Chapter 12: Pemberi Ikatan
19 Oktober 2012
Aku berlari dan terus berlari. Setiap kali aku tersandung sesuatu di gang ini, setiap kali itu juga aku menambah kecepatan lariku.
Terdapat luka gores yang tak terhitung di lengan dan betisku gara – gara terserempet badan sepeda motor yang diparkirkan di pinggir gang kecil ini. Terlebih lagi, kenapa orang – orang suka memarkirkan sepeda motornya di pinggir sini?
Kenapa tidak ditaruh di teras rumahnya, atau kalau rumahnya tidak ada teras, ditaruh di ruang tamu. Menaruh di pinggir jalan hanya membuat kondisi jalan jadi sesak, dan itu menyebalkan.
Percuma saja. Walau surat protes kukirimkan, mereka tidak akan membacanya dan menghiraukannya.
Tapi, kenapa aku malah memikirkan soal orang lain sekarang? Ada hal penting lainnya yang harus kupikirkan sekarang, seperti ... bagaimana caranya kabur dari gerombolan preman itu.
Aku menoleh ke belakang. Preman – preman itu sudah mendekat. Larinya cepat juga, meski sambil sempoyongan dan membawa kotak berat yang tidak jelas asal – usulnya.
Selain kotak berat itu, ada yang membawa golok, pistol jenis MP5, mungkin cuman airsoft gun, dan pisau dapur yang dipegang terbalik seperti ninja memegang kunai.
Ada juga yang memegang samurai ... maksudnya katana. Pokoknya, mereka berlari seperti orang gila, saling berdesakan dan berebutan siapa yang seharusnya berlari di paling depan.
Lima menit berlari, aku berhadapan dengan tembok bata. Sepertinya aku sedang berada di gang buntu. Sial! Satu – satunya cara adalah balik kanan dan menghadapi gerombolan preman itu.
"KAU SUDAH TERPOJOK DAN TIDAK BISA MELARIKAN DIRI. MENYERAHLAH!", teriak salah satu dari preman itu.
Ah iya, terima kasih suaranya. Berkat itu, aku bisa melarikan diri. Itu karena, suara teriakan mereka kencang sekali, sampai – sampai bisa merubuhkan tembok bata di depanku.
Ada preman yang berteriak tidak percaya melihat suaranya bisa merubuhkan tembok. Makanya, jangan teriak – teriak. Bisa – bisa seluruh bangunan di pinggir gang ini tumbang, lalu mengubur hidup – hidup kami yang terjepit di tengah – tengahnya.
Kejar – kejaran berlanjut. Aku berlari melewati sisa – sisa tembok yang rubuh.
Sementara itu, sebagian dari gerombolan preman itu berbalik arah dan berhenti mengejar. Aku tidak habis pikir dengan yang dipikirkannya.
Setidaknya, itu mengurangi kekuatan preman yang mengejarku. Bukankah begitu?
Pokoknya, aku harus kabur dari sini, lalu meminta bantuan ke orang lain. Itupun jika orang lain yang kumintai tolong berani berhadapan dengan preman – preman itu. Hanya polisi yang bisa dipercaya kalau soal ini.
Aku baru menyadari sesuatu. Gang ini dan lingkungan di sekitarnya terasa asing bagiku. Seingatku, tadi aku sedang berada di pusat kota. Apa preman itu mengejarku hingga ke perbatasan?
Aku mengeluarkan gulungan peta yang sempat kurampas dari salah satu preman. Mungkin, peta ini bisa memberitahu dimana aku sekarang.
Tapi, gambar jalan di peta ini lebih terlihat sebagai labirin daripada sebuah jalan umum. Nama jalan dan bangunannya juga bukan sebuah nama yang pernah kukenal.
Bukan hanya itu. Ada simbol yang tidak kuketahui di peta ini. Simbol itu seperti simbol rumah sakit, namun tidak ada garis vertikalnya.
Di bagian tengah peta terbentang sebuah tulisan tembus pandang yang namanya tidak pernah kudengar sebelumnya. Mungkin, itu adalah nama kota tempatku berada saat ini, yang berarti aku sedang di kota lain.
Sepertinya, preman – preman itu mengejarku hingga ke luar kota tanpa kusadari. Kalau begini, mau aku berhasil kaburpun, aku sudah tersesat dan tidak punya cara untuk mencari jalan pulang ke rumah.
Sudahlah, aku harus mencari jalan raya terdekat kemudian meminta tolong ke orang lain yang ada di jalan raya. Beruntung juga jika mereka mau menolongku.
Jalan yang paling panjang di peta ini kuanggap sebagai jalan raya. Untuk menuju ke sana, aku harus berbelok ke ... masalahnya aku tidak tahu dimana lokasiku menurut peta ini.
Di depanku ada sebuah sepeda motor yang diparkir sembarangan memotong tengah jalan. Lagi – lagi sesuatu yang merepotkan.
Aku parkour melompati sepeda motor itu sambil memastikan lengan atau kakiku tidak menyentuh badan sepeda motor itu. Aku tidak ingin menambah jumlah luka goresan lagi.
Aku mendarat dengan dua kaki, sebuah pendaratan yang sempurna. Kemudian, aku lanjut lari dengan menoleh ke belakang untuk memastikan kalau sepeda motor itu sedikit menghambat preman – preman itu.
Gerombolan preman itu terhenti di samping sepeda motor. Yang berada di paling depan orangnya gemuk, jadi tidak mungkin baginya untuk melewati sepeda motor itu.
Sementara itu, yang berada di belakangnya saling berebut untuk melewati sepeda motor. Saat seseorang akan melompati sepeda motor itu, seseorang lagi menarik tangannya dari belakang, mencegahnya untuk melompat. Begitu seterusnya hingga tidak ada bisa melewatinya.
Aku terus berlari hingga jauh meninggalkan mereka. Karena preman – preman itu terhambat oleh sepeda motor, aku jadi mendapat kesempatan untuk memikirkan, bagaimana caranya keluar dari gang yang seperti labirin ini.
Yang pertama harus kulakukan adalah mencari lokasiku di peta. Aku tidak tahu bagaimana. Begitulah pokoknya, aku terlalu malas untuk memikirkannya. Entahlah, kenapa aku malah terjebak di tempat seperti ini dengan preman – preman yang mengancam nyawaku.
Lima menit berjalan, ada bangunan yang menarik perhatianku di kanan jalan. Di atas pintunya, ada tulisan yang mungkin adalah nama bangunan ini.
Akupun menunduk untuk melihat peta yang masih kupegang dengan dua tangan.
Di area pojok kanan bawah peta itu, ada simbol lingkaran berwarna hitam. Di bawah simbol itu ada tulisan yang sama dengan nama bangunan di sampingku.
Kebetulan sekali. Itu artinya aku sedang berada di sebelah kiri simbol itu.
Jalan paling dekat untuk pergi ke jalan raya adalah dengan lurus terus hingga menemukan perempatan. Kemudian, belok kanan di perempatan hingga sampai ke tempat dengan simbol toko.
Belok kiri dari toko, lalu lurus terus melewati lima persimpangan. Kemudian, belok kanan sampai ke pom bensin. Ada gang kecil di depan pom bensin. Masuk gang, kemudian lurus terus hingga sampai ke jalan raya.
Aku mengangguk saat berhasil memahami jalan yang harus kulewati untuk ke jalan raya. Dengan begini, tujuan pertamaku sudah tercapai.
Akupun melanjutkan perjalananku. Sesekali kucoba menoleh ke belakang, dan menemukan kalau preman – preman itu sudah tidak mengejarku, atau mereka sudah tertinggal jauh dariku.
***
Sepuluh meter di depanku adalah perempatan itu. Dari kejauhan, kulihat kalau sebagian dari gerombolan preman itu sudah menungguku di depan perempatan.
Merepotkan sekali. Tadinya, kupikir mereka sudah tidak mengejarku. Ternyata, mereka mencari jalan memutar untuk menghadangku.
Dari belakang terdengar suara raungan keras yang membuatku menoleh untuk mencari tahu asal suara. Sebenarnya, tanpa menolehpun aku sudah tahu kalau itu adalah suara preman itu.
Aku berada di dalam situasi yang kubenci. Dikepung oleh ancaman dari depan dan belakang.
Sepetinya, gerombolan yang di depan adalah mereka yang berbalik arah di tempat tembok runtuh, sementara yang di belakang adalah yang tadi mengejarku. Mereka sudah melewati sepeda motor itu dan langsung menyusulku.
Tiba – tiba, rasa kantuk menguasai sebagian diriku. Akupun dipaksa untuk melepaskan rasa itu dengan menguap.
Tapi kenapa sekarang? Kenapa tidak tadi saja, sebelum aku berurusan dengan preman – preman itu. Kalau rasa mengantuk itu datang saat itu, aku pasti akan tidur di rumah dan tidak akan jalan – jalan ke luar. Jadinya, aku tidak perlu mengalami masalah ini.
Sial! Aku tidak punya waktu untuk istirahat meskipun aku mau melakukannya. Aku sedang berada di situasi hidup dan mati.
Akupun berdiri menyampingi kedua gerombolan itu. Aku melirik kepada keduanya secara bergantian, menunggu siapa yang akan mengejar duluan.
Aku berpikir untuk menggunakan Spirit Ability supaya bisa langsung menghabisi mereka, daripada harus berlama – lama di sini.
Tapi, apa yang bisa kugunakan? Cahaya matahari? Jangan, itu terlalu berbahaya. Bagaimana kalau nanti, mereka ... ah, siapa juga yang peduli.
Pokoknya, kuaktifkan dulu saja. Apa yang akan kugunakan bisa dipikirkan nanti.
"Spirit Ability! Kaze風!" teriakku sambil merentangkan kedua tangan.
Salah satu preman dari gerombolan di sebelah kananku berlari ke depan. Tangannya memegang sebuah golok yang ujungnya mengkilap. Golok itu pasti diasah di tengah jalan saat mengejarku.
Dua meter jaraknya dariku, preman itu melompat dengan menghunuskan golok. Aku tidak menghindar, melainkan balas menyerang dengan menendang pergelangan tangannya sekuat mungkin.
"Hiatt!" aku berseru.
"Ugh!" preman itu berteriak kesakitan. Tubuhnya mendarat secara paksa ke tanah.
Golok terlepas dari pegangan tangannya dan jatuh ke bawah. Aku mengulurkan tangan kiri ke bawah golok yang sedang jatuh. Kemudian, dengan cekatan aku menangkapnya di bagian pegangannya.
Golok itu balas kutodongkan ke preman yang tadi membawanya. Dia sedang berdiri dengan badan membungkuk. Dia pasti sedang ketakutan atau terkejut, karena tidak menyangka kalau aku akan menyerangnya.
"MENYERAHLAH! AKU TIDAK AKAN MAIN – MAIN SETELAH INI!" teriakku.
"BERGERAK SEDIKIT SAJA, NYAWA TEMAN KALIAN INI TIDAK AKAN SELAMAT!" sambungku.
Aku sudah lelah. Kejar – kejaran ini tidak akan pernah berakhir jika aku tidak mencoba menggertak mereka. Berharap saja kalau mereka takut dengan gertakkan ini dan memilih untuk menyerah.
Tapi, justru hal sebaliknya yang terjadi. Dua gerombolan preman itu malah berjalan mendekat. Kemudian, mereka mengelilingiku dan sepertinya ingin main keroyokan.
"KAU TIDAK BISA MENANTANG, APALAGI MENGGERTAK KAMI!" mereka berseru secara bersamaan.
"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan," aku berbisik.
Aku mengayunkan tangan kiri yang memegang golok hingga golok itu terlempar dan menancap di dada preman yang memegangnya sebelumnya.
"AAAAARRRGGH!!!" Preman itu berteriak kesakitan.
Dia meronta – ronta agar golok itu terlepas dari dadanya. Yang dia lakukan itu percuma saja, karena golok justru akan semakin menancam semakin dia meronta. Dia pasti tidak tahu dan tidak pernah menyaksikan seperti itu sebelumnya.
Preman itu terjatuh dan berbaring di tanah. Mungkin dia sudah mati.
"Kutunjukkan pada kalian kalau ini bukan hanya sekadar gertakan saja. Lagipula, ini adalah pembunuhanku yang ketiga," bisikku.
"APA – APAAN INI!" seorang preman di gerombolan berteriak.
"SIALAN KAU!"
Hal yang kulakukan memicu amarah gerombolan preman di sekelilingku. Mereka berebut untuk berlari ke arahku dan menyerangku dengan barang – barang aneh yang mereka bawa.
Perempatan di gang ini menjadi tempat perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antar seorang anak SMP dengan gerombolan preman.
Sesekali, gerombolan preman itu saling menyerang sesamanya, karena tidak bisa membedakan mana teman mana lawan. Padahal, lawan mereka hanya seorang saja.
Perempatan ini cukup sepi. Tidak ada benda – benda seperti sepeda motor atau televisi rongsokan yang ditaruh sembarangan di pinggirnya. Ini membuatku bisa bergerak dengan leluasa, menghindari setiap serangan yang ditujukan padaku.
Terkadang, ada pisau atau peluru nyasar yang menggores sedikit kulitku dan membuatnya terluka. Rasa sakitnya tidak seberapa, tapi itu cukup mengganggu karena menambah jumlah luka goresan yang ada di tubuhku.
Seorang preman mengayunkan golok ke wajahku. Aku menghindarinya, lalu mengambil paksa golok dari tangannya dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
Preman itu langsung terkapar di tanah saat aku merebut golok miliknya. Apa mungkin dia sengaja melakukannya agar tidak terkena serangan goloknya sendiri? Baiklah kalau itu yang kau inginkan.
Akupun mengayunkan golok itu ke gerombolan yang mengelilingiku. Sebagian berhasil menghindar, sebagian lagi terkena sabetan. Luka muncul di bagian tubuh yang tersabet, umumnya lengan dan bahu.
Bahkan, ada yang menjadikan temannya sendiri sebagai perisai, mengorbankan temannya untuk terkena serangan hingga terluka parah, sementara dirinya sendiri terlindung dari serangan itu.
"Preman – preman ini—," perkataanku terhenti.
Mereka tidak punya rasa percaya dengan sesamanya. Walau musuh mereka hanya satu, yaitu aku, namun mereka seperti menyerang sesamanya dengan sengaja.
"Ini akan menjadi mudah," bisikku.
Aku hanya perlu menyerang preman yang juga menyerangku. Preman yang saling serang sesama preman tidak perlu kuserang. Biarkan saja mereka saling menghancurkan.
Seorang preman mendekatiku dari kanan. Akupun melepaskan tendangan ke perutnya, tendangan yang cukup untuk membuatnya tersungkur.
Tendangan yang sama juga kulepaskan ke preman yang mendekatiku dari belakang. Dia terdorong ke belakang setelah terkena tendangan, lalu menabrak preman lain yang saat itu sedang berada di belakangnya.
Aku memiringkan kepala ke kiri. Bersamaan dengan itu, sebuah pukulan melesat melewati samping kanan kepalaku.
Kupegang pergelangan tangan yang memukulku itu dengan tangan kiri. Kemudian, aku membanting pemilik tangan itu ke depan melalui punggungku.
"Aw!" teriaknya berusaha menahan rasa sakit.
Golok yang masih kupegang itu kuhadapkan ke bawah kepada wajah preman yang barusan kubanting. Aku berpikir bagaimana kalau dia kubunuh ... jangan. Memberinya luka parah saja sudah cukup.
Segera kuganti tujuan golok yang tadinya ke wajah, kini ke lengan kanannya.
"Rasakan ini!" teriakku.
Tiba – tiba, aku mendengar suara dentuman yang berasal dari sekelilingku. Akupun mengurungkan niatku tadi. Sebagai gantinya, golok itu kuayunkan ke samping dengan sembarangan.
Peluru yang tidak terhitung jumlahnya sedang melesat ke arahku. Secara kebetulan, semuanya terpotong menjadi 2 oleh golok yang kuayunkan. Suara gemerincing terdengar saat peluru – peluru itu berjatuhan ke tanah.
"Hampir saja. Aku hampir mati," pikirku.
Aku segera menguasai diri dari rasa terkejut. Jari di tangan kanan kujentikkan hingga mengeluarkan suara yang bergema di gang ini.
Kemudian, setiap pistol yang dipegang oleh preman – preman itu terlepas dari pegangannya. Pistol itu terjatuh dan hancur berkeping – keping saat menyentuh tanah.
"Kenapa aku bisa melupakannya. Spirit Abilityku," aku berbisik.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro