Chapter 11: Yang Muncul dan Hilang*
9 September 2012
Sebuah mobil sedan terhenti di depan sebuah perempatan. Lampu lalu lintas yang berada di sebelah depan kirinya menunjukkan nyala warna merah.
Seorang lelaki paruh baya memberanikan diri untuk berjalan melewati depan mobil sedan itu. Dia sudah menunggu saat ini selama satu menit.
Dari jalan yang berpotongan dengan jalan tempat mobil sedan itu, muncul puluhan kendaraan bermotor dengan berbagai bentuk dan ukuran. Mereka bergerak dengan kecepatan yang berbeda pula.
Kendaraan yang muncul dari jalan di sebelah kiri bergerak lebih cepat daripada kendaraan yang muncul dari jalan di sebelah kanan.
Hal tersebut dikarenakan jumlah kendaraan yang melaju dari jalan di sebelah kanan lebih banyak daripada kendaraan yang melaju dari jalan di sebelah kiri.
Sementara itu, di dalam mobil sedan, seorang laki - laki bernama Steven tampak gelisah. Dia duduk di kursi pengemudi dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya.
Matanya menatap ke depan, memperhatikan jalan raya di seberang perempatan itu. Sebuah kendaraan bermotor berbelok dari jalan di sebelah kiri perempatan ke jalan di seberang depannya.
Meski begitu, keberadaan kendaraan yang berbelok itu tidak mempengaruhi kondisi jalan yang tadinya sepi.
Sementara itu, di sisi kanan dari jalan raya di seberang perempatan terdapat kendaraan bermotor yang juga berhenti, sama seperti mobil sedan yang dikemudikan Steven.
Mereka-kendaraan yang berada di sisi jalan tempat mobil sedannya Steven dan kendaraan yang berada di sisi kanan jalan yang berseberangan dengan perempatan-sama - sama menunggu lampu lalu lintas untuk menyala hijau.
Saat menunggu, Steven mulai merasa tak sabar. Kedua tangannya menggenggam kemudi dengan erat. Kaki kanannya menginjak - injak pedal gas yang tidak akan membuat mobil sedan itu melaju.
"Satu ... dua ... tiga ...," detik demi detik dihitungnya di dalam hati.
Kekhawatirannya bertambah saat dia mengingat - ingat perkataan dari Cam, rekannya.
Saat itu, dia sedang beristirahat di kantin. Dia berada di salah satu meja makan dan bersiap untuk menyuap makanan yang tersaji di atas meja.
Namun, sebelum itu Cam menghampirinya. Kehadiran wanita itu seolah ancaman bagi setiap orang. Sebab, Cam selalu hadir dengan membawa kabar buruk dan pergi dengan membiarkan kabar itu menghantui orang lain.
"Lihat ini," kata Cam sambil menunjukkan layar ponsel yang dia bawa, membuat Steven menghentikan suapannya.
"Ada apa?" balas Steven.
Dia meletakkan sendok itu ke atas mangkuk. Kemudian, matanya menyipit memperhatikan layar ponsel yang ditunjukkan padanya.
"Mall ini kan-," perkataan Steven terpotong.
"Bukan cuma itu," sela Cam sambil menyentuhkan jari telunjuk kirinya ke layar ponsel.
Lalu, jari itu digesekkan dengan layar ponsel secara horizontal ke kanan. Hal tersebut mengubah tampilan di layar.
Tiba - tiba, Steven melotot. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat hasil perubahan di layar ponsel.
Kini, layar ponsel menampilkan foto lapangan yang berbentuk seperempat lingkaran. Tanahnya berwarna merah, yang berasal dari warna bata yang menyusunnya, bercampur dengan percikan darah di atas bata itu.
Berbaring ratusan orang yang tidak sadarkan diri di atas tanah. Mereka mengalami luka parah di sekujur tubuhnya. Sebagian besar luka terdapat di badan dan kaki mereka.
Di sekeliling lapangan, berdiri puluhan pria yang tinggi maupun posturnya sama. Mereka memakai jas dan celana panjang berwarna hitam. Kacamata yang juga berwarna hitam menutupi mata mereka.
Mereka membawa senapan berjenis M-16. Senapan itu mereka pegang dengan kedua tangan di depan ulu hati.
Salah satu dari mereka terlihat menodongkan senapan itu ke arah kamera.
"Ini kan ... Alun - alun kota!" Steven berseru.
Dia berdiri dari kursi sambil membanting kedua telapak tangannya di atas meja. Bantingan itu membuat mangkuk berisi makanan di atas meja bergetar, beruntung tidak menjatuhkan sendok maupun isinya.
Bantingan itu juga menimbulkan suara benda menghantam kayu dengan keras, yang menarik perhatian seisi kantin.
Mereka menoleh ke sumber suara, yaitu meja makan tempat Steven berada. Masing - masing dari mereka memasang raut wajah yang seolah mengomentari kejadian ini.
"Mengagetkan! Kirain ada apa!"
"Kenapa Steven tiba - tiba membanting meja?"
"Huh, menganggu suasana saja!"
"Steven itu ... tidak apa - apa kan, setelah didatangi Cam?"
Steven menghela nafas, mencoba menenangkan diri setelah diserang bertubi - tubi oleh kabar buruk.
"Jadi bagaimana?" Cam bertanya.
"Aku akan ke alun - alun kota. Kau yang ke mall. Bagaimana?" Steven memberi saran.
"Baiklah kalau begitu," balas Cam.
Dia menekan sebuah tombol di sisi samping ponsel. Tombol itu membuat layar ponsel menghitam, sekaligus menghilangkan cahaya yang dipancarkannya.
***
Steven tersadar dari lamunannya. Dia tersentak dan menyandarkan dirinya ke kursi.
Dari belakang mobil sedan yang dikemudikannya, terdengar suara klakson berturut - turut. Ternyata, lampu lalu lintas di kiri jalan itu sudah menyala hijau.
"Sudah berapa detik berlalu?" pikir Steven.
Dia menginjakkan kakinya ke pedal gas. Sontak, mobil sedan itu melaju pelan ke depan.
Steven menghela nafas, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tapi, seberapa jauh dia mencoba, dia tidak pernah bisa tenang. Di pikirannya terlintas, bagaimana kalau dia sudah terlambat.
Kegelisahannya membuat kakinya menginjak pedal gas terlalu dalam. Akibatnya, mobil sedan yang dikemudikannya tiba - tiba bertambah cepat di luar keinginannya.
Steven mengangkat sedikit kaki kanannya begitu dia menyadari keadaan mobil sedan itu. Kemudi dibantingnya ke kiri, agar mobil sedan tidak menabrak sepeda motor di depannya.
Terdengar berturut - turut suara klakson dari belakang. Steven menanggapi suara itu dengan mendorong tuas pengatur gigi ke depan.
"Salah satu kelemahan foto dari Cam adalah waktunya yang tidak jelas. Aku tidak tahu kapan kejadian di dalam foto akan terjadi," pikirnya.
Mobil sedan menyalip sebuah truk barang di sebelah kiri.
"Tapi, Cam selalu mengatakan kalau kejadian itu biasanya terjadi antara satu hingga dua jam dari waktu dia mendapat fotonya," sambungnya.
Steven menggerakkan tuas pengatur gigi serong ke belakang kiri. Lalu, dia memutar kemudi mobil ke kiri, bersamaan dengan mengangkat sedikit injakan kaki kanannya di pedal gas.
Mobil sedan itu berbelok memasuki sebuah gang kecil di kiri jalan.
"Sudah berapa jam berlalu?" tanya Steven dalam hati.
Jalanan gang itu sepi, tidak ada kendaraan maupun makhluk hidup yang berlalu lalang di sana. Hal itu membuat mobil sedan bisa mengebut dengan leluasa.
Bangunan di kiri kanan gang tampak kosong. Dari jendelanya tampak bahwa di dalam bangunan itu sangat gelap.
Tiba - tiba, mobil sedan itu meledak. Dari dalam ledakan, muncul sebuah benda yang berbentuk bola. Bola itu terbuat dari tanah dan berdiameter satu setengah meter.
Bola itu terlempar ke belakang ledakan, kemudian menggelinding di jalan sejauh tiga meter, sebelum akhirnya dia berhenti bergerak.
Tanah yang menyusun dinding bola mulai merekah menjadi lima bagian. Di dalam bola, tampak sosok laki - laki dewasa yang sedang duduk dengan menekuk kedua lututnya.
Sosok itu, tak lain adalah Steven. Dia memeluk benda hitam di depan dadanya. Benda itu berbentuk persegi, panjangnya dari bahu kiri ke bahu kanan, dan lebarnya dari bahu ke siku. Wajah Steven menunjukkan ekspresi kesakitan.
Satu menit berlalu, Steven telah berdiri. Kedua tangannya berada di samping badan. Dia memegang benda hitam yang sebelumnya dipeluk itu dengan tangan kanan.
Sisa - sisa bola tanah di bawahnya kakinya itu tampak sebagai hamparan tanah. Tanah itu tidak seperti tanah pada umumnya, melainkan lebih lunak dan teksturnya lembut.
Steven sedang menunduk menatapnya. Saat dia menyipitkan mata, tanah yang menyusun hamparan itu tiba - tiba tersedot ke suatu titik dengan membentuk seperti pusaran.
Titik pusat pusaran itu adalah bayang - bayang benda hitam yang dipegang Steven.
Kemudian, tanah melayang menuju benda hitam itu, dengan tanah yang berada di pusat pusaran melayang terlebih dahulu.
Hasilnya, badan benda hitam itu diselimuti sepenuhnya oleh tanah. Butiran tanah satu per satu bergerak menuju celah sempit di kedua sisi lebar benda hitam itu.
Satu setengah menit kemudian, tanah yang menyelimuti benda itu sudah menghilang. Kini, tanah sudah berada di dalam benda hitam yang disebut dengan koper itu.
Lalu, Steven merasa kesal. Pandangannya diarahkan ke depan. Dia menggertakkan gigi dan mengepalkan kedua telapak tangan.
"Ke-kenapa ini? A-aku jadi terlambat ke sana!" gumamnya.
Sepersekian detik kemudian, Steven melompat ke depan. Di tahap persiapan, Steven memutar badannya seratus delapan puluh derajat dengan kaki kiri sebagai poros.
Di tahap melayang di udara, Steven mendorong kaki kiri yang menjadi poros itu ke tanah, sehingga tubuhnya melayang ke belakang.
Di tahap mendarat, tubuh Steven mendarat dengan jarak tiga puluh sentimeter dari tempatnya mulai melompat. Dia mendarat menggunakan kaki kanannya terlebih dahulu.
Dari tanah yang dipinjak sebelumnya, muncul duri berwarna hitam gelap. Duri itu mencuat dari tanah, hingga berdiri setinggi bangunan paling rendah di pinggir gang.
"A-apa?" tanya Steven dalam hati.
Belum sempat mengambil nafas, ujung duri hitam itu membengkok ke arah Steven. Kemudian, benda itu memanjang, sehingga terlihat seperti benang hitam tipis yang ujungnya lancip.
Benda itu terus menerus memanjang. Dari sudut pandang Steven, tampak bahwa benang hitam sedang menerjangnya, juga siap menghunus.
Steven mendorong kedua kakinya ke lantai sehingga tubuhnya terlompat ke belakang, menghindari terjangan benang hitam yang kemudian menghunus ke lantai.
Sesaat sebelum mengenai lantai, benang hitam itu membengkok ke atas dengan sudut seratus dua puluh derajat, mengarah ke pinggangnya Steven.
Menyadari hal ini, Steven menggerakkan bagian tubuh sebelah kanannya ke belakang. Benang hitam itu pun lewat begitu saja di samping badannya.
Lalu, Steven menoleh ke belakang untuk melihat arah benang itu memanjang.
Alangkah terkejutnya dia saat melihat kalau benang itu sudah membengkok membentuk sudut tiga puluh derajat dari arah gerak sebelumnya. Sekarang, benang itu mengarah ke lehernya Steven.
Steven membawa badannya ke posisi jongkok dengan menekuk kedua lututnya. Sontak, benang hitam itu melesat di atas kepalanya.
Sehelai rambut melayang turun di depan matanya Steven. Rambut itu mendarat di batang hidungnya. Setelah dia mendarat, lima helai rambut lainnya menyusul turun.
"Benda hitam itu ... gerakannya bertambah cepat," pikir Steven.
Steven kembali berdiri dan menghadapkan kepalanya ke depan. Saat itulah, dia menyadari kalau duri tinggi yang berdiri di depannya itu sudah tiada.
Di tempat duri tinggi itu, benang hitam melayang di udara, menggantikannya. Benang itu seolah menari - nari di udara.
Dia memanjang ke atas sejauh dua meter sambil meliuk - liuk seperti ular. Kemudian, ujung benang itu bergerak turun sejauh setengah meter, lalu bergerak mengitari badannya yang tegak lurus ke atas.
Setelah setengah putaran, benang itu melengkung ke atas dan bergerak memanjang hingga membentuk bentuk lingkaran penuh.
Steven mengamati gerakan demi gerakan yang dilakukan benang hitam itu sambil bertanya, "Apa lagi sekarang?"
Dia menggerakkan pandangannya mengikuti sepanjang benang hitam itu untuk mencari ujungnya. Pandangannya itu terhenti saat dia menatap lantai yang dipijaknya.
"Ke-kenapa? Benda ini ... berasal dari bawah ... bayanganku sendiri?" pikirnya.
Steven mulai merasa gugup. Kedua kakinya gemetar. Jantungnya berdetak kencang, membuat nafasnya menjadi tak beraturan. Keringat mengalir dari kepalanya, membasahi seluurh tubuhnya. Wajahnya terasa panas.
Tiba - tiba, benang hitam di depannya itu menghadap ke arahnya, lalu kembali memanjang. Bagi Steven, benang itu sedang melesat ke dadanya dan siap menghunusnya.
"Apa aku bisa menangkap benda itu agar gerakannya berhenti?" sesuatu terlintas di pikirannya Steven.
Dia melompat ke belakang sebanyak lima kali. Benang hitam itu pun melengkung ke depan saat ujung depannya berada di posisi sejajar dengan wajahnya Steven.
"Ini dia!" Steven berseru sambil menggerakkan tangan kanannya ke depan wajah.
Benang hitam itu melesat dengan cepat dengan arah wajahnya Steven.
Sementara itu, Steven dengan telapak tangan kiri terbuka berusaha menangkap benang itu, saat dia berjarak tiga puluh senti dari wajahnya.
Saat tangannya menggenggam benang hitam itu, alih - alih tertangkap, tangan itu justru menembusnya.
Tanpa mendapat kesempatan untuk terkejut, Steven memanfaatkan refleknya untuk memiringkan kepalanya ke kanan. Alhasil, benang itu menggores sedikit pipi kirinya hingga berdarah.
"Sial!" Steven berseru kesal.
Dia memutuskan untuk berlari ke depan sekencang mungkin. Semoga saja dia bisa sampai di ujung gang ini. Dan semoga juga, ujung gang ini adalah tempat yang ramai.
Mengetahui sasarannya melarikan diri, benang hitam itu berbalik arah dengan melengkung ke bawah, membentuk lintasan setengah lingkaran, kemudian melesat dengan kecepatan tinggi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku jadi terhambat di sini. Dan juga, kenapa aku tidak bisa memegang benda itu?" kata Steven dalam hati saat dia sedang berlari.
Badannya tiba - tiba oleng ke kiri. Steven pun mengeluh kalau koper yang dibawanya itu menambah berat tubuh, sehingga menyulitkan dirinya untuk menambah kecepatan.
Gang ini panjangnya lima ratus meter. Dengan kecepatan lari rata - rata manusia normal adalah empat puluh kilometer perjam, maka membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima detik untuk tiba di ujung gang ini.
Tiga menit berlari, Steven baru menyadari kalau benang hitam itu sudah tidak mengikutinya.
Dia menyadari hal ini, ketika Steven tidak sengaja menoleh ke belakang di tengah - tengah larinya. Saat itulah, dia melihat kalau benang hitam itu sudah lenyap.
Steven menghentikan langkahnya sambil terengah - engah. Dia berusaha menstabilkan nafasnya yang tidak beraturan. Namun, semakin lama dia mencoba, semakin kacau nafas itu jadinya.
Steven mengusap wajahnya yang penuh keringat dengan tangan kiri. Sementara itu, pergelangan tangan kanannya dia kibas - kibaskan untuk menghilangkan rasa pegal dari membawa koper yang berat.
'Ga-gawat! A-aku pasti terlambat. Kenapa aku selalu gagal untuk menyelamatkan orang lain?" Steven berpikir dengan perasaan putus asa.
Tidak ada hujan, tidak ada angin, dari udara kosong tepat di depannya muncul seorang remaja laki - laki.
Lalu, seolah tidak memberikan kesempatan bagi Steven untuk beristirahat, remaja laki - laki itu mendorong tangan kanannya yang mengepal hingga mengenai pipi kirinya Steven.
Badannya Steven terlempar ke belakang setelah terkena pukulan itu. Saat melayang di udara, koper yang dipegangnya terlepas dari tangan kanannya dan terjatuh di lantai, menimbulkan suara benda terjatuh yang keras.
Dia terkapar di lantai, dua meter jaraknya dari tempatnya berdiri semula, sementara koper itu tergeletak di samping kanan kakinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro