini tidak terlalu ramai dengan orang. Beberapa saat kemudian, adikku kembali merasa bosan.
Dia mendongak ke samping sambil bertanya, "Kita mau jalan sampai mana mas?"
"Daritadi belum ada bazar yang menjual makanan", jawabku sedikit menoleh. "Oiya sudah kehitung berapa stand?" sambungku.
Adikku menggelengkan kepala. Kemudian dia berkata, "Lupa mas. Tadi kehitung sepuluh." Aku pun menghela nafas.
Kemudian, di depanku terlihat sebuah stand yang menjual makanan. Aku menarik nafas lega. "Ah iya, aku mau beli apa ya?" pikirku sebelum menghampiri stand itu.
Aku memelankan langkahku sambil berjalan ke pinggir jalan setapak. Adikku mengikutiku di samping. Kemudian, aku menghentikan langkahku disana.
Adikku memasang wajah penasaran. Sebelum dia bertanya, aku menoleh dan berkata, "Mau camilan apa dek?"
Adikku terdiam. Kemudian dia sedikit mendongakkan kepala sambil memikirkan sesuatu. "Sebaiknya aku juga berpikir," kataku dalam hati.
Aku sedikit mendongakkan kepala sama seperti adikku. "Sebaiknya aku akan membeli camilan yang sama dengan yang diinginkan oleh adikku," pikirku. Beberapa saat kemudian, sebuah keluarga menyalip kami.
Adikku menurunkan pandangannya dan melihat sebuah stand bazar beberapa meter di depan kami.
Aku menundukkan kepala sambul menoleh ke arah adikku.
Adikku mendongak dan berkata, "Es krim saja mas. Di depan ada yang jual es krim kan?" katanya kemudian. "Setuju!" aku berseru di dalam hari.
"Mas apa?" adikku kembali bertanya. Aku menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Sama!" "Ayo kesana," sambungku.
Saat aku akan melangkahkan kaki, tiba – tiba terdengar suara aneh. Beberapa saat kemudian, orang – orang yang ada di sekeliling kami, termasuk penjual di stand bazar berlarian kesana kemari.
"Suara apa itu?" aku bertanya dalam hati. Aku membalikkan badan ke belakang. Tidak ada sesuatu yang janggal di belakangku selain orang – orang yang berlarian.
"Mungkin hanya perasaanku saja," kataku dalam hati. Kemudian aku kembali berbalik dan menghadap ke depan.
Aku menoleh kepada adikku sambil berkata, "Ayo lanjut ke ...." Perkataanku terputus. Adikku berdiri dengan tidak sadarkan diri dan darah memancar dari kepalanya.
Kemudian badannya oleng ke samping. Aku berlari untuk menangkap badannya sebelum dia jatuh ke tanah. "Ada apa ini?" tanyaku dalam hati.
Aku melihat darah yang memancar dengan menyeramkan. "Oy oy oy!" kemudian aku berseru sambil menggoyangkan badan adikku. "Kenapa!" aku terus berseru.
Dalam hati, aku bertanya, "Apa yang terjadi? Kenapa tiba – tiba menjadi seperti ini? Apa adikku sudah mati? Tapi kenapa?"
Aku memandang ke depan. Tidak ada siapa – siapa di sekeliling kami. Orang – orang sudah berlari menjauhi kami.
"Siapa pun!" aku berbisik. "Siapa pun itu tolong aku dan adikku!". Aku menoleh ke kiri dan kanan sambil terus berharap ada seseorang yang datang dan menolong kami.
Suara langkah kaki terdengar dari belakang. "Ada yang datang menolong!" aku berbisik senang. Aku pun membalikkan badan untuk melihat orang yang menolong kami itu.
Belum sempat aku berbalik, bagian belakang perutku terasa sakit dan perih. "Rasa sakit apa ini?" bisikku sambil sedikit menolehkan kepala ke belakang.
Di belakangku ada seorang laki – laki dewasa yang berdiri dekat denganku. Wajahnya terlihat samar karena dia memakai sebuah masker dan topi hitam.
"Apa yang dia lakukan? Kenapa dia diam saja?" kataku dalam hati. Rasa perih di perutku menjadi semakin sakit, Aku menurunkan pandangan dan melihat sebuah pisau menancap dan bagian perutku yang terasa perih.
"Gawat!" bisikku. Orang itu ternyata sedang menusukku. Aku ingin berteriak tapi sesuatu seperti menahan mulutku untuk bergerak.
Kemudian aku terjatuh ke depan sambil memeluk badan adikku. Badanku menimpa badan adikku saat kami jatuh menghantam tanah.
Nafasku terasa sesak. Jantungku berdetak kencang. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Kemudian, aku juga merasa kedinginan.
"Inikah rasanya mati?" tanyaku dalam hati. Pandanganku mulai gelap. Rasa perih itu terus menyiksaku. Mulutku tidak bisa terbuka dan aku tidak bisa berteriak kesakitan.
Pandanganku hitam. "Aku sudah mati," pikirku. Samar – samar aku mendengar perkataan, "Target sudah dilumpuhan. Misi selesai." disusul oleh suara ledakan.
***
"Aku sudah mati, aku sudah mati, aku sudah mati," aku terus – terusan mengatakan itu pada diriku sendiri.
Lama menunggu dalam gelap, terdengar suara bisikan di telingaku. "Chaos! Spirit Ability!" Suara itu terdengar jelas, tidak samar seperti yang sebelumnya.
Aku terengah – engah sambil membuka mata. Aku pun menyadari kalau aku sedang berbaring di tanah. Adikku berada di pelukanku. Pandanganku melihat luka di kepalanya.
1 Januari 2013
"Tusukan itu sepertinya tidak langsung membunuhku," kataku dalam hati. "Tapi kebetulan juga aku masih bisa bertahan," sambungku.
Aku masih menatap luka di kepala adikku. Aku pun berpikir, "Sayangnya adikku tewas disini." Mataku tiba – tiba terasa perih.
Aku mencoba untuk berdiri sambil menggendong adikku. Aku mendorong salah satu kakiku ke tanah untuk memaksa tubuhku berdiri.
Otomatis, tubuhku akan terangkat ke posisi berdiri. Aku merasakan rasa sakit di tengah – tengah saat tubuhku terangkat.
Ternyata itu adalah rasa perih di belakang perutku. "Aw!" aku berteriak kesakitan sambil mengayunkan tangan mencoba meraih bagian yang terasa sakit.
"Sepertinya lukanya cukup parah," pikirku. Meskipun begitu, aku berhasil berdiri dengan tubuh sedikit oleng ke kanan.
Aku sedang menyeimbangkan tubuhku sambil memegangi tubuh adikku dengan satu tangan. Tanganku yang satunya masih meraba – raba bagian belakang perutku.
Aku mendongak ke atas. Kembang api meletus di langit. Dari kejauhan terdengar suara tepuk tangan disusul sorakan senang.
"Saat malam tahun baru yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi menyedihkan," kataku dalam hati. Aku ingin menikmati dulu pertunjukan kembang apinya.
Mataku kembali terasa perih. Kemudian aku menurunkan pandangan kembali melihat tubuh adikku. Tapi tiba – tiba aku terkejut.
"Luka itu menghilang?" bisikku sambil melihat kepala adikku. Luka parah yang seharusnya ada di kepala adikku sekarang sudah tidak ada.
"Apa lagi yang terjadi sekarang?" pikirku. Adikku mulai membuka matanya. Dia menggoyangkan tubuhnya untuk melepaskan dari dari peganganku.
Adikku berjalan ke depan. Dia menatap sekitar dengan wajah bingung. Aku berjalan ke sampingnya sambil kembali mendongak melihat kembang api di atas langit.
Adikku menoleh kepadaku dan bertanya, "Apa yang barusan terjadi mas?" Aku menggelengkan kepala. Kemudian aku menundukkan kepala untuk berpikir.
"Apa yang barusan terjadi? Entahlah. Aku tidak tahu kenapa tusukan itu tidak membunuhku. Aku juga tidak tahu bagaimana luka di kepala adikku bisa menghilang?" pikirku.
Aku mendengarkan suara langkah kaki di belakangku. Sebelum aku membalik badan, seseorang itu sudah menepuk pundakku dari belakang.
Aku pun berbalik. Adikku ikut berbalik dan berjalan agak ke depanku. Aku melihat seorang laki – laki dewasa di depanku. Dia terlihat cemas.
"Apa kau tahu apa yang barusan terjadi?" tanya laki – laki itu. Aku menggeleng dan menjawab, "Tidak. Apa kau melihat sesuatu terjadi?"
"Sepertinya kau tidak sadarkan diri tadi," balas laki – laki itu. "Tapi saat itu, luka di punggungmu dan di kepala adikku pulih perlahan – lahan," sambungnya.
"Hah?" aku dan adikku kaget bersamaan. Aku pun kembali meraba bagian belakang perutku. "Kalau tidak salah, dia menusukku disini," pikirku.
Aku juga baru menyadari kalau aku sudah tidak merasakan rasa perih itu sejak beberapa saat yang lalu. Aku kembali menaruh tanganku ke samping badan.
Laki – laki itu menarik nafas panjang. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah surat dari saku jaketnya. Dia menyerahkan surat itu kepadaku.
Aku menatap ke surat yang dia serahkan itu. Laki – laki itu kemudian berkata, "Sebenarnya banyak yang ingin kujelaskan. Tidak akan cukup jika kuceritakan semuanya."
"Jadi?" tanyaku sementara adikku mendongak ke atas dan mencoba mengikuti pembicaraan ini. Aku mengambil surat itu dari tangannya dan memasukkannya ke saku jaketku.
"Ikuti apa yang ada di surat itu jika kau penasaran. Aku akan menjelaskannya saat itu," kata laki – laki itu. "Menurutku, kau juga harus membicarakan ini dengan orangtuamu," sambungnya.
Aku mengagguk mengerti. "Orang ini sepertinya baik. Dia tidak terlihat mencurigakan. Kupikir aku harus membicarakannya dengan ayahku dan ibuku," kataku dalam hati.
Laki – laki itu membalik badannya. Kemudian, dia berjalan menjauhi kami. Aku sempat melihat raut senang di wajahnya.
Beberapa saat kemudian, adikku bertanya, "Dia siapa mas? Apa dia baik?" Aku menunduk untuk melihat adikku.
"Perasaanku mengatakan kalau dia baik", jawabku. Kemudian aku mendongak. "Dan apa yang barusan terjadi? Apa luka bisa pulih secepat itu?" aku berkata dalam hati.
Kemudian aku menegakkan badan. Aku pun berjalan mengikuti jalan setapak ini. Adikku mengikutiku di samping sambil bertanya, "Mau kemana mas?"
"Kembali ke tribun. Sudah lama jalan - jalannya", jawabku. Adikku menggeleng dan membalas, "Tidak jadi beli eskrim?"
Aku menghela nafas sambil menoleh ke samping. Stand bazar yang ada di samping jalan setapak ini sudah tidak ada pemiliknya. Barang yang dijual di stand juga sudah tidak ada.
"Seberapa lama aku tidak sadarkan diri tadi? Sepertinya acaranya sudah selesai. Ayahku dan ibuku pasti mencariku," kataku dalam hati.
Aku menunduk ke samping sambil berkata, "Bazarnya sudah tutup. Acara malam tahun baru ini sudah selesai." Adikku mengangguk dengan wajah kecewa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro