Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 Part 2*

?? ?? 2001

Seorang pemuda menghampiri Profesor Scene dengan bersemangat. Dia berdiri dengan mengayunkan kedua lengannya ke depan dan ke belakang. Terkadang, dia juga menaik turunkan kedua bahunya.

Profesor Scene kebingungan melihat pemuda itu. Dia bertanya - tanya dalam hati, apakah yang membuatnya begitu bersemangat.

"Profesor!" pemuda itu berseru memanggilnya.

Profesor Scene sedikit membungkukkan badan. Dia bertanya, "Ada apa?" Mungkin dia akan segera mengetahui apa yang membuat pemuda itu begitu bersemangat.

"Saya punya usul, Profesor," balas pemuda itu sambil mendongak menatap wajah Profesor Scene.

"Apa itu?" tanya Profesor Scene dengan rasa penasaran.

"Kenapa kita diam saja di basecamp ini? Apakah profesor tidak punya keinginan untuk menuntut kebebasan bagi pemilik Clothes of Chaos kepada pemerintah?" jawab sekaligus tanya pemuda itu.

Profesor Scene mengangguk. Pemuda itu menjadi semakin bersemangat. Kemudian, Profesor Scene berkata, "Lawan kita bukan pemerintah, tapi elit global. Merekalah yang membuat kita jadi seperti ini."

Rasa semangat pemuda itu belum hilang meskipun usulnya ditolak oleh Profesor Scene. Malah, muncul rasa penasaran di dalam hatinya. Dia pun bertanya, "Apa itu elit global? Siapa mereka?"

Profesor Scene menghela nafas. Pemuda di depannya ini cukup menguras kesabarannya. Lalu, Profesor Scene menajwab, "Konon katanya, elit global adalah mereka yang mengendalikan dunia ini dari balik bayangan."

"Banyak kejadian di dunia ini yang merupakan rencana mereka. Aku jadi ragu kalau sebenarnya merekalah yang merencanakan Twelve Accident untuk menjebak kita, pemilik Clothes of Chaos," sambungnya.

Pemuda di depannya melompat - lompat dengan rasa senang. Dia pun berkata, "Makanya! Profesor sendiri diam - diam setuju dengan usulku tadi kan!"

Profesor Scene menggelengkan kepala. Kesabarannya sudah di ambang batas. Dia ingin saja marah, tapi itu akan mengurangi kewibawaannya di depan semua orang.

"Sebenarnya, usulmu itu bisa dipertimbangkan. Namun, aku takut kalau itu akan memicu terjadinya Twelve Accident kedua," kata Profesor Scene sambil memelankan suaranya.

"Lagipula, kita sudah bisa tinggal dengan tenang di basecamp ini. Tidak usahlah kita mencari - cari masalah dengan dunia luar, apalagi elit global," sambungnya sambil membalik badannya membelakangi pemuda itu.

Lalu, Profesor Scene berjalan menjauhi pemuda itu sambil berkata, "Kembalilah ke campmu. Aku akan mempertimbangkan usulanmu itu dengan petinggi yang lainnya."

Pemuda itu mengangguk cepat. Dia berseru dalam hatinya, "Yosh! Aku berhasil meyakinkannya!" Lalu, seperti kata Profesor Scene tadi, dia berjalan kembali ke campnya.

Malam itu, diadakan rapat antara petinggi. Petinggi adalah istilah di basecamp bagi mereka yang mendirikan basecamp bersama Profesor Scene. Mereka mendapatkan posisi yang tinggi di basecamp.

Para petinggi memimpin basecamp bersama - sama. Mereka membawahi sektor camp yang berbeda dengan pusat kepemimpinan berada di Profesor Scene sendiri.

Tapi, alih - alih membahas usulan si pemuda, rapat itu justru membahas tentang percobaan menciptakan Clothes of Chaos. Memang, hingga saat ini belum diketahui asal mula dari Clothes of Chaos.

Pemakainya hanyalah orang - orang yang kebetulan menemukan pakaian itu. Saat mereka memakainya, pakaian itu seolah memberikan bisikan kepada mereka, kalau mereka bisa menggunakan kemampuan supranatural.

Rapat dibuka dengan pidato oleh Profesor Scene. Pidato itu, intinya adalah bahwa basecamp sudah berdiri selama dua bulan, namun belum ada perkembangan yang berarti selama ini.

Selama dua bulan ini, yang terjadi di basecamp hanyalah untuk merekrut anggota baru. Profesor Scene beranggapan kalau sudah saatnya untuk memulai tahap kedua, yaitu untuk melatih dan meneliti Clothes of Chaos.

Setelah pidato dari Profesor Scene, salah satu petinggi melaporkan tentang keberhasilan perekrutan anggota selama ini.

"Apakah kalian merasakannya juga? Basecamp yang awalnya hanya dihuni dari kita berlima, kini dihuni oleh hampir puluhan orang," begitulah katanya.

"Ini adalah kemajuan yang bagus. Tapi, semakin banyak orang yang datang ke basecamp ini, semakin banyak tempat yang kita butuhkan untuk menampung mereka. Bangunan ini saja tidak akan cukup," sambungnya,

Profesor Scene mengangguk sambil memperbaiki posisi kacamatanya. Lalu, dia berkata, "Kau benar. Kita harus mulai merenovasi bangunan lain di komplek ini."

Salah satu petinggi mengangkat tangannya. Semua petinggi yang hadir menoleh kepadanya. Dia terbatuk - batuk saat dilihat oleh petinggi lainnya.

"Ya silahkan," kata Profesor Scene sambil mengulurkan tangan kanan kepadanya.

Kemudian dia berkata, "Soal renovasi kalian bisa mempercayaiku. Akan kuselesaikan dalam waktu dua bulan."

Profesor Scene mengangguk puas sambil berkata, "Baiklah. Semoga berhasil." Petinggi itu pun membalas, "Terima kasih atas kepercayaannya."

Petinggi yang lainnya kembali menatap ke depannya masing - masing. Terdengar suara ketukan jari di atas meja, itu dilakukan oleh petinggi yang duduk di sebelah kanan Profesor Scene.

Suasana hening sejenak. Seorang petinggi yang memakai pakaian yang sama dengan Profesor Scene, yaitu sebuah jas lab putih yang panjang hingga hampir menyentuh lutut, berkata, "Sekarang mari kita bahas tentang kemampuan hati."

"Ah iya. Aku hampir lupa tujuan rapat ini," balas petinggi yang duduk di sebelahnya.

Petinggi yang memakai jas lab itu kembali berkata, "Persiapan untuk melakukan percobaan sudah mencapai empat puluh persen."

"Bagus. Akan segera kita lakukan secepat mungkin," kata Profesor Scene.

Salah satu petinggi kembali mengangkat tangannya, kali ini sambil berseru, "Profesor!" Lagi - lagi, hal itu membuat petinggi lain kembali menoleh kepadanya.

"Aku sudah mendata beberapa anggota untuk juga diikutkan di percobaan ini," katanya.

Profesor Scene kembali mengangguk. Tapi, kemudian dia menggaruk - garuk kepalanya dengan tangan kanan. Matanya menyipit dan kacamata yang dia pakai merosot hingga menyentuh hidung.

"Ada apa, Profesor?" tanya petinggi yang duduk di sebelah kanannya.

Dengan suara serak, Profesor Scene menjawab, "Aku lupa. Tadi pagi, seorang anggota basecamp memberiku usulan, Aku ingin membicarakan usulan ini dengan kalian."

***

?? ?? 2002

Setahun kemudian, rencana percobaan yang direncanakan oleh para petinggi baru dapat terlaksana. Percobaan ini akan dilakukan di bangunan laboratorium, karena saat itu, sudah terdapat dua bangunan yang layak digunakan.

Sebelum percobaan dimulai, Profesor Scene berjalan - jalan di bangunan laboratorium untuk melakukan sedikit briefing tentang percobaan ini.

Saat dia sedang berjalan - jalan, Profesor Scene bertemu dengan seorang anak laki - laki berusia sepuluh tahunan. Anak laki - laki itu terkejut melihat Profesor Scene, sosok yang diidolakannya,

"Hai," Profesor Scene menyapa anak itu.

"K-ka-kau, p-pro-profes-profesor Scene!" kata anak itu dengan gugup.

Profesor Scene berlutut agar tingginya sama dengan anak laki - laki itu. Kemudian dia berkata, "Tenang saja, tidak perlu gugup."

Anak laki - laki itu melebarkan matanya saat pandangannya dan pandangan Profesor Scene saling bertemu.

"Siapa namamu?" tanya Profesor Scene kemudian.

"Na-nama-namaku, Steve-Steven, ya! Steven!" jawab anak laki - laki itu terbata - bata.

"Nah, nak Steven, apa yang kau lakukan di tempat ini?" Profesor Scene kembali bertanya sambil memperbaiki posisi kacamatanya.

"A-aku-," belum selesai dia menjawab, seorang petinggi datang menghampirinya.

Petinggi itu berdiri di samping Steven. Badannya yang tinggi membuat Steven terlihat hanya se-pinggangnya saja. Petinggi itu meletakkan telapak tangan kanannya ke atas kepala Steven.

Lalu, dia berkata, "Oh professor. Perkenalkan, ini anakku, Steven." Profesor Scene yang masih berlutut terlihat kebingungan melihat bapak anak di depannya.

Steven menoleh ke belakang. Dia menatap wajah ayahnya sambil bertanya, "Profesor Scene itu temannya ayah?" Ayah-petinggi di belakangnya itu menjawab, "Ya. Ayah belum pernah memberitahumu ya?"

Sementara itu, Profesor Scene sudah berdiri tegak. Dia menepuk - nepuk jas labnya yang sedikit lusuh sebelum berkata, "Aku tidak tahu kalau kau punya anak."

"Lalu, kenapa kau membawanya ke sini?" tanya Profesor Scene kemudian sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kanan.

"Maaf profesor. Aku belum memberitahumu kalau Steven adalah salah satu dari anggota yang diikutkan di percobaan ini," jawab petinggi itu.

Profesor Scene menunduk memperhatikan Steven. Dia belum pernah melihat Steven di basecamp sebelumnya. Tapi, dia memilih untuk mempercayai rekannya yang memilih Steven.

"Ah, benar juga," tiba - tiba Profesor Scene teringat sesuatu.

"Sebentar lagi percobaannya akan dimulai, Ayo segera kesana," ajaknya.

Steven menggoyangkan tangan kanan ayahnya. Si petinggi itu kemudian berlutut sehingga mereka berdua tingginya sama. Kemudian, Steven menggerakkan kepalanya hingga berada di samping telinga petinggi itu.

Steven membisikkan sesuatu kepada ayahnya. Sementara itu, ayahnya, petinggi itu mengangguk - angguk mendengarkan. Profesor Scene di depan mereka sedang terdiam saat memperhatikan tingkah laku bapak anak itu.

Petinggi itu kembali ke posisi berdiri. Setelah itu, dia berkata, "Profesor silahkan pergi duluan saja." Profesor Scene mengangguk mengerti.

Sebelum pergi, Profesor Scene mengajak Steven untuk tos, yaitu serangkaian gerakan yang dilakukan oleh dua orang dengan mempertemukan genggaman tangan kanan keduanya.

"Sampai jumpa!" kemudian Profesor Scene berjalan meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan. Steven dan petinggi itu membalas lambaiannya dengan melambaikan tangan juga.

Setelah melalui persiapan selama sejam, percobaan bisa dimulai. Percobaan ini dilakukan di ruangan baru di bangunan laboratorium. Profesor Scene menyebutnya sebagai, "Ruangan 01"

Dalam percobaan ini, mereka yang terlibat terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah subjek, yaitu mereka yang akan menjadi pemeran utama di percobaan ini. Profesor Scene berada di bagian ini.

Bagian kedua adalah pengamat, yaitu mereka yang mengawasi percobaan dari sebuah ruangan khusus. Terdapat kaca di antara ruangan 01 dengan ruangan khusus ini agar mereka dapat melihat keadaan ruangan 01.

Terakhir, bagian ketiga adalah sukarelawan, yaitu anggota terpilih yang bisa menyaksikan percobaan ini. Steven berada di bagian ini.

Di ruangan khusus-sebut saja ruangan pengamat mulai dari titik ini-segalanya sedang sibuk. Seorang pria berusia tiga puluhan terlihat sedang duduk di salah satu kursi di dalam ruangan.

Tangan kanannya membalik - balik halaman sebuah berkas di atas meja di depannya. Dia memperhatikan dengan cermat kata - perkata yang tertulis di atas berkas itu.

Seorang wanita-berusia sama-menghampirinya dari samping kanan. Kedua tangan wanita itu menggenggam sebuah cangkir kaca berwarna putih dengan garis - garis berwarna kuning.

"Serius sekali kau ini," kata wanita itu sambil meletakkan cangkir yang dia pegang dengan tangan kiri di atas meja, di sebelah tumpukan berkas.

Menyadari kehadirannya, pria itu menoleh ke kanan.

"Ada ap-," perkataan pria itu terpotong.

"Nih minum dulu," sela si wanita sambil menunjuk cangkir yang tadi dia taruh di atas meja.

Pria itu mengalihkan penglihatannya ke cangkir di atas meja. Dia membungkukkan badan untuk melihat isi cangkir itu. Secara tidak sengaja, aroma minuman di dalam cangkir tercium olehnya.

"Nanti saja, masih panas," katanya kemudian.

Pria itu berdiri dari tempat duduknya. Berkas yang tadi dia perhatikan, kini sudah dia pegang dengan kedua tangan. Kemudian, dia berjalan menuju ke kaca yang membatasi ruangan ini dengan ruang 01.

"Mau kemana?" tanya si wanita sebelum si pria berjalan.

"Memberikan berkas ini," jawab si pria singkat.

Di sebelah kaca itu, orang - orang lebih sibuk lagi. Salah satu dari mereka-seorang pria yang membawa berkas tadi-meraih sebuah mikrofon di atas meja di sebelah kaca.

Dia mendekatkan mikrofon itu ke mulutnya. Lalu, dia berkata, "Tes kemampuan no 3. Tes tahap 3, percobaan kemampuan hati, dapat dimulai."

Oleh mikrofon, suara itu dibawa menuju ke pengeras suara yang terpasang di tembok ruangan 01. Begitu mendengar suara dari pengeras suara, Profesor Scene memberi aba - aba kepada anggota bagian pertama yang lainnya.

Terdapat tiga orang di bagian pertama termasuk Profesor Scene. Masing - masing dari mereka mengambil sebuah jaket yang terlipat di atas meja di tengah ruangan. Tentu saja, ada tiga jaket di sana.

"Kau yakin ini aman, kan?" kata seorang petinggi yang merupakan ayahnya Steven.

"Tentu saja. Kita sudah mempersiapkan ini selama hampir setahun," jawab seorang petinggi lainnya.

Bukan kebetulah kalau bagian pertama diisi oleh tiga orang petinggi. Ini adalah saran dari Profesor Scene sendiri, yaitu untuk memasukkan pemilik Clothes of Chaos yang sudah berpengalaman di bagian pertama.

Lalu, bagian ketiga berada di salah satu sisi ruangan 01. Di sebuah area yang luasnya sekitar empat meter persegi, berjajar kursi plastik sebagai tempat duduk mereka yang termasuk di dalam bagian ketiga.

Profesor Scene melambaikan tangan ke area itu. Orang - orang yang duduk di sana ikut melambaikan tangan.

Kemudian, Profesor Scene menatap satu per satu rekannya yang berada di bagian pertama. Mereka sudah memakai jaket yang tadi mereka ambil.

Kemudian, Profesor Scene tersenyum sambil ikut memakai jaket yang masih dia pegang. Dengan begitu, ketiga orang di bagian pertama sudah memakai jaketnya masing - masing.

Mereka berdiri mengelilingi meja di tengah ruangan 01. Kemudian, terdengar suara dari pengeras suara yang mengatakan, "Saatnya mengaktifkan Clothes of Chaos itu!"

"Spirit Ability!" ketiga orang itu berseru bersamaan.

Di bawah kaki masing - masing dari mereka, muncul cahaya berwarna putih yang membentuk seperti lingkaran berdiameter tiga puluh sentimeter.

Kemunculan cahaya itu membuat seisi ruangan 01 menjadi silau. Di bagian ketiga, Steven menutup kedua matanya dengan telapak tangan kanan saking silaunya cahaya itu.

Petinggi yang merupakan ayahnya Steven tersenyum senang. Dia berkata dalam hati kalau percobaan ini sudah berhasil.

Tiba - tiba, cahaya itu berubah warna menjadi merah darah. Hal itu membuat seisi ruangan 01 ikut berwarna merah. Dari balik telapak tangannya, Steven melihat aura kemerah - merahan.

Merasa janggal, dia pun menggeser telapak tangan yang menutupi matanya itu.

"Apa ini?" katanya kebingungan.

Kembali ke tengah ruangan, Profesor Scene menunduk melihat cahaya di bawah kakinya yang tiba - tiba berubah warna. Perasaannya tidak enak.

"A-apa ini?" tanyanya penuh kebingungan.

Lalu, dia mendengar suara raungan dari depannya. Sontak, Profesor Scene menatap ke depan dan melihat pemandangan yang mengerikan.

Salah satu petinggi di depannya berteriak kesakitan. Kepalanya mendongak. Wajahnya pucat dan kedua matanya membelalak. Kedua tangannya memegang ubun - ubunnya.

Nafasnya mulai sesak. Lalu, tubuhnya mulai oleng dan dia pun terjatuh dalam keadaan berlutut. Kulit di lengannya mulai terkelupas.

Sementara itu, Profesor Scene masih kebingungan hingga kemudian, dia merasakan rasa sakit di dadanya. Rasa sakit itu menjalar hingga ke seluruh tubuhnya.

"AAAARRRGGGGH!!!" mau tak mau, dia juga meraung kesakitan seperti rekannya itu.

Petinggi yang satunya lagi juga merasakan rasa sakit yang sama. Mereka bertiga berada dalam kondisi yang sama, berlutut di lantai, wajahnya pucat, dan kulit yang mulai terkelupas.

Orang - orang di ruang pengamat membuat tatapan ngeri sekaligus bingung. Seorang wanita berseru, "Tidak mungkin! Clothes of Chaos itu lepas kendali!"

Di tengah - tengah kebingungan, seseorang di ruang pengamat tiba - tiba merebut mikrofon. Dia berseru, "Bagian ketiga! Tolong lepaskan jaket yang mereka pakai sebelum spirit itu mengambil alih tubuh mereka!"

Melihat kondisi ayahnya yang mengerikan itu, Steven tidak bisa berdiam diri. Saat mendengar seruan barusan, dia langsung melompat dari kursinya dan berlari ke tengah ruangan.

Anggota bagian ketiga yang lainnya mengikuti dari belakang. Beberapa meter dari tengah ruangan, tiba - tiba muncul sebuah aura dari tengah ruangan yang menghempaskan mereka hingga menabrak dinding.

"Aura macam apa itu!" seseorang di ruang pengamat berseru terkejut sambil memukul meja.

Steven merasakan kalau tubuhnya sedang merinding. Dia ketakutan dengan aura yang menghempaskannya itu. Tapi, dia tahu kalau dia harus pergi menyelamatkan ayahnya.

Steven berusaha untuk berdiri meskipun tubuhnya gemetaran. Kedua kakinya bergoyang - goyang saat dia ingin menggunakannya untuk menopang tubuhnya. Alhasil, tubuh Steven oleng, hingga dia terjatuh ke samping kanan.

Keadaan anggota bagian ketiga lainnya juga sama parahnya. Keberadaan aura itu memberikan tekanan mental kepada orang - orang di dalam ruangan 01. Mereka hanya bisa berlutut sambil merinding ketakutan.

Atmosfer khawatir mulai terasa di dalam ruang pengamat. Mereka ingin keluar menolong, namun mereka tidak bisa memasuki ruangan 01, tidak selama aura mengerikan itu masih ada.

"Sialan!" umpat seorang pria sambil mengobrak - abrik salah satu meja.

Dua orang yang berdiri di sampingnya menggerakkan tangan untuk memegangi pundak pria itu sebelum meja itu dihancurkan olehnya.

"Hentikan!" kata dua orang itu bergantian.

"Lepaskan! Kalau kalian diam saja, biarkan aku yang turun!" pria itu berteriak seperti orang kersurupan.

"Bagaimana kau akan melakukannya!" kata orang yang berdiri di sebelah kanannya.

"Masuk ke sana sama saja dengan bunuh diri!" kata yang di sebelah kanan.

"Berisik! Lepaskan atau akan kuhancurkan seisi ruangan ini!" pria itu semakin marah.

Kekhawatiran semakin bertambah dengan adanya pria yang sangat mengamuk itu.

Kemudian, dengan sebuah gerakan yang tidak bisa dideskripsikan, pria itu berhasil melepaskan diri dari pegangan kedua orang di sampingnya.

Lalu, dalam waktu sedetik, dia menghantamkan dirinya dengan kaca di depannya, membuat kaca itu rontok, lalu melompat ke dalam ruangan 01, dan berdiri di tengah terjangan aura mengerikan.

Orang - orang di dalam ruang pengamat segera melakukan posisi tiarap saat aura itu ikut menerjang masuk ke dalam ruangan akibat rontoknya kaca pembatas antara kedua ruangan.

***

Dalam atmosfer ruangan yang di dominasi warna merah darah, seorang pria berdiri mematung, sama sekali tidak terpengaruh oleh suasana menyeramkan di sekelilingnya.

Dia melihat kalau tiga petinggi, anggota bagian pertama itu sedang berbaring tak sadarkan diri di lantai di tengah ruangan.

Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil berkata, "Spirit Ability! Kishi 騎士!"

Dalam sekejap, aura di dalam ruangan itu mendadak lenyap, disusul dengan lingkaran cahaya berwarna merah darah yang perlahan - lahan mengecil.

Dua menit kemudian, atmosfer merah yang menyelimuti ruangan sudah hilang sepenuhnya ketika lingkaran cahaya itu menghilang.

Pria itu menarik nafas lega. Tekanan mental dari aura itu tidak ada apa - apanya dibandingkan dengan tanggung jawabnya untuk menyelamatkan anggota bagian pertama, meski sudah terlambat.

Anggota bagian kedua di dalam ruang pengamat mulai bangkit dari posisi tiarap. Salah satu dari mereka bergumam, "Aku tidak tahu kalau dia memakai Arcana."

"Dia kuat sekali!" ada juga yang berseru kagum.

Kembali ke ruangan 01, dari salah satu sisi ruangan, tiba - tiba Steven berlari menghampiri tubuh ayahnya yang sedang berbaring di lantai.

Petinggi itu berbaring dalam keadaan yang mengenaskan. Kedua matanya melotot. Mulutnya terbuka lebar. Kulit tangan dan kakinya terkelupas sebagian, memperlihatkan daging berwarna kemerahan di baliknya.

Mata Steven berkaca - kaca. Dia merasakan rasa kehilangan yang sangat di dalam hatinya. Apalagi melihat keadaan mengerikan ayahnya itu.

"A-ayah," kata Steven sambil menepuk - nepuk tangan ayahnya.

"Ayah, bangun," sambungnya sambil menundukkan kepala.

Kemudian, seorang pria menghampiri anak itu. Dia berjongkok di sebelahnya. Pria itu menggerakkan tangan kanan hingga telapak tangannya menutupi mata dari tubuh yang berbaring di depannya.

"Maaf nak. Ayahmu sudah tidak bisa tertolong lagi," katanya sambil mengusap telapak tangannya di atas mata milik tubuh yang berbaring itu.

"Ta-tapi, ayah-," perkataan Steven terputus.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro