Chapter 13 Part 2
Sesuai janjiku di awal bab tadi, mulai titik inilah, aku akan menulis dan mendeskripsikan semua hal yang ada saat studi wisata. Ya! Yang sebelumnya itu hanya preview.
Kami memasuki museum melalui lobi utamanya. Pak Steven menyuruh kami untuk menunggu di kursi yang telah disediakan karena dia akan membeli tiket terlebih dahulu.
Lobi museum berbentuk persegi dengan panjang sisi lima meter. Di sisi sebelah timur dan baratnya berjajar tiga baris bangku kayu panjang yang masing – masing dapat diduduki oleh dua, hingga tiga orang.
Sebelah utara lobi adalah pintu masuk sementara di sebelah selatannya terdapat tiga loket untuk membeli tiket. Pak Steven sedang mengantri disana, bersama dengan ratusan pengunjung lain.
Di tengah lobi terdapat dua buah papan mading. Di kedua sisi papan mading tergambar gambar denah museum ini.
Aku sedang berdiri di depan papan mading itu melihat gambar denah museum yang menarik perhatianku. Entah kenapa, aku suka melihat gambar denah dan menjelaskan isinya seperti yang kulakukan di Chapter 9.
Museum Fosil memiliki lima ruangan utama yang masing – masingnya memiliki luas yang berbeda. Setiap ruangan dihubungkan dengan sebuah lorong. Di sebagian lorong itu terdapat toilet, tempat istirahat, dan pintu darurat.
Ruangan utama dan lorong penghubung itu tersusun sedemikian rupa sehingga mengelilingi sebuah halaman berupa taman outdoor di tengahnya.
Di setiap ruangan terdapat kaca yang memungkinkan pengunjung untuk melihat taman outdoor itu, meski mereka tidak bisa menginjakkan kakinya disana. Berbagai jenis tanaman hias ditanam di taman itu.
Sementara itu, mengenai lima ruangan utama museum, nama mereka masing – masing berdasarkan tempat yang dimasuki pertama kali adalah lobi, ruang dinosaurus, ruang tanaman, ruang gunung api, dan toko souvenir.
Lobi, adalah tempatku berada sekarang. Setelah membeli tiket, akan ada petugas yang mengecek—aku tidak tahu bahasa bakunya—tiket yang telah dibeli itu.
Dua ruangan setelah lobi adalah ruangan tempat fosil disimpan. Sesuai namanya, ruang dinosaurus berisi fosil dinosaurus dan ruang tanaman berisi fosil tanaman. Seharusnya tidak perlu kujelaskan.
Kemudian, ruang gunung api adalah tempat menyimpan hal – hal yang berhubungan dengan gunung api, seperti batuan vulkanik, peralatan menjelajahi gunung, dan foto letusan gunung berapi yang pernah terjadi di negara ini.
Dan terakhir adalah toko souvenir. Berbagai macam souvenir, contohnya pakaian, dijual di sana. Tapi, yang paling menarik dari toko souvenir adalah bahwa pintu keluar terletak disana.
Sekarang adalah alasan kenapa tadi aku mengatakan, "... lima ruangan ruangan utama ...." Itu karena ada ruangan kecil yang letaknya berhimpitan dengan ruangan utama, di antaranya kamar mandi, UKS, bioskop mini, dan perpustakaan.
***
Sepuluh menit kemudian, Pak Steven menghampiri kami—karena aku sedang berkumpul dengan anak – anak yang lain—sambil membawa tiket.
Pak Steven memberikan masing – masing tiket yang dia bawa kepada kami. Kemudian, dengan tiket itu kita bisa memasuki tahap selanjutnya yaitu pemeriksaan tiket oleh petugas museum.
Setelah pemeriksaan tiket, kami memasuki lorong yang menghubungkan lobi dengan ruang dinosaurus. Aku ingat sekarang. Kata "pemeriksaan" adalah bentuk baku dari kata "mengecek" kurasa.
Tidak hanya kami, pendatang dari Academy of Super Ability. Ada pendatang lain di museum ini yang sepertinya merupakan bagian dari studi wisata sebuah sekolah negeri.
Begitu memasuki lorong penghubung, kami membaur dengan pendatang lain, termasuk yang kusebutkan sebelumnya. Meski begitu, pengumuman tadi pagi mengatakan kalau kami harus selalu berkumpul dan tidak boleh berpencar.
Di sepanjang tembok lorong ini, terpasang poster berukuran kertas A4. Aku tidak sempat membaca isi poster itu karena aku harus terus berjalan mengikuti rombongan.
Aku hanya sempat melihat kalau ada poster yang berwarna hijau. Lalu, ada tulisan, "251 - 200 juta tahun lalu" di atas poster itu.
Poster yang lainnya juga sama. Ada poster yang berwarna merah. Ada juga yang berwarna biru dan kuning, pokoknya berwarna – warni.
Entah apa isi poster itu. Biar kusebutkan tulisan di dalam poster yang sempat kulihat.
"Zaman Jurasik"
"Tyranosaurus rex"
"145 - 65 juta tahun lalu."
"hujan meteor."
Begitulah tulisan yang terlihat di mataku. Acak sekali kedengarannya. Sudahlah, lupakan saja. Lagipula, sebentar lagi kami akan memasuki ruang dinosaurus. Aku penasaran fosil apa saja yang akan menyambut kami di depan sana nanti.
Ruang dinosaurus luasnya seribu meter persegi. Setiap fosil yang berada di dalam ruangan ini dikelilingi oleh pagar besi berwarna hitam yang berfungsi sebagai pembatas.
Sebuah papan peringatan terpasang di pagar besi itu. Di atasnya tertulis, "Dilarang menyentuh fosil!" Itu adalah sebuah peringatan yang umum ditemukan di museum manapun.
Dari semua museum yang pernah kukunjungi bersama orang tuaku, pasti ada papan peringatan seperti itu. Tulisannya bervariasi, tergantung dengan apa yang disimpan di dalam museum itu.
Kira – kira, apa tujuan peringatan itu? Kupikir, itu agar barang yang disimpan tidak rusak atau semacamnya. Mungkin pemikiranku ini salah. Kalau begitu, bagaimana menurutmu?
Beberapa senti di depan pagar besi itu terdapat sebuah tiang cor – coran setinggi pinggang orang dewasa. Di atasnya, terdapat pelat pengumuman yang berisi informasi tentang fosil yang berada di dalam pagarnya.
Di sekeliling ruangan ini juga terdapat bangku kayu panjang seperti yang terdapat di lobi. Di sebelah kiri masing – masing bangku terdapat tong sampah berwarna biru.
Aku berjalan mengikuti rombongan yang menuju ke salah satu bangku panjang di dalam ruangan. Tampak seorang pria duduk di bangku itu. Dia menunduk, menatap ponsel yang dipegangnya dengan tangan kanan.
Sepertinya, pria itu usianya sama dengan Pak Steven. Dia memakai set pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh petugas museum yang memeriksa tiket di lobi tadi.
Pak Steven sebagai pemimpin rombongan menepuk pundak pria itu sambil berkata, "Permisi."
Pria itu menoleh kepada orang yang menepuk pundaknya, tak lain yaitu Pak Steven.
"Oh iya," pria itu sedikit kebingungan.
Satu menit berlalu, tiba – tiba pria itu tertawa terbahak – bahak sambil menepuk pundak Pak Steven sebanyak tiga kali. Dia terlihat sebagai sosok yang sudah akrab dengan Pak Steven, atau setidaknya itulah yang kuharapkan.
"Hei Steven! Lama tidak bertemu," kata pria itu.
"Y-ya. Lama sekali bukan," balas Pak Steven.
"Kau masih mengajar di akademi?" tanya pria itu sambil bangkit dari duduknya.
"Te-tentu. A-aku harus melakukan yang sudah dipercayakan ayah kepadaku," jawab Pak Steven.
Pria itu mengangguk dua kali. Kemudian, dia mengajak Pak Steven untuk bersalaman. Tentu saja Pak Steven mengikuti ajakannya. Mereka berduapun saling berjabat tangan.
Selesai berjabat tangan, kira – kira memakan waktu dua menit dari saat mereka bertemu tadi, Pak Steven mengarahkan pandangannya kepada rombongan di depannya.
"Semuanya, perkenalkan. Ini Pak Sal. Dialah yang akan menjadi pemateri kita," kata Pak Steven kemudian.
Aku dan beberapa anak di rombongan ini mengangguk.
Pria itu—sebut saja Pak Sal—menggelengkan kepalanya. Dia berkata, "Jangan panggil 'pak.' Aku belum menikah, Panggil saja, 'Mas Sal.'" untuk menolak nama panggilan yang dikatakan Pak Steven barusan.
"Ah iya. Mas Sal," Pak Steven mengulang nama panggilan yang dia sebutkan tadi.
Jadi, sebaiknya dipanggil siapa? Pak Sal atau Mas Sal. Nama panggilan ini tidak memberikan pengaruh kepada anak yang lainnya. Tapi, ini berpengaruh padaku karena aku harus menulis nama itu di cerita ini.
Baiklah, aku sudah memutuskan untuk memanggilnya dengan nama, "Mas Sal." Awalnya memang terdengar aneh, tapi lama – kelamaan aku sudah terbiasa dengan nama panggilan itu.
Mas Sal melirik ke jam tangan yang dia pakai di pergelangan tangan kirinya. Lalu dia berkata, "Karena sudah waktunya, mari kita mulai materinya."
Aku mengeluarkan buku catatan dan bolpoin dari dalam ranselku dengan bersusah payah. Ranselku yang berat hampir terjatuh saat aku mencoba membuka restletingnya.
Menutup restleting itu juga tak kalah susah. Ranselku justru bertambah miring hingga sekitar tiga puluh derajat dengan bagian yang terbuka mengarah ke luar. Barang – barang di dalamnya hampir bertumpahan ke luar jika aku tidak melakukan sesuatu pada ransel ini.
Dengan cara yang tidak bisa kujelaskan, aku berhasil menutup restletingnya tanpa menjatuhkan barang – barang di dalamnya. Biasanya, aku selalu gagal melakukan hal semacam ini.
Tidak akan lucu jika barang – barang itu berjatuhan, karena kami sedang berada di tempat umum. Pengunjung yang lainnya pasti akan mentertawakan dan mengejekku.
Kembali ke Mas Sal, dia mengajak rombongan kami berkeliling di ruangan kedua ini. Mas Sal berjalan terlebih dahulu bersama dengan Pak Steven. Rombongan kami mengikutinya di belakang.
Kami menuju ke fosil pertama. Itu adalah fosil dari sebuah dinosaurus yang sering kulihat di buku IPS. Dinosaurus itu badannya gemuk dengan ekor yang berukuran sedang. Telinganya lebar seperti gajah dan memiliki tiga buah tanduk di kepalanya seperti badak.
"Ini adalah Triceratops. Sekadar informasi, dia memiliki panjang sekitar sembilan meter, mungkin lebih panjang dari rumah kalian," jelas Mas Sal.
Aku berusaha membayangkan tampak samping rumahku, dengan dinosaurus itu berada di sampingnya. Aku sempat kesulitan membayangkannya karena sudah lama aku tidak berada di rumah.
Meski begitu, sepertinya Mas Sal benar. Tidak mungkin juga dia yang sudah berpengalaman di bidang fosil dan dinosaurus mengatakan hal yang salah. Sekadar informasi, rumahku panjangnya sekitar tujuh meter.
Aku membuka buku catantanku ke halaman pertamanya. Buku catatan ini masih kosong, karena kemarin aku baru membelinya di koperasi. Sengaja kubuat khusus untuk studi wisata hari ini.
Tak lupa juga kulepaskan penutup bolpin yang menutupi bagian bawahnya, tempat bolpoin itu mengeluarkan tinta. Penutup ini diciptakan untuk mencegah bolpoin mengeluarkan tinta di saat yang tidak diinginkan.
Tangan kananku yang memegang bolpoin itu bergerak hingga ujung bolpoin yang mengeluarkan tinta itu menyentuh halaman pertama buku catatan yang kutaruh di atas telapak tangan kiri yang terbuka lebar.
Lalu, aku menggerak – gerakkan bolpoin itu, menari – nari di atas lembaran kertas, hingga membentuk tulisan, "1) Triceratops."
Setelah dua menit menjelaskan panjang lebar, Mas Sal terdiam sebentar. Saat itu, aku masih kesulitan menuliskan setiap penjelasan yang dia katakan di buku catatan.
"Penjelasannya sampai di sini dulu. Silahkan dicatat dan dilihat – lihat dulu fosilnya." Kata Mas Sal sedetik kemudian.
Apakah perkataan itu harus kutulis juga di buku catatan? Mungkin tidak perlu. Itu pasti hanya basa – basi kan? Kucoba melirik anak – anak lain yang masih menulis sesuatu di buku catatannya.
Aku—satu – satunya anak yang sedang tidak mencatat apapun di buku catatannya—menerobos ke depan rombongan.
Secara kebetulan, Pulse dan Proty juga ikut menerobos bersama denganku. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu dengan apa yang akan mereka lakukan di depan rombongan itu.
Yang kutahu adalah bahwa mereka berdua mengeluarkan sebuah ponsel—Pulse dari saku celananya, sementara Proty dari saku jaketnya—yang akan digunakan untuk memotret fosil itu.
Sementara itu, yang akan kulakukan di depan ini adalah hanya sekadar mengamati fosil itu, lalu membaca informasi yang tertulis di atas pelatnya.
Aku berjalan mendekati pelat yang berisi informasi tentang dinosaurus itu, kemudian menaikkan sedikit pandanganku untuk membaca tulisan yang terdapat di atasnya.
Di sana tertulis, "Triceratops hidup pada zaman kretaseus. Dinosaurus ini termasuk dalam golongan herbivora. Tanduk pada kepalanya berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari mangsa."
Baiklah, aku akan menyalin semuanya di buku catatanku.
***
Belum selesai aku mencatat tulisan itu, Mas Sal sudah berkata, "Sekarang, kita menuju ke fosil yang selanjutnya." sambil berjalan di depan rombongan kami.
Dengan terpaksa aku menutup buku catatanku dan memasukkan bolpoinku ke saku jaket, semoga tidak jatuh atau hilang.
Aku akan melihat catatannya anak yang lain saja soal dinosaurus ... siapa namanya? Triceratops? Selain itu, aku juga bingung, kenapa anak – anka yang lain bisa mencatat materi dengan cepat.
Saat aku menoleh ke belakang, rombongan itu ternyata sudah tiga meter jauhnya meninggalkanku. Aku segera berlari menyusul mereka agar tidak tertinggal.
Satu menit kemudian, aku sudah membaur dengan mereka. Tidak ada yang menyadari kalau aku sempat tertinggal tadi, kecuali Gen tentunya.
"Kemana saja kamu, Clone?" tanyanya sambil berbisik.
"Aku tertinggal tadi," jawabku sambil berbisik juga.
Mas Sal membawa rombongan ini menuju ke fosil dinosaurus besar yang berada di tengah – tengah ruangan.
Luas area yang dikelilingi pagar di sekitar fosil itu adalah empat puluh persen dari luas ruangan ini. Fosil ini tingginya hampir menyentuh langit – langit ruangan.
Dinosaurus itu kepalanya seperti kepala naga di film – film. Dia berdiri dengan dua kaki dan memiliki sepasang tangan yang kecil di depan badannya. Panjang ekornya termasuk sedang jika dibandingkan dengan ukuran badannya yang besar.
Melihat ukuran raksasa fosil itu membuatku bingung, bagaimana cara fosil ini dimasukkan ke dalam ruangan.
Apakah fosil ini dimasukkan ke dalam ruangan melalui atapnya saat ruangan ini masih tahap pembangunan? Atau apakah tulang belulangnya disusun satu per satu di dalam tempatnya itu?
Mas Sal berdiri di samping pagar besi yang mengelilingi fosil dinosaurus itu. Kemudian, dia membalik badannya hingga menghadap ke arah kami.
Tangan kanannya memegangi pagar di salah satu tiangnya. Sementara itu, tangan kirinya berada di atas pelat pengumuman dengan jari telunjuk mengetuk – ngetuk pelat itu.
Pak Steven berada di sebelah kirinya. Berbeda dengan Mas Sal, Pak Steven tidak menghadap kami, melainkan menghadap fosil itu. Mungkin dia terkagum melihatnya.
Anak – anak yang lain mempersiapkan buku catatannya masing – masing. Suara "klik" bolpoin terdengar berturut – turut di dalam ruangan.
Keadaan mereka itu membuatku ikut – ikutan membuka buku catatanku dan mengambil bolpenku dari saku jaket, untung tidak jatuh atau hilang.
Buku catatan kuletakkan di depan dada, sehingga tampak jelas oleh pandanganku tanpa harus menunduk. Bolpoin kudekatkan ke kertas di halaman kedua buku catatan itu.
"Kalian pasti sudah tidak asing dengan dinosaurus yang ini. Yap, ini adalah Tyranosaurus Rex, atau biasanya disingkat sebagai T-rex. Walau kalian sudah mengenalnya, apakah kalian pernah terpikir berapa ukuran tubuhnya?
T-rex terdiri dari berbagai jenis spesies. Yang di depan kalian ini, panjangnya sekitar sepuluh meter dan tingginya mencapai tiga meter. Omong – omong, ciri khas T-rex adalah ukuran tangannya yang kecil," jelas Mas Sal sambil menuding fosil itu dengan tangan kanannya.
Aku dan beberapa anak di rombongan ini mengangguk.
Sementara yang lain sedang mencatat sesuatu di buku catatannya, aku ingin membaca tulisan yang ada di pelat pengumuman milik fosil juga.
Kebetulan—bukan kebetulan sebenarnya—aku sedang berada di paling belakang rombongan. Akan sedikit sulit bagiku untuk menerobos rombongan ini, tidak seperti saat di fosil yang sebelumnya.
Sebelumnya, aku berada di tengah, hampir di depan rombongan. Namun, aku sempat tertinggal tadi, sehingga saat aku kembali bergabung, aku berada di belakang.
Lupakan saja tulisanku di atas. Itu hanya alasan yang kubuat – buat. Sebenarnya, aku tidak mau maju kali ini, karena tidak ada anak lain yang juga ikut maju. Tahu sendiri kan, sebelumnya ada Pulse dan Proty.
Semenit kemudian, Mas Sal berkata, "Apakah kalian ada pertanyaan?"
Aku dan beberapa anak di rombongan ini menggelengkan kepala.
Hening sejenak selama dua sepertiga menit. Di sela – sela keheningan terdengar suara berbisik – bisik.
"Coba tanyakan, 'Kok bisa tahu kalau T-rex bentuknya kayak gini?' bro."
"Kau saja yang tanya. Jangan aku."
"Loh ... tapi ...."
"Sementara ini aku masih belum punya pertanyaan."
"Enaknya bagaimana? Nanya gak?"
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh Pak Steven yang menoleh menghadap kami sambil mengatakan, "Kalau begitu, saya saja yang bertanya."
"Apa itu, pak?" Mas Sal menanggapinya dengan memberi penekanan saat mengatakan, "Pak."
"Ukuran dinosaurus ini kan besar? Lalu bagaimana cara memasukkannya ke dalam ruangan? Apakah lewat pintu masuk, atau ...," Pak Steven menggantungkan bagian akhir kalimat pertanyaannya.
Pertanyaan Pak Steven itu mewakili pertanyaan yang kutulis di dua puluh lima paragraf sebelum paragraf ini. Sebuah kebetulan yang ternyata bisa menjawab rasa penasaranku.
Akupun mengurungkan niat untuk menutup buku catatan dan memasukkan bolpoin itu kembali ke saku jaket. Aku harus bersiap untuk mencatat hal yang akan menjadi jawabannya.
"Di museum pada umumnya, fosil dinosaurus dimasukkan secara terpisah ke dalam ruangan. Kemudian, staf museum menyusun tulang itu satu per satu di tempatnya, hingga membentuk fosil seperti yang sekarang kalian lihat.
Tapi, itu memakan waktu lama hanya untuk menyusun satu fosil saja. Karena itulah, kami tidak menggunakan cara seperti itu di museum ini," jawab Mas Sal.
Oh, jadi begitu. Jawabannya adalah perkiraanku yang kedua. Akupun menulis jawaban itu di buku catatan, mungkin anak yang lain juga.
Tunggu, aku merasakan ada lubang di jawabannya. Mas Sal bilang kalau museum ini tidak menggunakan cara seperti itu. Kalau begitu, seperti apa cara yang digunakan di museum ini?
Seorang anak perempuan di rombongan mengangkat tangan kanannya ke atas. Aku tidak bisa melihat keseluruhan badan anak itu, karena terhalang oleh anak – anak lain di depanku.
"Pak!" anak itu berseru, membuat Mas Sal dan Pak Steven menoleh ke arahnya.
"Itukan cara di museum lain. Bagaimana dengan di museum ini?" tanyanya kemudian.
Aku segera mengetahui siapa anak itu setelah mendengar suaranya. Dia adalah Syco, teman sekelasku.
Mas Sal menggerakkan tangan kanannya ke depan tas selempang berwarna hitam yang dia gantungkan melalui bahu sebelah kirinya, menuju ke pinggang sebelah kanannya.
Jari – jarinya dengan cekatan membuka restleting di bagian depan tas selempang itu.
Kemudian, dari dalam tas selempang itu, dia mengeluarkan sebuah jaket tipis. Dipakainya jaket itu dalam waktu sebelas detik.
Tak lupa juga Mas Sal menutup restleting di bagian depan tas selempangnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro